Risk
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 15 Mei 2025
Pendahuluan: Kerentanan Vital Infrastruktur Air di Zona Vulkanik
Sistem penyediaan air bersih adalah urat nadi kehidupan modern. Dari menjaga kesehatan masyarakat hingga mendukung industri dan pertumbuhan ekonomi, ketersediaan air yang stabil adalah fondasi peradaban. Namun, sistem yang kompleks ini sangat rentan terhadap berbagai bencana alam, dan erupsi vulkanik adalah salah satu ancaman yang paling menantang.
Artikel ilmiah yang berjudul "A new volcanic multi-hazard impact model for water supply systems: Application at Taranaki Mounga, Aotearoa New Zealand" menyoroti kerentanan kritis ini dan menyajikan pendekatan baru untuk memahami dan memitigasi risiko vulkanik terhadap sistem penyediaan air (WSS). Studi ini tidak hanya mengkaji dampak langsung dari bahaya vulkanik tetapi juga menggali konsekuensi tidak langsung yang sering diabaikan dalam penilaian risiko tradisional.
Fokus Utama Artikel: Model Holistik untuk Penilaian Risiko Vulkanik
Penelitian ini memperkenalkan model penilaian dampak vulkanik yang komprehensif untuk WSS. Model ini dirancang untuk dapat disesuaikan, memungkinkan para peneliti dan praktisi untuk memasukkan detail spesifik tentang desain WSS lokal, yang sangat penting untuk penilaian risiko yang akurat.
Artikel ini menekankan perlunya pergeseran dari model penilaian kerentanan yang lebih sederhana, yang seringkali hanya berfokus pada ambang batas intensitas bahaya seperti ketebalan abu vulkanik atau kecepatan lahar. Model-model sebelumnya cenderung mengabaikan kompleksitas desain WSS dan efek domino dari gangguan terhadap infrastruktur terkait.
Komponen Kunci dari Model yang Diusulkan
Model yang diusulkan dalam artikel ini mempertimbangkan beberapa karakteristik penting dari WSS:
Studi Kasus Taranaki: Mengaplikasikan Model dalam Konteks Dunia Nyata
Untuk mendemonstrasikan penerapan praktis dari model yang diusulkan, para peneliti menggunakannya dalam studi kasus di wilayah Taranaki, Aotearoa Selandia Baru. Wilayah ini menghadapi risiko signifikan dari Taranaki Mounga, sebuah stratovolcano aktif.
Studi kasus ini menyoroti bagaimana model tersebut dapat digunakan untuk:
Analisis Mendalam: Melampaui Permukaan
Artikel ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap bidang penilaian risiko vulkanik, tetapi penting untuk menganalisisnya secara kritis dan menawarkan perspektif tambahan.
Nilai Tambah: Implikasi untuk Ketahanan dan Kebijakan
Temuan dari penelitian ini memiliki implikasi penting untuk meningkatkan ketahanan WSS di daerah rawan vulkanik:
Kesimpulan: Menuju Sistem Penyediaan Air yang Lebih Tangguh
Artikel ini menyajikan kontribusi yang berharga untuk memahami dan mengurangi risiko vulkanik terhadap sistem penyediaan air. Dengan mengusulkan model penilaian yang komprehensif dan fleksibel, para penulis menyediakan alat yang ampuh untuk para peneliti, praktisi, dan pembuat kebijakan. Studi kasus Taranaki mendemonstrasikan penerapan praktis model tersebut dan menyoroti pentingnya mempertimbangkan karakteristik desain WSS lokal dalam penilaian risiko.
Meskipun model ini memiliki keterbatasan, model ini merupakan langkah maju yang signifikan dalam meningkatkan ketahanan WSS terhadap ancaman vulkanik. Penelitian di masa depan harus fokus pada mengatasi keterbatasan ini dan lebih lanjut mengembangkan model untuk memasukkan dinamika risiko dan ketidakpastian.
Sumber Artikel:
Porter, H., Wilson, T. M., Weir, A., Stewart, C., Craig, H. M., Wild, A. J., ... & Buzzell, M. (2025). A new volcanic multi-hazard impact model for water supply systems: Application at Taranaki Mounga, Aotearoa New Zealand. International Journal of Disaster Risk Reduction, 116, 105113
Teknik Produksi Mesin
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 15 Mei 2025
Pendahuluan
Industri manufaktur terus berkembang pesat, dengan peningkatan tuntutan akan efisiensi produksi dan kualitas produk yang lebih tinggi. Salah satu tantangan utama dalam sektor ini adalah meminimalkan kegagalan mesin yang dapat menyebabkan downtime produksi, peningkatan biaya perawatan, serta penurunan produktivitas. Untuk mengatasi masalah ini, metode Failure Mode and Effects Analysis (FMEA) diterapkan guna mengidentifikasi, menganalisis, dan mengurangi risiko kegagalan mesin produksi.
Penelitian ini menyoroti bagaimana FMEA digunakan untuk mengevaluasi potensi mode kegagalan dalam sistem produksi di industri manufaktur. Dengan menentukan Risk Priority Number (RPN), penelitian ini bertujuan untuk merancang strategi mitigasi yang efektif dalam meningkatkan keandalan operasional mesin.
Metodologi: Implementasi FMEA dalam Manufaktur
1. Konsep dan Perhitungan FMEA
FMEA adalah metode yang digunakan untuk mengidentifikasi potensi kegagalan dalam suatu sistem dan mengevaluasi dampaknya terhadap proses produksi. Penilaian risiko dilakukan dengan menghitung Risk Priority Number (RPN), yang diperoleh dari tiga faktor utama:
Perhitungan RPN dilakukan dengan rumus:
RPN = S × O × D
Semakin tinggi nilai RPN, semakin besar risiko yang harus segera ditangani.
2. Identifikasi Mode Kegagalan Mesin
Dalam penelitian ini, data kegagalan mesin dikumpulkan dari laporan pemeliharaan selama enam bulan terakhir. Beberapa mode kegagalan utama yang ditemukan meliputi:
Dari hasil perhitungan FMEA, kerusakan motor listrik memiliki nilai RPN tertinggi, yang menunjukkan bahwa masalah ini harus menjadi prioritas utama dalam strategi perbaikan.
Hasil dan Temuan Utama
1. Mode Kegagalan dengan RPN Tertinggi
Hasil analisis menunjukkan bahwa mode kegagalan dengan RPN tertinggi adalah kerusakan motor listrik, diikuti oleh overheating pada mesin pemotong. Mode kegagalan ini tidak hanya menghambat jalannya produksi tetapi juga berdampak pada peningkatan biaya operasional akibat perawatan yang lebih sering dan tidak terduga.
2. Strategi Mitigasi dan Pencegahan
Berdasarkan temuan ini, beberapa langkah perbaikan yang direkomendasikan adalah:
Dengan menerapkan strategi ini, perusahaan dapat mengurangi frekuensi kegagalan mesin serta meningkatkan efisiensi operasional.
3. Dampak Implementasi FMEA dalam Industri
Penerapan metode FMEA dalam sistem produksi memberikan berbagai manfaat bagi perusahaan, antara lain:
Selain itu, implementasi FMEA memungkinkan perusahaan untuk lebih siap dalam menghadapi tantangan industri 4.0, di mana pemeliharaan berbasis data menjadi elemen kunci dalam meningkatkan efisiensi produksi.
Kesimpulan
Penelitian ini membuktikan bahwa penerapan Failure Mode and Effects Analysis (FMEA) adalah metode yang efektif dalam mengidentifikasi dan mengatasi kegagalan mesin dalam industri manufaktur. Dengan mengutamakan mode kegagalan berdasarkan nilai Risk Priority Number (RPN), perusahaan dapat mengembangkan strategi mitigasi yang lebih terarah untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya perawatan.
Sebagai langkah selanjutnya, disarankan agar perusahaan mengadopsi sistem pemeliharaan prediktif berbasis Artificial Intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT) untuk mendeteksi potensi kegagalan secara real-time. Dengan demikian, perbaikan dapat dilakukan sebelum terjadi kegagalan besar, sehingga proses produksi semakin optimal dan berdaya saing tinggi.
Sumber:
Energi
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 15 Mei 2025
Mengapa Keandalan Sistem Listrik Harus Ditinjau Ulang?
Di tengah gencarnya transisi energi global dan pembaruan struktur industri kelistrikan, muncul kebutuhan mendesak untuk menilai keandalan sistem tenaga listrik secara lebih canggih dan realistis. Hal ini menjadi fokus utama dari disertasi Wijarn Wangdee yang mengeksplorasi pemanfaatan simulasi Monte Carlo sekuensial dalam menilai keandalan sistem kelistrikan skala besar (bulk electric systems/BES).
Keandalan sistem tidak lagi cukup dinilai hanya dari perspektif teknis deterministik, melainkan harus mengakomodasi ketidakpastian—terutama dalam era deregulasi dan integrasi energi terbarukan seperti tenaga angin.
Apa yang Dibawa Disertasi Ini ke Dunia Teknik Energi?
Inti Inovasi: Simulasi Monte Carlo Sekuensial
Wangdee mengusulkan pendekatan berbasis sequential Monte Carlo simulation (SMCS), yaitu metode statistik yang memungkinkan pemodelan sistem listrik secara kronologis dan realistis. Tidak seperti pendekatan non-sekuensial yang sering mengabaikan efek waktu, metode ini mempertimbangkan urutan kejadian seperti kegagalan dan pemulihan komponen, serta pola beban sepanjang waktu.
Kelebihannya antara lain:
Dari Teori ke Implementasi: Struktur Kerangka Simulasi
1. Pengembangan Indeks Probabilistik
Alih-alih hanya menggunakan nilai rata-rata seperti Loss of Load Expectation (LOLE), Wangdee menyarankan penggunaan distribusi probabilitas indeks keandalan, seperti:
Pendekatan ini lebih informatif karena menampilkan variasi kinerja tahunan, bukan hanya angka tunggal yang bisa menyesatkan.
2. Integrasi dalam Regulasi Berbasis Kinerja (Performance-Based Regulation/PBR)
Wangdee mengaitkan hasil simulasi ke dalam sistem PBR. Dalam sistem ini, utilitas listrik dikenakan reward atau penalty berdasarkan pencapaian indeks keandalan tertentu. Simulasi SMCS memungkinkan prediksi dan evaluasi risiko serta ketidakpastian dalam perhitungan insentif ini.
Studi Kasus: RBTS dan IEEE-RTS
Penelitian ini menggunakan dua sistem uji:
Simulasi dilakukan dengan berbagai strategi pemadaman beban (load curtailment policies) seperti:
Temuan pentingnya:
Integrasi Tenaga Angin: Tantangan dan Solusi Simulasi
Model WECS (Wind Energy Conversion System)
Wangdee mengintegrasikan model WECS dengan mempertimbangkan:
Dampaknya terhadap Keandalan:
Simulasi menunjukkan:
Aspek Ekonomi: Evaluasi Biaya Ketidakandalan
Dalam Bab 5, Wangdee mengembangkan pendekatan event-based untuk menghitung customer interruption cost (CIC), yaitu kerugian ekonomi akibat gangguan listrik.
Beberapa data menarik:
Simulasi ini membantu operator sistem untuk membuat keputusan perencanaan berbasis cost-benefit analysis yang lebih solid.
Kerangka Gabungan: Adequacy dan Static Security
Salah satu kontribusi unik dari disertasi ini adalah pembuatan kerangka gabungan yang mengombinasikan:
Wangdee menyusun indeks baru seperti:
Pendekatan ini mengisi kekosongan dalam penilaian risiko menyeluruh pada sistem kelistrikan skala besar, sesuatu yang sebelumnya sulit dilakukan karena kompleksitas data.
Nilai Tambah dan Relevansi Industri
Kelebihan Disertasi Ini:
Keterbatasan:
Relevansi untuk Indonesia:
Penutup: Simulasi Sebagai Jembatan Antara Teknologi dan Kebijakan
Disertasi Wijarn Wangdee memberikan wawasan berharga mengenai pentingnya pendekatan probabilistik dan simulasi berbasis waktu dalam menilai keandalan sistem tenaga listrik modern. Simulasi Monte Carlo sekuensial terbukti bukan hanya alat statistik, tetapi juga instrumen strategis dalam pengambilan keputusan berbasis risiko dan nilai.
Sumber Asli:
Wangdee, W. (2005). Bulk Electric System Reliability Simulation and Application. PhD Thesis, University of Saskatchewan.
Tersedia di: https://harvest.usask.ca/handle/10388/etd-10032006-135022
Failure
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 15 Mei 2025
Pendahuluan
Failure Modes and Effects Analysis (FMEA) adalah metode yang telah lama digunakan dalam industri untuk mengidentifikasi dan mengurangi risiko dalam proses produksi. Paper yang ditulis oleh Huub Besten berjudul The Application of a Cost-Based FMEA memberikan pendekatan inovatif dengan menerapkan FMEA berbasis biaya dalam sebuah fasilitas produksi farmasi. Artikel ini akan mengulas secara mendalam isi dari paper tersebut, menganalisis kelebihan serta kekurangannya, serta memberikan nilai tambah berupa studi kasus dan kaitannya dengan tren industri.
Ringkasan Paper
Paper ini membahas penerapan FMEA berbasis biaya pada sebuah fasilitas produksi farmasi yang bertujuan untuk meningkatkan manajemen risiko operasional. Perusahaan yang dikaji memiliki sekitar 60 karyawan dan menjalankan proses produksi yang sangat teknis untuk mengisi vial dengan produk medis. Tujuan utama dari studi ini adalah untuk mengidentifikasi risiko operasional yang paling signifikan dan memberikan rekomendasi mitigasi yang berbasis data.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggantikan metode tradisional FMEA yang mengandalkan perhitungan Risk Priority Number (RPN) dengan model berbasis biaya. Model ini memperhitungkan occurrence (frekuensi kejadian), severity (dampak), serta cost per failure, sehingga menghasilkan perkiraan biaya tahunan dari setiap mode kegagalan.
Analisis Mendalam
1. Kelebihan Pendekatan FMEA Berbasis Biaya
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menawarkan beberapa keunggulan utama dibandingkan metode FMEA tradisional:
Sebagai contoh, dalam paper ini ditemukan bahwa dua lyophilizers memiliki risiko biaya tahunan tertinggi karena sering mengalami kegagalan dan berpotensi menyebabkan kehilangan produk medis yang bernilai tinggi.
2. Kelemahan dan Tantangan
Namun, pendekatan berbasis biaya ini juga memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan:
Sebagai solusi, perusahaan dapat mengombinasikan pendekatan berbasis biaya ini dengan metode kualitatif lainnya, seperti Failure Tree Analysis (FTA) atau analisis risiko berbasis simulasi.
Studi Kasus dan Perbandingan dengan Industri Lain
Pendekatan cost-based FMEA yang diusulkan dalam paper ini juga telah diterapkan di berbagai industri lain dengan beberapa adaptasi. Berikut adalah beberapa studi kasus yang relevan:
Dari contoh di atas, terlihat bahwa pendekatan berbasis biaya dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas strategi mitigasi risiko jika diterapkan dengan tepat.
Optimasi SEO dan Keterbacaan
Untuk meningkatkan keterbacaan dan optimasi SEO, berikut beberapa teknik yang diterapkan dalam resensi ini:
Kesimpulan dan Rekomendasi
Paper The Application of a Cost-Based FMEA memberikan wawasan yang berharga dalam manajemen risiko operasional dengan pendekatan berbasis biaya. Metode ini lebih relevan dengan kebutuhan bisnis modern karena memberikan gambaran finansial yang lebih konkret terhadap potensi risiko.
Namun, agar lebih efektif, perusahaan sebaiknya mengkombinasikan pendekatan ini dengan metode lain yang mempertimbangkan risiko non-finansial. Selain itu, akurasi data historis sangat penting untuk memastikan hasil yang valid dan dapat diandalkan.
Rekomendasi untuk Implementasi
Dengan menerapkan strategi ini, perusahaan dapat lebih proaktif dalam mengelola risiko operasional dan meningkatkan efisiensi produksi secara keseluruhan.
Sumber
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 15 Mei 2025
Pendahuluan: Pandemi sebagai Titik Balik Digitalisasi Konstruksi
Pandemi Covid-19 menjadi titik balik penting dalam transformasi teknologi pada sektor konstruksi Indonesia. Jika sebelumnya banyak proyek masih mengandalkan metode konvensional, masa krisis ini memaksa para kontraktor untuk mengadopsi teknologi demi mempertahankan keberlangsungan proyek. Artikel ilmiah berjudul "Kajian Penerapan Teknologi Konstruksi oleh Kontraktor dalam Menghadapi Kondisi Pandemi Covid-19" oleh Rika Permatasari dkk. dari Institut Teknologi Bandung ini menyajikan evaluasi menyeluruh terhadap penerapan teknologi oleh kontraktor selama masa pandemi.
Tantangan Industri Konstruksi Pra dan Saat Pandemi
Bahkan sebelum pandemi, sektor konstruksi sudah dibayangi masalah klasik seperti rendahnya produktivitas, banyaknya pemborosan material, dan lambatnya adopsi teknologi. Menurut Tim Pengembangan Industri Konstruksi LPJKN, Indonesia masih tertinggal dalam kesiapan menghadapi perdagangan bebas karena rendahnya inovasi teknologi.
Kondisi semakin diperparah oleh pandemi Covid-19 yang memperlambat aktivitas proyek, memicu pemutusan tenaga kerja, kenaikan biaya, serta hambatan pasokan material. Berdasarkan data dalam paper ini, hingga 32,26% responden menyatakan jumlah tenaga kerja mereka berkurang 6-10%, sedangkan 25,81% mengaku biaya proyek meningkat hingga 11-15%.
Peran Strategis Teknologi dalam Krisis
Teknologi menjadi jawaban atas berbagai kendala di masa pandemi, dari pembatasan jumlah tenaga kerja hingga gangguan suplai material. Studi ini mengidentifikasi tujuh area penting pemanfaatan teknologi:
Fakta menarik, aplikasi virtual meeting yang sebelumnya dianggap kurang prioritas, melonjak menjadi teknologi dengan nilai prioritas tertinggi selama pandemi (RII: 4.7).
Studi Kasus Survei: Realitas Kontraktor Indonesia
Penelitian ini melibatkan 31 kontraktor di seluruh Indonesia dengan sebaran dominan di wilayah Jawa, Bali, dan Madura. Dari survei tersebut ditemukan bahwa:
Prioritas Teknologi: Pergeseran dari Perkakas ke Perangkat Lunak
Terdapat perubahan signifikan dalam prioritas jenis teknologi. Pada masa normal, "perkakas kerja" menjadi prioritas utama, namun di masa pandemi, "metode konstruksi" dan "software" naik ke posisi atas.
Beberapa software yang mengalami lonjakan prioritas:
Ini mengindikasikan bahwa digitalisasi tak hanya merambah fisik proyek, tapi juga administrasi dan pengambilan keputusan.
Perspektif Kritis: Transformasi atau Penyesuaian Sementara?
Meski teknologi terbukti krusial, pertanyaan besarnya: apakah ini awal dari transformasi permanen atau sekadar adaptasi sementara? Berdasarkan data, kontraktor lebih terdorong oleh keharusan regulatif dan kebutuhan mendesak daripada kesadaran strategis jangka panjang.
Perlu ada strategi jangka panjang agar adopsi teknologi tidak berhenti setelah pandemi. Pemerintah dan asosiasi konstruksi dapat berperan besar dengan:
Benchmarking Global: Peluang yang Belum Dimaksimalkan
Negara seperti Jepang dan Korea Selatan telah lama menerapkan teknologi prefabrikasi dan lean construction. Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dengan mempercepat integrasi BIM (Building Information Modeling), IoT, serta automasi konstruksi berbasis AI.
Sebagai perbandingan, McKinsey (2020) menunjukkan bahwa kontraktor yang mengadopsi teknologi digital memiliki efisiensi 20-30% lebih tinggi dalam penyelesaian proyek.
Penutup: Masa Depan Konstruksi Ada di Digitalisasi
Kajian oleh Rika Permatasari dkk. membuktikan bahwa teknologi adalah kunci vital dalam menjawab tantangan konstruksi di masa krisis. Meski masih menghadapi hambatan klasik seperti pendanaan dan sumber daya manusia yang belum terampil, langkah kontraktor Indonesia menuju digitalisasi semakin nyata.
Pandemi telah membuka mata bahwa teknologi bukan sekadar pelengkap, tetapi fondasi baru bagi keberlanjutan industri konstruksi. Untuk itu, upaya kolaboratif antara pemerintah, kontraktor, dan lembaga pendidikan sangat dibutuhkan agar transformasi ini bersifat sistemik dan inklusif.
Referensi
Permatasari, R., Mahardika, I., & Soemardi, B.W. (2021). Kajian Penerapan Teknologi Konstruksi oleh Kontraktor dalam Menghadapi Kondisi Pandemi Covid-19. Konferensi Nasional Teknik Sipil 15, Institut Teknologi Bandung.
Building Information Modeling
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 15 Mei 2025
Pendahuluan: BIM Sebagai Masa Depan Konstruksi Indonesia
Industri konstruksi global mengalami pergeseran paradigma besar-besaran dengan hadirnya Building Information Modeling (BIM). Di tengah kompleksitas proyek yang makin meningkat, kebutuhan akan koordinasi lintas-disiplin yang presisi dan efisien menjadi sangat mendesak. Artikel ilmiah berjudul "Mengeksplorasi Penerapan Building Information Modeling (BIM) pada Industri Konstruksi Indonesia dari Perspektif Pengguna" oleh Cindy F. Mieslenna dan Andreas Wibowo, membuka cakrawala baru terkait potret riil pemanfaatan BIM di tanah air.
Latar Belakang: Tantangan Koordinasi dan Harapan Teknologi
Selama tiga dekade terakhir, proyek konstruksi diwarnai oleh masalah klasik seperti miskomunikasi antar-pihak, keterlambatan, dan pembengkakan biaya. BIM muncul sebagai solusi digital kolaboratif yang menyatukan semua informasi proyek ke dalam satu model terpadu. Namun, meskipun manfaat BIM telah banyak dibuktikan secara internasional, adopsinya di Indonesia masih jauh dari optimal.
Tujuan Penelitian: Menyelami Realita dari Perspektif Praktisi
Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi penggunaan BIM di Indonesia dari sudut pandang praktisi yang telah mengadopsi teknologi ini. Dengan metode wawancara semi-terstruktur terhadap 10 profesional dari sektor kontraktor, konsultan, dan pengembang, studi ini menggali persepsi, manfaat, hambatan, serta potensi ke depan dari BIM di lapangan.
Temuan Kunci: Manfaat, Tantangan, dan Realitas Implementasi BIM
Manfaat Nyata dari Penggunaan BIM:
Hambatan yang Masih Mengakar:
Walaupun tidak ada kelemahan mendasar yang ditemukan dalam BIM itu sendiri, beberapa faktor penghambat utama teridentifikasi:
1. Investasi awal tinggi:
Harga software dan hardware masih tergolong mahal.
Pengadaan lisensi dan perangkat berkualitas tinggi menjadi beban.
2. Keterbatasan SDM dan pelatihan:
Banyak staf tidak siap beralih dari budaya kerja 2D.
Pelatihan vendor dinilai terlalu dangkal dan tidak aplikatif.
3. Kurangnya kolaborasi lintas pelaku:
Ketika hanya satu pihak memakai BIM, koordinasi tetap harus menggunakan metode konvensional.
4. Belum meratanya adopsi di semua sektor:
Masih banyak perencana atau subkontraktor yang belum menggunakan BIM.
5. Isu regulasi dan kepemilikan data:
Ketiadaan aturan baku tentang hak atas data menyebabkan kebingungan dan kekhawatiran.
Studi Kasus: Praktik Implementasi dan Pendekatan Beragam
Pengalaman para praktisi menunjukkan bahwa adopsi BIM bisa dilakukan melalui pendekatan bottom-up (inisiatif staf) maupun top-down (kebijakan manajemen). Menariknya, adopsi top-down lebih sering berujung pada integrasi BIM secara menyeluruh.
Sebagian perusahaan bahkan mampu memperoleh proyek baru hanya karena presentasi visual BIM yang impresif. Namun, banyak pula yang kesulitan menjalankan BIM di lapangan karena keterbatasan pemahaman atau keterlibatan pihak lain yang belum mengadopsi BIM.
Bandingkan: Praktik Global dan Indonesia
Jika dibandingkan dengan negara seperti Korea Selatan dan AS, Indonesia tertinggal dalam regulasi dan standardisasi BIM. Di Korea, misalnya, proyek pemerintah dengan nilai di atas 50 miliar won wajib menggunakan BIM. Sementara itu, di Indonesia, regulasi baru dimulai sejak Permen PUPR No. 22/PRT/M/2018 yang hanya berlaku untuk proyek bangunan gedung negara tertentu.
Analisis Tambahan: Mengapa BIM Masih Belum Masif?
Kurangnya insentif dari klien: Banyak perusahaan enggan berinvestasi karena permintaan penggunaan BIM dari klien masih rendah.
Tidak adanya tolok ukur ROI yang jelas: Meski efisiensi disebutkan, ukuran keberhasilan implementasi masih belum terstandarisasi.
Kekhawatiran terhadap kepemilikan data: Praktik berbagi data proyek masih menyisakan banyak pertanyaan hukum dan kepercayaan.
Strategi Percepatan Adopsi BIM
Penelitian ini menyarankan beberapa strategi untuk mempercepat transformasi digital konstruksi:
Kritik & Opini: Apakah BIM Sekadar Tren?
BIM tidak hanya soal software, tetapi perubahan cara kerja menyeluruh. Namun, tanpa keseriusan ekosistem (pemerintah, industri, pendidikan), implementasi BIM di Indonesia akan mandek. Diperlukan regulasi yang tegas namun inklusif, pelatihan yang menyeluruh, dan strategi investasi jangka panjang.
Dibandingkan dengan riset serupa dari Nigeria (Abubakar et al., 2018) dan Malaysia (Gardezi et al., 2014), tantangan di Indonesia cukup identik: keterbatasan SDM, kendala biaya, dan resistensi budaya kerja. Hal ini menunjukkan bahwa negara berkembang memerlukan model adopsi BIM yang disesuaikan secara lokal, bukan sekadar meniru model negara maju.
Penutup: Saatnya Indonesia Naik Kelas
Penelitian ini membuktikan bahwa BIM bukan sekadar alat bantu desain, melainkan sistem manajemen proyek berbasis data yang menyeluruh. Meski belum maksimal, sinyal positif dari pengguna awal dan dukungan kebijakan awal dari pemerintah menjadi fondasi yang menjanjikan. Dengan strategi yang tepat, BIM bisa menjadi katalis revolusi digital dalam sektor konstruksi Indonesia.
Referensi
Mieslenna, C.F., & Wibowo, A. (2019). Mengeksplorasi Penerapan Building Information Modeling (BIM) pada Industri Konstruksi Indonesia dari Perspektif Pengguna. Dapat diakses di: ResearchGate Publication