Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Mei 2025
Mengapa Manajemen Risiko Jadi Penentu Kesuksesan Proyek Konstruksi?
Dalam industri konstruksi, setiap proyek memiliki risiko yang tidak bisa dihindari. Mulai dari keterlambatan pengiriman material, perubahan desain di tengah pengerjaan, hingga ketidaksesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan di lapangan. Risiko-risiko ini, jika tidak dikelola dengan baik, berpotensi menyebabkan pembengkakan biaya, keterlambatan waktu, bahkan kerugian finansial yang signifikan.
Artikel berjudul “Analisis Risiko Pada Proyek Konstruksi Perumahan Dengan Metode House of Risk (HOR)” oleh Siti Aisyah Maharani dkk., memberikan kontribusi penting dalam memahami bagaimana risiko proyek perumahan dapat diidentifikasi, dianalisis, dan dimitigasi secara sistematis menggunakan pendekatan House of Risk (HOR). Penelitian ini mengambil studi kasus pada proyek PT ABC, perusahaan pengembang sekaligus kontraktor di wilayah Jakarta dan Depok.
Proyek Perumahan PT ABC: Masalah Klasik dalam Skala Modern
PT ABC kerap menghadapi sejumlah masalah dalam proyek konstruksinya, termasuk:
Masalah-masalah ini mengindikasikan lemahnya manajemen risiko di proyek-proyek sebelumnya. Oleh karena itu, dilakukan analisis mendalam menggunakan pendekatan HOR untuk mengidentifikasi sumber risiko utama dan menyusun strategi mitigasi yang konkret.
Metodologi: Menerapkan House of Risk (HOR) dalam Dua Tahap
Penelitian ini menggunakan metode House of Risk yang terbagi menjadi dua fase:
HOR Fase 1
Menentukan prioritas sumber risiko (risk agent) berdasarkan nilai ARP (Aggregate Risk Potential), yaitu gabungan antara frekuensi terjadinya risiko dan dampaknya terhadap proyek.
HOR Fase 2
Menentukan aksi mitigasi berdasarkan efektivitas dan kemudahan pelaksanaan, dihitung menggunakan skor ETD (Effectiveness to Difficulty Ratio).
Sampel dalam penelitian ini adalah enam responden dari total 52 orang dalam struktur proyek, dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Data diolah menggunakan Excel dan SPSS untuk validasi dan analisis lebih lanjut.
Identifikasi Risiko: Dari Sumber Hingga Kejadian
Penelitian mengidentifikasi 25 kejadian risiko (risk event) dan 25 sumber risiko (risk agent), yang mencakup berbagai aspek:
Hasil observasi menunjukkan bahwa risiko seringkali tumpang tindih dan saling mempengaruhi, sehingga analisis multi-dimensi diperlukan untuk menangani akar permasalahannya secara komprehensif.
Analisis Risiko HOR Fase 1: Menemukan Sumber Risiko Tertinggi
Berdasarkan analisis HOR Fase 1, diperoleh tujuh sumber risiko dengan nilai ARP tertinggi, yaitu:
Hasil ini diperkuat dengan prinsip Pareto (80/20), di mana sekitar 80% kejadian risiko berasal dari 20% sumber risiko utama. Temuan ini menjadi dasar dalam perumusan strategi mitigasi yang terfokus dan efisien.
Studi Kasus: Dampak Perubahan Desain di Tengah Konstruksi
Perubahan desain menjadi salah satu risiko paling krusial dalam proyek PT ABC. Dalam salah satu proyek perumahan, klien mengajukan permintaan perubahan layout dapur dan posisi kamar mandi setelah pekerjaan struktur selesai 70%. Perubahan ini berdampak pada:
Risiko ini sebenarnya bisa diminimalisasi jika terdapat prosedur baku untuk menangani permintaan perubahan desain dari klien sejak awal.
HOR Fase 2: Strategi Aksi Mitigasi yang Direkomendasikan
Dari tujuh risk agent prioritas di atas, peneliti merancang delapan strategi mitigasi dengan memperhitungkan efektivitas dan kemudahan implementasi. Strategi tersebut meliputi:
Setiap strategi ini dirancang tidak hanya untuk mengatasi risiko saat ini, tetapi juga memperkuat sistem manajemen risiko perusahaan secara jangka panjang.
Nilai Tambah Penelitian: Praktis dan Relevan untuk Industri
Penelitian ini memberikan kontribusi besar, terutama bagi perusahaan pengembang dan kontraktor yang ingin menerapkan manajemen risiko yang sistematis. Nilai plus dari penelitian ini antara lain:
Metode House of Risk, yang sebelumnya lebih banyak digunakan di industri manufaktur dan logistik, terbukti sangat relevan jika diterapkan pada proyek konstruksi.
Komparasi dengan Penelitian Sebelumnya
Pendekatan HOR dalam proyek konstruksi juga telah digunakan dalam:
Namun, keunikan dari penelitian ini adalah fokusnya pada proyek perumahan dengan skala yang lebih kecil namun frekuensi tinggi. Risiko di proyek perumahan cenderung lebih banyak muncul dari sisi koordinasi dan perubahan desain dibandingkan proyek besar seperti infrastruktur jalan atau energi.
Rekomendasi untuk Industri Konstruksi
Dari temuan dalam artikel ini, ada beberapa poin yang bisa menjadi pedoman industri konstruksi:
Kesimpulan: Mitigasi Risiko = Menjamin Keberhasilan Proyek
Risiko adalah bagian tak terpisahkan dari proyek konstruksi. Yang membedakan proyek sukses dan gagal adalah kemampuan manajemen dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan menanggapi risiko secara cepat dan tepat. Penelitian oleh Siti Aisyah Maharani dkk. ini menunjukkan bahwa pendekatan sistematik seperti House of Risk bukan hanya membantu memetakan risiko, tetapi juga merancang aksi nyata yang relevan, efektif, dan bisa langsung diterapkan di lapangan.
Dengan mengintegrasikan HOR ke dalam sistem kerja proyek, perusahaan seperti PT ABC dapat memperkecil kemungkinan kerugian, mempercepat waktu penyelesaian, dan meningkatkan kepercayaan klien. Bagi industri konstruksi di Indonesia, pendekatan seperti ini patut dipertimbangkan sebagai standar operasional baru.
Sumber Asli Artikel
Siti Aisyah Maharani, Santika Sari, Muhamad As’adi, Annisa Putriana Saputro. (2022). Analisis Risiko Pada Proyek Konstruksi Perumahan Dengan Metode House of Risk (HOR) (Studi Kasus: Proyek Konstruksi Perumahan PT ABC). Journal of Integrated System, Vol. 5 No. 1, Juni 2022: hlm. 16–26. ISSN: 2714-6349.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 21 Mei 2025
Sektor konstruksi global, sebuah industri yang menjadi tulang punggung perekonomian banyak negara, kini menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Proyek-proyek yang semakin masif, integrasi teknologi yang lebih canggih, serta tuntutan keberlanjutan dan pengurangan emisi karbon (CO_2) yang kian mendesak, menuntut pendekatan baru yang lebih adaptif dan efisien. Di tengah dinamika ini, proses penawaran tender, sebagai gerbang awal proyek, memegang peranan krusial. Sebuah keputusan yang salah pada tahap tender dapat memicu dampak berantai, mulai dari kerugian finansial hingga kegagalan proyek secara keseluruhan. Dalam konteks inilah, penelitian yang dilakukan oleh Linda Cusumano dari Chalmers University of Technology menawarkan perspektif segar: bagaimana kecerdasan buatan (AI) dan pendekatan berbasis data (data-driven) dapat merevolusi desain tender untuk mencapai hasil yang lebih optimal dan berorientasi pada produksi.
Paradigma Baru dalam Desain Tender Konstruksi
Secara tradisional, desain tender dalam industri konstruksi seringkali didasarkan pada intuisi, pengalaman masa lalu yang terbatas, dan data yang terfragmentasi. Pendekatan ini, meskipun telah teruji dalam skala tertentu, menjadi kurang relevan di era proyek mega dan persyaratan kompleks. Keterbatasan ini seringkali menyebabkan estimasi yang tidak akurat, risiko yang tidak teridentifikasi, dan pada akhirnya, proyek yang melampaui anggaran atau waktu. Linda Cusumano dalam tesisnya menggarisbawahi urgensi untuk beralih dari metode konvensional ke pendekatan yang lebih ilmiah dan prediktif.
Tesis ini mengeksplorasi potensi machine learning (ML) dan optimasi untuk menciptakan kerangka kerja desain tender yang adaptif. Tujuannya adalah untuk secara otomatis menghasilkan estimasi harga proyek dan mengeksplorasi opsi desain alternatif guna menemukan solusi optimal dalam konteks biaya dan efisiensi produksi. Bayangkan sebuah sistem di mana, dengan masukan data proyek yang akurat, AI dapat memprediksi biaya, mengidentifikasi potensi risiko, dan bahkan mengusulkan modifikasi desain yang akan menghemat waktu dan sumber daya. Ini bukan lagi fiksi ilmiah, melainkan sebuah potensi nyata yang coba diwujudkan dalam penelitian ini.
Tantangan Historis dan Evolusi Digitalisasi
Industri konstruksi dikenal sebagai salah satu sektor yang paling lambat dalam mengadopsi inovasi digital dibandingkan sektor lain seperti manufaktur atau perbankan. Ini bukan tanpa alasan; sifat proyek konstruksi yang unik, dengan setiap proyek memiliki karakteristik yang berbeda (sering disebut sebagai "prototipe tunggal"), ditambah dengan ketergantungan pada tenaga kerja manual, telah menjadi penghambat utama. Fragmentasi data, kurangnya standarisasi, dan budaya industri yang cenderung konservatif juga berkontribusi pada perlambatan ini.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, gelombang digitalisasi mulai terasa di industri konstruksi. Penerapan Building Information Modeling (BIM), digital twins, sensor IoT, dan teknologi cloud computing telah membuka pintu bagi pengumpulan dan analisis data dalam skala besar. Data-data ini, yang sebelumnya tersebar dan tidak terstruktur, kini berpotensi menjadi "emas" bagi pengembangan solusi berbasis AI. Transformasi ini menjadi landasan bagi gagasan "konstruksi 4.0," di mana data bukan lagi sekadar informasi, melainkan aset strategis untuk pengambilan keputusan yang lebih cerdas.
Metode Penelitian: Membangun Jembatan antara Data dan Desain
Penelitian ini mengambil pendekatan data-driven yang kuat, berakar pada pengumpulan dan analisis data historis dari proyek konstruksi. Metode utama yang digunakan adalah machine learning dan optimasi, sebuah kombinasi yang memungkinkan sistem untuk "belajar" dari pengalaman masa lalu dan "memprediksi" hasil di masa depan. Data yang digunakan mencakup berbagai parameter proyek, mulai dari karakteristik desain, jenis material, durasi pekerjaan, hingga biaya aktual.
Secara teknis, prosesnya melibatkan:
Pengumpulan Data: Mengumpulkan data proyek yang relevan dari berbagai sumber, termasuk dokumen tender, laporan proyek, dan basis data perusahaan. Kualitas dan kelengkapan data sangat krusial dalam tahapan ini.
Pra-pemrosesan Data: Membersihkan, menormalisasi, dan mengubah data ke dalam format yang sesuai untuk analisis ML. Ini mungkin termasuk penanganan nilai yang hilang, identifikasi outlier, dan rekayasa fitur.
Pengembangan Model Machine Learning: Membangun dan melatih model ML (misalnya, regresi, random forest, atau neural networks) untuk memprediksi biaya atau waktu berdasarkan karakteristik proyek.
Optimasi: Mengembangkan algoritma optimasi yang dapat mengeksplorasi berbagai kombinasi desain dan parameter proyek untuk menemukan solusi yang optimal berdasarkan tujuan yang ditetapkan (misalnya, biaya terendah, waktu tercepat, atau keseimbangan antara keduanya).
Validasi Model: Menguji performa model dengan data baru untuk memastikan akurasi dan generalisasinya.
Pendekatan ini berfokus pada dua aspek utama:
Estimasi Harga Proyek yang Lebih Akurat: Dengan menganalisis pola dari proyek-proyek sebelumnya, model AI dapat memberikan estimasi biaya yang lebih presisi, mengurangi risiko cost overrun dan memastikan keuntungan yang lebih realistis.
Desain Berorientasi Produksi: Tidak hanya tentang estimasi biaya, tetapi juga tentang bagaimana desain dapat dioptimalkan untuk mempermudah proses konstruksi di lapangan. Ini berarti mempertimbangkan ketersediaan material, metode pemasangan, dan efisiensi tenaga kerja sejak tahap tender.
Peran Kunci Kecerdasan Buatan dalam Desain Tender
Kecerdasan buatan, khususnya machine learning, menawarkan kemampuan untuk mengidentifikasi pola kompleks dalam kumpulan data besar yang sulit atau bahkan mustahil dideteksi oleh manusia. Dalam konteks desain tender, ini berarti AI dapat:
Mendeteksi Anomali dan Risiko Tersembunyi: Dengan membandingkan proyek baru dengan data historis, AI dapat menandai potensi risiko yang mungkin terlewatkan oleh estimator manusia, seperti perubahan harga material yang tiba-tiba atau kondisi lokasi yang tidak terduga.
Mengoptimalkan Alokasi Sumber Daya: Berdasarkan data historis tentang penggunaan material dan tenaga kerja, AI dapat merekomendasikan alokasi sumber daya yang paling efisien untuk proyek baru, mengurangi pemborosan dan meningkatkan produktivitas.
Meningkatkan Proses Pengambilan Keputusan: Dengan menyediakan estimasi yang lebih akurat dan skenario desain yang dioptimalkan, AI memberdayakan pengambil keputusan untuk membuat pilihan yang lebih terinformasi dan strategis selama proses tender. Ini dapat mengarah pada penawaran yang lebih kompetitif dan proyek yang lebih menguntungkan.
Mendukung Desain Inovatif: Dengan kemampuan untuk mensimulasikan berbagai skenario desain, AI dapat mendorong inovasi dengan mengidentifikasi konfigurasi desain yang tidak konvensional namun efisien, yang mungkin tidak terpikirkan oleh perencana manusia.
Studi Kasus dan Implikasi Praktis
Meskipun tesis ini bersifat konseptual dan metodologis, implikasi praktisnya sangat luas. Bayangkan sebuah perusahaan konstruksi yang menerima ribuan tawaran tender setiap tahun. Dengan sistem yang diusulkan, mereka dapat:
Menanggapi Tender Lebih Cepat: Proses estimasi yang otomatis memungkinkan perusahaan untuk merespons permintaan tender dengan kecepatan yang belum pernah ada sebelumnya, meningkatkan peluang untuk memenangkan kontrak.
Meningkatkan Margin Keuntungan: Estimasi yang lebih akurat dan desain yang dioptimalkan untuk produksi dapat secara signifikan meningkatkan margin keuntungan proyek.
Mengurangi Risiko Proyek: Dengan identifikasi risiko yang lebih baik dan kemampuan untuk memprediksi masalah potensial, perusahaan dapat mengambil langkah mitigasi lebih awal, mengurangi kemungkinan keterlambatan dan pembengkakan biaya.
Membangun Basis Data Pengetahuan yang Berharga: Setiap proyek baru yang diselesaikan akan menambah data ke dalam sistem, memperkaya basis pengetahuan AI dan meningkatkan akurasi prediksinya di masa depan. Ini menciptakan siklus pembelajaran berkelanjutan yang berharga.
Secara lebih spesifik, dalam konteks industri konstruksi di Indonesia, di mana proyek infrastruktur sedang gencar-gencarnya, penerapan pendekatan data-driven ini akan sangat relevan. Misalnya, pada proyek pembangunan ibu kota baru, Nusantara, di mana skala dan kompleksitasnya sangat tinggi, penggunaan AI dalam desain tender dapat membantu dalam:
Estimasi Biaya yang Presisi untuk Proyek Multi-Tahun: Dengan data historis proyek serupa di berbagai kondisi geografis dan material, AI dapat memberikan proyeksi biaya yang lebih akurat untuk proyek-proyek jangka panjang.
Optimasi Penggunaan Sumber Daya Lokal: AI dapat dilatih dengan data tentang ketersediaan material lokal, kapasitas tenaga kerja, dan kondisi geografis untuk mengoptimalkan desain tender agar sesuai dengan konteks regional, mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan efisiensi logistik.
Mitigasi Risiko Lingkungan dan Sosial: Dengan menganalisis data dampak lingkungan dan sosial dari proyek-proyek sebelumnya, AI dapat membantu mengidentifikasi potensi masalah sejak dini dan mengusulkan desain yang meminimalkan risiko tersebut, sesuai dengan standar keberlanjutan.
Tantangan dan Batasan
Meskipun menjanjikan, penerapan AI dalam desain tender tidak datang tanpa tantangan. Beberapa di antaranya meliputi:
Kualitas dan Ketersediaan Data: Keberhasilan model AI sangat bergantung pada kualitas, kuantitas, dan relevansi data historis. Data yang tidak lengkap, tidak akurat, atau tidak terstruktur akan menghasilkan prediksi yang tidak valid. Mengintegrasikan data dari berbagai sistem dan memastikan konsistensinya adalah tugas yang rumit.
Kompleksitas Model: Mengembangkan dan memelihara model AI yang kompleks membutuhkan keahlian teknis yang tinggi, yang mungkin belum banyak tersedia di industri konstruksi.
Penerimaan Industri: Budaya konservatif di industri konstruksi dapat menjadi penghalang bagi adopsi teknologi baru. Edukasi dan demonstrasi nilai tambah yang jelas diperlukan untuk mengatasi resistensi ini.
Privasi Data dan Keamanan: Mengelola sejumlah besar data proyek, termasuk informasi sensitif, menimbulkan kekhawatiran tentang privasi dan keamanan data.
Bias dalam Data: Jika data historis mengandung bias (misalnya, proyek-proyek sebelumnya hanya dilakukan dengan metode tertentu), model AI dapat mengulang bias tersebut dalam rekomendasinya.
Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini, seperti banyak studi perintis lainnya, membuka jalan bagi eksplorasi lebih lanjut. Namun, ada beberapa aspek yang dapat diperdalam atau dibandingkan dengan penelitian serupa:
Fokus pada Algoritma Spesifik: Tesis ini secara umum membahas penggunaan machine learning dan optimasi. Akan sangat bermanfaat jika disertakan perbandingan performa beberapa algoritma ML yang berbeda untuk jenis data konstruksi tertentu. Misalnya, apakah random forest lebih cocok untuk data kategori, atau apakah neural networks lebih baik untuk data numerik kompleks?
Studi Kasus Empiris yang Lebih Luas: Meskipun tesis ini memberikan kerangka kerja yang kuat, implementasi dan validasi model pada sejumlah studi kasus proyek nyata akan memperkuat argumennya. Ini akan memberikan bukti empiris yang lebih kuat tentang efektivitas pendekatan ini dalam berbagai skenario proyek.
Integrasi dengan BIM dan Digital Twins: Bagaimana model AI yang diusulkan dapat secara mulus berintegrasi dengan platform BIM dan digital twins yang sudah ada? Sinergi antara teknologi ini akan menjadi kunci untuk mencapai ekosistem digital yang komprehensif dalam konstruksi. Beberapa penelitian, seperti Ma et al. (2018), telah membahas manajemen kualitas konstruksi berbasis sistem kolaboratif menggunakan BIM dan indoor positioning, yang menunjukkan potensi integrasi data dari berbagai sumber.
Aspek Keberlanjutan: Meskipun tesis ini menyebutkan tuntutan keberlanjutan, eksplorasi lebih lanjut tentang bagaimana AI dapat mengoptimalkan desain tender untuk meminimalkan dampak lingkungan (misalnya, penggunaan material daur ulang, pengurangan limbah, atau optimasi energi) akan menambah nilai signifikan.
Masa Depan Desain Tender: Menuju Otomasi dan Prediksi yang Lebih Baik
Penelitian Linda Cusumano ini merupakan langkah penting menuju masa depan di mana desain tender tidak lagi menjadi proses yang berbasis tebak-tebakan, melainkan proses yang didukung oleh data, prediksi yang akurat, dan optimasi yang canggih. Potensi untuk mengurangi risiko, meningkatkan efisiensi, dan mendorong inovasi dalam industri konstruksi sangatlah besar.
Namun, keberhasilan adopsi teknologi ini akan sangat bergantung pada kolaborasi antara akademisi, praktisi industri, dan pembuat kebijakan. Perusahaan konstruksi perlu berinvestasi dalam infrastruktur data dan pelatihan karyawan. Institusi pendidikan harus mempersiapkan tenaga kerja yang memiliki keterampilan di bidang data science dan AI untuk konstruksi. Dan pemerintah harus menciptakan lingkungan regulasi yang mendukung inovasi.
Pada akhirnya, visi yang disajikan dalam tesis ini adalah tentang industri konstruksi yang lebih cerdas, lebih efisien, dan lebih berkelanjutan. Dengan memanfaatkan kekuatan data dan kecerdasan buatan, kita dapat membangun tidak hanya infrastruktur fisik yang lebih baik, tetapi juga proses yang lebih baik untuk mewujudkannya. Tesis ini menjadi sebuah pengingat akan ungkapan T. S. Eliot yang dikutip di awal paper: "Di mana kehidupan yang hilang dalam hidup? Di mana kebijaksanaan yang hilang dalam pengetahuan? Di mana pengetahuan yang hilang dalam informasi?" Dengan pendekatan data-driven, kita berpotensi mengubah informasi menjadi pengetahuan, dan pengetahuan menjadi kebijaksanaan, untuk masa depan konstruksi yang lebih cerah.
Sumber Artikel:
Cusumano, L. (2023). Data-driven and production-oriented tendering design using artificial intelligence (Licentiate thesis, Chalmers University of Technology). Diakses dari https://research.chalmers.se/publication/537840/file/537840_Fulltext-min.pdf
Industri Beresiko
Dipublikasikan oleh Anisa pada 21 Mei 2025
Proyek infrastruktur merupakan tulang punggung pertumbuhan ekonomi, dan di Provinsi DKI Jakarta, sektor konstruksi memegang peranan krusial. Pada tahun 2017, kontribusinya mencapai 12,81% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta, menjadikannya sektor ketiga terbesar setelah Perdagangan Besar dan Eceran, serta Industri Pengolahan. Dengan nilai konstruksi dan pendapatan bruto tertinggi di Indonesia, Jakarta secara aktif mengadopsi sistem design-build (DB) untuk mengoptimalkan proyek infrastruktur. Namun, meskipun menjanjikan efisiensi, proyek-proyek DB di ibu kota tak luput dari masalah, terutama terkait keterlambatan penyelesaian yang berpotensi memicu pembengkakan biaya. Sebuah studi mendalam, menggunakan desain concurrent embedded dengan pendekatan kuantitatif sebagai primernya, mengungkap pemicu utama di balik tantangan ini.
Paradoks Proyek Design-Build di Jakarta
Fenomena keterlambatan proyek DB di Jakarta menghadirkan paradoks yang menarik dibandingkan dengan pengalaman negara lain. Dari tahun 2015 hingga 2017, sebanyak 13 dari 16 proyek infrastruktur DB (81,25%) mengalami keterlambatan yang bervariasi antara 4,1% hingga 28,8% dari rencana awal. Keterlambatan semacam ini secara langsung berdampak pada peningkatan biaya proyek, dan dalam sistem kontrak harga tetap (fixed-price), seluruh risiko biaya tambahan menjadi tanggung jawab kontraktor. Ini sangat berbeda dengan narasi global, di mana model DB justru cenderung meningkatkan performa proyek. Sebagai contoh, di Singapura, kontraktor menilai proyek DB memiliki kinerja lebih baik dalam kualitas, waktu, dan biaya dibandingkan proyek tradisional. Di Inggris, tingkat kepuasan pemilik proyek terhadap kinerja DB berada di atas rata-rata untuk harga, waktu, dan kualitas, dengan proyek DB yang dianggap lebih baik dalam hal ketepatan waktu dan kepastian biaya. Bahkan di Amerika Serikat, proyek DB menunjukkan kinerja yang superior dalam hal kualitas, waktu, dan biaya dibandingkan proyek design-bid-build (DBB). Disparitas ini menyoroti perlunya analisis mendalam terhadap faktor-faktor eksternal yang memengaruhi proyek DB di DKI Jakarta.
Memahami Design-Build dan Risiko Eksternal
Design-build (DB) adalah metode pengiriman proyek yang mengontrak satu entitas tunggal untuk layanan desain dan konstruksi. Berbeda dengan sistem tradisional design-bid-build (DBB) di mana pemilik mengontrak desainer dan kontraktor secara terpisah, dalam DB, kontraktor bertanggung jawab penuh atas proses perencanaan, desain, dan konstruksi. Dalam konteks proyek DB di DKI Jakarta yang menggunakan sistem harga tetap, cakupan pekerjaan dan total biaya kontrak bersifat tetap dan terikat, di mana perubahan kontrak tidak mencakup penyesuaian harga kecuali ada kebijakan pemerintah. Artinya, jika ada biaya tambahan untuk penyelesaian proyek, itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab kontraktor.
Dalam kerangka manajemen proyek, risiko didefinisikan sebagai kondisi atau peristiwa tak terduga yang dapat berdampak positif atau negatif terhadap pencapaian tujuan proyek. Risiko melekat pada setiap fase proyek dan perlu diidentifikasi untuk menghindari efek buruk pada kinerja proyek secara keseluruhan. Banyak masalah yang muncul di fase lanjutan siklus hidup proyek seringkali berasal dari risiko yang tidak dikelola dengan baik pada tahap sebelumnya. Risiko dapat dikategorikan menjadi ancaman internal dan eksternal. Faktor eksternal adalah risiko yang dapat memengaruhi kinerja proyek di luar kemampuan pemilik dan kontraktor. Kinerja proyek sendiri dapat didefinisikan dalam tiga batasan utama: biaya/anggaran, waktu, dan kualitas. Keberhasilan manajemen proyek tidak hanya ditentukan oleh pencapaian tujuan, tetapi juga oleh penggunaan waktu, biaya, tingkat kinerja/teknologi yang dialokasikan, penerimaan pelanggan, dan penggunaan sumber daya yang efektif. Berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya, risiko memengaruhi kinerja proyek, baik pada waktu penyelesaian maupun biaya. Keterlambatan penyelesaian proyek oleh kontraktor berarti kerugian akibat peningkatan biaya overhead, material, dan tenaga kerja.
Penelitian ini mengadopsi metode campuran (mixed-method), yaitu concurrent embedded, dengan pendekatan kuantitatif sebagai yang utama. Populasi studi ini adalah kontraktor yang terlibat dalam pekerjaan dengan metode DB yang menggunakan sistem kontrak harga tetap di DKI Jakarta (tidak termasuk konsultan dan pemilik) selama periode kontrak 2015-2018. Jumlah sampel adalah 50 responden dengan pengalaman kerja minimal lima tahun di bidang konstruksi. Kuesioner dan wawancara menjadi sumber data primer, sementara studi dokumenter merupakan sumber data sekunder. Data dianalisis menggunakan Partial Least Square (PLS).
Temuan Kunci: Ancaman dari Utilitas dan Pihak Ketiga
Analisis data mengungkapkan bahwa risiko gangguan utilitas memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kinerja waktu dan biaya proyek DB di DKI Jakarta. Sebaliknya, risiko pihak ketiga tidak memengaruhi kinerja waktu dan biaya proyek DB. Temuan ini sangat penting, mengingat bahwa informasi yang tidak lengkap dan tidak akurat mengenai gangguan utilitas secara langsung menyebabkan keterlambatan penyelesaian proyek dan peningkatan realisasi biaya dibandingkan dengan rencana awal.
Secara spesifik, nilai R Square untuk kinerja waktu adalah 0,121, menunjukkan bahwa gangguan utilitas dan risiko pihak ketiga berkontribusi 12,1% terhadap kinerja waktu. Risiko gangguan utilitas memiliki ukuran efek yang lemah (0,093), sedangkan risiko pihak ketiga (0,001) dikategorikan tidak memengaruhi. Untuk kinerja biaya, nilai R Square adalah 0,338, yang berarti gangguan utilitas dan risiko pihak ketiga berkontribusi 33,8% terhadap kinerja waktu. Risiko gangguan utilitas memiliki ukuran efek moderat (0,220), sementara efek risiko pihak ketiga (0,048) tergolong lemah.
Dalam pengujian hipotesis, risiko gangguan utilitas (-0,334) secara signifikan memengaruhi kinerja waktu (sig. 0,044), sementara efek risiko pihak ketiga (-0,025) tidak signifikan (sig. 0,898). Risiko gangguan utilitas (-0,446) juga secara signifikan memengaruhi kinerja biaya (sig. 0,000), sedangkan risiko pihak ketiga (-0,208) tidak signifikan (sig. 0,898). Dengan demikian, dua hipotesis penelitian diterima: risiko gangguan utilitas secara negatif memengaruhi kinerja waktu (H1) dan kinerja biaya (H2) proyek DB.
Analisis Mendalam: Mengapa Utilitas Begitu Berdampak?
Secara umum, utilitas merupakan tanggung jawab pemilik proyek dalam hal pengadaan, operasi, dan pemeliharaan. Demikian pula, jika ada kebutuhan untuk relokasi atau pemindahan utilitas, ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemilik utilitas. Namun, masalah yang sering terjadi adalah jadwal yang berkaitan dengan penanganan gangguan utilitas tidak sinkron. Akibatnya, pekerjaan konstruksi tidak dapat diselesaikan dengan segera dan bahkan tumpang tindih dengan penanganan gangguan utilitas.
Berdasarkan survei kualitatif terhadap praktisi proyek konstruksi infrastruktur di DKI Jakarta, informasi tender mengenai utilitas yang mengganggu pekerjaan konstruksi tidak lengkap. Ketidaklengkapan informasi ini terjadi pada berbagai tingkatan: 2% responden menyatakan tidak ada informasi, 38% responden menyatakan hanya sedikit informasi yang tersedia, dan 38% responden menyatakan hanya separuh data yang tersedia. Demikian pula, akurasi informasi yang disampaikan mengenai jenis, fungsi, dan dimensi utilitas yang diterima saat tender dengan kondisi di lapangan juga menjadi masalah. Semua responden menyatakan bahwa data tidak akurat (58% sebagian besar informasi salah, 28% sebagian benar, dan hanya 14% yang mengatakan sebagian kecil informasi yang diberikan benar).
Dari wawancara, ketidaklengkapan dan ketidakakuratan informasi ini disebabkan oleh ketidakakuratan gambar as-built pekerjaan utilitas. Hal ini mungkin terjadi karena setelah instalasi utilitas, telah ada perubahan dalam pekerjaan infrastruktur, dan tidak ada pembaruan pada gambar as-built (misalnya, untuk posisi utilitas terbaru, baik dalam hal alignment maupun elevasi). Lebih lanjut, sebagian besar responden menyatakan bahwa informasi yang disampaikan tentang prosedur dan proses relokasi tidak akurat terkait dengan jadwal relokasi utilitas. Setelah koordinasi lebih lanjut mengenai pemindahan utilitas, terjadi ketidaksesuaian jadwal realisasi di lapangan, dengan 58% responden menyatakan bahwa ketidaksesuaian ini menyebabkan pekerjaan tertunda selama satu bulan atau lebih. Kondisi ini menyulitkan operator konstruksi untuk menjadwalkan pekerjaan konstruksi sesuai dengan relokasi utilitas.
Gangguan utilitas menyebabkan desain dan metode kerja tidak dapat diimplementasikan sesuai rencana awal. Akibatnya, hal ini dapat menyebabkan perubahan desain total atau memerlukan penggantian material dengan menyesuaikan kondisi yang ada di lapangan. Gangguan utilitas juga menghambat pengoperasian peralatan, tingkat penerimaan material, dan penyelesaian pekerjaan. Gangguan utilitas terjadi di setiap proyek, sehingga probabilitasnya sangat tinggi (VHI). Meskipun demikian, gangguan utilitas menyebabkan peningkatan biaya yang dialokasikan kurang dari 25% atau diklasifikasikan dalam kategori dampak rendah (LOW). Dengan demikian, tingkat risiko gangguan utilitas dikategorikan sebagai moderat (MOD).
Kontras dengan Risiko Pihak Ketiga
Dibandingkan dengan gangguan utilitas, permintaan pihak ketiga lebih sulit diidentifikasi. Sebanyak 30% responden menyatakan tidak ada informasi mengenai risiko pihak ketiga, dan 70% sisanya mengatakan informasinya tidak lengkap. Risiko pihak ketiga sering muncul selama pelaksanaan pekerjaan setelah pihak ketiga melihat implementasi proyek. Bahkan pemilik proyek pun tidak banyak mengetahui tentang permintaan pihak ketiga sehingga informasi yang disampaikan pada fase tender tidak akurat.
Meskipun permintaan pihak ketiga harus dipenuhi karena pada akhirnya permintaan tersebut menjadi kebutuhan, meskipun bukan persyaratan kelayakan operasional untuk memperoleh Sertifikasi Kelayakan Operasional (SLO), tingkat kemungkinan risiko pihak ketiga sangat rendah (VLOW) dan menyebabkan peningkatan biaya yang dialokasikan kurang dari 25% atau diklasifikasikan dalam kategori dampak rendah (LOW). Oleh karena itu, tingkat risiko pihak ketiga dikategorikan sebagai rendah (LOW).
Hasil studi ini pada proyek konstruksi design-build di DKI Jakarta menunjukkan hasil yang berbeda dari beberapa penelitian sebelumnya. Studi oleh Pennsylvania State University bekerja sama dengan Construction Industry Institute yang dilakukan pada 351 proyek di 37 negara bagian AS menunjukkan bahwa: (1) metode desain memberikan keuntungan biaya proyek 6% dibandingkan metode tradisional; (2) biaya yang timbul karena perubahan pekerjaan berkurang 5,2% dibandingkan proyek DBB; dan (3) waktu penyelesaian proyek 33% lebih cepat daripada metode tradisional. Perbedaan signifikan ini menekankan pentingnya konteks lokal dalam menganalisis risiko proyek.
Implikasi dan Rekomendasi
Salah satu kendala utama dalam implementasi proyek DB di DKI Jakarta adalah identifikasi risiko eksternal dan informasi yang tidak akurat mengenai risiko tersebut. Identifikasi risiko sangat penting dalam manajemen risiko; risiko tidak dapat dikelola kecuali telah diidentifikasi. Mengakui bagian-bagian penting dari risiko adalah langkah pertama untuk berhasil melakukan penilaian risiko. Secara umum, tahap identifikasi risiko adalah merinci risiko yang ada, kemudian menentukan signifikansi (potensi) dan penyebabnya melalui survei dan investigasi masalah yang ada.
Studi ini secara tegas menunjukkan bahwa risiko gangguan utilitas secara negatif memengaruhi kinerja waktu dan biaya proyek DB. Sebaliknya, risiko pihak ketiga tidak secara signifikan memengaruhi kinerja waktu dan biaya proyek DB. Informasi yang tidak lengkap dan tidak akurat mengenai gangguan utilitas menyebabkan keterlambatan penyelesaian proyek dan peningkatan realisasi biaya dibandingkan rencana awal. Lebih lanjut, kurangnya informasi terkait risiko pihak ketiga menyulitkan penanganannya. Memastikan jadwal penanganan risiko juga penting dan diperlukan untuk mengelola risiko.
Mengingat potensi risiko proyek konstruksi yang relatif tinggi dibandingkan proyek lain, harus ada prioritas yang berbeda untuk risiko yang ada. Manajemen risiko proyek sangat penting untuk peningkatan kinerja proyek. Ini terdiri dari identifikasi dan penilaian risiko yang sistematis, pengembangan strategi untuk mencegah atau menghindari risiko, dan memaksimalkan peluang. Oleh karena itu, untuk memastikan pengiriman proyek yang optimal, pemerintah, sebagai pemilik proyek, perlu memvalidasi informasi yang diberikan dan mengoordinasikan penanganan gangguan sebelum proyek dimulai. Ini bukan sekadar formalitas, melainkan langkah strategis untuk meminimalisir dampak negatif yang terbukti merugikan efisiensi dan efektivitas proyek infrastruktur di DKI Jakarta.
Sumber Artikel:
Lindawati, & Wibowo, A. (2020). External Risk in Design-Build Projects with Fixed-Price System: The Case of DKI Jakarta Province, Indonesia. International Journal of Science, Technology & Management, 2(1), 236–243. Diakses dari http://ijstm.inarah.co.id/index.php/ijstm/article/view/100
Kualitas
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Kualitas Bukan Sekadar Standar, tapi Kepercayaan
Dalam dunia manufaktur transportasi, kualitas bukan hanya soal kelengkapan produk—ia adalah jaminan keselamatan, efisiensi, dan reputasi. Artikel karya Wahyu Andy Prastyabudi dan tim dari Telkom University menyajikan pendekatan analitis untuk mengatasi tantangan kualitas dalam industri manufaktur kereta melalui integrasi dua metode teruji: Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) dan Fault Tree Analysis (FTA).
Penelitian ini mengangkat kasus nyata dari produksi komponen kereta yang mengalami rata-rata 10–12 cacat per unit, menyebabkan keterlambatan pengiriman hingga dua bulan. Sebuah sinyal bahaya bahwa ada masalah sistemik dalam proses produksi.
Mengapa FMEA dan FTA?
FMEA adalah alat klasik namun ampuh untuk mengidentifikasi kegagalan potensial berdasarkan tiga metrik: tingkat keparahan (Severity), kemungkinan terjadi (Occurrence), dan deteksi (Detection). Sedangkan FTA menawarkan pendekatan deduktif, membangun peta penyebab utama dari suatu kegagalan menggunakan struktur pohon logika. Gabungan dua metode ini menghasilkan sinergi: FMEA menyaring prioritas, FTA menyelami akar masalah.
Studi Kasus: Industri Kereta yang Kompleks
Berbeda dengan industri otomotif atau tekstil, manufaktur kereta memiliki karakteristik produksi panjang, bersifat kustom, dan harus mematuhi regulasi keselamatan yang ketat. Kompleksitas ini membuat kegagalan kecil bisa menjelma menjadi bencana operasional.
Hasil Analisis: Fakta Berbicara Lewat Data
Data Awal: 599 Laporan Cacat
Dari 1.300 data cacat yang dikumpulkan melalui non-conformance report (NCR), sebanyak 599 kasus diklasifikasikan dan ditelusuri lebih dalam. Hasilnya:
Metodologi Skoring RPN
Dengan menghitung RPN (Risk Priority Number) dari 18 jenis cacat, ditemukan bahwa 8 di antaranya melebihi nilai kritis 209—angka yang dihitung dari total RPN dibagi jumlah jenis cacat. Salah satu yang tertinggi adalah cacat retak pada pengelasan dengan skor RPN 504.
No.Jenis Cacat
RPN
3
Retakan pada pengelasan
504
4
Sambungan kabel longgar
384
13
Cat tidak merata
336
Pareto 80/20: Fokus pada Penyebab Dominan
Dengan prinsip Pareto, 80% masalah berasal dari 20% jenis cacat. Tiga cacat utama yang dianalisis lebih dalam adalah:
Mengupas Akar Masalah Lewat FTA
Defect 1: Kerusakan Panel Komponen
FTA mengungkap bahwa kombinasi antara kualitas material rendah dan kesalahan tenaga kerja (fatigue, kurang pelatihan) menjadi pemicu utama.
Defect 3: Retakan Pengelasan
Ditemukan bahwa ketidaksesuaian arus pengelasan (ampere mismatch) dan kurangnya inspeksi visual saat proses merupakan penyebab langsung. Ini menjadi bukti bahwa quality assurance tak boleh hanya mengandalkan SOP, tetapi butuh pengawasan aktif.
Defect 13: Cat Bergaris atau Tidak Merata
Masalah ini lebih kepada aspek visual—penerangan kerja yang buruk, lingkungan kerja yang tidak ergonomis, serta kurangnya perhatian pekerja terhadap detil.
Dampak dan Implikasi Nyata bagi Industri
Keterlambatan dua bulan dalam pengiriman produk akibat cacat adalah kerugian finansial dan reputasi yang signifikan. Apalagi dalam konteks industri perkeretaapian di mana keterlambatan tidak hanya berdampak pada biaya, tapi juga pada keselamatan publik.
Ilustrasi Kerugian:
Misalnya, jika satu kereta memiliki nilai kontrak Rp10 miliar dan keterlambatan pengiriman menimbulkan penalti 1% per minggu, maka dalam dua bulan kerugian bisa mencapai Rp800 juta per unit.
Pembelajaran dari Kasus Boeing
Seperti halnya skandal Boeing 737 MAX yang berakar pada kualitas kontrol yang longgar dan tekanan produksi berlebihan (Denning, 2013; Herkert et al., 2020), studi ini mengingatkan kita bahwa kontrol kualitas bukan sekadar formalitas, tapi landasan etika rekayasa.
Rekomendasi Praktis: Dari Temuan ke Tindakan
Artikel ini tidak berhenti pada diagnosis masalah, tetapi memberikan resep perbaikan berdasarkan kategori penyebab:
Material
Personel
Visual
Dokumentasi
Kritik dan Komparasi dengan Penelitian Lain
Dibandingkan pendekatan data-intensive seperti Bayesian Network (Chen et al., 2017) atau Lean Six Sigma (Fibriani et al., 2023), metode FMEA + FTA dalam studi ini lebih praktis untuk diterapkan di lingkungan industri yang belum terlalu digital.
Namun, keterbatasannya terletak pada ketergantungan pada data historis dan input subjektif dari para ahli. Ke depan, penggunaan teknik data mining atau pemodelan simulasi dapat meningkatkan objektivitas dan prediksi jangka panjang.
Kesimpulan: Integrasi yang Tepat untuk Masalah Kompleks
Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam dunia manufaktur modern, pendekatan hybrid seperti FMEA dan FTA bukan sekadar alat teknik, tetapi instrumen strategis dalam manajemen risiko kualitas.
Temuan kunci:
Dengan memberikan pendekatan sistematis terhadap cacat produksi, perusahaan dapat mengurangi kegagalan, mempercepat pengiriman, dan yang terpenting—meningkatkan kepercayaan pelanggan.
Referensi
Prastyabudi, W. A., Faharga, R. A., & Chandra, H. (2024). Systematic Risk Analysis of Railway Component Quality: Integration of Failure Mode & Effect Analysis (FMEA) and Fault Tree Analysis (FTA). Spektrum Industri, 22(2), 77–89. https://doi.org/10.12928/si.v22i2.223
Kualitas Produksi
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Menguak Masalah Kualitas pada Industri Garam
Industri pengolahan garam di Jawa Timur menghadapi tantangan serius dalam pengendalian kualitas. Dengan tingkat kecacatan produk yang mencapai 15%, perusahaan garam tempat studi ini dilakukan telah melampaui ambang batas toleransi internal sebesar 5%. Tiga bentuk utama cacat yang diidentifikasi meliputi:
Permasalahan ini tidak hanya berdampak pada kualitas produk, tetapi juga mencerminkan ketidakefisienan proses produksi yang dapat berujung pada kerugian finansial dan menurunnya kepercayaan konsumen.
Dua Pendekatan Perbaikan Kualitas: TQM vs BPR
Penelitian ini menggarisbawahi dua pendekatan utama dalam manajemen kualitas:
Untuk kasus industri garam, pendekatan yang digunakan lebih selaras dengan TQM melalui identifikasi akar masalah dan prioritisasi risiko menggunakan kombinasi metode Fault Tree Analysis (FTA) dan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA).
Metodologi: Kombinasi FTA dan FMEA
Tahapan yang Diterapkan:
Studi Kasus: Analisis Data Produksi Januari 2024
Selama Januari 2024, total produksi mencapai 2.186 unit. Dari jumlah tersebut, sebanyak 348 unit mengalami cacat, yang berarti sekitar 15,9% dari total produksi.
Distribusi jenis cacat mencakup 94 unit karena kontaminasi benda asing, 24 unit karena warna tidak sesuai, dan 230 unit karena kadar iodium yang tidak sesuai dengan standar.
Analisis Diagram Fishbone
Kontaminasi Produk
Penyebab utama cacat jenis ini adalah mesin yang kotor, proses penyortiran yang masih manual, rendahnya ketelitian pekerja, serta bahan baku dari suplier yang tidak bersih.
Kadar Iodium Tak Sesuai
Penyebab utama termasuk tidak adanya SOP uji sampling, kurangnya ruang penyimpanan bahan baku, variasi kandungan iodium dari suplier, dan lemahnya prosedur pengambilan sampel.
Warna Tidak Sesuai
Masalah ini disebabkan oleh mesin yang kotor atau berkarat, tidak diterapkannya sistem FIFO dalam penggunaan bahan baku, SOP yang diabaikan oleh operator, serta bahan baku yang disimpan terlalu lama.
Fault Tree Analysis: Merinci Akar Masalah
FTA digunakan untuk memvisualisasi struktur kegagalan secara hierarkis. Sebagai contoh, cacat “warna tidak sesuai” disebabkan oleh karat pada mesin yang tidak dilaporkan, operator yang mengabaikan SOP, serta suhu ruangan yang tinggi sebagai indikator lingkungan kerja yang tidak optimal.
Failure Mode and Effect Analysis: Menentukan Prioritas Risiko
Dengan mengukur Severity, Occurrence, dan Detection, peneliti menghitung nilai RPN untuk setiap penyebab cacat. Beberapa temuan penting adalah:
Rekomendasi Perbaikan Proses
Berdasarkan nilai RPN tertinggi, berikut adalah saran konkret:
Untuk cacat akibat kontaminasi, disarankan adanya penjadwalan perawatan mesin secara rutin agar kebersihan dan kondisi mesin selalu terjaga.
Untuk masalah warna tidak sesuai, perlu penegakan disiplin bagi pekerja agar SOP pengendalian warna dipatuhi secara ketat.
Sedangkan untuk kadar iodium yang tidak sesuai, solusi terbaik adalah menyusun dan menerapkan SOP khusus uji sampling sebelum produksi dilakukan.
Komparasi dengan Penelitian Lain
Hasil dari penelitian ini sejalan dengan studi-studi sebelumnya yang diterapkan pada industri tas, kertas, dan beton ringan. Kombinasi metode FTA dan FMEA terbukti efektif dalam:
Yang membedakan studi ini adalah fokusnya pada industri garam—sektor yang sering kali terabaikan dalam wacana perbaikan kualitas industri manufaktur.
Kritik dan Opini
Penelitian ini memberikan pendekatan struktural dan berbasis data yang sangat baik. Namun demikian, ada beberapa hal yang bisa ditingkatkan ke depan:
Pertama, perlu adanya simulasi biaya yang menunjukkan dampak ekonomi dari setiap rekomendasi perbaikan. Kedua, penggunaan teknologi seperti IoT untuk memonitor kondisi mesin secara otomatis dapat meningkatkan deteksi dini terhadap potensi kegagalan. Ketiga, pelatihan tenaga kerja secara berkala perlu dijadikan strategi jangka panjang agar kualitas produk tetap terjaga.
Kesimpulan
Studi ini menunjukkan bahwa integrasi metode FTA dan FMEA efektif dalam mengidentifikasi akar penyebab cacat dan menyusun prioritas perbaikan berbasis risiko. Dengan penerapan yang konsisten, industri garam berpotensi besar untuk menurunkan tingkat kecacatan dari 15% menuju target 5%.
Sumber: Yafi, M. M., & Cahyono, M. D. N. (2024). The implementation of Fault Tree Analysis (FTA) and Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) to improve the quality of salt industry in East Java. GREENOMIKA, 06(1), 94–102. https://doi.org/10.55732/unu.gnk.2024.06.1.10
Indeks Sosial Daerah
Dipublikasikan oleh pada 20 Mei 2025
Pendahuluan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) telah menjadi salah satu tolok ukur utama untuk menilai keberhasilan pembangunan suatu wilayah. Paper karya Muhammad Firza Ibnu Hartono dan Laelatul Khikmah dari Institut Teknologi Statistika dan Bisnis Muhammadiyah Semarang ini mencoba menggali lebih dalam faktor-faktor yang memengaruhi IPM di Provinsi Jawa Timur tahun 2021. Penelitian ini menggunakan pendekatan statistik canggih, yakni regresi logistik ordinal, untuk melihat pengaruh berbagai indikator sosial-ekonomi terhadap kategori IPM kabupaten/kota.
Latar Belakang
Paradigma pembangunan saat ini tidak hanya mengacu pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menekankan pembangunan manusia sebagai fondasi utama. Oleh karena itu, IPM yang mengukur dimensi pendidikan, kesehatan, dan daya beli menjadi alat penting dalam menilai kesejahteraan daerah.
Meski Jawa Timur merupakan provinsi berpenduduk besar dan memiliki sumber daya ekonomi melimpah, posisinya dalam peringkat IPM nasional belum optimal, hanya menempati urutan ke-17 dari 34 provinsi. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: faktor apa saja yang memengaruhi capaian IPM di Jawa Timur?
Metodologi
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 untuk 38 kabupaten/kota di Jawa Timur. Model analisis yang digunakan adalah regresi logistik ordinal, mengingat IPM dikategorikan ke dalam tiga level:
Sedang (60 < IPM < 70)
Tinggi (70 < IPM < 80)
Sangat tinggi (IPM ≥ 80)
Variabel yang digunakan:
Y (Variabel dependen): IPM kategori ordinal
X1: Tingkat pengangguran terbuka (TPT)
X2: Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK)
X3: Tingkat kemiskinan
X4: Harapan lama sekolah
X5: Rata-rata lama sekolah
X6: Usia harapan hidup
X7: Pengeluaran per kapita
Langkah Analisis:
Analisis deskriptif menggunakan peta tematik sebaran IPM.
Uji serentak dengan likelihood ratio test.
Uji parsial dengan uji Wald untuk tiap variabel.
Uji kesesuaian model regresi.
Hasil Penelitian
Gambaran Umum:
Kota dengan IPM sangat tinggi: Surabaya (82.31), Malang, Madiun, dan Sidoarjo.
Sebagian besar kabupaten lain hanya berada di kategori tinggi atau bahkan sedang.
Temuan Statistik:
Uji serentak menghasilkan nilai p-value = 0,000, berarti secara kolektif ada pengaruh signifikan antara variabel bebas dan IPM.
Namun secara parsial (Uji Wald), tidak ada satu pun variabel yang berpengaruh signifikan secara statistik terhadap IPM.
Ini menunjukkan adanya multikollinearitas atau variabel luar yang belum ditangkap oleh model.
Analisis Tambahan & Opini
Penafsiran:
Temuan ini menarik karena bertolak belakang dengan literatur umum yang menyatakan bahwa pendidikan dan kesehatan sangat menentukan IPM. Kemungkinan besar:
Ketimpangan antarwilayah mempengaruhi kestabilan model.
Ada variabel penting lain seperti infrastruktur, kualitas layanan publik, atau kinerja pemerintah daerah yang belum dimasukkan.
Kategori ordinal terlalu sempit untuk menangkap variabilitas riil antar daerah.
Kritik terhadap Penelitian:
Rentang variabel dependen (IPM) mungkin terlalu luas untuk dibatasi dalam tiga kategori saja.
Tidak dilakukan transformasi data atau normalisasi, yang mungkin dibutuhkan untuk meningkatkan keakuratan model.
Tidak diuji kemungkinan interaksi antar variabel.
Implikasi Kebijakan
Pemerintah perlu menyusun kebijakan pembangunan manusia yang terintegrasi, tidak hanya mengejar angka pendidikan atau kesehatan secara nominal.
Perlu pengumpulan data yang lebih luas, termasuk data kualitas hidup dan partisipasi sosial.
Untuk analisis ke depan, disarankan menggunakan model yang lebih fleksibel seperti regresi multinomial atau analisis spasial.
Perbandingan dengan Studi Lain
Studi ini memperkuat kritik terhadap pendekatan yang terlalu kuantitatif dalam analisis pembangunan manusia.
Berbeda dengan penelitian Melliana & Zain (2013) yang menggunakan regresi panel dan menemukan pengaruh signifikan dari fasilitas kesehatan dan akses air bersih terhadap IPM Jawa Timur.
Sementara itu, Farida et al. (2022) menggunakan pendekatan regresi ordinal namun dengan transformasi data dan berhasil menemukan signifikansi pendidikan dan pengeluaran.
Kesimpulan
Penelitian ini memberikan insight penting tentang keterbatasan model statistik dalam menjelaskan capaian pembangunan manusia jika tidak dilengkapi data yang komprehensif. Meski tidak menemukan pengaruh parsial yang signifikan, studi ini membuka ruang diskusi tentang kompleksitas IPM dan perlunya pendekatan multidimensi dan lintas disiplin.
Saran
Gunakan pendekatan mixed-methods yang menggabungkan data kuantitatif dan wawancara lapangan.
Tambahkan variabel kualitatif seperti persepsi publik, akses pelayanan, dan infrastruktur wilayah.
Gunakan skala IPM kontinu atau indeks komposit agar hasil analisis lebih akurat dan aplikatif.
Sumber
Hartono, M. F. I., & Khikmah, L. (2024). Analisis Faktor yang Mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Timur 2021 Menggunakan Metode Regresi Logistik Ordinal. Jurnal El Mal, 5(9), 3989–3995. https://journal-laaroiba.com/ojs/index.php/elmal/3932