Building Information Modeling
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 25 April 2025
Dalam beberapa dekade terakhir, pembangunan bendungan menjadi salah satu proyek infrastruktur paling strategis dan kompleks di Indonesia. Bendungan tidak hanya berfungsi sebagai penopang irigasi dan penyedia air baku, tetapi juga penting untuk pengendalian banjir, pembangkit listrik, hingga pelestarian ekosistem. Namun, kompleksitas teknis yang tinggi, lamanya waktu konstruksi, serta tingginya biaya investasi menjadikan proyek-proyek bendungan penuh tantangan. Melalui studi literatur berjudul “Building Information Modeling (BIM) for Dams—Literature Review and Future Needs” oleh Catur Ayu Wahyuningrum dan rekan-rekan, kita diajak menelusuri sejauh mana BIM dapat menjawab tantangan tersebut dan menjadi solusi kunci dalam manajemen proyek bendungan masa depan di Indonesia.
Kompleksitas Proyek Bendungan dan Kebutuhan Teknologi
Pembangunan bendungan tidak hanya melibatkan elemen arsitektur, teknik sipil, dan konstruksi (AEC), tetapi juga sangat bergantung pada faktor geoteknik dan topografi. Di fase perencanaan, tantangan muncul dari analisis hidrologi dan struktur. Pada tahap konstruksi, kesulitan datang dari pelaksanaan pekerjaan tanah, pekerjaan beton besar, serta integrasi sistem mekanikal dan elektrikal. Bahkan setelah bendungan beroperasi, proses pemeliharaan dan pengawasan membutuhkan akurasi data dan ketepatan manajemen aset. BIM menjadi teknologi yang menjanjikan untuk mengatasi tantangan ini karena mampu menyatukan seluruh data dan informasi proyek dalam satu model digital tiga dimensi yang dapat diperbarui secara real time.
Posisi BIM dalam Proyek Infrastruktur dan Regulasi Nasional
Meskipun BIM sudah diterapkan secara luas di proyek gedung di Indonesia, adopsinya di proyek infrastruktur seperti bendungan masih tergolong baru dan belum diwajibkan secara nasional. Dalam Permen PUPR No. 22 Tahun 2018, BIM baru diwajibkan untuk bangunan negara non-sederhana dengan luas lebih dari 2.000 m2 dan lebih dari dua lantai. Namun demikian, beberapa inisiatif telah muncul. Direktorat Jenderal Cipta Karya dan Direktorat Jenderal Bina Marga telah menerapkan BIM di proyek-proyek tertentu dan bahkan tengah mempersiapkan kebijakan wajib BIM untuk infrastruktur sejak 2020.
Implementasi Global dan Pembelajaran dari Negara Lain
Negara-negara seperti Korea Selatan telah menggunakan BIM secara aktif dalam desain bendungan, simulasi pembangunan, serta manajemen informasi proyek. Contohnya, BIM diterapkan untuk perencanaan proses, visualisasi kerja lapangan, hingga publikasi informasi kepada publik. Hal ini menunjukkan bahwa potensi BIM dalam mendukung keberhasilan proyek bendungan bukan sekadar teori, tetapi telah terbukti secara praktis.
Dimensi BIM dalam Proyek Bendungan
BIM dalam proyek infrastruktur memiliki banyak dimensi. Dimensi 3D (visualisasi), 4D (penjadwalan), 5D (biaya), 6D (efisiensi energi dan keberlanjutan), hingga 7D (manajemen fasilitas dan aset) semuanya relevan untuk diterapkan dalam proyek bendungan. Studi ini menunjukkan bahwa BIM dapat membantu perencanaan waktu konstruksi lebih baik, mengidentifikasi potensi perubahan desain, serta memperkirakan biaya secara lebih akurat.
Data dari McGraw Hill Construction (2014) menunjukkan bahwa 90% perencana proyek dan 70% kontraktor di Inggris telah menggunakan BIM tanpa permintaan dari pemilik proyek. Bahkan, 55% pemilik proyek infrastruktur di tahun 2016 secara aktif menggunakan jasa konsultan BIM. Sementara itu, di Indonesia, hasil survei Eadie dkk. menunjukkan bahwa penerapan BIM baru 55% pada tahap desain dan hanya 9% pada tahap operasi dan pemeliharaan.
Studi Kasus dan Simulasi Kelayakan
Meskipun studi ini tidak mengambil satu proyek bendungan tertentu sebagai studi kasus, ia mengompilasi berbagai literatur dan studi empiris yang mencerminkan bagaimana BIM dapat diterapkan pada seluruh siklus hidup bendungan. Salah satu data yang diangkat berasal dari World Commission on Dams (2001), yang mencatat bahwa biaya pembangunan tiga bendungan besar bisa mencapai USD 6 miliar dengan waktu konstruksi 4–6 tahun. Mengingat tingginya biaya dan lamanya durasi proyek, penerapan BIM dapat memberikan nilai tambah berupa koordinasi antar pemangku kepentingan dan kontrol biaya secara terintegrasi.
Studi Hidayah dkk. (2018) menunjukkan bahwa struktur pekerjaan utama bendungan mencakup pekerjaan dewatering, urugan tanah, pelindung, pengeboran dan grouting, elevasi puncak bendungan, drainase, dan sistem instrumen. Setiap tahapan ini memiliki potensi besar terhadap perubahan kondisi lapangan, sehingga BIM dapat membantu mengelola risiko tersebut.
Manfaat dan Hambatan Implementasi
Secara teknis, BIM memiliki banyak keunggulan. Di antaranya adalah peningkatan kualitas desain, pengurangan kesalahan konstruksi, efisiensi jadwal pelaksanaan, hingga pengelolaan aset setelah proyek selesai. Teknologi ini juga memungkinkan visualisasi 3D secara akurat yang membantu pemangku kepentingan memahami desain dengan lebih baik. Selain itu, BIM memfasilitasi kolaborasi antar tim lintas disiplin dan mempermudah proses audit dan pelaporan.
Namun, implementasi BIM dalam proyek bendungan di Indonesia masih menghadapi sejumlah hambatan utama. Pertama, kurangnya SDM yang memiliki kompetensi dalam menggunakan BIM, terutama di tingkat perencana dan pengawas proyek pemerintah. Kedua, belum adanya regulasi yang mewajibkan penggunaan BIM secara menyeluruh untuk proyek bendungan. Ketiga, investasi awal yang tinggi untuk perangkat lunak dan pelatihan masih menjadi tantangan bagi banyak instansi dan kontraktor.
Rekomendasi dan Kebutuhan Masa Depan
Penelitian ini menyarankan agar penerapan BIM dimulai dari tahap perencanaan oleh konsultan perencana dan diikuti oleh kontraktor pelaksana pada tahap konstruksi. Dalam proses lelang, dokumen DED berbasis BIM dapat menjadi acuan utama. Setelah proyek selesai, shop drawing dalam format as-built BIM dapat diserahkan kembali kepada pemilik sebagai basis manajemen aset jangka panjang. Pada fase operasi dan pemeliharaan, BIM akan berfungsi sebagai sistem manajemen aset yang memuat seluruh riwayat perawatan, lokasi komponen penting, serta estimasi anggaran rehabilitasi. Dengan demikian, efisiensi biaya dan keberlanjutan proyek dapat ditingkatkan.
Lebih jauh, untuk mendukung implementasi BIM secara menyeluruh, pemerintah perlu menyusun regulasi yang mengatur penggunaan BIM pada proyek-proyek strategis seperti bendungan. Selain itu, investasi dalam pelatihan SDM dan penyediaan perangkat lunak harus dilakukan secara sistematis. Kolaborasi antara kementerian, universitas, dan industri konstruksi juga perlu ditingkatkan untuk mengembangkan kurikulum dan riset berbasis BIM khusus untuk proyek infrastruktur.
Kesimpulan
Artikel ini memberikan gambaran komprehensif mengenai pentingnya penerapan Building Information Modeling (BIM) dalam proyek bendungan di Indonesia. Dengan segala kompleksitas teknis, biaya tinggi, dan risiko besar yang melekat pada proyek jenis ini, BIM menawarkan solusi digital yang memungkinkan koordinasi lintas disiplin, efisiensi perencanaan dan pelaksanaan, serta pengelolaan aset yang lebih baik. Meskipun implementasinya di Indonesia masih terbatas, peluang untuk memperluas penggunaan BIM sangat besar, terlebih jika didukung oleh regulasi, sumber daya manusia, dan investasi yang memadai.
Sumber Asli
Wahyuningrum, C. A., Sari, Y. C., & Kresnanto, N. C. (2020). Building Information Modeling (BIM) for Dams—Literature Review and Future Needs. Journal of Civil Engineering Forum, 6(1), 61–68.
Building Information Modeling
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 25 April 2025
Sistem perpajakan bangunan di Indonesia selama ini masih didasarkan pada data dua dimensi (2D), yang kerap menyebabkan ketidakakuratan dalam penilaian dan pengenaan pajak. Sementara itu, kebutuhan akan data spasial tiga dimensi (3D) semakin mendesak seiring pertumbuhan vertikal properti di kawasan urban. Dalam konteks ini, penelitian berjudul "Building Information Modeling (BIM) Utilization for 3D Fiscal Cadastre" oleh Sadikin Hendriatiningsih dan rekan-rekannya dari Institut Teknologi Bandung menawarkan terobosan dengan memanfaatkan BIM dan teknologi Terrestrial Laser Scanner (TLS) untuk mendukung sistem kadaster fiskal 3D di Indonesia.
Latar Belakang dan Urgensi
Kadaster merupakan sistem informasi tanah yang memuat data kepemilikan, lokasi, nilai, dan penggunaan lahan, termasuk struktur di atasnya. Di negara-negara maju, sistem kadaster 3D sudah diterapkan untuk mengelola informasi spasial secara komprehensif. Namun di Indonesia, informasi bangunan masih disimpan dalam bentuk 2D dan proses pendataan mengandalkan formulir manual seperti SPOP (Surat Pemberitahuan Objek Pajak). Ketidaksesuaian pengisian data menyebabkan banyak kesalahan dalam perhitungan pajak, yang pada akhirnya merugikan negara maupun pemilik bangunan.
BIM hadir sebagai solusi digital yang memungkinkan visualisasi dan manajemen informasi bangunan dalam format 3D yang akurat. Integrasi BIM dengan teknologi TLS memungkinkan perekaman data geometrik secara detail dan cepat, yang sangat ideal untuk kebutuhan kadaster fiskal.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peran BIM dalam mendukung sistem kadaster fiskal 3D dengan fokus pada ketepatan geometri objek pajak, kemampuan BIM menyimpan informasi relevan untuk perhitungan pajak, serta modifikasi struktur basis data BIM agar sesuai dengan kebutuhan perpajakan.
Studi Kasus dan Metodologi
Objek penelitian berupa bangunan asrama di lingkungan Institut Teknologi Bandung yang dipilih sebagai representasi unit apartemen. Pengukuran kontrol dilakukan dengan GNSS RTK dan Electronic Total Station. Akuisisi data geometrik dilakukan menggunakan Terrestrial Laser Scanner (TLS) Topcon GLS-2000. Resolusi scan yang digunakan adalah 12,5 mm karena paling efisien untuk objek berukuran kecil seperti jendela dan dinding. Pembersihan data dilakukan dengan Maptek i-Site Studio untuk menghapus noise seperti pohon atau objek luar ruangan. Registrasi dilakukan dengan teknik cloud-to-cloud menggunakan algoritma Iterative Closest Point (ICP). Hasil registrasi dikonversi ke format .e57 dan diimpor ke Autodesk Revit 2016 untuk pemodelan BIM.
Objek geometrik dibuat berdasarkan point cloud, meliputi lantai, dinding, atap, dan fasilitas. Setiap komponen diberi spesifikasi material, dimensi, dan atribut lain. Basis data BIM dimodifikasi dengan menambahkan entitas "Unit" dan "Price_List" untuk keperluan perhitungan pajak.
Hasil dan Temuan
Hasil registrasi TLS menunjukkan nilai RMSE rata-rata sebesar 0,001 meter, yang menunjukkan tingkat akurasi sangat tinggi dan sesuai dengan kebutuhan perpajakan. Deviansi dimensi objek terhadap ukuran aktual seperti lebar jendela, tebal dinding, hingga tinggi lemari hanya berkisar antara -0,001 m hingga +0,002 m. Informasi yang dapat diperoleh langsung dari TLS antara lain luas bangunan dan jumlah lantai, sementara informasi jenis material atap, dinding, lantai, dan plafon masih memerlukan pengamatan langsung.
Simulasi perhitungan pajak dilakukan menggunakan metode Replacement Cost New (RCN). Biaya komponen bangunan terdiri dari atap senilai Rp 4.286.655, dinding sebesar Rp 23.179.259, lantai Rp 20.975.121, dan fasilitas sebesar Rp 7.937.959. Total nilai bangunan sebelum depresiasi mencapai Rp 56.378.994. Setelah depresiasi menggunakan metode garis lurus sebesar Rp 18.041.278, nilai akhir bangunan menjadi Rp 38.337.715 dan pajak bangunan yang dikenakan sebesar Rp 38.337.
Modifikasi basis data BIM melibatkan penambahan entitas Unit yang berisi data pemilik, lantai, dan nilai pajak serta entitas Price_List yang mencantumkan kode objek, jenis material, dan harga per meter kubik. Kedua entitas ini terhubung melalui ID unik dan memungkinkan ekspor data ke berbagai format seperti Excel, Access, atau SQL.
Analisis dan Diskusi
Keunggulan dari pendekatan ini terletak pada presisi tinggi dari hasil TLS yang memiliki tingkat kesalahan sangat rendah, memungkinkan informasi geometrik terekam secara detail termasuk hingga ke level interior. Komprehensivitas model BIM juga memungkinkan pemodelan objek bangunan secara penuh dan terintegrasi. Namun, tantangan utama yang masih dihadapi adalah belum tersedianya sistem nasional yang mengintegrasikan BIM dengan sistem perpajakan seperti SISMIOP serta kebutuhan untuk melengkapi informasi non-spasial secara manual.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa sistem ini bersifat scalable, sehingga dapat dikembangkan dan diterapkan pada bangunan lain dengan pendekatan yang sama. Potensi penggunaan BIM dalam kadaster fiskal sangat besar, tidak hanya untuk perpajakan tetapi juga untuk audit properti, perencanaan kota, dan kontrol tata ruang.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa Building Information Modeling (BIM), ketika dipadukan dengan teknologi TLS, memiliki potensi besar untuk mendukung sistem kadaster fiskal 3D di Indonesia. Tingkat akurasi yang tinggi, kemampuan menyimpan data geometrik dan atribut, serta fleksibilitas modifikasi database menjadikan BIM solusi ideal untuk reformasi sistem perpajakan bangunan. Namun, dibutuhkan pengembangan lebih lanjut dalam integrasi sistem, penambahan informasi non-spasial secara otomatis, serta penyesuaian kebijakan pemerintah agar sistem ini dapat diimplementasikan secara luas.
Sumber Asli
Hendriatiningsih, S., Hernandi, A., Saptari, A. Y., Widyastuti, R., & Saragih, D. (2019). Building Information Modeling (BIM) Utilization for 3D Fiscal Cadastre. Indonesian Journal of Geography, Vol. 51 No. 3, 285–294.
Building Information Modeling
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 25 April 2025
Perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan signifikan dalam dunia konstruksi, salah satunya melalui penerapan Building Information Modeling (BIM). BIM bukan sekadar alat visualisasi, tetapi sistem manajemen informasi bangunan yang mendukung efisiensi waktu, biaya, dan kualitas proyek. Penelitian yang dilakukan oleh Ary Wibowo, Henny Pratiwi Adi, dan Hermin Poedjiastoeti dalam jurnal Syntax Literate (2022) mengevaluasi implementasi BIM pada proyek Gedung Workshop Politeknik Pekerjaan Umum (PU) di Semarang. Studi ini menawarkan wawasan penting tentang kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman penerapan BIM di proyek pemerintah.
Studi Kasus: Proyek Gedung Workshop Politeknik PU Semarang
Deskripsi Proyek
BIM digunakan mulai dari tahap perencanaan hingga operasional, termasuk fitur visualisasi 3D dengan Revit, perhitungan volume pekerjaan 5D dengan Cubicost, hingga sistem dokumentasi berbasis cloud melalui BIM360.
Metodologi Penelitian
Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif dengan teknik analisis SWOT. Data dikumpulkan melalui studi literatur, wawancara, dan Focus Group Discussion (FGD) dengan pelaku proyek dari Politeknik PU, konsultan BIM, dan ASN Kementerian PUPR. Penilaian dilakukan melalui:
Hasil Evaluasi dan Analisis SWOT
Kekuatan (Strengths)
Kelemahan (Weaknesses)
Peluang (Opportunities)
Ancaman (Threats)
Skor SWOT
Strategi Optimalisasi Penerapan BIM
Berdasarkan posisi SWOT, strategi yang disarankan adalah:
Edukasi dan Promosi BIM
Standarisasi dan Sertifikasi Nasional
Integrasi Kurikulum Pendidikan Tinggi
SOP dan KPI Proyek BIM
Penguatan Kebijakan Nasional
Opini dan Relevansi Praktis
Penerapan BIM di proyek Politeknik PU ini bisa dijadikan benchmark untuk proyek pemerintah lainnya. Fitur seperti clash detection telah terbukti mengurangi potensi kesalahan teknis di lapangan yang selama ini menjadi penyebab rework dan pemborosan biaya. Namun, kesuksesan implementasi BIM tidak hanya bergantung pada perangkat lunak, tetapi pada kesiapan SDM dan dukungan kelembagaan. Dibutuhkan kebijakan top-down yang lebih kuat dari Kementerian PUPR agar penerapan BIM menjadi praktik standar, bukan sekadar eksperimen.
Kesimpulan
Penelitian ini menegaskan bahwa BIM memberikan banyak manfaat jika diterapkan dengan benar. Namun, tantangan seperti biaya tinggi, resistensi SDM, dan regulasi yang belum matang perlu segera diatasi. Strategi implementasi berbasis SWOT memberikan kerangka kerja yang jelas bagi instansi pemerintah dan pelaku industri dalam mengadopsi BIM secara luas. Dengan pendidikan, pelatihan, dan kebijakan yang tepat, BIM bisa menjadi katalis utama menuju konstruksi digital dan efisien di Indonesia.
Sumber Asli
Wibowo, Ary; Adi, Henny Pratiwi; Poedjiastoeti, Hermin. (2022). Evaluasi Penerapan Building Information Modeling (BIM) Pada Proyek Gedung Workshop Politeknik Pekerjaan Umum di Semarang. Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia, 7(5).
Building Information Modeling
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 25 April 2025
Di tengah tekanan global untuk meningkatkan efisiensi dan kolaborasi dalam industri arsitektur, rekayasa, konstruksi, dan manajemen fasilitas (AEC/FM), teknologi Building Information Modeling (BIM) hadir sebagai solusi strategis. Namun, adopsi BIM secara luas masih menemui banyak kendala. Paper berjudul “A Study of Building Information Modeling (BIM) Uptake and Proposed Evaluation Framework” oleh Bahriye Ilhan Jones dari Istanbul Technical University menganalisis adopsi BIM di kantor arsitektur Inggris selama tiga periode waktu (2011, 2014, dan 2018), serta mengusulkan sebuah kerangka evaluasi komprehensif.
Mengapa BIM Penting dan Mengapa Belum Menjadi Standar?
Walau pemerintah Inggris telah mewajibkan penerapan BIM Level 2 pada proyek publik sejak 2016, hasil studi menunjukkan bahwa penerapan BIM tidak semudah membalik telapak tangan. Beberapa faktor pendorong seperti efisiensi proyek, kolaborasi tim yang lebih baik, dan tuntutan kontrak berhasil memotivasi adopsi. Namun, berbagai hambatan—mulai dari kebutuhan pelatihan, biaya implementasi, hingga resistensi terhadap perubahan—masih kuat dirasakan oleh banyak perusahaan.
Metodologi: Survei Online dan Analisis Statistik
Penelitian ini menggunakan metode survei online kepada seluruh anggota Royal Institute of British Architects (RIBA). Survei dilaksanakan dalam tiga gelombang: 2011 (43 responden), 2014 (37 responden), dan 2018 (45 responden), dengan total 125 responden tanpa tumpang tindih antar tahun. Data dianalisis menggunakan ANOVA, regresi, dan statistik deskriptif untuk menggali hubungan antara variabel tahun, adopsi BIM, motivasi, kendala, dan kepuasan pengguna.
Temuan Kunci: Perjalanan Adopsi BIM dari Tahun ke Tahun
Peningkatan Penggunaan BIM
Penggunaan BIM meningkat signifikan dari 2011 ke 2018. Di tahun 2011, hanya 19,5% responden menggunakan BIM, sementara pada 2018, angka tersebut meningkat tajam. Namun, lonjakan ini tidak merata di semua jenis perusahaan—organisasi besar lebih cepat mengadopsi BIM dibandingkan perusahaan kecil.
Yang menarik, meskipun pada awalnya BIM hanya digunakan untuk proyek-proyek besar, mulai 2014, perusahaan mulai menerapkannya juga pada proyek kecil. Penggunaan BIM juga meningkat pada perusahaan kecil dengan kurang dari 10 karyawan, menunjukkan bahwa adopsi teknologi tidak lagi menjadi hak istimewa perusahaan besar.
Alasan Mengadopsi BIM
Motivasi utama menggunakan BIM antara lain:
Namun, motivasi eksternal ini bergeser menjadi motivasi internal seperti kebutuhan untuk kolaborasi dan efisiensi tim, terutama di tahun 2018. Hal ini menunjukkan evolusi pemahaman perusahaan tentang nilai jangka panjang BIM.
Fungsi yang Digunakan
Fungsi BIM yang paling umum digunakan:
Namun, fungsi tingkat lanjut seperti estimasi biaya, analisis performa bangunan, dan Bill of Quantities (BoQ) masih kurang dimanfaatkan, terutama oleh pengguna pemula.
Keuntungan dan Kepuasan
Keuntungan utama dari penggunaan BIM antara lain:
Meskipun BIM memberikan berbagai keuntungan, tingkat kepuasan tidak selalu sebanding dengan lama pengalaman. Usia penggunaan BIM (BIM age) berkontribusi terhadap kepuasan, namun tidak signifikan secara statistik dalam model regresi.
Hambatan Utama
Hambatan utama yang dihadapi pengguna BIM antara lain:
Menariknya, dukungan manajemen dan pemasaran tidak dianggap sebagai kendala utama. Sebaliknya, masalah prosedural dan pertukaran data menjadi tantangan yang semakin menonjol.
Perspektif Non-Pengguna: Mengapa Tidak Mengadopsi BIM?
Survei juga melibatkan responden yang belum menggunakan BIM dan tidak berniat menggunakannya. Alasan utama mereka:
Alasan untuk mulai mempertimbangkan BIM antara lain:
Namun, kebanyakan perusahaan menyatakan mereka tidak memiliki sumber daya fisik atau keuangan yang cukup untuk memulai implementasi.
Kerangka Evaluasi BIM: Panduan Strategis untuk Organisasi
Berdasarkan temuan survei, penulis merancang kerangka evaluasi untuk memandu perusahaan dalam mengevaluasi kesiapan dan efektivitas penggunaan BIM. Kerangka ini mencakup:
Model ini tidak hanya bersifat statis tetapi fleksibel, dapat dikustomisasi sesuai kebutuhan organisasi.
Studi Kasus: Transformasi BIM di Inggris sebagai Cerminan Global
Dengan mandat pemerintah Inggris sebagai titik tolak, adopsi BIM di sektor publik menjadi tolok ukur keberhasilan transformasi digital. Survei NBS tahun 2019 menunjukkan bahwa 4% responden merasa mandat BIM sangat berhasil, dan 37% menyebutnya cukup berhasil. Ini menunjukkan pentingnya peran kebijakan dalam mendorong perubahan industri.
Kegagalan perusahaan untuk mengadopsi BIM dengan cepat dapat berarti kehilangan peluang kolaborasi, efisiensi, dan daya saing. Oleh karena itu, studi ini tidak hanya relevan untuk Inggris, tetapi juga menjadi cermin bagi negara-negara lain—termasuk Indonesia—yang tengah mempersiapkan digitalisasi sektor konstruksi.
Opini dan Implikasi untuk Indonesia
Bagi Indonesia, adopsi BIM masih dalam tahap awal. Studi ini bisa dijadikan referensi penting karena menyajikan analisis longitudinal dari negara maju dengan pendekatan praktis dan strategis. Tantangan seperti kurangnya tenaga ahli BIM, resistensi terhadap perubahan, dan tingginya biaya awal, juga ditemukan di Indonesia.
Penerapan kerangka evaluasi yang diusulkan dalam studi ini bisa diadaptasi oleh asosiasi profesional seperti IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) atau LPJK. Pemerintah pun bisa belajar dari model kebijakan Inggris untuk mendorong transformasi industri konstruksi dalam negeri.
Kesimpulan: BIM adalah Keniscayaan, Bukan Pilihan
Transformasi digital di industri konstruksi tidak bisa dihindari. BIM bukan sekadar alat, melainkan katalis perubahan. Studi ini menunjukkan bahwa kesuksesan adopsi BIM bergantung pada kesiapan organisasi secara teknis, struktural, dan kultural. Kerangka evaluasi yang ditawarkan membuka jalan bagi pendekatan lebih strategis, terukur, dan realistis dalam mengadopsi teknologi ini. Di masa depan, BIM tidak hanya akan menjadi standar, tapi fondasi utama menuju kota cerdas dan pembangunan berkelanjutan.
Sumber asli artikel:
Bahriye Ilhan Jones (2020). A study of Building Information Modeling (BIM) uptake and proposed evaluation framework. Journal of Information Technology in Construction (ITcon), Vol. 25, pp. 452–468.
Building Information Modeling
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 25 April 2025
Dalam satu dekade terakhir, transformasi digital di sektor konstruksi telah menunjukkan akselerasi yang signifikan. Salah satu teknologi utama yang memegang peran sentral dalam proses tersebut adalah Building Information Modeling (BIM). Artikel yang ditulis oleh Bahriye Ilhan Jones, berjudul A study of Building Information Modeling (BIM) uptake and proposed evaluation framework, memberikan pandangan menyeluruh tentang bagaimana industri arsitektur di Inggris mengadopsi dan mengembangkan penggunaan BIM dari tahun 2011 hingga 2018.
Penelitian ini tidak hanya memotret tren penggunaan BIM, tetapi juga memperkenalkan sebuah kerangka evaluasi untuk menilai efektivitas adopsi BIM di tingkat organisasi, menjadikannya relevan bagi akademisi, praktisi, hingga pembuat kebijakan.
Latar belakang dan konteks kebijakan
Inggris dikenal sebagai negara pelopor dalam penerapan BIM. Sejak pemerintah mengeluarkan mandat pada tahun 2016 yang mewajibkan penggunaan BIM Level 2 untuk semua proyek publik, banyak perusahaan arsitektur di Inggris mulai mengintegrasikan BIM ke dalam proses kerja mereka. Namun demikian, adopsi teknologi ini tidak terjadi secara seragam di semua skala perusahaan.
Studi ini mencoba menjawab pertanyaan: bagaimana tingkat penggunaan BIM berubah dari waktu ke waktu, apa saja motivasi dan hambatan yang dihadapi perusahaan, serta bagaimana pengaruh kebijakan publik dan tekanan pasar terhadap keputusan adopsi teknologi ini.
Metodologi dan pendekatan penelitian
Penulis menggunakan pendekatan survei longitudinal, yaitu pengumpulan data pada tiga waktu berbeda: tahun 2011, 2014, dan 2018. Total responden yang terlibat berjumlah 125 perusahaan arsitektur anggota Royal Institute of British Architects (RIBA), yang mewakili berbagai skala usaha.
Data dianalisis menggunakan metode statistik seperti ANOVA dan regresi linier. Penelitian ini juga mengembangkan framework evaluasi BIM berdasarkan tiga dimensi utama: tahap formasi, proses implementasi, dan hasil yang dicapai.
Hasil temuan utama
Pertumbuhan adopsi BIM
Tingkat adopsi BIM meningkat dari hanya 20 persen pada tahun 2011 menjadi lebih dari 60 persen pada 2018. Namun, adopsi ini tidak merata. Perusahaan besar yang menangani proyek pemerintah menunjukkan tingkat adopsi yang lebih tinggi dibandingkan usaha kecil yang bergerak di pasar privat.
Perusahaan kecil mulai menunjukkan ketertarikan terhadap BIM, tetapi masih menghadapi kendala seperti biaya awal yang tinggi dan kurangnya tenaga kerja yang terlatih.
Alasan penggunaan BIM
Motivasi utama perusahaan dalam mengadopsi BIM antara lain:
Menariknya, efisiensi biaya dan waktu bukanlah motivasi dominan, yang menunjukkan bahwa nilai BIM lebih dipandang sebagai alat strategis daripada sekadar alat teknis.
Fungsi BIM yang paling banyak digunakan
Di antara berbagai fitur BIM, yang paling banyak digunakan adalah visualisasi 3D, clash detection, dan pertukaran data antar software. Fungsi yang lebih kompleks seperti estimasi biaya otomatis atau analisis energi bangunan masih jarang digunakan, bahkan hingga 2018.
Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan BIM masih berada di level dasar, dan belum sepenuhnya memanfaatkan potensi penuh yang ditawarkan teknologi ini.
Hambatan penggunaan
Beberapa hambatan yang terus berulang dari tahun ke tahun antara lain:
Namun di sisi lain, hambatan seperti kurangnya dukungan manajerial mulai berkurang, menunjukkan adanya peningkatan kesadaran di level pimpinan perusahaan.
Studi kasus perusahaan kecil
Artikel ini juga mengangkat contoh perusahaan arsitektur kecil yang berhasil mengadopsi BIM meskipun hanya memiliki kurang dari sepuluh staf. Dengan dukungan pelatihan dan kolaborasi dengan konsultan eksternal, perusahaan ini mampu mempercepat proses desain, mengurangi revisi gambar, dan meningkatkan akurasi informasi proyek.
Namun mereka juga menghadapi kenyataan bahwa klien-klien di sektor perumahan tidak selalu memahami nilai tambah BIM, sehingga edukasi kepada pihak luar menjadi tantangan tambahan.
Framework evaluasi BIM
Salah satu kontribusi penting dari penelitian ini adalah usulan framework evaluasi BIM, yang terdiri dari:
Framework ini dapat digunakan tidak hanya di Inggris, tetapi juga diadopsi oleh organisasi konstruksi di negara-negara lain untuk mengukur kemajuan transformasi digital mereka.
Relevansi dan implikasi global
Temuan dari artikel ini memiliki implikasi yang luas. Negara-negara berkembang seperti Indonesia yang sedang mendorong digitalisasi sektor konstruksi dapat mengambil pelajaran penting dari pengalaman Inggris, terutama dalam hal:
Adopsi BIM bukan hanya soal membeli software, tetapi perubahan budaya kerja dan paradigma kolaborasi antar stakeholder. Untuk itu, kebijakan publik dan kerja sama antar sektor sangat dibutuhkan.
Kritik dan saran
Artikel ini sangat kuat dari segi metodologi dan kontribusi praktis. Namun, sebagian besar data bersifat perseptual dan berasal dari industri arsitektur saja. Akan lebih komprehensif jika studi serupa dilakukan di sektor konstruksi sipil, MEP, atau manajemen fasilitas, untuk mendapatkan pandangan yang lebih holistik.
Penulis juga bisa menggali lebih dalam soal bagaimana BIM berinteraksi dengan teknologi lain seperti cloud, Internet of Things, atau AI dalam pengelolaan proyek.
Kesimpulan
Artikel ini memberikan gambaran yang tajam dan informatif tentang evolusi penggunaan BIM di Inggris selama tujuh tahun. Dengan pendekatan longitudinal dan analisis mendalam, artikel ini tidak hanya menjadi catatan historis, tetapi juga panduan strategis bagi perusahaan dan pembuat kebijakan yang ingin mengadopsi BIM secara efektif.
BIM bukan sekadar alat gambar digital, melainkan sistem kolaboratif yang dapat meningkatkan kualitas desain, efisiensi proyek, dan daya saing industri konstruksi secara keseluruhan. Dengan kerangka evaluasi yang ditawarkan, proses transformasi digital dapat dipantau dan ditingkatkan secara berkelanjutan.
Sumber artikel:
Bahriye Ilhan Jones (2020). A study of Building Information Modeling (BIM) uptake and proposed evaluation framework. Journal of Information Technology in Construction (ITcon), Vol. 25, pp. 452–468.
Building Information Modeling
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 25 April 2025
Dalam dunia konstruksi modern yang semakin kompetitif, adopsi teknologi digital bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan kebutuhan. Salah satu teknologi yang menonjol dalam dekade terakhir adalah Building Information Modelling (BIM), terutama BIM 5D yang mengintegrasikan model tiga dimensi dengan elemen waktu dan biaya. Artikel karya Destiar Ultimaswari A.K, Buan Anshari, dan Suryawan Murtiadi ini menjadi penting karena mengevaluasi peran konkret BIM 5D dalam proyek besar: Pembangunan Dermaga Cruise dan Peti Kemas Terminal Gili Mas Lembar di Lombok Barat.
Latar Belakang dan Tujuan Penelitian
Dengan meningkatnya skala dan kompleksitas proyek infrastruktur, akurasi dalam estimasi biaya dan efisiensi pelaksanaan menjadi kunci keberhasilan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi efektivitas penggunaan BIM 5D serta perannya dalam mendukung perencanaan, desain, hingga implementasi konstruksi Dermaga Gilimas, yang dikerjakan antara 2018–2020 oleh PT PP (Persero) Tbk sebagai kontraktor utama dan PT Virama Karya sebagai konsultan pengawas.
Apa Itu BIM 5D dan Mengapa Relevan?
BIM adalah representasi digital dari karakteristik fisik dan fungsional suatu bangunan. Dalam bentuk 5D, BIM tidak hanya menyajikan model tiga dimensi (3D) dari struktur proyek, tetapi juga menyisipkan informasi terkait waktu (4D) dan biaya (5D), memungkinkan simulasi, perencanaan jadwal, serta estimasi biaya yang terintegrasi dan real-time. Keunggulan utama BIM 5D adalah kemampuannya dalam meminimalkan konflik desain, mengefisienkan penggunaan material, dan mengoptimalkan waktu pelaksanaan proyek.
Studi Kasus: Pembangunan Dermaga Gilimas
Dermaga Gilimas dibangun untuk melayani kapal cruise dan peti kemas, memperkuat peran pelabuhan Lembar sebagai simpul logistik dan pariwisata di kawasan timur Indonesia. Penelitian ini mengumpulkan data dari 20 responden melalui kuisioner dan wawancara, lalu dianalisis menggunakan statistik deskriptif, termasuk perhitungan nilai rata-rata (mean) dan standar deviasi, untuk menilai seberapa efektif BIM digunakan dalam proyek ini.
Dari aspek efektivitas pada tahap proyek, tiga indikator teratas adalah:
Sedangkan dari sisi aktivitas proyek, BIM paling efektif dalam:
Dari sisi efisiensi kerja, tiga manfaat utama BIM adalah:
Dan dari aspek keberhasilan proyek, manfaat terbesar BIM adalah:
Pemanfaatan Software dalam Proyek
Proyek ini menjadi menarik karena penggunaan BIM tidak hanya sebatas konsep, tetapi benar-benar diterapkan melalui beragam perangkat lunak pendukung:
Implementasi software tersebut memungkinkan tim proyek membuat Bill of Quantity (BOQ) secara otomatis, menghasilkan visualisasi pekerjaan yang lebih mudah dipahami, dan mendeteksi potensi konflik desain lebih awal.
Analisis Statistik dan Temuan Kuantitatif
Peneliti menggunakan nilai rata-rata dan standar deviasi untuk mengukur stabilitas persepsi responden terhadap manfaat BIM. Salah satu hasilnya menunjukkan bahwa BIM pada indikator studi kelayakan menghasilkan mean sebesar 3,70 dan standar deviasi 1,22, menandakan bahwa persepsi responden cukup konsisten. Indikator dengan standar deviasi di bawah 1 dianggap sebagai yang paling stabil, dan dengan demikian paling representatif sebagai kekuatan BIM dalam proyek ini.
Kelebihan dan Kekurangan BIM
Berdasarkan hasil kuantitatif, kelebihan BIM dalam proyek ini antara lain:
Namun, terdapat pula kekurangan yang diidentifikasi:
Hal ini menjadi catatan penting, terutama bagi perusahaan konstruksi menengah atau kecil yang ingin mengadopsi teknologi ini.
Implikasi Praktis dan Relevansi
Studi ini menunjukkan bahwa penerapan BIM 5D secara penuh tidak hanya berdampak pada efisiensi teknis, tetapi juga meningkatkan kualitas komunikasi antara pemilik proyek, kontraktor, dan konsultan. Dalam konteks Indonesia yang sedang gencar membangun infrastruktur, termasuk pelabuhan dan kawasan industri maritim, pendekatan seperti ini sangat relevan.
BIM berperan penting dalam menjawab kebutuhan akan proyek yang rampung tepat waktu, dalam anggaran, dan sesuai kualitas. Tak heran jika pemerintah Indonesia mulai mendorong penerapan BIM pada proyek-proyek strategis nasional. Namun, kesiapan SDM, dukungan perangkat teknologi, serta harmonisasi antar stakeholder masih menjadi tantangan yang perlu diatasi secara bertahap.
Opini dan Rekomendasi
Artikel ini sangat bermanfaat, tidak hanya untuk praktisi dan akademisi, tetapi juga untuk pembuat kebijakan. Salah satu kekuatan utamanya adalah pemanfaatan data nyata dan studi kasus yang relevan, bukan sekadar teori. Meski pendekatan statistiknya sederhana, namun cukup efektif untuk menggambarkan persepsi pengguna BIM di lapangan.
Ke depan, disarankan untuk melakukan studi lanjutan dengan cakupan proyek yang lebih luas serta menggunakan metode statistik inferensial untuk menguji hubungan antar variabel. Pemerintah daerah dan asosiasi konstruksi juga perlu memberikan insentif bagi perusahaan yang ingin beralih ke sistem digital.
Selain itu, integrasi BIM dengan teknologi lain seperti Internet of Things (IoT), artificial intelligence (AI), dan cloud-based project management akan menjadi arah berikutnya dalam transformasi digital konstruksi.
Kesimpulan
Penelitian ini membuktikan bahwa penerapan BIM 5D pada proyek Dermaga Cruise dan Peti Kemas Terminal Gilimas memberikan dampak signifikan dalam berbagai aspek pelaksanaan proyek, mulai dari efisiensi waktu dan biaya hingga peningkatan kualitas desain dan koordinasi tim.
Meski investasi awal untuk perangkat keras dan lisensi cukup tinggi, manfaat jangka panjangnya jauh lebih besar. Oleh karena itu, penerapan BIM seharusnya tidak lagi menjadi pertimbangan, tetapi keharusan bagi industri konstruksi yang ingin bersaing secara global.
Sumber asli artikel:
Destiar Ultimaswari A.K, Buan Anshari, dan Suryawan Murtiadi. Kajian Peranan Building Information Modelling (BIM) 5D pada Perusahaan Jasa Konstruksi (Studi Kasus: Pembangunan Dermaga Cruise dan Peti Kemas Terminal Gili Mas Lembar). Jurnal Mitra Teknik Sipil (MBI), Vol.16 No.4, November 2021.