Analisis Industri
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 Oktober 2025
Sebuah Pencerahan di Tengah Deru Proyek Konstruksi
Beberapa hari yang lalu, saya berjalan melewati sebuah proyek konstruksi raksasa di pusat kota. Langit dipenuhi siluet derek yang menjulang, udara diramaikan oleh deru mesin dan teriakan para pekerja. Energi pembangunan begitu terasa. Pikiran pertama saya, seperti kebanyakan orang, adalah kekaguman. "Luar biasa," batin saya, "begitu banyak orang bekerja keras membangun masa depan."
Namun, saat saya berhenti sejenak dan mengamati lebih dekat, sebuah pertanyaan yang lebih dalam muncul. Siapa sebenarnya orang-orang ini? Dari mana mereka datang? Apa jenjang karier yang menanti mereka? Apakah pekerjaan ini memberi mereka rasa hormat dan kesempatan untuk berkembang, atau hanya sekadar upah harian untuk bertahan hidup?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang membawa saya pada sebuah jurnal penelitian setebal 17 halaman karya Padzil Fadzil Hassan, Mohd Sallehuddin Mat Noor, dan Hairuddin Mohammad. Sejujurnya, saya mengunduh paper itu dengan ekspektasi akan menemukan analisis akademis yang kering dan penuh jargon tentang "kesenjangan keterampilan" atau skill gap. Tapi yang saya temukan jauh lebih mengejutkan. Ini bukan sekadar laporan; ini adalah sebuah otopsi. Sebuah pembedahan mendalam terhadap sebuah sistem yang macet, yang mengungkap jejaring masalah yang begitu rumit dan saling mengunci, layaknya benang kusut.
Apa yang saya baca sore itu mengubah cara saya memandang setiap proyek konstruksi yang saya lewati. Ternyata, masalahnya bukan sekadar kurangnya pelatihan. Masalahnya jauh lebih besar, lebih sistemik, dan tersembunyi di depan mata.
Tanah yang Tandus Takkan Menumbuhkan Bunga: Membedah Ekosistem Eksternal Industri
Para peneliti menggunakan sebuah kerangka berpikir yang brilian: mereka membagi masalah menjadi dua "ekosistem". Yang pertama adalah Ekosistem Eksternal, yaitu kondisi di tingkat industri itu sendiri. Bayangkan jika Anda ingin menanam bunga-bunga indah (tenaga kerja lokal yang terampil dan termotivasi). Anda tidak bisa hanya menyebar benih (program pelatihan) dan berharap yang terbaik. Anda harus memastikan tanahnya subur, airnya cukup, dan tidak ada gulma yang mencekik (kondisi industri yang sehat).
Paper ini menunjukkan dengan data yang gamblang bahwa industri konstruksi Malaysia saat ini adalah tanah yang tandus. Dan inilah penyebabnya.
Lingkaran Setan Ekonomi yang Menjebak Semua Orang
Akar masalahnya, menurut penelitian ini, adalah ketergantungan masif pada tenaga kerja asing. Data dari CIDB menunjukkan bahwa 93% dari pekerja asing yang terdaftar di sektor konstruksi adalah pekerja tidak terampil (unskilled). Mereka datang dari negara-negara tetangga dan bersedia menerima upah yang jauh lebih rendah. Sebuah laporan menyebutkan, rata-rata upah pekerja konstruksi umum lokal adalah sekitar RM70 per hari, sementara pekerja asing bisa dibayar hanya RM57,50 per hari.
Ini bukan sekadar angka. Ini adalah mesin penggerak dari sebuah lingkaran setan yang destruktif:
Langkah 1: Upah Tertekan. Ketersediaan tenaga kerja asing yang murah dan melimpah secara drastis menekan standar upah di seluruh sektor. Bagi perusahaan, ini adalah pilihan bisnis yang logis dalam jangka pendek: mengapa membayar lebih jika ada yang mau dibayar lebih murah?
Langkah 2: Tenaga Kerja Lokal Mundur. Upah yang rendah, ditambah dengan kondisi kerja yang berat, membuat karier di bidang konstruksi menjadi sangat tidak menarik bagi warga lokal. Mereka pun "menghindari" industri ini dan mencari peluang di sektor lain yang menawarkan gaji dan martabat yang lebih baik.
Langkah 3: Ketergantungan Makin Dalam. Kekosongan yang ditinggalkan oleh tenaga kerja lokal ini kemudian diisi oleh lebih banyak lagi pekerja asing. Hal ini semakin memperkuat tekanan ke bawah pada upah, dan siklus pun berulang.
Dampaknya tidak berhenti di situ. Karena tenaga kerja begitu murah, perusahaan tidak memiliki insentif kuat untuk berinvestasi pada teknologi, otomatisasi, atau metode konstruksi yang lebih efisien seperti Industrialised Building System (IBS). Akibatnya, pekerjaan konstruksi tetap bersifat padat karya, manual, dan berbahaya. Ini, pada gilirannya, memperkuat citra "3D"—Dirty, Dangerous, and Difficult (Kotor, Berbahaya, dan Sulit)—yang semakin menjauhkan generasi muda Malaysia dari industri ini.
Fragmentasi Brutal dan Keengganan untuk Melatih
Masalah diperparah oleh struktur industrinya sendiri. Malaysia memiliki lebih dari 70.500 kontraktor terdaftar. Jika dihitung, rasionya adalah sekitar 1 kontraktor untuk setiap 614 penduduk—salah satu yang tertinggi di dunia. Bayangkan sebuah pasar yang begitu sesak. Persaingan menjadi sangat ketat, margin keuntungan menipis, dan sebagian besar perusahaan adalah pemain kecil yang berjuang untuk bertahan hidup.
Dalam kondisi seperti ini, siapa yang mau dan mampu berinvestasi dalam pelatihan? Logika bisnisnya sederhana namun cacat: "Untuk apa saya menghabiskan uang melatih seorang pekerja, jika setelah dia terampil, dia akan langsung dibajak oleh pesaing saya dengan tawaran gaji sedikit lebih tinggi?".
Praktik subkontrak berlapis yang merajalela juga membuat tanggung jawab untuk melatih menjadi kabur. Kontraktor utama menyubkontrakkan pekerjaan ke perusahaan yang lebih kecil, yang kemudian menyubkontrakkan lagi. Di tengah rantai yang panjang dan terputus-putus ini, tidak ada satu pihak pun yang merasa memiliki kewajiban untuk mengembangkan sumber daya manusia dalam jangka panjang.
Hasil akhirnya adalah sebuah bom waktu demografis. Tenaga kerja lokal yang masih bertahan di industri ini adalah generasi tua yang rata-rata berusia 50-60 tahun. Mereka akan segera pensiun, dan tidak ada generasi penerus yang siap menggantikan. Pengetahuan, pengalaman, dan keahlian praktis yang mereka miliki selama puluhan tahun tidak ditransfer secara sistematis dan terancam hilang selamanya.
Ironi Terbesar: Ketika Solusi Justru Menjadi Bagian dari Masalah
Jika Ekosistem Eksternal adalah tanah yang tandus, maka Ekosistem Internal—yaitu sistem pendidikan dan pelatihannya sendiri—adalah benih yang kurang berkualitas. Ironisnya, upaya-upaya yang dirancang untuk menjadi solusi justru menjadi bagian dari masalah.
Bayangkan Anda ingin menjadi koki andal. Anda mendaftar ke sekolah kuliner ternama. Tapi setibanya di sana, Anda hanya diajarkan teori nutrisi, sejarah masakan dunia, dan manajemen restoran di dalam kelas. Anda tidak pernah diizinkan menyentuh pisau, kompor, atau bahan makanan segar. Setelah lulus, Anda memang memegang sertifikat, tapi Anda sama sekali tidak bisa memasak.
Inilah gambaran pedih dari sistem pendidikan dan pelatihan konstruksi yang diungkap oleh paper ini.
Sekolah yang Mengajarkan Peta Lama
Di tingkat pendidikan tinggi, para peneliti menemukan adanya "ketidakcocokan" (mismatches) yang serius antara kurikulum universitas dengan kebutuhan nyata industri. Lulusan Building Surveying diragukan kemampuannya, program arsitektur dan teknik kurang mengajarkan manajemen proyek, kurikulum Quantity Surveying (QS) dianggap sudah usang, dan isu-isu krusial seperti etika profesi dan keberlanjutan (sustainability) kurang mendapat penekanan.
Terciptalah sebuah paradoks kualifikasi. Universitas sibuk mencetak ribuan sarjana setiap tahun, menciptakan ilusi kemajuan. Namun, industri terus mengeluh bahwa mereka "tidak menghasilkan lulusan dengan keterampilan yang sesuai". Lembaga pendidikan seolah beroperasi dalam menara gading, terisolasi dari realitas lapangan yang dinamis dan terus berubah.
Pelatihan yang Hanya Formalitas
Di tingkat vokasi atau kejuruan, situasinya lebih parah. Sebagian besar program pelatihan yang ada dikritik karena:
Terlalu berbasis kelas (classroom-based).
Kurang pelatihan praktik langsung (hands-on).
Materinya terlepas dari tugas dan tantangan nyata di lokasi proyek.
Studi ini menemukan fakta yang mencengangkan: banyak kontraktor mengikuti pelatihan bukan untuk meningkatkan kompetensi, melainkan hanya karena itu adalah syarat wajib untuk memperbarui lisensi mereka. Pelatihan menjadi sekadar formalitas administratif.
Bahkan program ambisius yang dirancang dengan baik seperti National Dual Training System (NDTS)—sebuah skema magang terintegrasi—gagal total karena respons yang sangat buruk dari perusahaan. Mereka tidak tertarik untuk berpartisipasi. Lebih menyedihkan lagi, sebuah studi terhadap peserta pelatihan di akademi konstruksi milik pemerintah (ABM) menemukan bahwa banyak peserta muda mengikuti program tersebut hanya untuk mengisi waktu luang dan mendapatkan uang saku, tanpa niat serius untuk berkarier di bidang konstruksi.
Melihat kegagalan model pelatihan konvensional ini, saya jadi berpikir, model seperti apa yang sebenarnya berhasil? Mungkin yang lebih fokus pada hasil praktis, relevansi industri, dan fleksibilitas. Model yang tidak terjebak dalam birokrasi, melainkan yang benar-benar menjawab kebutuhan pasar kerja saat ini, seperti yang coba ditawarkan oleh platform (https://diklatkerja.com/).
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Puing-Puing Ini?
Membaca analisis yang begitu tajam ini membuat saya merenung. Ini bukan hanya cerita tentang industri konstruksi di Malaysia. Ini adalah studi kasus tentang bagaimana sebuah sistem yang kompleks bisa gagal. Ada beberapa pelajaran universal yang bisa kita petik.
🚀 Hasilnya luar biasa: Masalahnya bukan terletak pada individu—bukan karena pekerjanya malas atau perusahaannya serakah. Masalahnya ada pada sistem yang secara inheren menjebak semua orang untuk berperilaku tidak produktif dalam jangka panjang. Memperbaiki satu bagian saja (misalnya, dengan menambah anggaran pelatihan) tidak akan pernah berhasil jika lingkungan di sekitarnya tetap beracun.
🧠 Inovasinya: Pendekatan "ekosistem" yang digunakan dalam paper ini adalah cara berpikir yang sangat kuat. Ini mengajarkan kita untuk mencari hubungan tersembunyi antara faktor ekonomi (upah), kebijakan (tenaga kerja asing), pendidikan (kurikulum), dan budaya kerja (citra 3D). Kita bisa menggunakan lensa ini untuk menganalisis masalah kronis di industri mana pun, termasuk di tempat kita bekerja.
💡 Pelajaran: Jangan pernah menerima jawaban, "memang sudah dari sananya begitu." Kita harus berani mempertanyakan insentif yang mendasari sebuah sistem. Mengapa perusahaan lebih memilih mempekerjakan tenaga kerja murah daripada berinovasi dengan teknologi? Mengapa sekolah lebih fokus pada jumlah sertifikat yang dikeluarkan daripada kompetensi lulusannya? Jawabannya hampir selalu terletak pada struktur insentif yang salah.
Meskipun analisis makro dari paper ini sangat tajam dan membuka mata, saya merasa ada satu elemen yang hilang: suara manusianya. Saya ingin sekali membaca studi lanjutan yang menceritakan kisah para pekerja—baik lokal maupun asing—dan para pemilik usaha kecil yang setiap hari berjuang di dalam sistem yang menjebak ini. Analisis abstraknya memang kuat, tapi cerita manusialah yang pada akhirnya akan benar-benar menggerakkan perubahan.
Memutus Rantai: Sebuah Pemikiran Akhir
Pada akhirnya, paper ini meninggalkan saya dengan satu kesimpulan besar: kesehatan sebuah industri bergantung pada hubungan simbiosis antara "tanah" (Ekosistem Eksternal) dan "benih" (Ekosistem Internal). Jika tanahnya tandus dan penuh gulma, benih terbaik sekalipun tidak akan tumbuh. Sebaliknya, jika benihnya berkualitas buruk, tanah sesubur apa pun tidak akan menghasilkan panen yang baik.
Mustahil memperbaiki sistem pendidikan dan pelatihan tanpa mereformasi struktur insentif di industrinya. Dan mustahil mereformasi industri tanpa pasokan talenta berkualitas dari sistem pendidikan. Keduanya harus dibenahi secara holistik dan terintegrasi.
Ini adalah pelajaran yang jauh melampaui menara beton dan kerangka baja. Coba lihatlah industri Anda sendiri. Adakah "jebakan tak terlihat" atau "lingkaran setan" serupa yang menahan semua orang untuk maju? Apa itu, dan bagaimana kita bisa mulai memetakan jalan keluarnya?
Selami Lebih Dalam
Analisis saya ini hanya menggores permukaan dari kekayaan data dan argumen dalam paper aslinya. Jika Anda tertarik untuk memahami masalah ini secara lebih mendalam—dan saya jamin ini akan mengubah cara pandang Anda—saya sangat merekomendasikan Anda untuk membacanya sendiri.