Sumber Daya Alam

Adaptasi Perubahan Iklim oleh Organisasi Pengelola Air – Enabler dan Hambatan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Mengapa Adaptasi Pengelolaan Air Penting?

Perubahan iklim saat ini secara nyata berdampak pada siklus air global, termasuk perubahan pola curah hujan, peningkatan suhu, dan kejadian ekstrem seperti banjir dan kekeringan. Organisasi pengelola air—baik pemerintah, swasta, maupun lembaga non-pemerintah—berperan sentral dalam mengelola sumber daya air yang vital bagi masyarakat dan ekosistem. Namun, kemampuan organisasi-organisasi ini untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim masih menjadi tantangan besar. Paper berjudul “Adapting to climate change by water management organisations: Enablers and barriers” oleh Adani Azhoni, Simon Jude, dan Ian Holman (2018) mengkaji secara komprehensif faktor-faktor yang memfasilitasi dan menghambat adaptasi organisasi pengelola air terhadap perubahan iklim, dengan fokus pada konteks global dan khususnya negara berkembang.

Kerangka Teoritis: Kapasitas Adaptif dan Hambatan Adaptasi

Kapasitas Adaptif Organisasi

Kapasitas adaptif didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem atau organisasi untuk menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim, memanfaatkan peluang, atau merespons konsekuensi negatifnya. Dalam konteks organisasi pengelola air, kapasitas ini mencakup:

  • Kesadaran dan pengetahuan tentang risiko iklim dan opsi adaptasi.
  • Kemampuan teknis dan infrastruktur, seperti teknologi monitoring dan pengelolaan air.
  • Sumber daya ekonomi dan kelembagaan, termasuk dana, kebijakan, dan fleksibilitas organisasi.
  • Kepemimpinan visioner dan struktur organisasi yang mendukung pembelajaran dan pengambilan keputusan adaptif.

Penelitian menunjukkan bahwa meskipun ada konsensus umum tentang dimensi kapasitas adaptif, evaluasi kapasitas ini sangat kompleks karena sifatnya yang dinamis, kontekstual, dan tersembunyi (latent). Misalnya, indikator kuantitatif sering kali gagal menangkap nuansa lokal dan perubahan waktu yang cepat1.

Hambatan Adaptasi

Hambatan adaptasi adalah faktor-faktor yang menghalangi atau memperlambat kemampuan organisasi untuk melakukan adaptasi efektif. Hambatan ini dapat bersifat:

  • Kognitif, seperti kurangnya pemahaman risiko atau skeptisisme terhadap perubahan iklim.
  • Institusional dan birokratis, termasuk aturan yang kaku, kurangnya koordinasi antar lembaga, dan proses pengambilan keputusan yang lambat.
  • Sosial dan budaya, seperti sikap apatis, kurangnya dukungan politik, dan norma yang menghambat inovasi.
  • Sumber daya terbatas, baik dana maupun teknologi.

Paper ini menegaskan bahwa hambatan-hambatan ini sering saling terkait dan sulit diatasi tanpa pendekatan yang holistik dan kontekstual1.

Studi Kasus dan Temuan Empiris

Paper ini mengulas berbagai studi empiris dari negara maju dan berkembang, menyoroti bagaimana faktor-faktor di atas berperan dalam konteks nyata:

  • India (Himachal Pradesh): Organisasi pengelola air menghadapi hambatan berupa birokrasi yang kompleks dan kurangnya koordinasi antar lembaga, serta keterbatasan sumber daya teknis dan finansial. Hal ini menghambat respons adaptif terhadap perubahan pola curah hujan dan risiko banjir1.
  • Australia dan Inggris: Studi menunjukkan bahwa meskipun ada kesadaran tinggi dan strategi adaptasi yang dirancang, implementasi sering terhambat oleh ketidakjelasan tujuan, kurangnya indikator keberhasilan yang spesifik, dan keterbatasan kapasitas lokal dalam menerjemahkan kebijakan nasional ke tingkat daerah1.
  • Kasus Transboundary Water Management: Organisasi yang mengelola sumber daya air lintas batas negara menghadapi tantangan koordinasi dan kesepakatan kebijakan yang rumit, yang menghambat pengelolaan adaptif yang efektif1.

Strategi Adaptasi yang Diterapkan

Paper ini mengklasifikasikan strategi adaptasi dalam pengelolaan air menjadi beberapa kategori utama:

  1. Manajemen Sisi Pasokan dan Permintaan
    • Konservasi air, peningkatan efisiensi penggunaan, dan pengelolaan ulang sumber daya air.
    • Contoh: Pengurangan kebocoran jaringan distribusi dan penggunaan teknologi pengukuran untuk meningkatkan efisiensi air di Iran2.
  2. Pengoperasian Sistem dan Optimalisasi
    • Pembaruan kurva operasi waduk menggunakan algoritma optimasi untuk mengantisipasi perubahan pola hidrologi akibat iklim.
    • Studi Rheinheimer et al. (2016) menunjukkan bahwa redefinisi indeks klasifikasi tahun air (Water Year Type) efektif untuk adaptasi2.
  3. Pengembangan Infrastruktur dan Teknologi
    • Pembangunan bendungan baru, sistem panen air hujan, dan penerapan teknologi pengolahan air limbah untuk digunakan kembali.
    • Pendekatan ini seringkali mahal dan memerlukan investasi besar, sehingga perlu dikombinasikan dengan strategi non-struktural2.
  4. Pendekatan Bottom-Up dan Partisipatif
    • Meningkatkan ketahanan sistem pengelolaan air melalui keterlibatan masyarakat dan multi-stakeholder, serta penguatan jaringan antar organisasi.
    • Pendekatan ini dianggap penting untuk mengatasi hambatan sosial dan kelembagaan13.

Peran Jaringan Antar-Organisasi dan Organisasi Transboundary

Salah satu kontribusi penting paper ini adalah penekanan pada pentingnya jaringan antar-organisasi dan organisasi transboundary sebagai pendorong kapasitas adaptif:

  • Jaringan Antar-Organisasi memungkinkan pertukaran pengetahuan, sumber daya, dan koordinasi lintas sektor dan skala pemerintahan.
  • Organisasi Transboundary berperan sebagai jembatan antara ilmu pengetahuan dan kebijakan, serta menghubungkan berbagai aktor yang memiliki kepentingan berbeda.
  • Namun, jaringan ini juga menghadapi risiko dominasi oleh aktor tertentu dan konflik kepentingan yang dapat menghambat adaptasi yang inklusif dan efektif1.

Kritik dan Opini Tambahan

Paper ini memberikan gambaran komprehensif tentang kompleksitas adaptasi organisasi pengelola air, namun terdapat beberapa catatan penting:

  • Evaluasi Kapasitas Adaptif dan Keberhasilan Adaptasi masih sangat terbatas, terutama di negara berkembang. Banyak studi fokus pada perencanaan dan kesiapan, namun bukti nyata implementasi dan hasil adaptasi masih minim.
  • Hambatan Sosial dan Politik sering kali kurang mendapat perhatian yang memadai, padahal faktor-faktor ini sangat menentukan keberhasilan adaptasi di lapangan.
  • Pendekatan Integratif yang menggabungkan aspek teknis, sosial, ekonomi, dan kelembagaan sangat diperlukan untuk mengatasi hambatan yang saling terkait.
  • Konteks Lokal harus menjadi fokus utama dalam desain dan evaluasi adaptasi, mengingat perbedaan kondisi sosial-ekonomi dan institusional yang sangat besar antar wilayah.

Dalam konteks tren global, paper ini relevan dengan peningkatan perhatian pada adaptasi berbasis ekosistem, pengelolaan sumber daya air secara terintegrasi, dan pentingnya governance multi-level dalam menghadapi perubahan iklim. Pendekatan bottom-up yang partisipatif dan penggunaan teknologi informasi terkini (big data, monitoring real-time) menjadi kunci masa depan adaptasi pengelolaan air3.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Paper ini menyimpulkan bahwa adaptasi organisasi pengelola air terhadap perubahan iklim adalah proses kompleks yang dipengaruhi oleh kapasitas adaptif internal, hambatan eksternal, dan interaksi antar organisasi. Untuk meningkatkan efektivitas adaptasi, diperlukan:

  • Penguatan kapasitas adaptif melalui peningkatan pengetahuan, sumber daya, dan struktur organisasi yang fleksibel.
  • Pengembangan dan pemeliharaan jaringan antar-organisasi serta peran aktif organisasi transboundary.
  • Pendekatan adaptasi yang kontekstual, inklusif, dan mengintegrasikan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
  • Penelitian lebih lanjut untuk memahami hambatan adaptasi secara mendalam dan bagaimana mengatasinya dalam berbagai konteks.

Dengan demikian, paper ini menjadi referensi penting bagi pembuat kebijakan, praktisi pengelolaan air, dan peneliti yang ingin memahami tantangan dan peluang adaptasi perubahan iklim dalam sektor air.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Azhoni, A., Jude, S., Holman, I. (2018). Adapting to climate change by water management organisations: Enablers and barriers. Journal of Hydrology, 559, 736–748.

 

Selengkapnya
Adaptasi Perubahan Iklim oleh Organisasi Pengelola Air – Enabler dan Hambatan

Sumber Daya Air

Membangun Ketahanan Tata Kelola Air: Resensi Kritis dan Studi Kasus Afrika Selatan & Kamboja

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Ketahanan Air di Era Perubahan Iklim

Ketahanan atau resilience kini menjadi salah satu tema sentral dalam diskusi tata kelola sumber daya air. Di tengah ancaman perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan tekanan pada ekosistem, pengelolaan air yang tahan guncangan dan mampu beradaptasi menjadi kebutuhan mendesak. Artikel “Bringing resilience-thinking into water governance: Two illustrative case studies from South Africa and Cambodia” karya A. Fallon, R.W. Jones, dan M. Keskinen (2022) menawarkan perspektif baru dengan mengintegrasikan pemikiran ketahanan ke dalam tata kelola air, serta mengujinya lewat dua studi kasus nyata: Danau Tonle Sap di Kamboja dan sub-DAS Limpopo di Afrika Selatan.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana isu krisis air dan keadilan akses air semakin sering menjadi sorotan. Dengan mengangkat contoh konkret dari dua benua berbeda, penulis menyoroti bahwa ketahanan bukan sekadar soal bertahan dari bencana, tetapi juga kemampuan sistem sosial-ekologis untuk beradaptasi dan bahkan bertransformasi menuju tata kelola air yang lebih adil dan berkelanjutan.

Menyatukan Sistem Sosial-Ekologis, Ketahanan, dan Tata Kelola

Sistem Sosial-Ekologis (SES): Kompleksitas dan Keterhubungan

Penulis mengawali dengan konsep sistem sosial-ekologis, yaitu sistem yang terdiri dari komponen manusia (sosial) dan lingkungan (ekologis) yang saling terhubung. Dalam konteks air, ini berarti pengelolaan air tidak bisa dilepaskan dari interaksi sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Sistem ini bersifat dinamis, adaptif, dan rentan terhadap perubahan mendadak.

Ketahanan: Lebih dari Sekadar Bertahan

Ketahanan dalam artikel ini dipahami sebagai kemampuan sistem untuk:

  • Menyerap gangguan tanpa kehilangan fungsi inti (kapasitas absorptif)
  • Beradaptasi terhadap perubahan (kapasitas adaptif)
  • Bertransformasi menuju sistem yang lebih baik (kapasitas transformatif)

Ketahanan juga dipandang sebagai properti (ciri khas sistem), proses (cara sistem berubah), dan hasil (tingkat keberhasilan bertahan/adaptasi).

Tata Kelola Interaktif: Keadilan dan Dinamika Kekuasaan

Tata kelola air tidak hanya soal aturan formal, tetapi juga soal siapa yang punya suara, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana keputusan diambil. Penulis menekankan pentingnya memperhatikan dinamika kekuasaan, keadilan, dan partisipasi dalam tata kelola air.

Kerangka Resilience-Governance

Dari ketiga teori di atas, penulis membangun kerangka “resilience–governance” yang menekankan pentingnya:

  • Tiga kapasitas ketahanan (absorptif, adaptif, transformatif)
  • Tiga cara memandang ketahanan (properti, proses, hasil)
  • Integrasi aspek kekuasaan dan keadilan
  • Analisis lintas-skala (lokal hingga nasional)

Kerangka ini menjadi alat analisis untuk memahami dan memperbaiki tata kelola air di berbagai konteks.

Studi Kasus 1: Danau Tonle Sap, Kamboja

Latar Belakang

Danau Tonle Sap merupakan danau terbesar di Asia Tenggara dengan siklus air unik: air mengalir masuk dan keluar danau mengikuti musim, menyebabkan banjir musiman yang sangat penting bagi ekosistem dan ekonomi lokal. Lebih dari 1,2 juta orang bergantung pada danau ini, terutama dari sektor perikanan dan pertanian.

Tantangan Tata Kelola

Penurunan volume air akibat pembangunan bendungan di hulu, perubahan iklim, dan konversi lahan basah menjadi ancaman utama. Selain itu, persaingan antar pengguna air dan eksploitasi berlebihan memperparah tekanan pada sistem. Tata kelola air di kawasan ini sangat kompleks, melibatkan banyak lembaga dan sering kali tumpang tindih kewenangan.

Analisis Ketahanan

  • Kapasitas absorptif: Komunitas lokal selama bertahun-tahun mampu bertahan dari fluktuasi musiman. Namun, perubahan jangka panjang seperti penurunan debit air mulai menggerus ketahanan ini.
  • Kapasitas adaptif: Masyarakat mulai mencoba diversifikasi mata pencaharian, namun akses terhadap modal, teknologi, dan informasi masih terbatas.
  • Kapasitas transformatif: Upaya reformasi tata kelola, misalnya lewat pembentukan Komite Pengelolaan Tonle Sap, masih menghadapi tantangan politik dan minimnya partisipasi masyarakat.

Data dan Fakta

  • Luas danau: 2.500 km² di musim kering, hingga 15.000 km² di musim hujan.
  • Populasi terdampak: lebih dari 1,2 juta jiwa.
  • Penurunan hasil tangkapan ikan: sekitar 20% dalam 10 tahun terakhir.

Pelajaran dari Tonle Sap

Ketahanan komunitas sangat bergantung pada fleksibilitas sosial dan jaringan informal. Namun, intervensi eksternal seperti pembangunan bendungan di hulu dapat mengganggu keseimbangan sistem dan memperburuk kerentanan masyarakat lokal. Keadilan dalam distribusi manfaat dan beban menjadi isu sentral yang belum terselesaikan.

Studi Kasus 2: Sub-DAS Limpopo, Afrika Selatan

Latar Belakang

Doringlaagte, salah satu sub-catchment di DAS Limpopo, menghadapi masalah penurunan air tanah akibat irigasi intensif dan perubahan iklim. Sistem tata kelola di sini merupakan campuran antara aturan formal yang lemah dan mekanisme informal berbasis komunitas.

Tantangan Tata Kelola

Kekurangan air menjadi masalah utama, dengan penurunan air tanah hingga 2 meter dalam satu dekade terakhir. Konflik antar pengguna air, khususnya antara petani besar dan kecil, makin sering terjadi. Pemerintah daerah kurang efektif, sehingga komunitas mengembangkan mekanisme swakelola.

Analisis Ketahanan

  • Kapasitas absorptif: Komunitas masih mampu bertahan dari kekeringan jangka pendek, namun kapasitas ini terus menurun seiring penurunan cadangan air tanah.
  • Kapasitas adaptif: Sebagian petani mulai mengadopsi teknologi irigasi hemat air, namun adopsinya masih terbatas akibat keterbatasan modal dan pengetahuan.
  • Kapasitas transformatif: Ada potensi transformasi melalui kolaborasi lintas aktor, namun terhambat oleh ketidaksetaraan akses dan kurangnya kepercayaan antar kelompok.

Data dan Fakta

  • Penurunan air tanah: rata-rata 0,2 meter per tahun selama 10 tahun terakhir.
  • Jumlah petani yang bergantung pada air tanah: sekitar 150 keluarga.
  • Proporsi air yang digunakan untuk irigasi: lebih dari 80% dari total pengambilan air.

Pelajaran dari Limpopo

Ketahanan sistem sangat dipengaruhi oleh interaksi antara tata kelola formal dan informal. Ketidaksetaraan dalam akses air memperparah kerentanan kelompok kecil. Transformasi tata kelola membutuhkan perubahan struktur kekuasaan dan insentif yang lebih adil.

Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Artikel ini memberikan kontribusi penting dengan mengintegrasikan dimensi kekuasaan dan keadilan ke dalam diskusi ketahanan air, aspek yang sering diabaikan dalam penelitian sebelumnya. Banyak studi masih terfokus pada aspek teknis atau ekologi, sementara aspek sosial-politik dan distribusi manfaat/beban kurang diperhatikan.

Dibandingkan pendekatan Integrated Water Resources Management (IWRM) yang lebih normatif dan struktural, kerangka resilience–governance lebih menekankan dinamika proses, pembelajaran, dan kemungkinan transformasi. Namun, tantangan utama tetap pada implementasi: bagaimana memastikan partisipasi yang bermakna, mengatasi ketimpangan kekuasaan, dan mengintegrasikan pengetahuan lokal ke dalam tata kelola formal.

Relevansi dengan Tren Global dan Industri

  • Perubahan iklim: Kedua studi kasus menunjukkan bahwa ketahanan air tidak bisa dipisahkan dari adaptasi terhadap perubahan iklim.
  • SDGs dan keadilan air: Isu distribusi manfaat dan keadilan sangat relevan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 6 (Air Bersih dan Sanitasi) dan SDG 10 (Mengurangi Ketimpangan).
  • Teknologi dan inovasi sosial: Transformasi tata kelola air membutuhkan kombinasi inovasi teknologi (misal: irigasi hemat air) dan inovasi sosial (misal: mekanisme kolaboratif dan partisipatif).

Opini dan Rekomendasi

Kerangka resilience–governance yang dikembangkan penulis sangat relevan untuk konteks Indonesia, di mana tata kelola air juga menghadapi tantangan kompleks, mulai dari konflik antar pengguna, perubahan iklim, hingga ketimpangan akses. Pendekatan ini dapat diadaptasi untuk memperkuat ketahanan sistem air di DAS kritis seperti Citarum atau Brantas.

Namun, perlu diingat bahwa transformasi tata kelola tidak cukup hanya dengan perubahan struktur formal. Diperlukan upaya membangun kepercayaan, memperkuat kapasitas lokal, dan mengatasi hambatan politik yang seringkali menjadi akar masalah.

Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Air yang Tangguh dan Inklusif

Artikel ini berhasil menunjukkan bahwa ketahanan dalam tata kelola air bukan sekadar soal bertahan dari gangguan, tetapi juga tentang kemampuan beradaptasi dan bertransformasi menuju sistem yang lebih adil dan berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan teori sistem sosial-ekologis, ketahanan, dan tata kelola interaktif, penulis menawarkan kerangka analisis yang komprehensif dan aplikatif.

Studi kasus dari Kamboja dan Afrika Selatan mempertegas bahwa tantangan utama bukan hanya pada aspek teknis, tetapi juga pada dinamika sosial-politik, keadilan, dan kekuasaan. Transformasi tata kelola air membutuhkan perubahan paradigma, dari pendekatan “command and control” menuju tata kelola yang lebih partisipatif, inklusif, dan adaptif.

Bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan peneliti, kerangka resilience–governance ini dapat menjadi referensi penting dalam merancang intervensi yang tidak hanya tahan terhadap gangguan, tetapi juga mampu menciptakan perubahan positif bagi masyarakat dan lingkungan.

Sumber artikel asli:

Fallon, A., Jones, R.W., & Keskinen, M. (2022). Bringing resilience-thinking into water governance: Two illustrative case studies from South Africa and Cambodia. Global Environmental Change, 75, 102542.

Selengkapnya
Membangun Ketahanan Tata Kelola Air: Resensi Kritis dan Studi Kasus Afrika Selatan & Kamboja

Sumber Daya Alam

Risk Management and Decision-Making in Relation to Sustainable Development

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Tantangan Pengelolaan Risiko di Era Perubahan Iklim

Perubahan iklim telah menjadi ancaman utama bagi keberlanjutan pembangunan global. Laporan khusus IPCC “Risk Management and Decision-Making in Relation to Sustainable Development” (Bab 7, Climate Change and Land, 2019) membedah keterkaitan antara risiko iklim, pengelolaan lahan, dan pengambilan keputusan dalam pembangunan berkelanjutan. Artikel ini sangat relevan di tengah meningkatnya bencana iklim, krisis pangan, dan tekanan pada sistem ekologi serta sosial. Dengan pendekatan multidisiplin, laporan ini mengulas risiko-risiko utama, studi kasus nyata, serta strategi kebijakan yang dapat diadopsi oleh negara-negara di dunia.

Risiko Perubahan Iklim terhadap Sistem Lahan dan Manusia

Dampak Fisik dan Sosial yang Semakin Kompleks

Peningkatan suhu permukaan global diproyeksikan menyebabkan berbagai dampak serius, seperti degradasi permafrost, erosi pantai, peningkatan kebakaran hutan, penurunan hasil panen di daerah lintang rendah, dan berkurangnya ketersediaan air. Dampak-dampak ini telah diamati di seluruh dunia dan berpotensi menjadi tidak dapat dipulihkan jika suhu terus meningkat1.

Beberapa temuan kunci:

  • Penurunan hasil panen: Di wilayah tropis, termasuk Sub-Sahara Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika Tengah-Selatan, hasil panen diperkirakan turun drastis akibat suhu tinggi dan kekeringan.
  • Ketersediaan air: Wilayah kering menghadapi risiko kekurangan air yang lebih besar, terutama jika suhu global naik lebih dari 1,5°C.
  • Kesehatan ekosistem dan manusia: Kerusakan ekosistem, migrasi, hingga konflik sosial dipicu oleh ketidakstabilan pangan dan lahan.

Risiko Komposit dan Ketimpangan Wilayah

Risiko tidak tersebar merata. Negara-negara tropis dan berkembang lebih rentan terhadap penurunan hasil panen dan krisis air, sementara wilayah lintang tinggi mungkin mendapat manfaat jangka pendek dari pemanasan global. Namun, wilayah Mediterania, Korea, Gobi, dan Amerika Serikat bagian barat juga menghadapi ancaman kekeringan, badai debu, dan kebakaran hutan1.

Studi Kasus: Proyeksi Risiko Berdasarkan Skenario Pembangunan

Laporan IPCC menggunakan dua skenario utama, SSP1 (pembangunan berkelanjutan) dan SSP3 (pembangunan tidak merata), untuk memproyeksikan risiko di masa depan:

  • SSP1 (Skenario Berkelanjutan):
    • Hanya sekitar 3% populasi daerah kering yang akan terpapar stres air pada suhu 3°C di tahun 2050.
    • Sekitar 2 juta orang diperkirakan terpapar perubahan hasil panen pada suhu 1,5°C.
  • SSP3 (Skenario Tidak Merata):
    • 20% populasi daerah kering sudah terpapar stres air pada suhu 1,5°C, meningkat jadi 24% pada suhu 3°C.
    • Lebih dari 20 juta orang terpapar perubahan hasil panen pada suhu 1,5°C, melonjak ke 854 juta orang pada suhu 3°C1.

Dampak sosialnya sangat besar: kemiskinan meningkat, migrasi terpaksa, dan konflik agraria makin sering terjadi.

Risiko dari Respons Adaptasi dan Mitigasi

Solusi yang Bisa Menjadi Pedang Bermata Dua

Adaptasi dan mitigasi berbasis lahan, seperti perluasan bioenergi dan teknologi penangkapan karbon (BECCS), berpotensi menimbulkan risiko baru. Jika diterapkan secara masif, solusi ini dapat mengurangi ketersediaan lahan untuk pangan dan mengancam ekosistem. Dalam skenario SSP1, penggunaan lahan untuk bioenergi hingga 4 juta km² masih dianggap berkelanjutan. Namun, pada SSP3, skala ini justru menimbulkan risiko tinggi bagi ketahanan pangan dan ekosistem1.

Studi Kasus: Bioenergi dan Ketahanan Pangan

  • Bioenergi dan BECCS: Dalam skenario pembangunan berkelanjutan (SSP1), penggunaan lahan untuk bioenergi hingga 4 juta km² masih dapat diterima. Namun, dalam skenario pembangunan tidak merata (SSP3), risiko terhadap ketahanan pangan dan ekosistem meningkat drastis bahkan pada skala yang sama1.
  • Dampak pada harga pangan: Kebijakan domestik yang bertujuan melindungi masyarakat dari lonjakan harga pangan akibat krisis iklim justru memperparah kemiskinan global pada pertengahan 2000-an, menunjukkan pentingnya koordinasi kebijakan global1.

Kebijakan dan Instrumen Pengelolaan Risiko

Kebijakan Multi-Level dan Inklusif

Laporan IPCC menekankan perlunya kebijakan lintas sektor dan multi-level, dari lokal hingga nasional, yang terintegrasi dan responsif terhadap perubahan iklim. Instrumen kebijakan yang efektif meliputi:

  • Regulasi penggunaan lahan: Pengaturan tata guna lahan yang ketat dapat mengurangi trade-off antara mitigasi iklim dan ketahanan pangan.
  • Pengurangan ketergantungan pada biomassa tradisional: Transisi ke energi bersih dan efisien sangat penting untuk mengurangi emisi dan tekanan pada lahan.
  • Perlindungan sosial dan ketahanan pangan: Jaringan pengaman sosial dan kebijakan pangan harus disesuaikan dengan risiko iklim yang semakin dinamis.

Studi Kasus: New Zealand Emissions Trading Scheme (ETS)

Salah satu contoh nyata adalah kebijakan ETS di Selandia Baru yang memasukkan sektor pertanian ke dalam skema perdagangan emisi. Kebijakan ini mendorong inovasi dan efisiensi dalam produksi pertanian sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, tantangan tetap ada, seperti perlunya insentif tambahan dan perlindungan bagi petani kecil agar tidak terdampak negatif1.

Studi Kasus: REDD+ di Amazon dan India

Program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) di Amazon dan India menjadi contoh instrumen konservasi hutan yang efektif menurunkan emisi sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat lokal. Namun, keberhasilan program sangat tergantung pada tata kelola yang transparan, partisipasi masyarakat, dan perlindungan hak atas tanah1.

Pengambilan Keputusan Adaptif dan Inklusif

Mengelola Ketidakpastian dan Risiko

Pengambilan keputusan dalam pengelolaan risiko iklim harus adaptif, berbasis data, dan inklusif. Pendekatan adaptif memungkinkan kebijakan diubah sesuai perkembangan risiko dan pengetahuan terbaru. Keterlibatan masyarakat lokal, perempuan, dan kelompok rentan sangat penting agar kebijakan lebih adil dan efektif1.

Studi Kasus: Konflik Bioenergi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati

Pembangunan energi terbarukan seperti bioenergi, tenaga air, dan solar skala besar dapat berdampak negatif pada keanekaragaman hayati dan ekosistem air. Misalnya, pembangunan bendungan kecil secara berkelompok dapat mengganggu konektivitas sungai dan habitat ikan, sementara ladang solar dan turbin angin skala besar bisa mengancam spesies langka dan merusak habitat alami1.

Peran Pengetahuan Lokal dan Adat

Pengetahuan lokal dan adat terbukti efektif dalam mengelola risiko iklim dan lahan. Kolaborasi antara ilmuwan, pembuat kebijakan, dan komunitas lokal dapat menghasilkan solusi inovatif dan berkelanjutan. Misalnya, praktik pertanian tradisional di beberapa wilayah Afrika dan Asia mampu meningkatkan ketahanan pangan dan konservasi lahan1.

Perbandingan dengan Penelitian Lain dan Tren Industri

Kritik dan Nilai Tambah

Laporan IPCC ini lebih komprehensif daripada banyak studi sebelumnya karena mengintegrasikan aspek fisik, sosial, ekonomi, dan tata kelola dalam satu kerangka analisis. Banyak penelitian terdahulu hanya fokus pada aspek mitigasi teknis atau adaptasi ekologis, tanpa memperhatikan dampak sosial dan distribusi risiko. Pendekatan IPCC yang holistik ini sangat penting di era krisis iklim yang multidimensi.

Relevansi Industri dan Praktik Bisnis

Sektor agribisnis, energi, dan keuangan kini semakin memperhitungkan risiko iklim dalam strategi bisnis mereka. Misalnya, perusahaan multinasional mulai mengadopsi standar ESG (Environmental, Social, Governance) dan melakukan investasi pada rantai pasok yang lebih tahan iklim. Industri energi juga mulai mempertimbangkan dampak ekologis dari proyek-proyek energi terbarukan dan mencari solusi yang lebih ramah lingkungan dan sosial.

Rekomendasi: Menuju Tata Kelola Risiko yang Berkelanjutan

Langkah Strategis untuk Pemerintah dan Pelaku Industri

  • Integrasi kebijakan lintas sektor: Pemerintah perlu mengintegrasikan kebijakan iklim, pangan, energi, dan konservasi lahan secara terpadu.
  • Peningkatan kapasitas adaptasi lokal: Investasi pada pendidikan, teknologi ramah lingkungan, dan perlindungan sosial sangat penting untuk memperkuat ketahanan masyarakat.
  • Penguatan tata kelola dan partisipasi: Keterlibatan masyarakat lokal, pelaku usaha, dan kelompok rentan harus menjadi prioritas dalam setiap pengambilan keputusan.
  • Pengelolaan trade-off: Setiap kebijakan mitigasi dan adaptasi harus mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap ketahanan pangan, ekosistem, dan kesejahteraan sosial.

Pentingnya Aksi Dini dan Kolaborasi Global

Menunda aksi mitigasi di sektor lain dan membebankan beban pada sektor lahan justru meningkatkan risiko kegagalan mitigasi dan memperburuk dampak perubahan iklim bagi generasi mendatang. Prioritas utama harus pada dekarbonisasi dini dan minimalisasi ketergantungan pada teknologi penyerapan karbon yang masih belum matang1.

Kesimpulan: Pengelolaan Risiko sebagai Kunci Pembangunan Berkelanjutan

Bab 7 laporan IPCC ini menegaskan bahwa pengelolaan risiko perubahan iklim dan pengambilan keputusan yang adaptif adalah kunci untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Risiko iklim tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada sistem sosial, ekonomi, dan politik. Kebijakan yang inklusif, berbasis data, dan responsif terhadap perubahan sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan dan keadilan bagi semua.

Dengan mengangkat studi kasus nyata dan data kuantitatif, laporan ini memberikan panduan praktis bagi pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat sipil untuk bersama-sama menghadapi tantangan perubahan iklim. Integrasi antara sains, kebijakan, dan kearifan lokal menjadi fondasi utama menuju masa depan yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

Sumber artikel asli:

Hurlbert, M., J. Krishnaswamy, E. Davin, F.X. Johnson, C.F. Mena, J. Morton, S. Myeong, D. Viner, K. Warner, A. Wreford, S. Zakieldeen, Z. Zommers, 2019: Risk Management and Decision making in Relation to Sustainable Development. In: Climate Change and Land: an IPCC special report on climate change, desertification, land degradation, sustainable land management, food security, and greenhouse gas fluxes in terrestrial ecosystems [P.R. Shukla, J. Skea, E. Calvo Buendia, V. Masson-Delmotte, H.-O. Pörtner, D.C. Roberts, P. Zhai, R. Slade, S. Connors, R. van Diemen, M. Ferrat, E. Haughey, S. Luz, S. Neogi, M. Pathak, J. Petzold, J. Portugal Pereira, P. Vyas, E. Huntley, K. Kissick, M. Belkacemi, J. Malley, (eds.)]. In press.

Selengkapnya
Risk Management and Decision-Making in Relation to Sustainable Development

Sumber Daya Alam

Memahami Critical Institutionalism: Resensi Mendalam dan Studi Kasus Pengelolaan Sumber Daya Alam

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Critical Institutionalism dan Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Dalam era perubahan lingkungan dan sosial yang cepat, pengelolaan sumber daya alam bersama (common-pool resources/CPR) menjadi semakin kompleks. Paper “Furthering critical institutionalism” karya Frances Cleaver dan Jessica de Koning (2015) menawarkan perspektif mutakhir dalam memahami dinamika institusi yang mengatur hubungan manusia dengan sumber daya alam. Critical institutionalism (CI) hadir sebagai pendekatan yang menyoroti kerumitan, sejarah, kekuasaan, dan keadilan sosial dalam pembentukan serta perubahan institusi.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana kegagalan banyak intervensi pengelolaan sumber daya seringkali berakar pada pemahaman institusi yang terlalu sederhana. Dengan menekankan konsep “institutional bricolage”, paper ini mengajak pembaca untuk melihat institusi bukan sebagai struktur baku, melainkan hasil rakitan kreatif manusia yang terus berubah.

Critical Institutionalism: Konsep, Tema, dan Perbedaannya dengan Mainstream Institutionalism

Mengapa Critical Institutionalism Penting?

Pendekatan institusional klasik, seperti yang dipopulerkan Elinor Ostrom, menekankan desain aturan yang efisien dan rasionalitas aktor. Namun, CI mengkritik asumsi-asumsi ini dengan menyoroti:

  • Kompleksitas dan ketidakpastian dalam interaksi sosial-ekologis
  • Peran sejarah, budaya, dan kekuasaan dalam membentuk institusi
  • Pentingnya keadilan sosial, bukan sekadar efisiensi ekonomi
  • Dinamika antara formal-informal, tradisional-modern, serta skala lokal-global

CI menolak pandangan bahwa institusi dapat “dirancang” secara sempurna, dan justru menekankan proses adaptasi, negosiasi, dan improvisasi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Konsep Kunci: Institutional Bricolage

“Institutional bricolage” adalah proses di mana individu dan kelompok secara sadar maupun tidak sadar merakit, mengadaptasi, dan menggabungkan aturan, norma, serta praktik dari berbagai sumber untuk mengelola sumber daya. Proses ini:

  • Menggabungkan elemen lama dan baru, formal dan informal
  • Menyesuaikan institusi dengan kebutuhan, identitas, dan legitimasi sosial setempat
  • Menghasilkan institusi yang multifungsi, seringkali melampaui tujuan awalnya

Sebagai contoh, kelompok simpan pinjam perempuan di Afrika Timur yang juga memungut tarif air, atau asosiasi pengelola hutan yang berfungsi sebagai jaring pengaman sosial saat ada anggota sakit.

Pluralitas, Hibriditas, dan Skala

CI menekankan pluralitas (keragaman) institusi dan hibriditas (campuran) antara berbagai aturan dan praktik. Pengelolaan sumber daya tidak hanya terjadi di satu skala (lokal), melainkan dipengaruhi oleh kebijakan nasional, global, dan bahkan sejarah kolonial. Proses “leakage of meaning” menggambarkan bagaimana makna dan praktik institusi bisa berubah saat berpindah skala atau konteks.

Studi Kasus: Institutional Bricolage dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

1. Pengelolaan Hutan di Indonesia: Adaptasi dan Resistensi

Di banyak wilayah Indonesia, pengelolaan hutan adat menjadi contoh nyata institutional bricolage. Ketika program pemerintah memperkenalkan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), masyarakat tidak serta-merta meninggalkan aturan adat. Sebaliknya, mereka menggabungkan struktur LMDH dengan pranata adat seperti “lembaga kerapatan adat” atau “tokoh tua”. Proses ini melibatkan:

  • Aggregation: Mencampur aturan formal (LMDH) dengan norma adat, misalnya dalam pembagian hasil kayu.
  • Alteration: Menyesuaikan aturan baru agar sesuai dengan logika lokal, misalnya mengatur waktu panen atau ritual syukuran.
  • Articulation: Menegaskan identitas adat sebagai bentuk resistensi terhadap aturan yang dianggap tidak adil.

Data dari beberapa studi menunjukkan, lebih dari 60% LMDH di Jawa mengadopsi pranata adat dalam praktik sehari-hari, meski secara formal tunduk pada aturan Perhutani.

2. Pengelolaan Irigasi di Afrika Timur: Multifungsi dan Legitimasi

Cleaver (2002) mencontohkan kelompok simpan pinjam perempuan di Tanzania yang awalnya didirikan untuk membantu keuangan anggota, namun kemudian juga mengambil peran dalam pemungutan tarif air dan pemeliharaan saluran irigasi. Legitimasi kelompok ini tidak hanya berasal dari aturan formal, tetapi juga dari kepercayaan sosial dan kedekatan antar anggota.

Angka-angka menunjukkan, kelompok seperti ini mampu meningkatkan tingkat pembayaran tarif air hingga 80%, jauh di atas rata-rata kelompok yang hanya mengandalkan aturan formal.

3. Community Forest Management di Ghana: Fungsi Ganda dan Adaptasi

De Koning (2011) mengamati asosiasi pengelola hutan di Ghana yang awalnya dibentuk untuk konservasi, namun juga berfungsi sebagai lembaga sosial yang membantu anggota saat sakit atau menghadapi bencana. Ini memperlihatkan bagaimana institusi yang “dirakit” bisa berkembang menjadi multifungsi dan lebih adaptif terhadap kebutuhan nyata masyarakat.

Kritik terhadap Pendekatan Mainstream dan Nilai Tambah Critical Institutionalism

Keterbatasan Teori CPR Konvensional

Pendekatan klasik sering gagal memahami:

  • Heterogenitas komunitas: Anggapan bahwa masyarakat lokal homogen sering menyesatkan, padahal ada perbedaan kelas, gender, dan kekuasaan.
  • Politik kebijakan: Banyak intervensi gagal karena mengabaikan dinamika kekuasaan lokal dan nasional.
  • Makna sosial: Aturan formal sering tidak berjalan jika tidak sesuai dengan nilai dan identitas lokal.

Keunggulan Critical Institutionalism

CI menawarkan lensa yang lebih tajam untuk:

  • Memahami kegagalan dan keberhasilan program pengelolaan sumber daya bersama
  • Mengidentifikasi peran aktor “bricoleur” (perakit institusi) dalam inovasi sosial
  • Menyoroti pentingnya legitimasi sosial dan keadilan dalam keberlanjutan institusi

Relevansi dengan Tren Industri dan Kebijakan

Pengelolaan Sumber Daya di Era ESG dan SDGs

Industri kini semakin menekankan aspek ESG (Environmental, Social, Governance) dan SDGs (Sustainable Development Goals). CI sangat relevan karena:

  • Membantu perusahaan memahami konteks sosial dan politik dalam proyek CSR atau konservasi
  • Menghindari kegagalan akibat “copy-paste” institusi dari luar tanpa adaptasi lokal
  • Mendorong partisipasi bermakna dan keadilan dalam proyek-proyek pembangunan

Contoh Nyata: REDD+ dan Konservasi Hutan

Program REDD+ sering gagal jika hanya mengandalkan aturan formal tanpa memperhatikan pranata lokal. Studi di Kalimantan dan Papua menunjukkan, adaptasi aturan REDD+ dengan norma adat (misal, pembagian manfaat berbasis marga atau suku) mampu meningkatkan partisipasi dan mengurangi konflik.

Opini dan Rekomendasi

Mengapa Critical Institutionalism Layak Diadopsi?

  • Lebih Realistis: CI mengakui bahwa perubahan sosial tidak linier dan institusi selalu dalam proses menjadi, bukan sekadar hasil akhir.
  • Lebih Adil: Dengan menekankan keadilan sosial, CI membantu memastikan manfaat pengelolaan sumber daya tidak hanya dinikmati elit.
  • Lebih Adaptif: CI mendorong inovasi sosial dan adaptasi berkelanjutan, kunci menghadapi perubahan iklim dan tekanan global.

Saran untuk Peneliti dan Praktisi

  • Libatkan aktor lokal sebagai bricoleur: Dorong inovasi dari bawah, bukan sekadar top-down.
  • Pahami sejarah dan makna institusi: Jangan hanya meniru model luar, tetapi adaptasi dengan konteks lokal.
  • Perkuat legitimasi sosial: Pastikan aturan baru diterima dan dianggap sah oleh masyarakat.

Kesimpulan: Menuju Pengelolaan Sumber Daya yang Lebih Kontekstual dan Berkeadilan

Paper Cleaver dan de Koning (2015) memberikan kontribusi penting dalam studi pengelolaan sumber daya alam. Dengan critical institutionalism dan konsep institutional bricolage, mereka menawarkan cara pandang baru yang lebih kaya, adaptif, dan adil. Studi kasus dari berbagai belahan dunia memperlihatkan bahwa keberhasilan pengelolaan sumber daya sangat bergantung pada kemampuan masyarakat merakit, menyesuaikan, dan melegitimasi institusi sesuai kebutuhan dan identitas mereka.

Bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan peneliti, pendekatan ini menjadi panduan penting untuk menghindari jebakan desain institusi yang kaku dan tidak kontekstual. Dengan mengadopsi critical institutionalism, kita dapat membangun tata kelola sumber daya yang lebih berkelanjutan, inklusif, dan responsif terhadap tantangan zaman.

Sumber artikel asli:

Cleaver, F. & de Koning, J. (2015). Furthering critical institutionalism. International Journal of the Commons, 9(1), 1–18.

Selengkapnya
Memahami Critical Institutionalism: Resensi Mendalam dan Studi Kasus Pengelolaan Sumber Daya Alam

Sumber Daya Air

Krisis Air Permukaan di Indonesia: Membedah Manajemen Kualitas Air dan Tantangan Penerapan Kebijakan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Mengapa Manajemen Kualitas Air Jadi Isu Strategis?

Air adalah kebutuhan dasar manusia. Namun, dari seluruh air di Bumi, hanya sekitar 0,003% yang tersedia dalam bentuk air tawar berkualitas baik dan layak dikonsumsi langsung oleh manusia. Indonesia, meski dikenal sebagai negara dengan sumber daya air melimpah, menghadapi kenyataan pahit: kualitas air permukaan—sungai, danau, dan air tanah—kian menurun drastis akibat pencemaran dan tata kelola yang buruk.

Makalah Hefni Effendi yang disampaikan dalam Indonesia-Japan Business Matching Seminar for Water Issues pada 10 September 2015 di Tangerang, membedah akar persoalan ini dengan pendekatan sistematis. Ia tidak hanya menyoroti pencemaran sungai seperti Citarum, tetapi juga mengkaji kebijakan, kapasitas daya tampung beban pencemar, serta solusi teknis dan sosial yang diperlukan untuk menyelamatkan air Indonesia.

Sungai Citarum: Simbol Krisis Nasional

Salah satu fokus utama dalam makalah ini adalah Sungai Citarum—sering disebut sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia. Citarum membentang sejauh 300 kilometer dari Gunung Wayang hingga Laut Jawa dan menjadi sumber air bagi 30 juta penduduk, serta memasok 80% air permukaan Jakarta. Namun ironisnya, sungai ini tak pernah memenuhi standar kualitas air nasional sejak tahun 1989.

Fakta Mencengangkan di Citarum:

  • Lebih dari 200 pabrik tekstil beroperasi di sepanjang sungai, membuang limbah pewarna, logam berat (seperti timbal, arsenik, dan merkuri), serta senyawa kimia berbahaya lainnya langsung ke air tanpa pengolahan memadai.
  • Limbah domestik dari warga dan permukiman padat turut mencemari sungai, termasuk limbah manusia dan sampah rumah tangga.
  • Intrusi limbah pertanian, seperti pupuk dan pestisida, memperparah kondisi biologis sungai.
  • Citarum menjadi “tempat sampah raksasa”, dengan tumpukan plastik dan sampah organik yang menghambat aliran air dan memicu banjir.

Lebih parah lagi, di daerah Sukamaju, air dari sungai langsung dipompa ke rumah-rumah warga untuk mandi dan mencuci, dengan penyaringan seadanya menggunakan handuk atau kaus kaki. Air ini bahkan digunakan untuk memasak setelah direbus, meski proses perebusan hanya membunuh bakteri, bukan logam berat atau racun kimia.

Krisis Nasional: Masalah Air Tak Hanya di Citarum

Krisis kualitas air terjadi secara luas di Indonesia, baik di kawasan pedesaan maupun perkotaan. Beberapa akar penyebab utamanya adalah:

1. Sanitasi Buruk

Air limbah domestik, limbah industri, dan limbah pertanian bercampur tanpa pengolahan memadai, baik di permukaan maupun air tanah.

2. Intrusi Air Laut

Penurunan muka air tanah menyebabkan air laut meresap ke dalam akuifer, terutama di wilayah pesisir seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya.

3. Deforestasi di Hulu

Pembalakan liar dan perubahan tutupan lahan menyebabkan erosi tinggi dan membawa sedimen berlebihan ke badan air.

4. Pertumbuhan Penduduk dan Urbanisasi

Kepadatan penduduk memperberat beban pencemar dan tekanan terhadap infrastruktur air yang sudah usang.

Konsep Kunci: Daya Tampung Beban Pencemar (DTBP)

Makalah ini menekankan pentingnya konsep Water Pollution Load Capacity, yakni kemampuan badan air untuk menerima beban pencemar tanpa melampaui ambang batas kualitas air. DTBP dihitung dengan dua metode utama:

1. Metode Neraca Massa (Mass Balance)

Menggunakan perhitungan kuantitatif dari setiap aliran air yang masuk (debit dan konsentrasi parameter pencemar), untuk menentukan beban total yang diterima sungai.

2. Metode Streeter–Phelps

Model matematis untuk menghitung penurunan kadar oksigen terlarut (DO) sepanjang sungai akibat pencemaran BOD (Biochemical Oxygen Demand).

Contoh Kasus:

Pada satu studi, aliran sungai di empat lokasi menunjukkan:

  • DO menurun dari 5,7 mg/L menjadi 3,4 mg/L di lokasi yang menerima limbah industri dan domestik.
  • BOD meningkat dari 7,4 menjadi 9,8 mg/L, melewati ambang batas nasional (3 mg/L).
  • Di lokasi keempat, sungai tidak lagi memiliki kapasitas untuk menurunkan beban BOD, artinya limbah tambahan akan langsung mencemari air.

Jika ada limbah dari industri baru yang hanya mengandung Cl⁻ (klorida) tanpa BOD, maka masih bisa dibuang—dengan catatan kadar Cl⁻ tidak melebihi 600 mg/L.

Standar Regulasi dan Kategori Kualitas Air

Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001:

  • Kelas I: Air minum
  • Kelas II: Rekreasi air, berenang
  • Kelas III: Perikanan, peternakan
  • Kelas IV: Irigasi pertanian

Berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 (untuk air laut):

  • Air laut untuk pelabuhan
  • Rekreasi dan penyelaman
  • Habitat biota laut

Selain itu, KLHK menetapkan standar kualitas air limbah (effluent) yang wajib dipenuhi industri, tergantung jenis usaha (misalnya: pabrik tekstil, makanan, farmasi, hotel, rumah sakit, dll.).

Contohnya:

  • BOD maksimal: 125 mg/L
  • COD maksimal: 250 mg/L
  • TSS maksimal: 100 mg/L
  • pH: antara 6 – 9
  • Beban polusi dihitung per ton produk industri

Kebijakan Strategis Pemerintah

Hefni Effendi menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah strategis, meskipun belum sepenuhnya berhasil:

1. Penetapan Baku Mutu Air dan Limbah

Melalui regulasi seperti PP No. 82/2001, Kepmen LH No. 51/2004, dan Permen LH No. 5/2014.

2. Panduan Beban Pencemar

Ditentukan berdasarkan Kepmen LH No. 110/2003, untuk menghitung daya tampung sungai dan menentukan apakah pembuangan limbah masih diperbolehkan.

3. Program Aksi Lapangan

  • PROKASIH (Program Kali Bersih): Program nasional untuk pembersihan sungai.
  • Rehabilitasi DAS: Oleh Kementerian PUPR dan Kehutanan, termasuk reboisasi hulu sungai.
  • Kolaborasi dengan ADB (Asian Development Bank): Pendanaan hingga 500 juta USD untuk rehabilitasi Sungai Citarum selama 15 tahun, termasuk peningkatan sanitasi dan pengelolaan limbah.

Kritik dan Tantangan Implementasi

Meski regulasi sudah lengkap, penerapan di lapangan masih menghadapi tantangan besar:

1. Pengawasan Lemah

Banyak industri kecil dan menengah membuang limbah langsung tanpa IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) karena pengawasan longgar.

2. Koordinasi Lintas Sektor

Kebijakan air masih tersebar di berbagai kementerian: lingkungan, pekerjaan umum, kesehatan, dan kehutanan—tanpa sinergi kuat.

3. Kurangnya Partisipasi Publik

Kesadaran masyarakat masih rendah. Banyak warga membuang limbah domestik langsung ke sungai karena minimnya fasilitas sanitasi.

Menuju Solusi: Apa yang Harus Dilakukan?

Makalah ini merekomendasikan strategi manajemen kualitas air yang terintegrasi:

  • Pemetaan daya tampung sungai secara nasional, dan penggunaan data tersebut dalam perizinan industri.
  • Pembangunan infrastruktur IPAL komunal di kota-kota padat penduduk dan kawasan industri.
  • Edukasi publik tentang sanitasi dan pencemaran, khususnya di daerah aliran sungai besar.
  • Restorasi kawasan hulu untuk mencegah erosi dan sedimentasi.
  • Kolaborasi dengan sektor swasta untuk green investment di sektor air dan lingkungan.

Penutup: Menyembuhkan Sungai-Sungai Indonesia

Makalah Hefni Effendi menyoroti krisis air Indonesia secara menyeluruh—dari data teknis, regulasi, hingga solusi strategis. Ia menyampaikan bahwa krisis air bukan karena kekurangan sumber daya, tetapi karena kegagalan tata kelola.

Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha harus melihat air sebagai aset ekologis dan ekonomi. Tanpa air bersih, tidak akan ada industri, pertanian, pariwisata, atau kesehatan yang berkelanjutan.

Kini saatnya untuk bergerak dari reaktif ke preventif. Dari wacana ke aksi. Dan dari retorika ke pemulihan konkret.

Sumber asli:
Hefni Effendi. 2015. Water Quality Management in Indonesia. Dipresentasikan pada Indonesia–Japan Business Matching Seminar for Water Issues, Tangerang, 10 September 2015, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB.

Selengkapnya
Krisis Air Permukaan di Indonesia: Membedah Manajemen Kualitas Air dan Tantangan Penerapan Kebijakan

Sumber Daya Air

Bentonit sebagai Solusi Ramah Lingkungan untuk Kualitas Air Pesisir: Studi Kasus di Banda Aceh

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Krisis Air Bersih di Perkotaan Pesisir: Tantangan Global, Solusi Lokal

Di tengah meningkatnya urbanisasi dan perubahan iklim, akses terhadap air bersih menjadi tantangan utama, terutama di wilayah pesisir. Kota Banda Aceh, seperti banyak kota lainnya di Indonesia, menghadapi masalah serius: kualitas air sumur dan sungai terus menurun akibat pencemaran limbah domestik dan intrusi air laut. Permasalahan ini bukan hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, tapi juga mengancam ketahanan air jangka panjang.

Melalui pendekatan inovatif dan lokal, artikel ini menyajikan solusi yang sangat relevan—pemanfaatan bentonit sebagai bahan alami untuk perbaikan kualitas air masyarakat. Penelitian ini membandingkan efektivitas bentonit aktif dan non-aktif dalam menurunkan parameter penting kualitas air seperti TDS (Total Dissolved Solids), konduktivitas, salinitas, dan pH, baik untuk sumber air sungai maupun air sumur.

Mengapa Bentonit?

Bentonit adalah jenis tanah liat yang mengandung mineral montmorillonit dengan daya serap tinggi. Sifat fisik dan kimianya memungkinkan bentonit menyerap ion-ion logam berat, zat organik, dan berbagai kontaminan air lainnya. Di Aceh sendiri, bentonit mudah ditemukan dan sangat murah, sehingga cocok untuk diaplikasikan secara massal oleh masyarakat tanpa perlu infrastruktur canggih.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, bentonit bahkan terbukti mampu menurunkan bakteri E. coli dalam air tanpa proses aktivasi—menunjukkan potensi luar biasa sebagai media adsorben alami.

Metodologi: Studi Empiris di Kota Banda Aceh

Penelitian dilakukan di sembilan titik pengambilan sampel:

  • Enam titik di dua cabang Sungai Krueng Aceh (menuju Alue Naga dan Lampulo)
  • Tiga titik di sumur warga di Lampriet, Kampung Laksana, dan Beurawe

Air dari masing-masing titik dianalisis untuk parameter:

  • pH (tingkat keasaman)
  • TDS (total zat padat terlarut)
  • Konduktivitas (kemampuan menghantarkan listrik)
  • Salinitas (kadar garam)

Setelah pengukuran awal, air diuji kembali setelah perlakuan bentonit aktif dan non-aktif, untuk mengukur efektivitas penurunan nilai-nilai tersebut. Bentonit aktif diperoleh melalui pemanasan pada suhu 120°C, sedangkan bentonit non-aktif digunakan langsung setelah digerus dan diayak.

Temuan Utama: Kualitas Air Sebelum Perlakuan Bentonit

1. pH Air

Nilai pH seluruh sampel masih dalam rentang aman untuk air bersih, yaitu antara 6,5 hingga 8,5. Sungai dan sumur menunjukkan pH bervariasi antara 7,4 hingga 8,1.

2. TDS: Masalah Serius di Sumur

TDS sungai bervariasi dari 1,87 hingga 18,92 g/L, sedangkan sumur menunjukkan angka ekstrem:

  • Sumur di Lampriet: 19,97 g/L
  • Laksana: 88,55 g/L
  • Beurawe: 68,53 g/L

Standar maksimum TDS untuk air bersih hanya 1 g/L. Ini artinya air sumur warga sangat jauh dari kategori aman untuk dikonsumsi.

3. Konduktivitas & Salinitas

Nilai konduktivitas dan salinitas tinggi ditemukan pada titik-titik dekat muara, seperti Alue Naga (22,65 mV & 49,83‰). Sebaliknya, sumur menunjukkan konduktivitas rendah, artinya belum terkena intrusi air laut, tapi terkontaminasi dari sumber lain seperti limbah domestik.

Perbandingan Efektivitas Bentonit Aktif dan Non-Aktif

Setelah perlakuan menggunakan bentonit, hasilnya menunjukkan:

  • Peningkatan pH terutama pada air sumur, yang semula lebih rendah dari air sungai. Peningkatan ini disebabkan pelepasan karbonat dari bentonit ke dalam air.
  • Penurunan TDS sangat signifikan. Untuk sumur dengan TDS awal >60 g/L, nilai menurun drastis setelah ditambahkan bentonit non-aktif.
  • Konduktivitas menurun, terutama pada sampel sungai.
  • Salinitas juga turun signifikan, baik pada sungai maupun sumur.

Kunci Temuan:

  • Bentonit non-aktif lebih efektif untuk air sungai, karena mempertahankan lebih banyak gugus fungsi aktif untuk menyerap garam dan ion logam.
  • Bentonit aktif lebih cocok untuk air sumur, karena tidak menyebabkan lonjakan pH yang terlalu tinggi.

Analisis dan Implikasi Praktis

Penelitian ini membuktikan bahwa bentonit merupakan alternatif ekonomis dan ekologis untuk pengolahan air skala rumah tangga. Tidak hanya murah, penggunaannya pun sederhana: cukup dengan mencampur bentonit ke dalam air, diaduk selama dua jam, lalu disaring.

Potensi aplikasi langsung:

  • Wilayah pesisir dengan kontaminasi air laut dan limbah pasar
  • Permukiman padat penduduk tanpa sistem sanitasi terpadu
  • Kondisi darurat, seperti pascabanjir atau bencana alam

Selain itu, karena bentonit tersedia lokal, tidak diperlukan impor bahan kimia atau teknologi mahal. Ini sangat sesuai dengan prinsip kemandirian air masyarakat dan teknologi tepat guna.

Kritik dan Saran: Apa yang Perlu Dikembangkan?

Walaupun temuan ini sangat menjanjikan, ada beberapa tantangan dan peluang pengembangan:

  • Belum diuji terhadap parameter mikrobiologi seperti bakteri patogen. Perlu studi lanjut apakah bentonit juga efektif dalam menurunkan coliform atau E. coli.
  • Tidak semua kontaminan bisa diadsorpsi, misalnya senyawa organik kompleks dari pestisida atau bahan kimia rumah tangga.
  • Skalabilitas perlu diuji dalam skala komunal, misalnya untuk kebutuhan satu RT atau kelurahan.
  • Perlu edukasi masyarakat dalam prosedur penggunaan yang benar, agar efektivitas tidak berkurang.

Penelitian lanjutan juga bisa mengeksplorasi kombinasi bentonit dengan bahan lain seperti arang aktif atau zeolit untuk hasil yang lebih optimal.

Relevansi Global dan Nasional

Kajian ini sangat relevan dengan konteks Indonesia dan dunia:

  • SDG 6 (Clean Water and Sanitation): menjamin akses air bersih yang terjangkau
  • Adaptasi perubahan iklim: bentonit membantu menangani dampak intrusi air laut
  • Ketahanan air perkotaan: terutama di kota pesisir yang rentan seperti Semarang, Makassar, dan Surabaya

Bahkan secara global, konsep "nature-based solutions" kini didorong oleh UNEP dan WHO sebagai solusi air masa depan. Bentonit sebagai bahan alam berada di garis depan solusi ini.

Penutup: Dari Laboratorium ke Rumah Tangga

Melalui pendekatan ilmiah yang kuat dan orientasi solusi nyata, artikel ini menunjukkan bahwa bentonit bukan sekadar tanah liat biasa. Dengan karakter adsorptifnya, bentonit dapat menjadi "penyaring alami" yang andal dalam meningkatkan kualitas air, bahkan di wilayah yang paling tertekan oleh polusi dan perubahan iklim.

Yang terpenting, teknologi ini bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat—tidak butuh alat canggih atau anggaran besar. Bila diterapkan secara luas dan konsisten, bentonit bisa menjadi salah satu kunci ketahanan air bersih Indonesia di masa depan.

Sumber asli:
Muhammad Zia Ulhaq, Dafif Hanan, Athaya Salsabila, Andi Lala, Muslem Muslem, Zulhiddin Akbar, dan Zahriah Zahriah. 2023. Utilizing Bentonite as a Natural Material to Enhance the Quality of Community Water Resources in the Urban Area. Leuser Journal of Environmental Studies, Vol. 1, No. 2.

Selengkapnya
Bentonit sebagai Solusi Ramah Lingkungan untuk Kualitas Air Pesisir: Studi Kasus di Banda Aceh
« First Previous page 81 of 1.113 Next Last »