Ekonomi Hijau

Circular Economy dan Masa Depan Iklim Asia: Dari Agenda Lingkungan ke Strategi Pembangunan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 23 Desember 2025


1. Circular Economy sebagai Kunci Setengah Masalah Iklim yang Terlupakan

Dalam bagian penutup yang ditulis oleh Linda Arthur, circular economy ditempatkan pada posisi strategis yang sering terabaikan dalam diskursus iklim global. Selama ini, transisi energi bersih—terutama pengurangan batu bara dan bahan bakar fosil—mendominasi agenda mitigasi perubahan iklim. Namun, Arthur menegaskan bahwa pendekatan tersebut hanya menyasar sekitar setengah dari total emisi gas rumah kaca. Sisa emisi yang signifikan justru berasal dari produksi material, pertanian, kehutanan, dan perubahan penggunaan lahan.

Di titik inilah circular economy memperoleh relevansinya yang paling fundamental. Dengan menantang model linear “ambil–buat–buang”, circular economy menawarkan jalur mitigasi iklim yang bekerja melalui efisiensi material, desain ulang sistem produksi, dan pengurangan limbah struktural. Artinya, circular economy bukan pelengkap kebijakan iklim, melainkan pilar yang berdiri sejajar dengan transisi energi.

Arthur secara eksplisit menempatkan Asia dan Pasifik sebagai kawasan penentu. Kawasan ini tidak hanya menjadi pusat pertumbuhan ekonomi global, tetapi juga rumah bagi mayoritas kelas konsumen dunia—dan jumlahnya masih akan terus bertambah. Dalam konteks ini, strategi iklim yang mengabaikan pola konsumsi dan produksi di Asia berisiko gagal secara global. Circular economy menjadi satu-satunya pendekatan yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi tetap berlangsung tanpa eskalasi eksploitasi sumber daya secara linear.

Yang menarik, Arthur tidak membingkai circular economy sebagai agenda pengorbanan. Ia justru diposisikan sebagai alternatif pembangunan, bukan pembatas pembangunan. Dengan memisahkan kesejahteraan manusia dan pertumbuhan ekonomi dari peningkatan ekstraksi sumber daya, circular economy menawarkan narasi baru yang lebih dapat diterima oleh negara berkembang—terutama mereka yang enggan menahan pertumbuhan demi target iklim global.

 

2. Tantangan Implementasi dan Jalan ke Depan: Kepemimpinan Negara dan Kerja Sama Regional

Meski potensinya besar, Arthur secara realistis menegaskan bahwa transisi menuju circular economy di Asia tidak akan mudah. Tantangan utamanya bersifat institusional dan politik, bukan konseptual. Negara-negara berkembang menghadapi dilema klasik: menekan emisi dan limbah berisiko dipersepsikan sebagai hambatan untuk mengejar status ekonomi maju. Dalam konteks ini, circular economy hanya akan berhasil jika diposisikan sebagai strategi pertumbuhan, bukan agenda lingkungan semata.

Arthur menekankan peran sentral pemerintah dalam memimpin transisi. Negara perlu menyediakan kombinasi kebijakan yang seimbang antara insentif dan disinsentif—mendorong model bisnis sirkular, inovasi desain, dan transfer teknologi, sembari membatasi praktik produksi dan konsumsi yang paling merusak. Namun, ia juga menegaskan bahwa sektor publik tidak bisa bekerja sendiri. Circular economy menuntut partisipasi aktif sektor swasta, inovator, dan investor.

Salah satu pesan penting dalam bagian penutup ini adalah kebutuhan pengambilan risiko tahap awal oleh negara. Pasar sirkular sering kali belum matang, sehingga investasi swasta enggan masuk tanpa sinyal kebijakan dan dukungan awal. Dengan mengambil peran katalitik—melalui pembiayaan awal, jaminan risiko, atau kebijakan pengadaan—negara dapat mempercepat pembentukan pasar dan menarik modal lanjutan.

Arthur juga menyoroti pentingnya kerja sama regional. Bagi negara berpendapatan rendah yang baru memulai transisi sirkular, berbagi pengetahuan, pengalaman, dan praktik terbaik menjadi krusial. Dalam isu lintas batas seperti plastik dan rantai pasok material, tekanan regional bahkan dapat lebih efektif daripada kebijakan domestik semata. Aliansi regional dapat membantu menyelaraskan standar, mengurangi kebocoran limbah, dan meningkatkan efisiensi kolektif.

Sebagai penutup, Arthur menggarisbawahi bahwa circular economy bukan ancaman bagi pembangunan, melainkan peluang ekonomi berskala besar—dengan potensi penciptaan lapangan kerja, inovasi, dan nilai tambah yang signifikan. Tantangan terbesarnya bukan pada apakah circular economy layak, tetapi pada seberapa cepat dan serius negara-negara Asia berani mengintegrasikannya ke dalam strategi pembangunan jangka panjang.

 

Daftar Pustaka

Arthur, L. (2022). Conclusion. Dalam Transitioning to a Circular Economy in Developing Asia. Tokyo: Asian Development Bank Institute.

Ellen MacArthur Foundation. (2019). Completing the picture: How the circular economy tackles climate change. Cowes: EMF.

Ghisellini, P., Cialani, C., & Ulgiati, S. (2016). A review on circular economy. Journal of Cleaner Production, 114, 11–32.

IPCC. (2022). Climate change 2022: Mitigation of climate change. Geneva: Intergovernmental Panel on Climate Change.

Schandl, H., Fischer-Kowalski, M., West, J., et al. (2016). Global material flows and resource productivity. Journal of Industrial Ecology, 20(4), 827–838.

Selengkapnya
Circular Economy dan Masa Depan Iklim Asia: Dari Agenda Lingkungan ke Strategi Pembangunan

Ekonomi Hijau

Waste-to-Energy di Bangladesh: Antara Janji Circular Economy dan Dilema Kebijakan Energi

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 23 Desember 2025


1. Pendahuluan: Waste-to-Energy dalam Persimpangan Pembangunan dan Lingkungan

Dalam bab yang ditulis oleh Sakib Amin, Tooraj Jamasb, Manuel Llorca, Laura Marsiliani, dan Thomas I. Renström, waste-to-energy (WTE) diposisikan sebagai salah satu opsi strategis untuk menjawab dua tekanan utama yang dihadapi Bangladesh: meningkatnya kebutuhan energi dan krisis pengelolaan sampah perkotaan. Dalam konteks negara berkembang dengan kepadatan penduduk tinggi, kedua masalah ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling memperkuat.

Pendekatan WTE menawarkan narasi win–win: sampah yang sebelumnya menjadi beban lingkungan dapat diubah menjadi sumber energi listrik, sekaligus mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil impor. Dalam kerangka circular economy, WTE sering dipandang sebagai cara untuk menutup siklus material, terutama ketika opsi daur ulang dan penggunaan ulang menghadapi keterbatasan pasar dan infrastruktur.

Namun, sejak awal penulis bersikap hati-hati. WTE tidak secara otomatis sejalan dengan prinsip circular economy. Jika diterapkan tanpa perencanaan yang matang, WTE justru berisiko mengunci sistem pengelolaan sampah pada teknologi yang mengutamakan pembakaran dibanding pencegahan dan daur ulang. Dengan kata lain, WTE dapat menjadi solusi pragmatis jangka pendek, tetapi problematis secara struktural jika tidak ditempatkan dengan tepat dalam hierarki pengelolaan sampah.

Pendahuluan bab ini menegaskan bahwa tantangan utama Bangladesh bukan sekadar memilih teknologi, melainkan menentukan peran WTE dalam strategi pembangunan energi dan lingkungan secara keseluruhan. Apakah WTE menjadi pelengkap bagi sistem sirkular, atau justru pengganti yang melemahkan upaya pengurangan sampah di hulu, menjadi pertanyaan kunci yang membingkai analisis selanjutnya.

 

2. Karakteristik Sampah dan Potensi Energi: Peluang yang Datang dengan Batasan

Analisis dalam bab ini menunjukkan bahwa struktur sampah di Bangladesh memiliki implikasi langsung terhadap kelayakan WTE. Sampah perkotaan didominasi oleh fraksi organik, terutama limbah rumah tangga dan sisa makanan. Dari sudut pandang circular economy, dominasi organik ini membuka peluang bagi teknologi seperti anaerobic digestion dan gasification, yang lebih selaras dengan prinsip pemulihan sumber daya dibandingkan insinerasi konvensional.

Namun, karakteristik tersebut juga menghadirkan batasan serius. Kandungan organik yang tinggi berarti nilai kalor sampah relatif rendah dibandingkan negara maju. Hal ini membatasi efisiensi pembangkitan listrik, terutama jika teknologi yang digunakan tidak dirancang khusus untuk kondisi tersebut. Penulis menekankan bahwa banyak kegagalan proyek WTE di negara berkembang berakar pada ketidakcocokan antara komposisi sampah dan pilihan teknologi.

Dari sisi energi nasional, potensi WTE tetap signifikan. Volume sampah perkotaan yang besar dan terus meningkat menciptakan basis input yang stabil bagi pembangkit listrik berbasis limbah. Dalam konteks diversifikasi bauran energi, WTE dapat berperan sebagai sumber energi domestik yang mengurangi tekanan impor bahan bakar fosil. Namun, kontribusi ini tidak boleh dilebih-lebihkan; WTE bukan pengganti utama energi fosil, melainkan sumber pelengkap dengan fungsi strategis tertentu.

Bab ini juga menggarisbawahi pentingnya pemilahan sampah. Tanpa pemisahan yang memadai antara fraksi organik, plastik, dan residu lainnya, WTE berisiko menghasilkan emisi yang lebih tinggi dan merusak insentif daur ulang. Dalam kerangka circular economy, WTE hanya dapat dibenarkan jika menggunakan residual waste—sampah yang memang tidak layak untuk didaur ulang atau digunakan kembali.

Section ini menegaskan bahwa potensi WTE di Bangladesh nyata, tetapi bersyarat. Kelayakannya tidak hanya ditentukan oleh volume sampah, melainkan oleh kualitas pengelolaan sistem yang menghubungkan pengumpulan, pemilahan, teknologi, dan kebijakan energi. Tanpa integrasi tersebut, WTE berisiko menjadi solusi mahal dengan manfaat sirkular yang terbatas.

 

3. Pilihan Teknologi WTE: Insinerasi, Alternatif Biologis, dan Implikasi Sirkularitas

Dalam pembahasan teknologi, Amin, Jamasb, Llorca, Marsiliani, dan Renström menekankan bahwa keputusan teknologi menentukan apakah WTE memperkuat atau justru melemahkan circular economy. Insinerasi konvensional sering menjadi pilihan karena kematangan teknologi dan kemampuannya menangani volume sampah besar. Namun, untuk konteks Bangladesh, penulis menilai insinerasi menghadapi dua masalah utama: ketidakcocokan dengan komposisi sampah dan risiko penguncian teknologi.

Komposisi sampah yang didominasi fraksi organik dengan kadar air tinggi menurunkan efisiensi insinerasi dan meningkatkan kebutuhan pra-pengolahan atau bahan bakar tambahan. Hal ini berdampak langsung pada biaya dan emisi. Lebih jauh, investasi besar pada insinerasi berkapasitas tinggi dapat menciptakan insentif kebijakan yang kontraproduktif—pemerintah dan operator terdorong “memastikan pasokan sampah” agar fasilitas tetap beroperasi optimal, sehingga pencegahan dan daur ulang menjadi subordinat.

Sebagai alternatif, penulis menyoroti teknologi biologis seperti anaerobic digestion (AD) yang lebih selaras dengan karakteristik sampah organik Bangladesh. AD memungkinkan pemulihan energi dalam bentuk biogas sekaligus menghasilkan digestate yang berpotensi dimanfaatkan sebagai pupuk. Dari sudut pandang circular economy, pendekatan ini lebih dekat dengan prinsip pemulihan nilai material dan nutrien.

Namun, teknologi biologis juga memiliki keterbatasan. Ia menuntut pemilahan yang lebih ketat dan sistem pengumpulan yang konsisten. Tanpa infrastruktur pemilahan di sumber, kualitas input menjadi tidak stabil dan kinerja fasilitas menurun. Penulis menegaskan bahwa tidak ada teknologi netral kebijakan: setiap pilihan teknologi mensyaratkan perubahan sistemik pada hulu pengelolaan sampah.

Section ini menegaskan bahwa perdebatan WTE bukan sekadar soal efisiensi teknis, melainkan soal arah sistem pengelolaan sampah. Teknologi yang dipilih akan membentuk insentif jangka panjang—apakah mendorong pencegahan dan daur ulang, atau justru mengunci sistem pada solusi pembakaran.

 

4. Implikasi Ekonomi dan Lingkungan: Manfaat Terbatas dan Trade-off Kebijakan

Analisis ekonomi dalam bab ini menunjukkan bahwa manfaat WTE di Bangladesh bersifat terbatas dan kontekstual. Dari sisi energi, kontribusi WTE terhadap bauran listrik nasional relatif kecil dibandingkan pembangkit konvensional. Namun, nilai strategisnya terletak pada reduksi biaya eksternal—pengurangan volume sampah yang ditimbun, penurunan emisi metana dari TPA, dan perbaikan kondisi sanitasi perkotaan.

Di sisi lain, biaya investasi dan operasional WTE relatif tinggi. Tanpa dukungan kebijakan—seperti tarif listrik khusus, jaminan pasokan sampah, atau subsidi—banyak proyek WTE sulit mencapai kelayakan finansial. Penulis memperingatkan bahwa dukungan kebijakan yang berlebihan justru dapat mengaburkan trade-off, membuat WTE tampak lebih menarik dibanding opsi pencegahan dan daur ulang yang secara sosial lebih menguntungkan.

Dari perspektif lingkungan, penilaian WTE harus mempertimbangkan emisi siklus hidup. Jika WTE menggantikan pembuangan terbuka atau TPA yang tidak terkelola, manfaat lingkungan bisa signifikan. Namun, jika WTE menggantikan opsi daur ulang atau komposting yang layak, manfaatnya menjadi ambigu atau bahkan negatif. Dengan kata lain, dampak WTE sangat bergantung pada counterfactual—apa yang sebenarnya digantikan oleh teknologi tersebut.

Bab ini juga menekankan pentingnya koherensi kebijakan energi dan sampah. WTE sering berada di persimpangan dua rezim kebijakan yang berbeda, dengan tujuan dan insentif yang tidak selalu sejalan. Tanpa koordinasi, kebijakan energi dapat mendorong ekspansi WTE, sementara kebijakan lingkungan berupaya mengurangi pembakaran. Ketegangan ini memperlemah efektivitas circular economy secara keseluruhan.

Section ini menyimpulkan bahwa WTE bukan solusi ajaib, melainkan opsi kebijakan dengan trade-off yang jelas. Nilainya terletak pada perannya sebagai pelengkap dalam sistem yang memprioritaskan pencegahan, pemilahan, dan daur ulang—bukan sebagai substitusi dari prinsip-prinsip tersebut.

 

5. Implikasi Kebijakan: Menempatkan WTE secara Tepat dalam Strategi Circular Economy

Berdasarkan analisis Amin, Jamasb, Llorca, Marsiliani, dan Renström, implikasi kebijakan utama adalah kebutuhan untuk menempatkan WTE secara proporsional dalam hierarki pengelolaan sampah. WTE tidak seharusnya menjadi pusat strategi circular economy, melainkan opsi pelengkap yang hanya diterapkan pada residual waste—sampah yang tidak layak dicegah, digunakan kembali, atau didaur ulang.

Implikasi pertama adalah prioritisasi pencegahan dan pemilahan di sumber. Tanpa pemilahan yang memadai, WTE berisiko mengkonsumsi material yang seharusnya didaur ulang atau dikomposkan. Kebijakan perlu mengaitkan pengembangan WTE dengan target pemilahan minimum dan standar kualitas input yang ketat. Pendekatan ini menjaga agar WTE tidak merusak insentif sirkular di hulu.

Implikasi kedua menyangkut keselarasan kebijakan energi dan lingkungan. Insentif energi—seperti tarif listrik atau jaminan pembelian—harus dirancang agar tidak mendorong overkapasitas WTE. Penulis menekankan bahwa dukungan kebijakan sebaiknya bersifat conditional: WTE mendapat dukungan hanya jika memenuhi kriteria lingkungan dan tidak menghambat pencapaian target daur ulang.

Implikasi ketiga adalah pemilihan teknologi yang kontekstual. Mengingat dominasi fraksi organik, kebijakan perlu mendorong teknologi yang lebih selaras secara sirkular, seperti pengolahan biologis, sembari membatasi penerapan insinerasi skala besar yang berpotensi menciptakan penguncian teknologi. Pendekatan bertahap memungkinkan pembelajaran kebijakan dan penyesuaian teknologi seiring peningkatan kapasitas pemilahan.

Section ini menegaskan bahwa kebijakan WTE yang efektif bukan soal mempercepat adopsi teknologi, melainkan mengelola trade-off agar tujuan energi, lingkungan, dan circular economy tidak saling meniadakan.

 

6. Kesimpulan: WTE sebagai Solusi Terbatas dalam Transisi Sirkular

Artikel ini menunjukkan bahwa WTE di Bangladesh menawarkan peluang nyata untuk mengurangi tekanan sampah dan memberikan kontribusi tambahan pada pasokan energi. Namun, seperti ditunjukkan oleh Amin dan rekan-rekan, peluang tersebut bersifat terbatas dan bersyarat. WTE tidak dapat—dan tidak seharusnya—diposisikan sebagai solusi utama circular economy.

Nilai WTE terletak pada kemampuannya menangani residu yang tersisa setelah upaya pencegahan, pemilahan, dan daur ulang dilakukan secara maksimal. Ketika ditempatkan di luar kerangka ini, WTE berisiko menggeser sistem pengelolaan sampah ke arah yang kurang sirkular, mengunci investasi pada teknologi pembakaran, dan melemahkan insentif hulu.

Pelajaran kunci dari kasus Bangladesh adalah pentingnya koherensi kebijakan dan disiplin prioritas. Circular economy bukan kumpulan teknologi, melainkan arsitektur kebijakan yang mengatur urutan pilihan. WTE dapat berperan positif jika tunduk pada arsitektur tersebut—bukan menggantikannya.

Dengan demikian, WTE sebaiknya dipahami sebagai instrumen transisi, bukan tujuan akhir. Keberhasilan circular economy di negara berkembang tidak diukur dari seberapa cepat teknologi WTE dibangun, tetapi dari sejauh mana sistem secara keseluruhan bergerak menuju pencegahan limbah, pemulihan nilai material, dan pengurangan dampak lingkungan secara berkelanjutan.

 

 

Daftar Pustaka

Amin, S., Jamasb, T., Llorca, M., Marsiliani, L., & Renström, T. I. (2022). The case of waste-to-energy in Bangladesh. Dalam Transitioning to a Circular Economy in Developing Asia. Tokyo: Asian Development Bank Institute.

Ghisellini, P., Cialani, C., & Ulgiati, S. (2016). A review on circular economy. Journal of Cleaner Production, 114, 11–32.

Geyer, R., Jambeck, J. R., & Law, K. L. (2017). Production, use, and fate of all plastics ever made. Science Advances, 3(7), e1700782.

IEA Bioenergy. (2018). Waste-to-energy and circular economy. Paris: International Energy Agency.

Wilson, D. C., Velis, C. A., & Cheeseman, C. (2006). Role of informal sector recycling in waste management. Habitat International, 30(4), 797–808.

Selengkapnya
Waste-to-Energy di Bangladesh: Antara Janji Circular Economy dan Dilema Kebijakan Energi

Ekonomi Hijau

Membiayai Circular Economy: Pelajaran Investasi dari Kasus Turki

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 23 Desember 2025


1. Pendahuluan: Ketika Circular Economy Bergantung pada Akses Pembiayaan

Dalam bab yang ditulis oleh Emine Eda Ünal, circular economy dipahami bukan hanya sebagai tantangan teknologi atau perubahan perilaku, tetapi sebagai persoalan pembiayaan dan kelayakan investasi. Perspektif ini penting karena banyak diskusi circular economy berhenti pada level konsep dan kebijakan, sementara pertanyaan paling menentukan bagi pelaku usaha dan lembaga keuangan justru berkaitan dengan risiko, arus kas, dan kepastian pengembalian investasi.

Turki diposisikan sebagai studi kasus yang relevan karena berada di persimpangan antara tekanan pertumbuhan ekonomi dan agenda keberlanjutan. Sebagai negara dengan laju pertumbuhan tinggi di antara ekonomi berkembang, Turki menghadapi kebutuhan material dan energi yang terus meningkat. Dalam kondisi seperti ini, circular economy menawarkan janji untuk memisahkan pertumbuhan ekonomi dari eksploitasi sumber daya. Namun, janji tersebut hanya dapat diwujudkan jika proyek-proyek sirkular mampu menembus logika pembiayaan konvensional.

Pendahuluan bab ini menekankan bahwa salah satu hambatan terbesar circular economy di negara berkembang adalah kesenjangan antara potensi ekonomi dan persepsi risiko. Banyak inisiatif circular economy dinilai menarik dari sisi lingkungan, tetapi dipandang belum matang secara finansial. Ketidakpastian pasokan limbah, fluktuasi harga material daur ulang, serta ketergantungan pada kebijakan publik membuat lembaga keuangan bersikap hati-hati.

Dengan memilih fokus pada pembiayaan, bab ini menggeser diskusi circular economy dari “apa yang seharusnya dilakukan” ke “apa yang benar-benar bisa didanai”. Analisis ini relevan bukan hanya bagi Turki, tetapi juga bagi negara berkembang lain yang ingin mempercepat transisi sirkular tanpa mengorbankan stabilitas sistem keuangan.

 

2. Circular Economy dan Ekonomi Berkembang: Tekanan Pertumbuhan sebagai Pedang Bermata Dua

Bab ini menempatkan circular economy dalam konteks ekonomi berkembang yang ditandai oleh tekanan pertumbuhan tinggi. Pertumbuhan dipandang sebagai kebutuhan politik dan sosial untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah, tetapi sekaligus menjadi sumber peningkatan konsumsi material dan energi. Dalam kerangka ekonomi linear, tekanan ini berujung pada percepatan degradasi lingkungan dan ketergantungan pada sumber daya primer.

Penulis menekankan bahwa circular economy di ekonomi berkembang tidak dapat disalin mentah dari pengalaman negara maju. Di banyak negara maju, circular economy dibangun di atas infrastruktur matang dan pasar sekunder yang relatif stabil. Sebaliknya, di ekonomi berkembang seperti Turki, circular economy harus berjalan berdampingan dengan pembangunan infrastruktur dasar dan ekspansi industri. Hal ini menciptakan tantangan ganda: membiayai pertumbuhan sekaligus membiayai transformasi.

Dari sudut pandang pembiayaan, tekanan pertumbuhan ini bersifat ambigu. Di satu sisi, meningkatnya permintaan material membuka peluang pasar bagi daur ulang dan pemulihan sumber daya. Di sisi lain, ketergantungan pada bahan baku impor dan fluktuasi pasar global meningkatkan risiko bagi proyek circular economy. Bank dan investor perlu memastikan bahwa proyek sirkular memiliki jaminan pasokan input dan permintaan output agar layak secara finansial.

Bab ini juga menunjukkan bahwa motivasi utama pelaku usaha dalam mengadopsi circular economy sering kali bersifat ekonomis, bukan ekologis. Efisiensi sumber daya, pengurangan biaya, dan stabilitas pasokan menjadi pendorong utama. Temuan ini penting karena menegaskan bahwa circular economy dapat selaras dengan logika bisnis, asalkan kerangka pembiayaan dan kebijakan mampu mengurangi risiko awal.

Section ini memperlihatkan bahwa di ekonomi berkembang, circular economy bukan alternatif terhadap pertumbuhan, melainkan strategi untuk mengelola konsekuensi pertumbuhan. Namun, strategi ini hanya akan berhasil jika didukung oleh mekanisme pembiayaan yang memahami dinamika risiko dan peluang dalam konteks lokal.

 

3. Tantangan Pembiayaan Proyek Circular Economy: Risiko, Skala, dan Kepastian Arus Kas

Dalam analisis Emine Eda Ünal, tantangan pembiayaan circular economy di Turki terutama berpusat pada profil risiko proyek. Banyak inisiatif sirkular—seperti daur ulang material bernilai rendah, pemulihan energi, atau model bisnis berbasis penggunaan ulang—memiliki arus kas yang belum stabil. Ketidakpastian pasokan limbah, volatilitas harga material daur ulang, serta ketergantungan pada kebijakan publik (insentif, standar, EPR) membuat lembaga keuangan konvensional berhati-hati.

Masalah skala juga krusial. Proyek sirkular sering dimulai pada skala kecil untuk menguji kelayakan teknis dan pasar. Namun, skala kecil ini justru menyulitkan pembiayaan karena biaya transaksi relatif tinggi dan dampak finansial terbatas. Tanpa mekanisme aggregation atau blended finance, proyek-proyek ini sulit naik kelas dari pilot menjadi portofolio yang menarik bagi investor institusional.

Ünal menyoroti kepastian arus kas sebagai prasyarat utama. Bank membutuhkan kontrak jangka panjang—baik untuk pasokan input (limbah) maupun penyerapan output (material/energi)—agar risiko dapat dimitigasi. Tanpa offtake agreement atau jaminan permintaan, proyek circular economy dipersepsikan lebih berisiko dibanding proyek infrastruktur konvensional.

Di sisi lain, terdapat tantangan asimetri informasi. Banyak pelaku usaha sirkular memiliki kapasitas teknis yang baik tetapi kurang mampu menyajikan bankable project documentation. Ketidaklengkapan data kinerja, proyeksi keuangan yang lemah, dan kurangnya rekam jejak membuat proyek gagal menembus proses due diligence. Bab ini menekankan bahwa peningkatan kapasitas pengembang proyek sama pentingnya dengan inovasi teknologi.

Section ini menyimpulkan bahwa hambatan pembiayaan bukan sekadar kekurangan modal, melainkan ketidakselarasan antara karakter proyek sirkular dan kriteria pembiayaan konvensional. Menutup kesenjangan ini membutuhkan inovasi keuangan dan peran aktif lembaga publik.

 

4. Peran Bank Pembangunan dan Studi Kasus Investasi di Turki

Menanggapi tantangan tersebut, Ünal menempatkan bank pembangunan dan lembaga keuangan publik sebagai aktor kunci dalam mempercepat pembiayaan circular economy. Peran utama mereka bukan menggantikan pembiayaan swasta, melainkan menurunkan risiko awal dan membuka jalan bagi partisipasi pasar yang lebih luas.

Di Turki, pendekatan yang menonjol adalah penggunaan instrumen pembiayaan campuran (blended finance), di mana dana publik, pinjaman lunak, dan jaminan risiko digunakan untuk meningkatkan kelayakan proyek. Skema ini memungkinkan proyek sirkular mencapai struktur risiko yang dapat diterima oleh bank komersial. Dengan demikian, pembiayaan publik berfungsi sebagai katalis, bukan sumber dana permanen.

Bab ini juga mengulas beberapa kasus investasi yang menunjukkan bagaimana proyek circular economy dapat menjadi bankable ketika desain keuangannya tepat. Proyek yang berhasil umumnya memiliki tiga ciri: (1) integrasi vertikal yang mengamankan pasokan input, (2) kontrak jangka panjang untuk output, dan (3) dukungan kebijakan yang konsisten. Kombinasi ini menciptakan visibilitas arus kas yang dibutuhkan oleh pemberi pinjaman.

Selain pembiayaan langsung, bank pembangunan berperan dalam standardisasi dan pembelajaran pasar. Dengan mendukung proyek percontohan dan mendokumentasikan kinerja finansialnya, lembaga publik membantu mengurangi ketidakpastian bagi investor berikutnya. Efek demonstrasi ini penting untuk memperluas pasar pembiayaan circular economy.

Section ini menegaskan bahwa transisi sirkular membutuhkan arsitektur pembiayaan yang adaptif. Tanpa keterlibatan bank pembangunan dan instrumen mitigasi risiko, banyak proyek circular economy akan tetap terjebak pada tahap pilot. Dengan dukungan yang tepat, proyek-proyek tersebut dapat berkembang menjadi portofolio investasi yang berkelanjutan secara finansial dan berdampak secara lingkungan.

 

5. Implikasi Kebijakan: Merancang Ekosistem Pembiayaan Circular Economy

Berdasarkan analisis Emine Eda Ünal, implikasi kebijakan utama terletak pada kemampuan negara membangun ekosistem pembiayaan yang selaras dengan karakter proyek circular economy. Kebijakan tidak cukup berhenti pada insentif umum atau komitmen keberlanjutan; ia perlu menjawab hambatan spesifik yang membuat proyek sirkular sulit dibiayai oleh perbankan konvensional.

Implikasi pertama adalah pentingnya mitigasi risiko awal. Instrumen seperti jaminan kredit, pembiayaan campuran, dan dukungan teknis pra-investasi dapat menurunkan risiko yang dipersepsikan investor. Dengan mengurangi ketidakpastian pada tahap awal, kebijakan publik membantu proyek sirkular mencapai profil risiko yang dapat diterima pasar.

Implikasi kedua berkaitan dengan penguatan kesiapan proyek (project readiness). Banyak inisiatif circular economy gagal memperoleh pembiayaan bukan karena tidak layak, tetapi karena tidak disajikan dalam format yang bankable. Program pendampingan untuk perencanaan keuangan, pengukuran kinerja, dan struktur kontrak jangka panjang menjadi krusial untuk menjembatani kesenjangan antara inovasi teknis dan persyaratan pembiayaan.

Implikasi ketiga adalah koherensi kebijakan lintas sektor. Pembiayaan circular economy sangat sensitif terhadap sinyal kebijakan jangka panjang—misalnya standar material, EPR, atau kebijakan pengadaan publik. Ketika kebijakan berubah-ubah, risiko meningkat dan biaya modal ikut naik. Ünal menekankan bahwa stabilitas kebijakan sering kali lebih penting daripada besarnya insentif.

Section ini menegaskan bahwa pembiayaan circular economy bukan sekadar urusan sektor keuangan. Ia merupakan hasil dari interaksi kebijakan industri, lingkungan, dan keuangan. Tanpa penyelarasan ini, proyek sirkular akan terus dipersepsikan sebagai niche berisiko tinggi, bukan sebagai bagian arus utama pembangunan ekonomi.

 

6. Kesimpulan: Pembiayaan sebagai Penentu Kecepatan Transisi Sirkular

Artikel ini menunjukkan bahwa circular economy di negara berkembang seperti Turki sangat ditentukan oleh kemampuan mengakses dan mengelola pembiayaan. Seperti ditunjukkan oleh Emine Eda Ünal, tantangan utama bukan terletak pada ketiadaan peluang ekonomi, melainkan pada kesenjangan antara potensi tersebut dan mekanisme pembiayaan yang tersedia.

Circular economy menawarkan manfaat lingkungan dan efisiensi sumber daya, tetapi manfaat tersebut tidak otomatis diterjemahkan menjadi kelayakan finansial. Tanpa desain pembiayaan yang tepat, proyek sirkular akan tertahan pada skala kecil dan fase percontohan. Di sinilah peran bank pembangunan, pembiayaan campuran, dan kebijakan mitigasi risiko menjadi penentu.

Pelajaran kunci dari kasus Turki adalah bahwa pembiayaan bukan faktor pendukung semata, melainkan pengungkit utama transisi sirkular. Ketika pembiayaan dirancang secara kontekstual—memahami risiko, skala, dan dinamika pasar lokal—circular economy dapat bergerak dari wacana kebijakan menjadi realitas investasi.

Pada akhirnya, keberhasilan circular economy di ekonomi berkembang tidak hanya diukur dari seberapa inovatif teknologinya atau seberapa ambisius kebijakannya, tetapi dari seberapa cepat dan luas proyek-proyek sirkular dapat dibiayai dan direplikasi. Dalam kerangka ini, pembiayaan bukan sekadar alat, melainkan medan utama di mana masa depan circular economy ditentukan.

 

Daftar Pustaka

Ünal, E. E. (2022). Circular economy financing: Investment cases from Turkey. Dalam Transitioning to a Circular Economy in Developing Asia. Tokyo: Asian Development Bank Institute.

Ellen MacArthur Foundation. (2015). Towards a circular economy: Business rationale for an accelerated transition. Cowes: EMF.

Ghisellini, P., Cialani, C., & Ulgiati, S. (2016). A review on circular economy. Journal of Cleaner Production, 114, 11–32.

OECD. (2020). Financing climate futures: Rethinking infrastructure. Paris: OECD Publishing.

Schandl, H., Fischer-Kowalski, M., West, J., et al. (2016). Global material flows and resource productivity. Journal of Industrial Ecology, 20(4), 827–838.

Selengkapnya
Membiayai Circular Economy: Pelajaran Investasi dari Kasus Turki

Ekonomi Hijau

Extended Producer Responsibility dan Masa Depan Circular Economy Plastik di Asia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 23 Desember 2025


1. Pendahuluan: EPR sebagai Instrumen Kunci Circular Economy Plastik

Dalam bab yang ditulis oleh Anurodh Sachdeva dan Arpit Srivastava, extended producer responsibility (EPR) diposisikan sebagai salah satu instrumen kebijakan paling strategis untuk mewujudkan circular economy plastik di Asia. Berbeda dengan pendekatan pengelolaan sampah konvensional yang menempatkan beban utama pada pemerintah daerah dan pembayar pajak, EPR berangkat dari prinsip polluter pays: produsen bertanggung jawab atas dampak produk mereka hingga tahap akhir siklus hidup.

Pendekatan ini menjadi semakin relevan di Asia, di mana pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan, dan ekspansi konsumsi telah mendorong lonjakan produksi limbah plastik. Penulis menekankan bahwa persoalan plastik di kawasan ini bukan sekadar isu volume, tetapi juga isu ketidakmampuan sistem linear menyerap dampak eksternal dari konsumsi massal. Ketika biaya lingkungan tidak tercermin dalam harga produk, plastik sekali pakai menjadi pilihan rasional secara ekonomi, meskipun merusak secara ekologis.

EPR kemudian dipahami bukan hanya sebagai mekanisme pembiayaan pengelolaan limbah, tetapi sebagai alat koreksi struktural. Dengan memindahkan sebagian tanggung jawab dan biaya ke produsen, EPR berpotensi mengubah desain produk, mendorong penggunaan material yang lebih mudah didaur ulang, serta mempercepat pembentukan pasar material sekunder. Dalam kerangka circular economy, EPR berfungsi sebagai jembatan antara fase desain, produksi, dan pascakonsumsi.

Namun, sejak awal bab ini juga bersikap realistis. Penulis menegaskan bahwa keberhasilan EPR tidak bersifat otomatis. Meskipun banyak negara telah mengadopsi atau mendiskusikan skema EPR, hasilnya sangat bervariasi. Perbedaan konteks kelembagaan, kapasitas administrasi, dan struktur pasar membuat EPR di Asia menghadapi tantangan yang berbeda dibandingkan negara maju. Pendahuluan ini menyiapkan argumen utama: EPR adalah instrumen yang kuat, tetapi hanya efektif jika dirancang dan diimplementasikan secara kontekstual.

 

2. Prinsip Dasar dan Model EPR: Pelajaran Awal bagi Asia

Untuk membangun fondasi analitis, bab ini menguraikan prinsip-prinsip dasar EPR yang telah berkembang secara internasional. Salah satu pembeda utama antar skema EPR adalah pembagian tanggung jawab finansial dan operasional antara produsen dan pemerintah. Dalam beberapa model, produsen hanya menanggung biaya (financial responsibility), sementara operasional pengelolaan limbah tetap dijalankan oleh pemerintah daerah. Dalam model lain, produsen—melalui organisasi khusus—juga mengambil alih sebagian atau seluruh operasi.

Di sinilah konsep producer responsibility organization (PRO) menjadi sentral. PRO berfungsi sebagai entitas kolektif yang mewakili produsen dalam memenuhi kewajiban EPR, mulai dari pengumpulan dana, koordinasi pengelolaan limbah, hingga pelaporan kepatuhan. Penulis menekankan bahwa keberadaan PRO bukan sekadar solusi administratif, melainkan mekanisme untuk mencapai skala ekonomi dan konsistensi sistem.

Bab ini juga menyoroti prinsip full cost coverage, yaitu bahwa kontribusi produsen seharusnya mencerminkan seluruh biaya pengelolaan limbah—termasuk pengumpulan, pemilahan, pengolahan, administrasi, data, dan edukasi publik—dikurangi nilai material yang dapat dipulihkan. Prinsip ini penting untuk mencegah skema EPR yang secara nominal ada, tetapi secara substantif tidak mampu mendanai sistem yang memadai.

Bagi konteks Asia, penulis mengingatkan bahwa adopsi model EPR dari Eropa tidak dapat dilakukan secara mentah. Banyak negara di Asia menghadapi tingkat pemilahan yang rendah, infrastruktur yang terbatas, dan peran sektor informal yang dominan. Dalam kondisi seperti ini, EPR yang hanya berfokus pada kepatuhan produsen berisiko gagal mencapai tujuan circular economy. Justru sebaliknya, EPR perlu dirancang sebagai mekanisme integratif yang mampu bekerja dengan sistem yang sudah ada, bukan menggantikannya secara abrupt.

Section ini menegaskan bahwa EPR bukan satu model tunggal, melainkan spektrum pendekatan. Tantangan utama bagi Asia bukan memilih “model terbaik” secara abstrak, tetapi menyelaraskan prinsip EPR dengan realitas ekonomi, sosial, dan kelembagaan di masing-masing negara. Dari titik inilah bab ini kemudian bergerak ke pertanyaan implementasi yang lebih konkret.

 

3. Tantangan Implementasi EPR di Asia: Kapasitas, Kepatuhan, dan Fragmentasi Pasar

Dalam pembahasan implementasi, Sachdeva dan Srivastava menekankan bahwa tantangan utama EPR di Asia bukan pada ketiadaan kerangka normatif, melainkan pada kapasitas dan kepatuhan. Banyak negara telah mengadopsi prinsip EPR, tetapi pelaksanaannya terhambat oleh lemahnya sistem registrasi produsen, keterbatasan data pasar, serta mekanisme penegakan yang belum konsisten. Tanpa basis data produsen yang andal, kewajiban EPR sulit ditegakkan secara adil.

Masalah kepatuhan semakin kompleks dalam struktur pasar Asia yang terfragmentasi. Sektor plastik didominasi oleh kombinasi perusahaan besar, usaha kecil-menengah, dan produsen informal. Skema EPR yang dirancang dengan asumsi struktur pasar formal cenderung mengabaikan aktor kecil dan informal, menciptakan free-rider problem. Akibatnya, beban biaya EPR jatuh tidak proporsional pada segmen tertentu, sementara bagian pasar lain luput dari kewajiban.

Tantangan berikutnya adalah koordinasi lintas tingkat pemerintahan. EPR sering kali dirumuskan di tingkat nasional, tetapi operasional pengelolaan limbah berada di tingkat lokal. Ketidaksinkronan tujuan, standar layanan, dan pembiayaan antara pusat dan daerah menghambat efektivitas EPR. Dalam praktik, kontribusi produsen tidak selalu diterjemahkan menjadi peningkatan layanan pengumpulan dan pemilahan di lapangan.

Bab ini juga menyoroti risiko kepatuhan administratif tanpa dampak sirkular. Dalam beberapa kasus, produsen memenuhi kewajiban pelaporan dan pembayaran, tetapi sistem pengelolaan limbah tidak mengalami perbaikan signifikan. Hal ini terjadi ketika target EPR terlalu fokus pada kuantitas pengumpulan tanpa mengaitkannya dengan kualitas material, desain produk, atau pencegahan limbah. EPR pun berpotensi menjadi mekanisme pembiayaan pasif, bukan pendorong circular economy.

Section ini menegaskan bahwa EPR di Asia harus dipahami sebagai reformasi kelembagaan, bukan sekadar instrumen regulasi. Tanpa penguatan kapasitas, basis data yang solid, dan penegakan yang konsisten, EPR akan sulit mencapai tujuan transformasionalnya.

 

4. Sektor Informal dan Desain PRO: Dari Ketegangan ke Integrasi Sistemik

Isu yang paling sensitif dalam implementasi EPR di Asia adalah peran sektor informal. Di banyak negara, pengumpulan dan pemulihan plastik sangat bergantung pada pemulung, pengepul kecil, dan jaringan informal yang telah beroperasi lama sebelum kebijakan EPR diperkenalkan. Sachdeva dan Srivastava menekankan bahwa mengabaikan aktor-aktor ini bukan hanya tidak realistis, tetapi juga kontraproduktif.

Pendekatan EPR yang berupaya menggantikan sektor informal dengan sistem formal secara cepat sering kali gagal. Selain mahal, pendekatan ini berisiko merusak mata pencaharian dan menurunkan tingkat pengumpulan material. Sebaliknya, bab ini mendorong integrasi bertahap, di mana sektor informal diakui, distandarkan secara minimum, dan dihubungkan dengan sistem EPR melalui insentif dan kontrak yang adil.

Dalam konteks ini, desain producer responsibility organization (PRO) menjadi sangat menentukan. PRO tidak hanya berfungsi sebagai pengumpul dana, tetapi juga sebagai koordinator ekosistem—menjembatani produsen, pemerintah daerah, operator formal, dan sektor informal. PRO yang dirancang dengan sensitivitas konteks dapat membantu meningkatkan kualitas material, transparansi aliran dana, dan akuntabilitas kinerja.

Bab ini menekankan pentingnya fleksibilitas desain PRO. Di negara dengan dominasi sektor informal, PRO perlu berinvestasi pada peningkatan kapasitas, keselamatan kerja, dan sistem insentif berbasis kinerja. Di negara dengan pasar yang lebih formal, fokus dapat diarahkan pada inovasi desain produk dan pengembangan pasar material sekunder. Pendekatan satu model untuk semua dipandang tidak sesuai dengan keragaman konteks Asia.

Section ini memperjelas bahwa keberhasilan EPR sangat bergantung pada kemampuannya mengakomodasi realitas sosial-ekonomi. Integrasi sektor informal dan desain PRO yang kontekstual bukan kompromi terhadap prinsip EPR, melainkan syarat agar EPR benar-benar berfungsi sebagai pengungkit circular economy plastik.

 

 

5. Implikasi Kebijakan: Menjadikan EPR sebagai Pengungkit Circular Economy

Berdasarkan analisis Sachdeva dan Srivastava, implikasi kebijakan EPR di Asia perlu diarahkan pada perubahan struktur insentif, bukan sekadar kepatuhan administratif. EPR akan efektif hanya jika ia memengaruhi keputusan inti produsen—mulai dari desain produk, pilihan material, hingga strategi pasar. Karena itu, kebijakan EPR perlu mengaitkan kewajiban finansial dengan kinerja sirkular yang terukur, seperti kemudahan daur ulang, pengurangan resin bermasalah, dan peningkatan penggunaan material daur ulang.

Implikasi pertama adalah penajaman target EPR. Target berbasis kuantitas pengumpulan saja berisiko mendorong praktik bernilai rendah. Target perlu dilengkapi dengan indikator kualitas material dan pencegahan limbah. Dengan demikian, EPR tidak hanya membiayai pengelolaan sampah, tetapi juga mendorong perubahan desain di hulu.

Implikasi kedua adalah penguatan tata kelola dan transparansi. Sistem EPR memerlukan data yang andal tentang produsen, volume pasar, aliran material, dan kinerja pengelolaan limbah. Tanpa transparansi, EPR rawan free-rider dan sulit dievaluasi dampaknya. Penulis menekankan pentingnya pelaporan terstandar dan audit independen untuk menjaga kredibilitas sistem.

Implikasi ketiga menyangkut koordinasi pusat–daerah. Dana EPR harus terhubung secara jelas dengan peningkatan layanan di tingkat lokal—pengumpulan, pemilahan, dan keselamatan kerja. Tanpa mekanisme penyaluran yang efektif, EPR berisiko terputus dari kebutuhan lapangan dan kehilangan legitimasi publik.

Terakhir, kebijakan EPR perlu inklusif terhadap sektor informal. Integrasi bertahap melalui standar minimum, kontrak yang adil, dan insentif berbasis kinerja memungkinkan peningkatan kualitas material sekaligus menjaga mata pencaharian. Pendekatan ini menempatkan EPR sebagai instrumen transformasi yang sensitif terhadap konteks sosial-ekonomi Asia.

 

6. Kesimpulan: EPR sebagai Ujian Kedewasaan Circular Economy di Asia

Artikel ini menegaskan bahwa EPR merupakan salah satu instrumen paling potensial untuk mendorong circular economy plastik di Asia—namun juga salah satu yang paling menuntut dari sisi desain dan implementasi. Seperti ditunjukkan oleh Sachdeva dan Srivastava, EPR tidak akan bekerja jika diperlakukan sebagai kewajiban administratif semata. Ia menuntut reformasi kelembagaan, konsistensi penegakan, dan integrasi lintas aktor.

Pelajaran kunci dari pembahasan ini adalah bahwa konteks menentukan efektivitas. Keragaman struktur pasar, kapasitas institusional, dan peran sektor informal membuat pendekatan seragam tidak memadai. EPR harus dirancang fleksibel, bertahap, dan berorientasi hasil—dengan fokus pada kualitas sirkular, bukan sekadar volume.

Pada akhirnya, EPR adalah ujian kedewasaan kebijakan circular economy. Ia menguji kemampuan negara untuk menyelaraskan prinsip polluter pays dengan realitas ekonomi dan sosial. Keberhasilan EPR tidak diukur dari banyaknya regulasi yang diterbitkan, melainkan dari kemampuannya mengurangi kebocoran plastik, meningkatkan nilai material, dan mendorong perubahan desain yang berkelanjutan.

Jika EPR dirancang dan dijalankan dengan pendekatan integratif, ia dapat menjadi pengungkit utama transisi dari ekonomi linear menuju ekonomi sirkular plastik di Asia. Jika tidak, EPR berisiko menjadi lapisan kebijakan tambahan—ada secara formal, tetapi terbatas dampaknya secara sistemik.

 

Daftar Pustaka

Sachdeva, A., & Srivastava, A. (2022). Extended producer responsibility: Lessons for realizing and implementing a circular economy for plastics in Asia. Dalam Transitioning to a Circular Economy in Developing Asia. Tokyo: Asian Development Bank Institute.

Ellen MacArthur Foundation. (2016). The new plastics economy: Rethinking the future of plastics. Cowes: EMF.

Geyer, R., Jambeck, J. R., & Law, K. L. (2017). Production, use, and fate of all plastics ever made. Science Advances, 3(7), e1700782.

Hopewell, J., Dvorak, R., & Kosior, E. (2009). Plastics recycling: Challenges and opportunities. Philosophical Transactions of the Royal Society B, 364(1526), 2115–2126.

Schandl, H., Fischer-Kowalski, M., West, J., et al. (2016). Global material flows and resource productivity. Journal of Industrial Ecology, 20(4), 827–838.

 

Selengkapnya
Extended Producer Responsibility dan Masa Depan Circular Economy Plastik di Asia

Ekonomi Hijau

Menutup “Circularity Gaps” Plastik Global: Dari Visi Kolektif ke Tantangan Implementasi Nyata

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 23 Desember 2025


1. Pendahuluan: Circular Economy Plastik dan Masalah Kesenjangan Sistemik

Bab yang ditulis oleh Nicholas Kolesch, Steve Sikra, dan Martyn Tickner berangkat dari satu pengamatan kunci: meskipun circular economy telah menjadi visi global yang hampir disepakati bersama, realisasi di lapangan masih jauh dari memadai. Plastik menjadi contoh paling jelas dari paradoks ini. Di satu sisi, plastik adalah material dengan nilai ekonomi tinggi dan potensi sirkularitas besar; di sisi lain, sebagian besar plastik justru berakhir sebagai limbah yang bocor ke lingkungan dan laut.

Penulis menempatkan persoalan plastik bukan sebagai kegagalan niat, melainkan sebagai kegagalan sistem kolektif. Tingkat daur ulang global yang rendah, kebocoran plastik ke ekosistem, dan ketergantungan berkelanjutan pada plastik perawan menunjukkan bahwa circular economy plastik belum berfungsi sebagai sistem yang utuh. Alih-alih menutup siklus material, sistem yang ada saat ini justru memperlihatkan serangkaian celah struktural—yang oleh penulis disebut sebagai circularity gaps.

Pendekatan ini penting karena menggeser fokus dari solusi tunggal ke diagnosis multi-dimensi. Circular economy plastik tidak runtuh karena satu titik lemah, melainkan karena kombinasi kegagalan di sepanjang rantai nilai: mulai dari desain produk, pengumpulan limbah, kualitas material daur ulang, hingga keselarasan antaraktor. Dengan kata lain, masalah utama bukan terletak pada kurangnya teknologi atau komitmen, tetapi pada ketidaksinambungan antarbagian sistem.

Pendahuluan bab ini juga menekankan bahwa Asia memegang peran sentral dalam krisis plastik global. Urbanisasi cepat, pertumbuhan konsumsi, dan keterbatasan infrastruktur pengelolaan limbah menjadikan kawasan ini titik kritis bagi keberhasilan atau kegagalan circular economy plastik. Dalam konteks inilah penulis mengajukan argumen bahwa menutup kesenjangan sirkularitas bukan sekadar agenda lingkungan, melainkan agenda pembangunan, investasi, dan tata kelola lintas sektor.

 

2. Enam Circularity Gaps: Kerangka Diagnostik untuk Ekonomi Plastik Sirkular

Kontribusi utama bab ini terletak pada perumusan enam circularity gaps yang secara sistematis menjelaskan mengapa circular economy plastik sulit diwujudkan. Kerangka ini tidak dimaksudkan sebagai daftar masalah terpisah, melainkan sebagai peta hubungan sebab-akibat dalam sistem ekonomi plastik global.

Quantity Gap menggambarkan kegagalan paling dasar: jumlah plastik bekas yang berhasil dikumpulkan jauh lebih kecil dibandingkan plastik yang diproduksi dan dikonsumsi. Tanpa sistem pengumpulan dan pemilahan yang memadai, plastik tidak pernah memasuki siklus sirkular. Dalam banyak konteks negara berkembang, gap ini berkaitan langsung dengan ketiadaan layanan dasar dan dominasi praktik pembuangan terbuka.

Quality Gap muncul ketika plastik yang dikumpulkan tidak memenuhi standar untuk digunakan kembali dalam aplikasi bernilai tinggi. Kontaminasi, pencampuran resin, dan degradasi material membuat plastik daur ulang kalah bersaing dengan plastik perawan. Penulis menekankan bahwa tanpa peningkatan kualitas, circular economy akan terjebak pada daur ulang bernilai rendah (downcycling).

Design Gap menyoroti akar masalah yang sering diabaikan: banyak produk plastik sejak awal tidak dirancang untuk sirkularitas. Fokus pada kenyamanan, diferensiasi merek, dan biaya rendah menghasilkan kemasan dan produk yang sulit didaur ulang. Dalam kerangka ini, circular economy gagal bukan di akhir siklus, tetapi sejak tahap desain.

Affordability Gap mengacu pada ketidakseimbangan ekonomi antara biaya pengelolaan limbah dan nilai material yang dihasilkan. Ketika biaya pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang lebih tinggi daripada nilai pasar plastik daur ulang, sistem sirkular menjadi tidak berkelanjutan secara finansial tanpa dukungan tambahan.

Data Gap mencerminkan lemahnya basis informasi. Tanpa data yang konsisten tentang aliran plastik, lokasi kebocoran, dan kinerja intervensi, pengambilan keputusan menjadi spekulatif. Penulis menegaskan bahwa circular economy memerlukan data sebagai infrastruktur strategis, bukan sekadar pelengkap.

Terakhir, Alignment Gap menyoroti perbedaan kepentingan, prioritas, dan persepsi antaraktor—pemerintah, sektor swasta, investor, dan masyarakat. Tanpa keselarasan tujuan dan pembagian peran yang jelas, upaya sirkular terfragmentasi dan kehilangan skala dampak.

Section ini menunjukkan bahwa circular economy plastik tidak dapat dibangun melalui satu intervensi unggulan. Menutup satu gap tanpa memperhatikan gap lain justru menciptakan bottleneck baru. Dengan demikian, kerangka enam circularity gaps berfungsi sebagai alat analisis sekaligus panduan strategis untuk memahami kompleksitas transisi menuju ekonomi plastik yang benar-benar sirkular.

 

3. Menutup Quantity dan Quality Gap: Dari Infrastruktur Dasar ke Nilai Material

Dalam bab ini, penulis menegaskan bahwa dua kesenjangan paling mendasar—Quantity Gap dan Quality Gap—harus ditangani secara bersamaan. Upaya meningkatkan tingkat pengumpulan tanpa memperbaiki kualitas material hanya akan memperbesar volume plastik bernilai rendah. Sebaliknya, fokus pada kualitas tanpa memperluas pengumpulan akan membatasi skala dampak. Oleh karena itu, strategi yang efektif harus memadukan investasi infrastruktur dengan perbaikan desain sistem.

Untuk menutup Quantity Gap, prioritas utama adalah memperluas dan menstabilkan sistem pengumpulan. Di banyak konteks perkotaan Asia, layanan pengumpulan formal belum menjangkau seluruh wilayah, sehingga kebocoran plastik ke lingkungan terjadi sebelum material memiliki peluang untuk masuk ke rantai daur ulang. Penulis menekankan bahwa solusi tidak selalu harus berteknologi tinggi; penguatan layanan dasar, skema insentif pengembalian, dan integrasi sektor informal dapat meningkatkan volume material yang terkumpul secara signifikan.

Namun, peningkatan kuantitas harus diiringi dengan intervensi yang menargetkan Quality Gap. Kualitas plastik daur ulang sangat dipengaruhi oleh pemilahan di sumber, konsistensi resin, dan pengendalian kontaminasi. Tanpa standar pemilahan yang jelas dan edukasi pengguna, material yang terkumpul akan sulit diproses menjadi input bernilai tinggi. Penulis menyoroti pentingnya standarisasi fraksi plastik dan penyederhanaan aliran material sebagai prasyarat untuk meningkatkan kualitas.

Pendekatan yang diusulkan menekankan nilai ekonomi sebagai pengungkit. Ketika kualitas material meningkat, nilai pasar plastik daur ulang ikut naik, sehingga menciptakan insentif bagi seluruh rantai nilai—dari pengumpul hingga produsen. Dalam kerangka ini, penutupan Quality Gap tidak hanya berdampak teknis, tetapi juga memperkuat kelayakan finansial sistem sirkular secara keseluruhan.

Section ini memperjelas bahwa Quantity dan Quality Gap membentuk hubungan umpan balik. Sistem pengumpulan yang andal meningkatkan pasokan, sementara kualitas yang lebih baik meningkatkan permintaan. Tanpa memutus lingkaran lemah ini, circular economy plastik akan terus terjebak pada daur ulang bernilai rendah dan skala terbatas.

 

4. Peran Desain dan Penyelarasan Aktor: Menutup Design dan Alignment Gap

Setelah membahas aspek hulu dan tengah sistem, bab ini menggeser fokus ke akar masalah yang lebih struktural: Design Gap dan Alignment Gap. Penulis menegaskan bahwa tanpa perubahan pada tahap desain dan penyelarasan antaraktor, intervensi di hilir hanya akan menghasilkan perbaikan marginal.

Design Gap mencerminkan fakta bahwa sebagian besar produk plastik tidak dirancang dengan mempertimbangkan akhir siklus hidupnya. Kompleksitas material, aditif, dan kemasan multi-lapis menciptakan hambatan besar bagi daur ulang. Penulis berargumen bahwa desain untuk sirkularitas harus menjadi norma, bukan pengecualian. Ini mencakup pengurangan variasi resin, penggunaan aditif yang kompatibel dengan daur ulang, dan transparansi informasi material.

Namun, perubahan desain tidak dapat dipaksakan pada produsen secara terisolasi. Di sinilah Alignment Gap menjadi krusial. Circular economy plastik melibatkan aktor dengan kepentingan yang berbeda—produsen mengejar efisiensi dan diferensiasi merek, pemerintah mengejar pengurangan polusi, investor mengejar kepastian pengembalian, dan masyarakat mengejar kenyamanan. Tanpa mekanisme penyelarasan, setiap aktor akan mengoptimalkan kepentingannya sendiri, sering kali dengan mengorbankan tujuan kolektif.

Penulis menekankan pentingnya kerangka kolaboratif yang jelas: pembagian peran, insentif yang konsisten, dan target bersama yang terukur. Skema seperti tanggung jawab produsen yang diperluas, komitmen sukarela industri, dan platform kolaborasi lintas sektor dipandang sebagai alat untuk menyelaraskan kepentingan tersebut. Namun, efektivitasnya bergantung pada konsistensi kebijakan dan penegakan yang kredibel.

Section ini menunjukkan bahwa Design dan Alignment Gap bersifat saling memperkuat. Tanpa desain yang sirkular, penyelarasan aktor kehilangan objek konkret. Tanpa penyelarasan, inovasi desain sulit diadopsi secara luas. Dengan demikian, menutup kedua gap ini menuntut pendekatan sistemik yang melampaui solusi teknis semata dan masuk ke ranah tata kelola serta koordinasi kolektif.

 

5. Affordability dan Data Gap: Ketika Circular Economy Tidak Masuk Akal Secara Ekonomi

Setelah membahas persoalan fisik dan koordinasi, bab yang ditulis Nicholas Kolesch, Steve Sikra, dan Martyn Tickner menyoroti dua kesenjangan yang sering menjadi deal breaker dalam praktik: Affordability Gap dan Data Gap. Keduanya menentukan apakah circular economy plastik dapat bertahan sebagai sistem ekonomi, bukan sekadar proyek lingkungan.

Affordability Gap muncul ketika biaya pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang plastik lebih tinggi daripada nilai ekonomi material yang dihasilkan. Dalam kondisi pasar saat ini, plastik perawan masih sering lebih murah, lebih konsisten kualitasnya, dan lebih mudah diperoleh dibandingkan plastik daur ulang. Ketimpangan ini membuat circular economy bergantung pada subsidi, dukungan kebijakan, atau komitmen sukarela yang rapuh.

Penulis menekankan bahwa masalah ini bukan semata kegagalan pasar, melainkan refleksi dari struktur harga yang tidak memasukkan biaya lingkungan. Selama dampak eksternal plastik—polusi laut, kesehatan, degradasi ekosistem—tidak tercermin dalam harga, ekonomi linear akan terus memiliki keunggulan kompetitif. Dalam konteks ini, circular economy tidak kalah secara konsep, tetapi kalah dalam kalkulasi ekonomi jangka pendek.

Sementara itu, Data Gap memperparah masalah affordability. Tanpa data yang andal mengenai volume plastik, aliran material, tingkat kebocoran, dan kinerja intervensi, pengambilan keputusan menjadi berbasis asumsi. Penulis menekankan bahwa banyak kebijakan plastik dirancang dalam kondisi ketidakpastian tinggi, sehingga sulit menilai efektivitas atau menyesuaikan strategi secara adaptif.

Data, dalam kerangka ini, diposisikan sebagai infrastruktur strategis. Tanpa sistem data yang terintegrasi, circular economy kehilangan kemampuan untuk belajar, beradaptasi, dan menarik investasi. Investor dan pelaku usaha membutuhkan visibilitas risiko dan peluang, sementara pemerintah membutuhkan dasar empiris untuk merancang instrumen kebijakan yang tepat sasaran.

Section ini menegaskan bahwa circular economy plastik tidak akan berkelanjutan jika terus bergantung pada niat baik. Ia harus dibuat masuk akal secara ekonomi dan informasional, dengan struktur biaya dan data yang mendukung pengambilan keputusan rasional.

 

6. Kesimpulan: Dari Menutup Gap ke Membangun Sistem Sirkular yang Koheren

Artikel ini menunjukkan bahwa kegagalan circular economy plastik bukan disebabkan oleh kurangnya visi global, melainkan oleh serangkaian kesenjangan sistemik yang saling terkait. Melalui kerangka enam circularity gaps—quantity, quality, design, affordability, data, dan alignment—penulis menawarkan cara pandang yang lebih realistis dan operasional terhadap tantangan transisi sirkular.

Pelajaran utama yang dapat ditarik adalah bahwa circular economy plastik tidak dapat dibangun melalui satu solusi unggulan. Menutup satu gap tanpa memperhatikan gap lain hanya akan memindahkan bottleneck ke bagian sistem yang berbeda. Dengan demikian, circular economy menuntut pendekatan terintegrasi yang menyelaraskan desain produk, infrastruktur, insentif ekonomi, data, dan koordinasi aktor.

Bab ini juga menggeser narasi circular economy dari retorika ideal menuju agenda implementasi kolektif. Circular economy plastik bukan hanya persoalan teknologi atau perilaku konsumen, tetapi persoalan tata kelola dan struktur pasar. Keberhasilannya sangat bergantung pada kemampuan aktor publik dan swasta untuk menyepakati tujuan bersama dan membagi peran secara jelas.

Pada akhirnya, menutup circularity gaps berarti menerima bahwa circular economy adalah proses transisi yang kompleks, penuh kompromi, dan membutuhkan konsistensi kebijakan jangka panjang. Keberhasilan tidak diukur dari kesempurnaan sistem, melainkan dari kemampuannya mengurangi kebocoran, meningkatkan nilai material, dan secara bertahap menggeser ekonomi dari logika linear menuju logika sirkular yang koheren.

 

Daftar Pustaka

Kolesch, N., Sikra, S., & Tickner, M. (2022). Closing the “circularity gaps”: Practical strategies to address key challenges undermining the collective goal of a global circular economy of plastics. Dalam Transitioning to a Circular Economy in Developing Asia. Tokyo: Asian Development Bank Institute.

Geyer, R., Jambeck, J. R., & Law, K. L. (2017). Production, use, and fate of all plastics ever made. Science Advances, 3(7), e1700782.

Ellen MacArthur Foundation. (2016). The new plastics economy: Rethinking the future of plastics. Cowes: EMF.

Hopewell, J., Dvorak, R., & Kosior, E. (2009). Plastics recycling: Challenges and opportunities. Philosophical Transactions of the Royal Society B, 364(1526), 2115–2126.

Worm, B., Lotze, H. K., Jubinville, I., Wilcox, C., & Jambeck, J. (2017). Plastic as a persistent marine pollutant. Annual Review of Environment and Resources, 42, 1–26.

Selengkapnya
Menutup “Circularity Gaps” Plastik Global: Dari Visi Kolektif ke Tantangan Implementasi Nyata

Ekonomi Hijau

Membangun Circular Economy di Negara Berkembang: Pelajaran Struktural dari Viet Nam

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 23 Desember 2025


1. Pendahuluan: Circular Economy sebagai Agenda Transformasi Pembangunan

Dalam banyak literatur global, circular economy sering diposisikan sebagai agenda lanjutan negara maju—sebuah strategi untuk “memperbaiki” sistem produksi dan konsumsi yang telah mapan. Namun, pengalaman Viet Nam menunjukkan konteks yang berbeda. Bagi negara berkembang, circular economy bukan sekadar penyempurnaan teknis, melainkan alat untuk mengoreksi arah pembangunan yang sejak awal bertumpu pada eksploitasi sumber daya, tenaga kerja murah, dan pertumbuhan cepat.

Bab yang ditulis Nguyen, Lai, Pham, dan Nguyen menempatkan circular economy sebagai respons langsung terhadap paradoks pembangunan Viet Nam: keberhasilan ekonomi yang signifikan justru diiringi tekanan lingkungan yang semakin berat. Dalam tiga dekade pasca Đổi Mới, Viet Nam mencatat pertumbuhan PDB rata-rata sekitar 6,4% per tahun (2011–2020) dan peningkatan PDB per kapita lebih dari dua kali lipat. Namun, keberhasilan ini dibangun di atas konsumsi sumber daya yang intensif dan sistem pengelolaan limbah yang rapuh.

Pendahuluan bab ini menegaskan bahwa circular economy di Viet Nam tidak lahir dari idealisme global semata, tetapi dari kebutuhan domestik yang mendesak. Produksi limbah nasional mencapai sekitar 25,5 juta ton per tahun, dengan sekitar 75% masih ditimbun. Di kota-kota besar seperti Ha Noi dan Ho Chi Minh City, tempat pembuangan akhir telah melampaui kapasitas dan kualitas lingkungan—termasuk udara—mengalami degradasi serius. Dalam konteks ini, ekonomi linear tidak lagi sekadar tidak berkelanjutan, tetapi tidak lagi fungsional secara sosial.

Artikel ini berangkat dari tesis bahwa circular economy di Viet Nam harus dibaca sebagai proyek transformasi struktural yang berlapis: ekonomi, kelembagaan, dan budaya. Circular economy bukan hanya tentang daur ulang, tetapi tentang bagaimana negara berkembang menata ulang jalur pertumbuhannya agar tidak mengulang jebakan lingkungan negara industri. Dari titik inilah urgensi penyusunan road map nasional menjadi masuk akal—bukan sebagai dokumen simbolik, tetapi sebagai instrumen arah pembangunan jangka panjang

 

2. Motivasi Transisi: Pertumbuhan Ekonomi, Tekanan Demografis, dan Batas Lingkungan

Motivasi utama transisi ke circular economy di Viet Nam tidak dapat dilepaskan dari dinamika demografi dan struktur ekonomi. Bab ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat berjalan paralel dengan pertumbuhan penduduk dan urbanisasi. Proyeksi penduduk hingga 2049 memperlihatkan tekanan berkelanjutan terhadap kebutuhan perumahan, transportasi, pangan, energi, dan layanan publik—semuanya berdampak langsung pada konsumsi material dan produksi limbah.

Perubahan struktur ekonomi Viet Nam juga menjadi faktor penting. Kontribusi sektor industri dan jasa meningkat signifikan, sementara sektor pertanian menurun secara relatif. Transformasi ini meningkatkan intensitas energi dan material, sekaligus memperluas jenis limbah—dari limbah domestik hingga limbah industri dan elektronik. Dalam kerangka ekonomi linear, perubahan struktural ini mempercepat degradasi lingkungan dan meningkatkan biaya sosial yang harus ditanggung negara.

Bab ini menekankan bahwa circular economy dipandang sebagai mekanisme harmonisasi antara pertumbuhan dan perlindungan lingkungan. Definisi resmi dalam Undang-Undang Perlindungan Lingkungan 2020 menegaskan circular economy sebagai model yang mencakup desain, produksi, konsumsi, dan layanan dengan tujuan mengurangi ekstraksi bahan baku, memperpanjang umur produk, dan meminimalkan dampak lingkungan. Definisi ini penting karena memperluas circular economy melampaui isu limbah, menuju arsitektur sistem ekonomi secara keseluruhan.

Motivasi lainnya bersifat strategis-global. Viet Nam berkomitmen pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan menghadapi risiko tinggi terhadap perubahan iklim. Ketergantungan pada model pertumbuhan berbasis sumber daya membuat negara ini semakin rentan terhadap fluktuasi global dan kerusakan ekologis. Circular economy kemudian diposisikan sebagai cara untuk meningkatkan ketahanan ekonomi dan lingkungan secara simultan.

Namun, bab ini juga secara implisit mengingatkan bahwa motivasi normatif tidak otomatis menjamin keberhasilan implementasi. Tekanan pertumbuhan, keterbatasan teknologi, dan kapasitas institusional yang belum merata menciptakan ketegangan antara ambisi circular economy dan realitas lapangan. Di sinilah urgensi road map menjadi krusial: bukan untuk menjanjikan transisi instan, tetapi untuk menentukan prioritas dan tahapan yang realistis dalam konteks negara berkembang

 

3. Praktik Circular Economy yang Telah Ada: Dari Model Tradisional hingga Inisiatif Lokal

Salah satu kekuatan bab ini adalah penolakannya terhadap anggapan bahwa circular economy sepenuhnya merupakan konsep “impor” bagi Viet Nam. Penulis menunjukkan bahwa berbagai praktik yang sejalan dengan prinsip circular economy telah lama hidup dalam sistem ekonomi dan sosial lokal, meskipun tidak pernah diberi label formal sebagai circular economy.

Contoh paling sering dikutip adalah model VAC (Vườn–Ao–Chuồng)—integrasi kebun, kolam, dan peternakan—yang memanfaatkan limbah satu kegiatan sebagai input bagi kegiatan lain. Limbah organik dari peternakan digunakan sebagai pupuk kebun atau pakan ikan, sementara residu tanaman kembali ke tanah. Model ini mencerminkan prinsip sirkularitas dasar: minimisasi limbah, efisiensi sumber daya, dan ketergantungan pada siklus biologis lokal. Dalam skala rumah tangga dan komunitas desa, VAC terbukti tangguh dan relatif berkelanjutan.

Selain VAC, penulis juga menyoroti eco-economic model dan berbagai desa daur ulang (recycling villages) yang tersebar di wilayah peri-urban. Desa-desa ini berkembang sebagai respons ekonomi terhadap meningkatnya limbah perkotaan, khususnya plastik, logam, dan kertas. Dalam banyak kasus, aktivitas daur ulang dilakukan secara informal, berbasis keluarga, dan berorientasi pasar. Dari perspektif ekonomi mikro, desa-desa ini menyediakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal.

Namun, bab ini tidak meromantisasi praktik-praktik tersebut. Justru sebaliknya, ia menekankan bahwa keberadaan praktik sirkular lokal belum tentu berarti transisi sistemik. Model VAC, misalnya, sulit diskalakan dalam konteks urbanisasi cepat dan transformasi struktur ekonomi. Sementara itu, desa daur ulang sering beroperasi dengan teknologi rendah, standar lingkungan yang lemah, dan paparan risiko kesehatan yang tinggi bagi pekerja.

Dengan kata lain, Viet Nam tidak kekurangan praktik sirkular, tetapi praktik tersebut terfragmentasi, berskala kecil, dan terlepas dari kerangka kebijakan nasional. Circular economy hadir sebagai mosaik aktivitas lokal, bukan sebagai sistem ekonomi yang terkoordinasi. Section ini menunjukkan bahwa tantangan utama bukan menciptakan praktik baru, melainkan mengintegrasikan praktik yang sudah ada ke dalam kerangka pembangunan yang lebih luas

.

4. Mengapa Praktik yang Ada Belum Menjadi Transisi Sistemik

Pertanyaan kunci yang kemudian diajukan penulis adalah: jika praktik-praktik circular economy telah ada, mengapa tekanan lingkungan tetap meningkat dan ekonomi linear tetap dominan? Jawaban yang ditawarkan bersifat struktural, bukan moral atau teknis semata.

Pertama, terdapat ketidaksesuaian skala. Sebagian besar praktik sirkular yang berhasil di Viet Nam beroperasi pada skala mikro atau komunitas. Sementara itu, sumber utama tekanan lingkungan berasal dari industrialisasi, urbanisasi, dan ekspansi konsumsi massal. Ketika skala masalah tumbuh jauh lebih cepat daripada skala solusi, dampak agregat dari praktik sirkular lokal menjadi marginal.

Kedua, bab ini menyoroti kesenjangan kelembagaan. Praktik informal seperti desa daur ulang berada di luar sistem regulasi formal, sehingga sulit diintegrasikan ke dalam kebijakan circular economy nasional. Ketiadaan standar lingkungan, akses pembiayaan, dan dukungan teknologi membuat praktik ini bertahan sebagai solusi sementara, bukan fondasi transformasi jangka panjang.

Ketiga, terdapat ketegangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan. Banyak kebijakan pembangunan Viet Nam masih memprioritaskan pertumbuhan industri dan investasi asing berbasis biaya rendah. Dalam kerangka ini, circular economy sering diposisikan sebagai pelengkap, bukan sebagai prinsip pengarah pembangunan. Akibatnya, kebijakan sirkular cenderung reaktif—berfokus pada pengelolaan limbah—alih-alih proaktif dalam mengubah desain produksi dan pola konsumsi.

Keempat, penulis menyinggung masalah koordinasi lintas sektor. Circular economy menuntut keterlibatan simultan berbagai kementerian, pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat. Namun, fragmentasi kewenangan dan kapasitas institusional yang tidak merata menghambat konsistensi kebijakan. Tanpa koordinasi yang kuat, inisiatif circular economy mudah terjebak sebagai proyek sektoral yang terisolasi.

Section ini memperjelas bahwa tantangan circular economy di Viet Nam bukan terletak pada kurangnya kesadaran atau praktik awal, melainkan pada ketidakmampuan mengubah praktik tersebut menjadi arsitektur sistem ekonomi. Transisi ke circular economy menuntut perubahan pada tingkat perencanaan pembangunan, regulasi industri, dan insentif pasar—bukan sekadar penguatan praktik daur ulang yang sudah ada.

 

5. Road Map Circular Economy Viet Nam: Tahapan, Prioritas, dan Realisme Kebijakan

Bab ini menegaskan bahwa keberhasilan circular economy di Viet Nam sangat bergantung pada road map yang bertahap dan selektif, bukan pendekatan serba-sekaligus. Penulis menolak gagasan transisi instan menuju ekonomi sirkular penuh, dan justru menekankan pentingnya penentuan prioritas sektor dan instrumen kebijakan yang realistis dalam konteks negara berkembang.

Tahap awal road map difokuskan pada penguatan kerangka hukum dan kelembagaan. Pengakuan circular economy dalam Undang-Undang Perlindungan Lingkungan 2020 menjadi fondasi penting, tetapi implementasinya menuntut peraturan turunan yang jelas, pembagian kewenangan yang tegas antara pemerintah pusat dan daerah, serta mekanisme koordinasi lintas sektor. Tanpa fondasi ini, circular economy berisiko tetap menjadi konsep normatif tanpa daya paksa kebijakan.

Tahap berikutnya menekankan prioritisasi sektor dengan dampak lingkungan tinggi dan kesiapan teknis yang relatif lebih baik, seperti pengelolaan limbah padat perkotaan, plastik, pertanian, dan industri pengolahan pangan. Penulis menunjukkan bahwa memulai dari sektor-sektor ini memungkinkan Viet Nam memperoleh quick wins—pengurangan limbah dan penciptaan nilai ekonomi—tanpa menunggu transformasi industri berat yang lebih kompleks.

Instrumen kebijakan yang diusulkan mencakup penguatan extended producer responsibility (EPR), insentif fiskal untuk desain produk sirkular, serta dukungan pembiayaan dan teknologi bagi usaha kecil dan menengah. Namun, bab ini menekankan bahwa instrumen tersebut hanya efektif jika diselaraskan dengan strategi pembangunan nasional. Circular economy tidak boleh berdiri terpisah sebagai agenda lingkungan, tetapi harus terintegrasi dalam perencanaan industri, energi, dan urbanisasi.

Section ini memperlihatkan bahwa road map circular economy Viet Nam bersifat pragmatis dan inkremental. Tujuannya bukan menciptakan ekonomi sirkular ideal dalam waktu singkat, melainkan mengarahkan lintasan pembangunan agar secara bertahap menjauh dari ketergantungan pada ekonomi linear yang boros sumber daya.

.

6. Kesimpulan: Pelajaran Struktural bagi Negara Berkembang

Artikel ini menunjukkan bahwa circular economy di Viet Nam tidak dapat dipahami sebagai adopsi konsep global secara sederhana. Ia merupakan respons struktural terhadap kontradiksi pembangunan: pertumbuhan ekonomi yang cepat di satu sisi, dan tekanan lingkungan yang semakin berat di sisi lain. Dalam konteks ini, circular economy berfungsi sebagai kerangka korektif, bukan sebagai solusi teknis tunggal.

Analisis terhadap praktik yang telah ada, hambatan sistemik, dan road map kebijakan memperjelas bahwa tantangan utama circular economy di negara berkembang bukan ketiadaan ide atau praktik, melainkan masalah skala, integrasi, dan kelembagaan. Praktik sirkular lokal seperti VAC dan desa daur ulang menunjukkan potensi, tetapi tidak akan menghasilkan perubahan sistemik tanpa dukungan kebijakan yang terkoordinasi dan perubahan arah pembangunan.

Pelajaran yang dapat ditarik bagi negara berkembang lain adalah pentingnya menempatkan circular economy sebagai bagian dari strategi transformasi struktural, bukan sebagai proyek lingkungan yang terpisah. Circular economy perlu disesuaikan dengan konteks demografi, kapasitas institusional, dan struktur ekonomi nasional. Meniru model negara maju tanpa adaptasi berisiko menghasilkan kebijakan yang tidak efektif atau bahkan kontraproduktif.

Pada akhirnya, circular economy di negara berkembang seperti Viet Nam bukan soal mengejar standar sirkularitas tertinggi, melainkan soal mengubah lintasan pembangunan sebelum tekanan lingkungan menjadi tidak terkendali. Keberhasilan tidak diukur dari seberapa cepat ekonomi menjadi “sirkular”, tetapi dari sejauh mana kebijakan mampu menyeimbangkan pertumbuhan, ketahanan sosial, dan batas lingkungan dalam jangka panjang.

 

Daftar Pustaka

Nguyen, T. H., Lai, N. T., Pham, H. Q., & Nguyen, M. T. (2022). A road map to a circular economy in Viet Nam. Dalam Transitioning to a Circular Economy in Developing Asia. Tokyo: Asian Development Bank Institute.

Asian Development Bank Institute. (2022). Transitioning to a circular economy in developing Asia. Tokyo: ADBI.

Geng, Y., Sarkis, J., & Ulgiati, S. (2016). Sustainability, well-being, and the circular economy in China and worldwide. Science, 352(6283), 209–210.

McDowall, W., Geng, Y., Huang, B., et al. (2017). Circular economy policies in China and Europe. Journal of Industrial Ecology, 21(3), 651–661.

Schandl, H., Fischer-Kowalski, M., West, J., et al. (2016). Global material flows and resource productivity. Journal of Industrial Ecology, 20(4), 827–838.

Wiedmann, T. O., Schandl, H., Lenzen, M., et al. (2015). The material footprint of nations. Proceedings of the National Academy of Sciences, 112(20), 6271–6276.

 

Selengkapnya
Membangun Circular Economy di Negara Berkembang: Pelajaran Struktural dari Viet Nam
« First Previous page 3 of 11 Next Last »