Keselamatan Kebakaran

Korelasi Pengetahuan Kebakaran terhadap Respons dan Kesiapsiagaan Perawat di Rumah Sakit Klaten, Jawa Tengah

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Keselamatan kebakaran di rumah sakit menjadi salah satu aspek penting dalam manajemen risiko bencana, terutama karena rumah sakit memiliki berbagai sumber potensi bahaya, seperti peralatan listrik, bahan kimia mudah terbakar, dan dapur operasional. 

Indonesia, sebagai negara yang rentan terhadap perubahan iklim, mengalami peningkatan suhu global yang berkontribusi terhadap risiko kebakaran di berbagai sektor, termasuk fasilitas kesehatan. Rumah sakit memiliki karakteristik unik dalam penanganan kebakaran karena melibatkan evakuasi pasien yang mungkin tidak dapat bergerak secara mandiri. Oleh karena itu, perawat memiliki peran penting dalam kesiapsiagaan terhadap kebakaran.

Studi ini bertujuan untuk menilai tingkat pengetahuan perawat tentang kebakaran dan menghubungkannya dengan kesiapsiagaan mereka dalam menghadapi bencana. Dengan pendekatan cross-sectional, penelitian ini memberikan gambaran komprehensif tentang kesiapan perawat dalam menghadapi kebakaran.

Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Data dikumpulkan melalui kuesioner yang diberikan kepada 71 perawat di instalasi rawat inap Rumah Sakit X, Klaten. Responden dipilih menggunakan metode simple random sampling, dengan fokus pada perawat dewasa yang bekerja di rumah sakit tersebut.

Variabel yang diteliti meliputi:

  • Variabel Independen: Pengetahuan perawat tentang kebakaran.
  • Variabel Dependen: Respons terhadap kebakaran dan kesiapsiagaan menghadapi bencana.

Analisis data dilakukan dengan uji korelasi Sommers' D untuk menilai hubungan antara kedua variabel tersebut.

Karakteristik Responden

  • Jumlah Perawat: 71 responden.
  • Jenis Kelamin: Mayoritas perempuan (91,5%).
  • Usia: 52,1% berusia 18–40 tahun, sementara 47,9% berusia 41–65 tahun.
  • Masa Kerja: 54,9% perawat telah bekerja lebih dari 10 tahun.
  • Tingkat Pendidikan: 81,7% memiliki gelar diploma keperawatan.

Pengetahuan Perawat tentang Kebakaran

Sebagian besar perawat (77,5%) memiliki pengetahuan yang baik tentang kebakaran. Faktor ini dianggap penting karena pemahaman yang memadai mengenai kebakaran dapat meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.

Kesiapsiagaan dalam Respons Kebakaran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 73,2% responden berada dalam kategori "Siap" dalam menghadapi bencana kebakaran. Hal ini mencerminkan tingkat kesiapan yang cukup baik, meskipun masih terdapat 26,8% perawat yang belum siap.

Analisis Korelasi

  • Uji Sommers' D menunjukkan nilai p = 0,037, yang menandakan adanya hubungan signifikan antara pengetahuan kebakaran dan kesiapsiagaan perawat.
  • Nilai korelasi r = 0,283, menunjukkan bahwa hubungan tersebut positif tetapi lemah. Artinya, meskipun ada hubungan antara pengetahuan dan kesiapsiagaan, faktor lain juga berperan dalam kesiapan perawat menghadapi kebakaran.

Implikasi dan Rekomendasi

1. Peningkatan Pelatihan dan Simulasi Kebakaran

Diperlukan pelatihan rutin yang lebih intensif, setidaknya dua kali dalam setahun, untuk meningkatkan kesiapsiagaan perawat. Simulasi kebakaran harus mencakup prosedur evakuasi pasien dan penggunaan alat pemadam kebakaran.

2. Peningkatan Kesadaran dan Pendidikan

Rumah sakit harus mengintegrasikan kurikulum keselamatan kebakaran dalam program pelatihan perawat. Perawat yang memiliki pemahaman yang lebih baik akan lebih siap dalam menghadapi bencana.

3. Penguatan Prosedur Darurat di Rumah Sakit

Perlu dilakukan evaluasi terhadap sistem alarm kebakaran, rencana evakuasi, dan fasilitas pemadam kebakaran yang tersedia di rumah sakit untuk memastikan semuanya berfungsi dengan baik.

4. Pemanfaatan Teknologi dalam Pelatihan Kesiapsiagaan

Teknologi seperti virtual reality (VR) dapat digunakan untuk memberikan simulasi kebakaran yang lebih realistis bagi perawat, membantu mereka memahami prosedur evakuasi dengan lebih baik.

Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi signifikan antara pengetahuan kebakaran dan kesiapsiagaan perawat dalam menghadapi bencana di rumah sakit. Meskipun hubungan ini tidak terlalu kuat, peningkatan edukasi dan pelatihan dapat menjadi langkah efektif untuk meningkatkan kesiapan perawat dalam menghadapi kebakaran. Dengan menerapkan strategi yang lebih baik dalam pelatihan, pendidikan, dan prosedur keselamatan, rumah sakit dapat memastikan bahwa tenaga medisnya siap menghadapi kebakaran dengan respons yang cepat dan efektif.

Sumber Artikel

Setyawan, H., Nugraheni, A. M., Haryati, S., Qadrijati, I., Fajariani, R., Wardani, T. L., Atmojo, T. B., & Sjarifah, I. (2021). The Correlation of Fire Knowledge toward Disasters Response and Preparedness Practice among Hospital Nurse Klaten Central Java, Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 724(1), 012041.

Selengkapnya
Korelasi Pengetahuan Kebakaran terhadap Respons dan Kesiapsiagaan Perawat di Rumah Sakit Klaten, Jawa Tengah

Industri Minyak dan Gas

Kesiapan Respons Kedaruratan Kebakaran di Industri Minyak dan Gas: Studi Kasus PT X

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Industri minyak dan gas memiliki risiko kebakaran yang sangat tinggi. Sifat bahan bakar yang mudah terbakar, tingginya tekanan kerja, serta berbagai faktor lingkungan menjadikan sistem tanggap darurat kebakaran sebagai komponen krusial dalam operasional perusahaan. Penelitian ini mengkaji kesiapan Fire Emergency Response System di PT X, salah satu perusahaan minyak dan gas terbesar di Indonesia. Dengan menggunakan FERRAT Form (Fire and Emergency Response Readiness Assessment Tools) sebagai instrumen evaluasi, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kelemahan dan memberikan rekomendasi perbaikan dalam sistem tanggap darurat kebakaran.

Penelitian ini dilakukan dengan metode cross-sectional, di mana observasi langsung dilakukan terhadap sistem tanggap darurat kebakaran di PT X. Evaluasi dilakukan menggunakan FERRAT Form, yang terdiri dari tiga elemen utama:

  1. Desain kesiapsiagaan tanggap darurat kebakaran – mencakup identifikasi bahaya dan kajian risiko kebakaran.
  2. Ketersediaan sarana dan prasarana – memastikan infrastruktur yang sesuai untuk menangani kebakaran.
  3. Kesiapan peralatan dan sumber daya – mengevaluasi apakah peralatan pemadam kebakaran dalam kondisi siap digunakan.

Menurut data dari Bureau of Safety and Environmental Enforcement (2012), kebakaran di industri minyak dan gas sering terjadi akibat kurangnya pelatihan terhadap pekerja, ketidaksiapan sistem keamanan, serta kelalaian dalam operasional. Kasus kebakaran besar di kilang minyak di Indramayu, Jawa Barat (2021) mengakibatkan kerugian finansial hingga miliaran rupiah. Penyebab utamanya adalah kebocoran tangki dan kurangnya sistem keamanan kebakaran.

Di PT X sendiri, kebakaran yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir mengakibatkan kerugian hingga 1,2 triliun rupiah. Investigasi menunjukkan bahwa sistem fire emergency response yang ada masih memiliki berbagai kelemahan, terutama dalam hal manajemen sistem kebakaran dan kesiapan peralatan pemadam.

Temuan dari Evaluasi FERRAT Form

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa hanya 40% desain sistem kesiapsiagaan PT X berada dalam kategori "acceptable", sementara 40% masih dalam kategori "not acceptable". Beberapa kelemahan yang ditemukan meliputi:

  • Kurangnya perencanaan pra-kebakaran (pre-fire planning) – hanya 20% dari aspek ini yang memenuhi standar.
  • Evaluasi kesiapan fire readiness belum dilakukan secara berkala, dengan tingkat pemenuhan hanya 80% dari yang disyaratkan.

Dalam aspek infrastruktur tanggap darurat kebakaran, 43% berada dalam kategori "acceptable", sementara 24% masih membutuhkan perbaikan lebih lanjut. Beberapa temuan penting:

  • Organisasi Penanggulangan Keadaan Darurat (TPKD) sudah terbentuk, tetapi pusat koordinasi belum optimal.
  • Kompetensi tim pemadam kebakaran internal masih rendah, hanya 69% yang memenuhi standar.
  • Fixed Fire & Gas Detection System belum memadai, dengan hanya 50% dari kebutuhan yang telah terpenuhi.

Evaluasi kesiapan peralatan menunjukkan bahwa hanya 38% yang berada dalam kategori "acceptable", sementara 8% masih dalam kategori "not acceptable". Beberapa permasalahan utama:

  • Fire pumps cadangan belum mencukupi, yang berisiko menyebabkan kegagalan dalam pemadaman kebakaran.
  • Foam stock belum tersedia sesuai standar, sehingga dapat menghambat pemadaman kebakaran pada tangki bahan bakar.
  • Fire Emergency Vehicle (FEV) belum terawat dengan baik, dengan hanya 20% yang memenuhi standar kesiapan operasional.

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa meskipun PT X memiliki sistem pemadam kebakaran, masih ada banyak celah dalam implementasinya. Dampak dari kelemahan ini terlihat dalam beberapa insiden kebakaran di fasilitas PT X. Misalnya, dalam kebakaran terakhir, fire pumps tidak berfungsi optimal, menyebabkan keterlambatan dalam pemadaman api. Selain itu, kurangnya koordinasi antar unit pemadam internal memperburuk situasi.

Namun, beberapa perbaikan telah dilakukan, seperti:

  • Pelatihan tambahan untuk tim pemadam kebakaran internal.
  • Peningkatan inspeksi dan pemeliharaan peralatan pemadam kebakaran.
  • Peningkatan sistem komunikasi dalam keadaan darurat.

Berdasarkan temuan penelitian, berikut beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh PT X untuk meningkatkan sistem tanggap darurat kebakaran:

  1. Meningkatkan perencanaan pra-kebakaran
    • Memastikan Pre-Fire Planning mencakup semua skenario kebakaran yang mungkin terjadi.
    • Mengadakan latihan kebakaran (fire drills) secara rutin.
  2. Memperbaiki sistem deteksi dini kebakaran
    • Meningkatkan jumlah dan kualitas Fixed Fire & Gas Detection System di lokasi-lokasi strategis.
  3. Memastikan kesiapan peralatan pemadam kebakaran
    • Melakukan pemeliharaan rutin terhadap fire pumps, hydrant, dan alat pemadam lainnya.
    • Menyediakan stok foam yang memadai untuk pemadaman kebakaran pada tangki bahan bakar.
  4. Meningkatkan kompetensi tim pemadam kebakaran internal
    • Menyelenggarakan pelatihan bersertifikat untuk tim tanggap darurat.
    • Meningkatkan koordinasi dengan tim pemadam kebakaran eksternal.
  5. Memastikan sistem komunikasi darurat berjalan efektif
    • Menggunakan teknologi notifikasi otomatis ke seluruh tim tanggap darurat dalam keadaan darurat.

Penelitian ini menunjukkan bahwa sistem Fire Emergency Response di PT X masih memiliki berbagai kelemahan yang perlu diperbaiki. Hasil evaluasi menggunakan FERRAT Form menunjukkan bahwa sebagian besar aspek kesiapsiagaan kebakaran masih belum memenuhi standar yang optimal. Beberapa permasalahan utama mencakup kurangnya pelatihan untuk tim pemadam kebakaran internal, minimnya deteksi dini kebakaran, serta kesiapan peralatan yang belum maksimal. Dengan melakukan perbaikan pada aspek perencanaan, infrastruktur, serta kesiapan sumber daya manusia, PT X dapat meningkatkan sistem tanggap darurat kebakaran mereka. Langkah-langkah ini tidak hanya akan mengurangi risiko kebakaran, tetapi juga menyelamatkan aset perusahaan serta nyawa pekerja.

Sumber Asli Paper

Jatmika, I., Djunaidi, Z., Atthaya, A. A., Hasan, S., & Al Azhar, M. (2024). Analisis Kesiapan Respons Kedaruratan Kebakaran di PT X. Jurnal Kesehatan Tambusai, Volume 5, Nomor 2, Juni 2024.

Selengkapnya
Kesiapan Respons Kedaruratan Kebakaran di Industri Minyak dan Gas: Studi Kasus PT X

Keselamatan Kerja

Pentingnya Implementasi Contractor Safety Management System (CSMS) dalam Industri Petrokimia: Studi Kasus PT Pupuk Kujang

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Dalam industri petrokimia, keselamatan kerja menjadi prioritas utama mengingat risiko tinggi yang melekat dalam setiap aktivitasnya. Berdasarkan laporan Safety Performance Indicator untuk Oil and Gas Producers (OGP) tahun 2018, tercatat 2 kematian di dalam perusahaan dan 29 kematian yang melibatkan kontraktor. Dengan Fatal Accident Rate (FAR) sebesar 1,20 per 1 juta jam kerja untuk kontraktor dibandingkan dengan 0,31 di dalam perusahaan, jelas bahwa risiko keselamatan bagi kontraktor lebih tinggi. Oleh karena itu, implementasi Contractor Safety Management System (CSMS) menjadi solusi penting dalam mengelola keselamatan kerja kontraktor, sebagaimana yang dilakukan oleh PT Pupuk Kujang.

PT Pupuk Kujang, sebagai perusahaan petrokimia dengan tingkat risiko tinggi, telah menerapkan enam tahapan dalam pelaksanaan CSMS, yaitu:

  1. Identifikasi dan Penilaian Risiko – Proses awal yang bertujuan untuk mengidentifikasi potensi bahaya yang mungkin dihadapi kontraktor.
  2. Prakualifikasi – Penyaringan awal kontraktor berdasarkan pengalaman dan kepatuhan terhadap standar keselamatan.
  3. Seleksi – Penentuan kontraktor yang memenuhi kriteria teknis dan keselamatan.
  4. Aktivitas Awal Pekerjaan – Memastikan semua aspek keselamatan dipahami sebelum pekerjaan dimulai.
  5. Penilaian Selama Pekerjaan – Monitoring secara berkala terhadap pelaksanaan keselamatan di lapangan.
  6. Penilaian Akhir Pekerjaan – Evaluasi kinerja kontraktor dalam aspek keselamatan.

Namun, dalam studi ini ditemukan adanya kelemahan dalam tahap prakualifikasi, di mana kontraktor lokal telah ditunjuk sebagai pemenang tender sebelum dinyatakan lolos tahap prakualifikasi. Hal ini menimbulkan risiko terhadap kepatuhan terhadap standar keselamatan.

Berdasarkan hasil penelitian di PT Pupuk Kujang, ditemukan bahwa implementasi CSMS belum berjalan optimal. Berikut beberapa temuan utama:

  • Data Risiko Kecelakaan: FAR untuk kontraktor lebih tinggi (1,20) dibandingkan dengan perusahaan (0,31), menunjukkan perlunya pengawasan lebih ketat terhadap kontraktor.
  • Evaluasi Pra-kualifikasi: Standar seleksi kontraktor belum sepenuhnya diterapkan dengan konsisten, terutama dalam penentuan pemenang tender.
  • Pelaksanaan Pekerjaan: Meskipun terdapat pengawasan rutin, masih ditemukan beberapa pelanggaran terhadap prosedur keselamatan kerja.
  • Evaluasi Akhir: Perusahaan telah menerapkan sistem reward dan punishment untuk meningkatkan kepatuhan kontraktor terhadap standar keselamatan.

Perbandingan dengan Industri Lain

Jika dibandingkan dengan implementasi CSMS di PT Pupuk Sriwijaya, ditemukan bahwa PT Pupuk Kujang memiliki kelemahan dalam tahap komunikasi antara departemen pengadaan dan HSE (Health, Safety, and Environment). Sementara di PT Petrokimia Gresik, sistem CSMS telah lebih terstruktur dengan adanya kriteria minimal bagi kontraktor untuk lolos seleksi. Di sektor lain seperti pertambangan, penelitian di perusahaan tambang batu bara menunjukkan bahwa tahapan prakualifikasi lebih ketat, dengan evaluasi menyeluruh terhadap dokumen keselamatan sebelum kontraktor dapat bekerja di lapangan. Hal ini menyoroti perlunya peningkatan pengawasan dalam implementasi CSMS di PT Pupuk Kujang.

Rekomendasi

Untuk meningkatkan efektivitas CSMS di PT Pupuk Kujang, beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan adalah:

  1. Peningkatan Transparansi dalam Seleksi Kontraktor – Proses prakualifikasi harus dilakukan sebelum pengumuman pemenang tender.
  2. Monitoring dan Evaluasi yang Lebih Ketat – Pengawasan harus dilakukan secara lebih sistematis dengan pelaporan berkala.
  3. Pelatihan Keselamatan bagi Kontraktor – Meningkatkan kesadaran dan kepatuhan kontraktor terhadap standar keselamatan.
  4. Penerapan Teknologi dalam Pengawasan – Menggunakan sistem digital untuk memantau kepatuhan kontraktor dalam implementasi CSMS.

Kesimpulan

Implementasi CSMS di PT Pupuk Kujang telah berjalan dengan baik dalam beberapa aspek, namun masih terdapat kelemahan terutama dalam tahap prakualifikasi kontraktor. Dengan meningkatnya angka kecelakaan kerja yang lebih tinggi pada kontraktor dibandingkan dengan pekerja internal perusahaan, penting bagi PT Pupuk Kujang untuk memperbaiki sistem seleksi dan pengawasan terhadap kontraktor. Dengan penerapan rekomendasi di atas, diharapkan implementasi CSMS dapat lebih efektif dalam mengurangi risiko kecelakaan kerja.

Sumber: Wardhani, Y. D. K. (2022) ‘Implementation of Contractor Safety Management System as a Requirement for Partners at a Petrochemical Company’, The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, 11(1), pp. 1-11.

Selengkapnya
Pentingnya Implementasi Contractor Safety Management System (CSMS) dalam Industri Petrokimia: Studi Kasus PT Pupuk Kujang

Safety

Analisis Kesenjangan dalam Implementasi Safety Management System di Bandara: Studi Kasus Bandara Adisumarmo

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Industri penerbangan Indonesia mengalami pertumbuhan pesat dengan peningkatan jumlah penumpang dan armada pesawat secara signifikan. Namun, pertumbuhan ini juga diiringi dengan meningkatnya risiko kecelakaan dan insiden serius. Berdasarkan data dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), 67,12% dari 82 kecelakaan penerbangan dan 130 insiden serius antara 2010-2016 disebabkan oleh kesalahan manusia. Untuk mengurangi risiko ini, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) menetapkan Safety Management System (SMS) sebagai standar wajib bagi industri penerbangan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi SMS di Bandara Adisumarmo, dengan menggunakan metode analisis kesenjangan (gap analysis), fault tree analysis (FTA), dan barrier analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa kesenjangan dalam implementasi standar SMS di bandara tersebut.

Penelitian ini menggunakan pendekatan observasional dengan metode:

  • Analisis Kesenjangan (Gap Analysis): Perbandingan antara standar SMS (Doc 9859) dengan kondisi aktual di Bandara Adisumarmo.
  • Fault Tree Analysis (FTA): Identifikasi penyebab utama kegagalan dalam implementasi SMS.
  • Barrier Analysis: Mengidentifikasi hambatan dalam pelaksanaan SMS dan memberikan rekomendasi perbaikan.

Empat komponen utama SMS yang dianalisis adalah:

  1. Kebijakan dan Tujuan Keselamatan
  2. Manajemen Risiko Keselamatan
  3. Jaminan Keselamatan
  4. Promosi Keselamatan

Hasil analisis kesenjangan menunjukkan bahwa dari 71 pertanyaan dalam checklist SMS, 92,68% standar telah dipenuhi. Namun, beberapa elemen masih memiliki kekurangan, yaitu:

  • Kebijakan dan Tujuan Keselamatan: Tidak semua kebijakan keselamatan dikomunikasikan dengan baik.
  • Manajemen Risiko Keselamatan: Format pelaporan bahaya hanya mencakup aspek keselamatan udara, sementara pelaporan keselamatan darat belum diterapkan sepenuhnya.
  • Jaminan Keselamatan: Evaluasi SMS belum dilakukan secara internal, melainkan hanya oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.
  • Promosi Keselamatan: Sosialisasi informasi keselamatan belum menjangkau seluruh pihak terkait.

FTA digunakan untuk memahami bagaimana kegagalan dalam implementasi SMS dapat terjadi. Beberapa penyebab utama yang diidentifikasi antara lain:

  • Kurangnya komunikasi kebijakan keselamatan di seluruh lini organisasi.
  • Prosedur evaluasi keselamatan yang memakan waktu lama sehingga menghambat perbaikan cepat.
  • Kekurangan personel yang memiliki keahlian dalam keselamatan penerbangan.
  • Tidak adanya insentif bagi pelaporan bahaya yang menyebabkan rendahnya partisipasi dalam pelaporan insiden.

Untuk mengatasi kesenjangan ini, dilakukan barrier analysis guna mengidentifikasi solusi yang dapat diterapkan. Beberapa rekomendasi perbaikan adalah:

  • Meningkatkan pelatihan dan sosialisasi kebijakan keselamatan kepada seluruh pegawai, termasuk staf administrasi dan operasional.
  • Menetapkan prosedur review kebijakan keselamatan yang lebih cepat dengan melibatkan pakar eksternal.
  • Menambah personel dengan keahlian keselamatan penerbangan untuk mempercepat implementasi SMS.
  • Menyediakan insentif bagi pelaporan insiden untuk meningkatkan partisipasi dalam pelaporan bahaya.

Meskipun implementasi SMS di Bandara Adisumarmo telah memenuhi sebagian besar standar ICAO, masih terdapat beberapa kesenjangan yang perlu diperbaiki. Dengan menerapkan rekomendasi yang diberikan, diharapkan keselamatan penerbangan dapat lebih terjamin dan risiko kecelakaan dapat diminimalkan.

Sumber: Pramono, S. N. W., Ulkhaq, M. M., Ardi, F., & Raharjo, R. (2018). ‘A Gap Analysis on Implementation of Safety Management System in Airport: A Case Study’. 4th International Conference on Science and Technology (ICST), Yogyakarta, Indonesia.

Selengkapnya
Analisis Kesenjangan dalam Implementasi Safety Management System di Bandara: Studi Kasus Bandara Adisumarmo

Keselamatan Kerja

Peran Safety Management System (SMS) dalam Meningkatkan Budaya Keselamatan di Program Penerbangan Perguruan Tinggi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Dalam dunia penerbangan, keselamatan menjadi aspek utama yang tidak dapat diabaikan. Safety Management System (SMS) adalah pendekatan sistematis dalam mengelola keselamatan, termasuk struktur organisasi, akuntabilitas, kebijakan, dan prosedur. Meski implementasi SMS di program penerbangan perguruan tinggi masih bersifat sukarela, banyak institusi yang telah menerapkannya sebagai bagian dari upaya peningkatan keselamatan.

Penelitian oleh Foster dan Adjekum (2022) menyoroti hubungan antara implementasi SMS dan persepsi budaya keselamatan dalam berbagai program penerbangan di perguruan tinggi di Amerika Serikat. Studi ini menemukan adanya kesenjangan pemahaman mengenai SMS di kalangan mahasiswa, instruktur penerbangan bersertifikat (Certified Flight Instructors/CFI), dan pemimpin keselamatan.

Studi ini melibatkan tiga program penerbangan perguruan tinggi dengan tingkat implementasi SMS yang berbeda:

  • Universitas A: Baru memulai proses implementasi SMS.
  • Universitas B: Telah mencapai tahap kepatuhan aktif dalam program SMS yang diakui FAA.
  • Universitas C: Telah mencapai tahap akhir dalam standar SMS internasional.

Melalui wawancara semi-terstruktur, ditemukan bahwa mayoritas mahasiswa dan CFI tidak memahami secara mendalam tentang SMS dan implementasinya. Mereka cenderung mengasosiasikan SMS hanya dengan sistem pelaporan keselamatan, padahal SMS mencakup aspek yang lebih luas seperti manajemen risiko dan pengawasan keselamatan.

Peran CFI dalam Budaya Keselamatan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa CFI memiliki peran krusial dalam membentuk persepsi mahasiswa terhadap budaya keselamatan. Beberapa temuan utama:

  • CFI sebagai Teladan: Mahasiswa lebih banyak terpengaruh oleh perilaku CFI dibandingkan oleh kebijakan tertulis atau pemimpin keselamatan.
  • Variasi Pengajaran Keselamatan: Mahasiswa yang memiliki lebih dari satu CFI mendapatkan perspektif yang beragam terkait keselamatan.
  • Kesenjangan Pemahaman SMS: Banyak CFI yang tidak memahami SMS secara mendalam, sehingga sulit untuk menanamkan pemahaman yang baik kepada mahasiswa.

Implikasi Implementasi SMS

1. Kurangnya Pemahaman SMS

Salah satu temuan penting adalah kurangnya pemahaman mahasiswa dan CFI terhadap SMS. Bahkan ketika diberikan pertanyaan spesifik mengenai jenis SMS yang digunakan di institusi mereka, banyak yang tidak dapat memberikan jawaban yang tepat. Hal ini menunjukkan perlunya pendidikan lebih lanjut mengenai SMS di lingkungan akademik.

2. Peran Pelatihan Keselamatan

Mahasiswa dan CFI lebih banyak belajar tentang keselamatan melalui interaksi sehari-hari daripada melalui pelatihan formal. Oleh karena itu, penting untuk memasukkan SMS dalam kurikulum penerbangan dan memastikan CFI memahami perannya dalam membentuk budaya keselamatan.

3. Kebutuhan Umpan Balik dalam Pelaporan Keselamatan

Mahasiswa dan CFI cenderung enggan melaporkan insiden keselamatan jika mereka tidak mendapatkan umpan balik yang jelas. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian umpan balik terhadap laporan keselamatan dapat meningkatkan partisipasi dalam sistem pelaporan dan memperkuat budaya keselamatan.

Rekomendasi

Berdasarkan temuan penelitian, beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan di program penerbangan perguruan tinggi adalah:

  1. Meningkatkan Edukasi SMS
    • Memasukkan SMS sebagai bagian dari kurikulum penerbangan.
    • Menyediakan pelatihan reguler bagi CFI mengenai implementasi SMS.
  2. Memperkuat Peran CFI dalam Keselamatan
    • Menjadikan CFI sebagai mentor keselamatan bagi mahasiswa.
    • Mendorong CFI untuk lebih aktif dalam proses manajemen risiko.
  3. Meningkatkan Efektivitas Pelaporan Keselamatan
    • Menyediakan sistem umpan balik bagi pelapor.
    • Mempromosikan pentingnya pelaporan keselamatan sebagai bagian dari budaya keselamatan.

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa SMS memiliki potensi besar dalam meningkatkan budaya keselamatan di program penerbangan perguruan tinggi. Namun, keberhasilan implementasi SMS sangat bergantung pada pemahaman dan partisipasi aktif mahasiswa dan CFI. Dengan meningkatkan edukasi SMS, memperkuat peran CFI, dan memastikan sistem pelaporan yang efektif, institusi dapat membangun budaya keselamatan yang lebih baik.

Sumber: Foster, R. A. & Adjekum, D. K. (2022). ‘A Qualitative Review of the Relationship between Safety Management Systems (SMS) and Safety Culture in Multiple-Collegiate Aviation Programs’. Collegiate Aviation Review International, 40(1), 63-94.

Selengkapnya
Peran Safety Management System (SMS) dalam Meningkatkan Budaya Keselamatan di Program Penerbangan Perguruan Tinggi

Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Manajemen Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Proyek Konstruksi selama Pandemi Covid-19

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Industri konstruksi menghadapi tantangan besar dalam menjaga keselamatan kerja, terutama selama pandemi Covid-19. Penelitian yang dilakukan oleh Lendra et al. (2023) bertujuan untuk mengidentifikasi risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam proyek konstruksi selama pandemi serta memberikan solusi pengendalian risiko. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan Relative Importance Index (RII) untuk menentukan peringkat risiko dan standar AS/NZS 4360:2004 dalam mengkategorikan risiko berdasarkan tingkat keparahan dan kemungkinan terjadi.

Proyek Konstruksi di Palangka Raya

Penelitian ini dilakukan pada 30 perusahaan konstruksi di Palangka Raya dengan data yang dikumpulkan melalui kuesioner kepada direktur, manajer proyek, dan manajer K3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko terbesar yang dihadapi dalam proyek konstruksi selama pandemi adalah:

  1. Penyebaran Covid-19 (RII = 0,673)
  2. Jatuh dari ketinggian (RII = 0,520)
  3. Tersengat listrik (RII = 0,533)
  4. Pekerja terkonfirmasi positif Covid-19 (RII = 0,520)
  5. Infeksi akibat tidak memakai masker (RII = 0,480)

Dua risiko tertinggi (penyebaran Covid-19 dan jatuh dari ketinggian) dikategorikan sebagai risiko tinggi, sedangkan tiga lainnya masuk dalam kategori risiko sedang berdasarkan AS/NZS 4360:2004.

Dampak Pandemi terhadap Keselamatan Proyek

Pandemi Covid-19 menyebabkan perubahan besar dalam penerapan K3 di proyek konstruksi, termasuk:

  • Kewajiban penerapan protokol kesehatan, seperti penggunaan masker dan jaga jarak.
  • Keterbatasan tenaga kerja, yang berdampak pada efisiensi proyek.
  • Meningkatnya penggunaan alat pelindung diri (APD) untuk mencegah penyebaran virus.
  • Penundaan proyek akibat pembatasan sosial dan ketidakhadiran pekerja yang terinfeksi.

Strategi Pengendalian Risiko

Untuk mengurangi risiko dalam proyek konstruksi selama pandemi, penelitian ini merekomendasikan beberapa langkah mitigasi:

1. Penerapan Protokol Kesehatan

  • Menyediakan masker, hand sanitizer, dan alat kebersihan.
  • Mewajibkan tes Covid-19 sebelum memasuki lokasi proyek.
  • Menyediakan fasilitas kesehatan bagi pekerja.

2. Peningkatan Keselamatan Kerja

  • Menggunakan scaffolding yang kuat untuk mencegah jatuh dari ketinggian.
  • Menyediakan jaring pengaman dan pelindung bagi pekerja.
  • Mengatur jalur listrik yang aman untuk mencegah sengatan listrik.

3. Pelatihan dan Edukasi Keselamatan

  • Melakukan safety briefing sebelum pekerjaan dimulai.
  • Memberikan pelatihan tentang penggunaan APD dan protokol Covid-19.
  • Mengadakan kampanye keselamatan secara berkala.

4. Peningkatan Sistem Pelaporan Insiden

  • Menyediakan mekanisme pelaporan insiden secara anonim.
  • Memberikan umpan balik kepada pekerja mengenai laporan keselamatan.
  • Memberikan insentif bagi pekerja yang aktif melaporkan potensi bahaya.

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 telah menambah tantangan dalam penerapan K3 di proyek konstruksi. Risiko terbesar yang dihadapi adalah penyebaran Covid-19 dan jatuh dari ketinggian, yang memerlukan tindakan mitigasi segera. Dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat, meningkatkan keselamatan kerja, serta memberikan pelatihan dan edukasi, risiko kecelakaan kerja dapat dikurangi secara signifikan.

Sumber: Lendra, L., Gawei, A. B. P., Sintani, L., Afanda, D. M., & Tjakra, J. (2023). ‘The Assessment of Occupational Safety and Health Risk Management on Construction Projects During the Covid-19 Pandemic’. International Journal of Disaster Management, 6(1), 1-18.

Selengkapnya
Manajemen Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Proyek Konstruksi selama Pandemi Covid-19
« First Previous page 34 of 965 Next Last »