Transparansi Pemerintahan

Strategi Keterbukaan Informasi Publik di Kabupaten Buleleng: Inovasi, Regulasi, dan Praktik Terbaik

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 09 September 2025


Pendahuluan: Transparansi sebagai Pilar Pemerintahan Modern

Di era digital dan demokrasi partisipatif, keterbukaan informasi publik menjadi indikator utama dari tata kelola pemerintahan yang baik. Menyadari hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Buleleng merumuskan berbagai upaya strategis untuk mewujudkan transparansi melalui mekanisme informasi publik berkala. Paper yang dimuat dalam Jurnal Kelitbangan Kabupaten Buleleng, Saraswati Volume 1 ini memberikan landasan konseptual dan implementatif tentang bagaimana informasi publik dikelola, disusun, serta dipublikasikan secara berkelanjutan untuk mendorong akuntabilitas pemerintah daerah.

Konsep Dasar Informasi Publik Berkala (H2)

Definisi dan Aspek Regulasi (H3)

Informasi publik berkala didefinisikan sebagai informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara rutin tanpa harus diminta oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan:

  • UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

  • Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010.

Kategori informasi publik berkala meliputi:

  • Profil organisasi.

  • Program dan kegiatan pemerintah.

  • Laporan keuangan dan perencanaan.

  • Hasil evaluasi kinerja instansi.

Tujuan Strategis (H3)

Tujuan utama penyusunan informasi berkala ini adalah:

  • Meningkatkan kepercayaan publik terhadap instansi pemerintah.

  • Mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

  • Mengurangi potensi korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Mekanisme Penyusunan dan Penyediaan Informasi (H2)

Tahapan dan Alur Proses (H3)

Pemerintah Kabupaten Buleleng menerapkan sistem penyusunan informasi publik melalui alur berikut:

  • Identifikasi Informasi: Menentukan informasi apa yang wajib diumumkan.

  • Verifikasi dan Validasi: Dilakukan oleh PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi).

  • Publikasi dan Distribusi: Melalui website resmi, papan pengumuman, dan media cetak/elektronik.

Peran PPID dan SOP Terkait (H3)

PPID utama dan pembantu menjadi tulang punggung pelaksanaan keterbukaan ini. Dalam praktiknya, mereka dibekali dengan:

  • Standar Operasional Prosedur (SOP) penyusunan informasi.

  • Bimbingan teknis dan pelatihan keterbukaan informasi.

  • Panduan integrasi sistem informasi berbasis digital.

Inovasi Digital dan Efektivitas Implementasi (H2)

Portal Informasi Daerah (H3)

Kabupaten Buleleng telah mengembangkan portal layanan informasi publik yang memungkinkan warga:

  • Mengakses dokumen perencanaan, laporan realisasi anggaran, dan laporan keuangan secara langsung.

  • Mengajukan permohonan informasi tambahan melalui formulir digital.

Evaluasi Efektivitas (H3)

Melalui survei dan monitoring internal, hasil menunjukkan:

  • Peningkatan akses masyarakat terhadap dokumen publik sebesar 38% sejak 2021.

  • Penurunan jumlah sengketa informasi melalui Komisi Informasi Daerah.

Tantangan Pelaksanaan dan Solusi Strategis (H2)

Tantangan:

  • Kurangnya SDM terlatih di desa dan OPD.

  • Rendahnya literasi digital masyarakat di wilayah pedesaan.

  • Ketidakterpaduan antar sistem data lintas instansi.

Solusi yang Didorong:

  • Digitalisasi berbasis mobile dan aplikasi sederhana.

  • Integrasi sistem informasi antar-OPD.

  • Kolaborasi dengan lembaga pendidikan untuk edukasi publik.

Perbandingan dengan Daerah Lain (H2)

Studi Banding dengan Kabupaten Badung dan Gianyar (H3)

Buleleng dinilai progresif dibanding kabupaten lain karena:

  • Memiliki PPID yang aktif dan terdokumentasi dengan baik.

  • Menerapkan SOP yang dipatuhi secara konsisten.

  • Menyediakan data yang lebih mudah dipahami masyarakat awam.

Namun, ada ruang perbaikan dalam:

  • Penyajian informasi dalam format grafis.

  • Interaktivitas platform online.

Kesimpulan: Menuju Tata Kelola yang Terbuka dan Partisipatif (H2)

Upaya Pemerintah Kabupaten Buleleng dalam menyusun informasi publik berkala mencerminkan komitmen serius dalam mewujudkan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Meski menghadapi berbagai tantangan, langkah-langkah yang diambil baik melalui regulasi, pelatihan SDM, maupun inovasi digital menjadi model yang patut dicontoh oleh daerah lain. Keterbukaan informasi publik bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi merupakan fondasi demokrasi partisipatif yang sehat.

Sumber

Pemerintah Kabupaten Buleleng. (2023). Informasi Publik Berkala. Jurnal Kelitbangan Saraswati Vol. 1. [https://bulelengkab.go.id/saraswati-v1]

 

Selengkapnya
Strategi Keterbukaan Informasi Publik di Kabupaten Buleleng: Inovasi, Regulasi, dan Praktik Terbaik

Infrastruktur Jalan

Menakar Efektivitas Metode Design-Build dalam Proyek Jalan Raya: Evaluasi Nasional oleh FHWA

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 09 September 2025


Design-Build: Evolusi Strategis dalam Dunia Infrastruktur AS

Selama lebih dari tiga dekade, badan transportasi di Amerika Serikat telah bereksperimen dengan berbagai metode pengadaan inovatif untuk menjawab tekanan biaya, waktu, dan kualitas proyek jalan raya. Salah satu pendekatan paling menonjol adalah design-build (D-B), sebuah metode yang menggabungkan desain dan konstruksi dalam satu kontrak. Ini berbeda dari metode tradisional design-bid-build (D-B-B) yang memisahkan keduanya.

Laporan ini disusun sebagai kewajiban legislatif di bawah TEA-21 (Transportation Equity Act for the 21st Century), khususnya Pasal 1307(f), untuk mengevaluasi efektivitas metode D-B. Hasil studi ini menjadi penentu utama bagi masa depan penggunaan D-B secara luas dalam proyek infrastruktur AS, khususnya di bawah skema SEP-14.

Fokus dan Ruang Lingkup Studi

Tujuan Studi

  1. Menilai pengaruh D-B terhadap kualitas, biaya, dan waktu proyek.

  2. Menentukan tingkat desain awal yang sesuai sebelum pelelangan D-B.

  3. Menilai dampaknya terhadap pelaku usaha kecil.

  4. Meneliti unsur subjektivitas dalam kontrak D-B.

  5. Menyusun rekomendasi untuk penyempurnaan prosedur D-B.
     

Cakupan Studi

  • Proyek yang masuk dalam program SEP-14 (Special Experimental Project No. 14).

  • 140 proyek D-B yang telah diselesaikan hingga akhir 2002.

  • Dibandingkan dengan 17 proyek D-B-B yang serupa untuk menilai kinerja.

Hasil Studi: D-B vs D-B-B, Siapa Lebih Unggul?

Dampak terhadap Durasi Proyek

  • Pengurangan durasi proyek secara rata-rata: 14%.

  • Untuk fase konstruksi saja, D-B menghemat waktu hingga 13% dibanding D-B-B.

  • Penyebabnya antara lain:

    • Proses desain dan konstruksi berlangsung paralel.

    • Eliminasi proses lelang kedua.

    • Desain yang lebih mudah dikonstruksi.

Contoh ilustratif:

Jika proyek jalan raya dengan pendekatan D-B-B membutuhkan waktu 24 bulan, pendekatan D-B dapat memangkas waktu menjadi sekitar 20,6 bulan.

Dampak terhadap Biaya Proyek

  • Secara umum, pengurangan biaya rata-rata: 2,6%, meski variasinya sangat besar.

  • Proyek D-B lebih sensitif terhadap modifikasi desain oleh pihak ketiga.

  • Jumlah change order lebih sedikit dibanding D-B-B, tetapi nilai per unitnya lebih tinggi karena ukuran proyek yang lebih besar.

Catatan:

  • Klaim proyek pada D-B hampir nol, sedangkan D-B-B cenderung menghasilkan lebih banyak klaim litigatif.

Dampak terhadap Kualitas Proyek

  • Tingkat kepuasan lembaga kontraktor D-B setara atau lebih tinggi dibanding D-B-B.

  • D-B lebih unggul dalam kepatuhan terhadap spesifikasi teknis dan standar mutu.

  • Kualitas proyek sangat bergantung pada:

    • Metode seleksi (best value > low bid),

    • Ukuran proyek (semakin besar, semakin cocok D-B),

    • Persentase desain awal (lebih rendah lebih baik untuk D-B).

Faktor Kunci Keberhasilan Proyek D-B

Tingkat Desain Awal (Preliminary Design)

  • Idealnya, desain awal yang selesai sebelum pelelangan D-B tidak melebihi 30%.

  • Hanya 27% desain yang selesai rata-rata sebelum kontrak D-B dibuat.

  • Alasannya? Semakin rendah persentase desain awal, semakin tinggi fleksibilitas dan kreativitas kontraktor dalam optimalisasi desain dan konstruksi.

Dampak pada Usaha Kecil

  • Tidak ditemukan bukti bahwa D-B mendiskriminasi pelaku usaha kecil.

  • Justru ada indikasi peningkatan partisipasi sebagai subkonsultan desain.

  • Namun, beban syarat kelayakan dan bonding sering menjadi penghalang untuk bertindak sebagai kontraktor utama.

Subjektivitas dalam Pemilihan Kontrak D-B

  • D-B memungkinkan seleksi berbasis best value, bukan hanya low bid.

  • Faktor-faktor yang dinilai mencakup:

    • Tim proyek,

    • Rencana manajemen mutu,

    • Pengalaman,

    • Inovasi desain.

  • Best value gaining popularity, karena lebih fleksibel dan mempertimbangkan kualitas dibanding hanya harga.

Rekomendasi FHWA untuk Masa Depan

Strategi Penerapan D-B yang Efektif

  • Gunakan kriteria performa, bukan spesifikasi teknis rigid.

  • Pertahankan desain awal <30% untuk memberi ruang inovasi.

  • Terapkan metode seleksi best value daripada lowest bid.

  • Sediakan pelatihan menyeluruh bagi kontraktor dan pengelola proyek.
    Kembangkan dokumen panduan dan standar nasional (contoh: NCHRP).

Kritik & Implikasi Praktis

Kelebihan Studi:

  • Skala nasional, berbasis data proyek nyata.

  • Melibatkan lebih dari 60 proyek dan 30 negara bagian.

  • Memberikan peta jalan konkret untuk adopsi D-B.

Kekurangan:

  • Jumlah proyek D-B-B pembanding sangat terbatas.

  • Tidak menyertakan proyek pasca 2002, padahal tren D-B meningkat drastis setelahnya.

  • Belum menyentuh aspek keberlanjutan dan integrasi teknologi seperti BIM.

Penutup: Design-Build Sebagai Pilar Baru Infrastruktur Modern

Laporan ini memberikan dasar kuat bahwa metode design-build mampu menjadi tulang punggung pengadaan proyek jalan raya yang cepat, efisien, dan berkualitas di Amerika Serikat. Meski bukan tanpa tantangan, ketika dipilih dan dikelola secara bijak terutama untuk proyek bernilai besar dan kompleks, D-B memberikan keunggulan kompetitif nyata.

Sebagaimana diungkapkan oleh Florida DOT:

“Tanpa design-build, kami tidak akan mampu merespons tuntutan stimulus ekonomi Presiden dan Gubernur. Program ini sangat bermanfaat.”

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, di mana urgensi pembangunan infrastruktur begitu tinggi, temuan ini layak menjadi rujukan untuk mengadaptasi metode D-B pada tingkat nasional. Tentu, adopsi tersebut perlu dilengkapi dengan modifikasi kontekstual terhadap regulasi, sumber daya, dan kesiapan kelembagaan.

Sumber

Design-Build Effectiveness Study – As Required by TEA-21 Section 1307(f)
Federal Highway Administration (2006)
Tautan resmi: https://www.fhwa.dot.gov/programadmin/contracts/sep14a.htm

Selengkapnya
Menakar Efektivitas Metode Design-Build dalam Proyek Jalan Raya: Evaluasi Nasional oleh FHWA

Budaya Air

Mengapa Nilai Budaya Penting dalam Pengelolaan dan Tata Kelola Air?

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 09 September 2025


Pendahuluan:

Mengelola air bukan hanya soal perhitungan teknis maupun pertimbangan ekonomi. Di balik setiap keputusan, terdapat nilai budaya dan sosial yang memengaruhi cara kita memaknai, menggunakan, dan melestarikan air. Dalam artikel “Cultural Values in Water Management and Governance: Where Do We Stand?” oleh Danielle H. Heinrichs dan Rodrigo Rojas (2022), dilakukan tinjauan sistematis terhadap teori-teori budaya yang relevan untuk pengelolaan dan tata kelola air, serta bagaimana nilai-nilai ini (termasuk nilai-nilai lokal dan adat) mulai mendapat tempat dalam kebijakan dan praktik.

Pentingnya Nilai Budaya dalam Pengelolaan Air:

Air adalah sumber kehidupan, namun cara manusia mengelolanya berbeda-beda tergantung nilai dan budaya yang dianut. Misalnya, masyarakat adat di Australia melihat sungai sebagai entitas spiritual yang hidup dan diwariskan dari leluhur. Ini sangat berbeda dengan pendekatan teknokratis modern yang berfokus pada efisiensi dan output ekonomi.

Teori Budaya yang Dominan:

Cultural Theory oleh Mary Douglas adalah teori paling sering digunakan dalam kajian tata kelola air. Teori ini membagi pendekatan budaya menjadi empat kategori:

  • Egalitarian
  • Hierarkis
  • Individualis
  • Fatalis

Dalam penelitian ini, empat kategori itu menjadi kata paling sering muncul dalam literatur, menunjukkan betapa dominannya kerangka berpikir ini dalam proyek manajemen air secara global.

Nilai Budaya yang Muncul dari Studi Kasus:

Analisis dari 52 studi yang dikaji menunjukkan perbedaan nilai yang signifikan antara pengelolaan dan tata kelola air:

  • Manajemen air cenderung bersifat antroposentris, menekankan nilai seperti kesehatan, kehidupan, dan penggunaan (human-centered).
  • Tata kelola air lebih menekankan aspek spiritual dan ekologi, seperti hubungan dengan leluhur, tempat, warisan, dan sungai.

Contoh studi kasus:

  • Di Murray-Darling Basin, Australia, model berbasis agen (agent-based modeling) digunakan untuk mengukur bagaimana nilai budaya petani memengaruhi keputusan irigasi.
  • Di kawasan adat, seperti komunitas First Nations di Australia, nilai seperti country, lore, dan spiritual connection mendominasi cara mereka mengatur dan menghargai air.

Disiplin Ilmu yang Menopang Kajian Nilai Budaya:

Kajian dalam artikel ini berasal dari lintas disiplin:

  • Antropologi
  • Ilmu lingkungan
  • Kajian budaya
  • Sosiologi

Namun, dominasi antropologi juga menunjukkan keterbatasan: hanya sedikit pendekatan dari ranah psikologis atau bisnis, seperti teori nilai Schwartz yang digunakan, padahal dapat memberikan wawasan berharga untuk memahami nilai-nilai masyarakat modern maupun tradisional.

Tantangan Implementasi Nilai Budaya:

Meski telah banyak dibahas, implementasi nilai budaya masih minim dalam praktik:

  • 57% dari studi yang dianalisis mencakup strategi implementasi nilai, tetapi sebagian besar masih berupa analisis statistik atau pemetaan partisipatif.
  • Hanya sedikit studi yang menerapkan teori ini dalam bentuk model dinamis atau alat perencanaan kebijakan air.

Usulan Solusi: Pendekatan Teori Schwartz:

Sebagai alternatif yang lebih inklusif dan operasional, penulis merekomendasikan teori nilai dari Shalom Schwartz, yang mencakup nilai-nilai seperti:

  • Kepedulian (benevolence)
  • Keamanan
  • Tradisi
  • Kemandirian (self-direction)

Model ini bersifat lintas budaya dan fleksibel, serta telah divalidasi dalam banyak studi global. Ini menjadikannya tepat untuk modeling keputusan air berbasis budaya, terutama di konteks multinasional dan masyarakat yang heterogen.

Relevansi untuk Masa Depan:

Artikel ini membuka jalan untuk pendekatan tata kelola air yang:

  • Lebih peka terhadap konteks lokal dan adat
  • Mengintegrasikan nilai spiritual, sosial, dan ekologis
  • Mendorong kolaborasi antar disiplin

Dengan pendekatan ini, krisis air bukan hanya dilihat dari sisi teknis, tetapi juga dari sisi kemanusiaan dan keberlanjutan sosial.

Kesimpulan:

Mengelola air secara berkelanjutan berarti menghargai nilai-nilai budaya yang mengiringinya. Baik melalui teori Douglas, kearifan lokal masyarakat adat, maupun pendekatan Schwartz, integrasi nilai budaya dapat menjadi solusi efektif dan adil bagi pengelolaan air masa depan. Penelitian ini memperlihatkan bahwa tanpa memahami budaya, setiap solusi teknis bisa kehilangan relevansi dan keadilan.

Sumber:

Heinrichs, D.H., & Rojas, R. (2022). Cultural Values in Water Management and Governance: Where Do We Stand? Water, 14(803).

Selengkapnya
Mengapa Nilai Budaya Penting dalam Pengelolaan dan Tata Kelola Air?

Kompetensi Kerja

Kompetensi: Fondasi Tersembunyi di Balik Sukses Organisasi Berbasis Pengetahuan

Dipublikasikan oleh Hansel pada 09 September 2025


Di era ketika informasi bergerak lebih cepat daripada angin, organisasi di seluruh dunia dituntut untuk beradaptasi. Tidak lagi cukup hanya mengandalkan modal finansial atau aset fisik. Yang kini menjadi pembeda adalah pengetahuan—dan lebih penting lagi, orang-orang yang membawa pengetahuan itu. Dari perusahaan teknologi, pusat riset, hingga lembaga pendidikan, semua menghadapi satu pertanyaan mendasar: bagaimana mengelola sumber daya manusia agar benar-benar menjadi penggerak utama organisasi?

Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam International Journal of Knowledge Management Studies (2018) menyoroti hal ini dengan tajam. Jimmy Kansal dan Sandeep Singhal, dua peneliti asal India, menelusuri persoalan yang sebenarnya sudah lama menjadi “rahasia umum”: organisasi berbasis pengetahuan (knowledge-based organisations/KBOs) hanya akan seefektif kompetensi orang-orang di dalamnya. Tanpa kompetensi yang tepat, strategi sehebat apa pun berisiko gagal di lapangan.

Bayangkan sebuah organisasi riset besar dengan ribuan ilmuwan. Mereka memiliki akses ke teknologi mutakhir, dana riset miliaran, dan mandat nasional yang penting. Namun, jika para penelitinya tidak memiliki kompetensi yang sesuai—baik keterampilan teknis maupun kemampuan manajerial—maka riset bisa tersendat, kerja sama tim rapuh, dan hasil akhir jauh dari harapan. Inilah yang digambarkan riset Kansal dan Singhal, dengan fokus pada organisasi riset pertahanan di India, tetapi relevansinya menjalar ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Lebih jauh, penelitian ini menegaskan bahwa membangun model kompetensi bukan sekadar soal HRD atau pelatihan rutin. Ini adalah investasi strategis yang menentukan keberlangsungan organisasi dalam jangka panjang. Kompetensi dipandang bukan hanya “apa yang bisa dilakukan seseorang”, melainkan juga “bagaimana seseorang berpikir, bertindak, dan berkolaborasi dalam konteks organisasi”.

Dengan kata lain, kompetensi adalah fondasi tak terlihat di balik gedung-gedung megah, laboratorium canggih, atau perusahaan raksasa. Dan penelitian ini mencoba merumuskannya menjadi sebuah model yang sistematis.

Mengapa Kompetensi Jadi Isu Global Hari Ini?

Pertama-tama, mari kita tarik persoalan ke konteks global. Dunia kerja tengah diguncang revolusi digital, otomatisasi, dan kecerdasan buatan. Pekerjaan-pekerjaan manual digantikan mesin, sementara kebutuhan akan pekerja yang mampu berpikir kritis, beradaptasi, dan berinovasi meningkat tajam.

Dalam kondisi ini, organisasi berbasis pengetahuan menjadi aktor utama. Mereka bukan hanya menciptakan produk atau jasa, tetapi juga menciptakan nilai dari ide, riset, dan kreativitas. Namun, di sinilah masalah muncul: tidak semua organisasi siap mengelola manusia sebagai “aset pengetahuan”.

Penelitian Kansal dan Singhal menunjukkan adanya jurang yang nyata antara potensi individu dan kebutuhan organisasi. Banyak pekerja pintar, tetapi belum tentu kompeten dalam konteks organisasi. Ada yang mahir teknis, tetapi lemah dalam komunikasi. Ada yang punya ide brilian, tetapi tak mampu bekerja sama dalam tim. Jurang inilah yang membuat organisasi sering kali tidak mencapai efektivitas yang diharapkan.

Lebih mengejutkan lagi, penelitian mereka menyoroti bahwa masalah ini bukan hanya soal soft skill. Kompetensi teknis pun sering tidak selaras dengan kebutuhan organisasi. Misalnya, seorang ilmuwan mungkin sangat ahli di bidang fisika material, tetapi ketika organisasi membutuhkan aplikasi praktis untuk pertahanan, kompetensi itu tidak otomatis bisa diterjemahkan. Maka, dibutuhkan model yang mampu memetakan kompetensi dari level individu hingga ke level organisasi.

Kisah Lapangan: Menggali Kompetensi di Dunia Riset

Untuk memahami lebih dalam, Kansal dan Singhal melakukan penelitian di organisasi riset pertahanan India. Mereka menggunakan metode Behavioral Event Interview (BEI)—sebuah teknik wawancara mendalam yang menggali pengalaman nyata responden.

Metode ini ibarat membuka “kotak hitam” pengalaman seseorang. Responden diminta menceritakan situasi nyata di mana mereka merasa sangat sukses atau gagal dalam pekerjaan. Dari cerita itu, peneliti bisa mengidentifikasi pola perilaku, cara berpikir, dan keterampilan yang digunakan.

Pendekatan ini menghasilkan data yang kaya. Misalnya, peneliti menemukan bahwa kompetensi seperti problem solving, kemampuan mengelola konflik, dan keterampilan komunikasi sering kali muncul dalam cerita sukses. Sebaliknya, kurangnya kemampuan koordinasi atau manajemen waktu sering kali muncul dalam cerita kegagalan.

Temuan ini kemudian diperkuat dengan survei kuantitatif yang melibatkan ratusan ilmuwan. Hasilnya menunjukkan bahwa kompetensi memang memiliki hubungan langsung dengan efektivitas organisasi. Dengan kata lain, semakin baik kompetensi individu, semakin tinggi pula kinerja organisasi.

Model Kompetensi: Apa yang Ditemukan Peneliti?

Hasil penelitian ini menghasilkan sebuah model kompetensi khusus untuk organisasi berbasis pengetahuan. Model ini tidak hanya mencakup keterampilan teknis (hard skills), tetapi juga kemampuan perilaku dan manajerial (soft skills).

Beberapa kompetensi inti yang diidentifikasi antara lain:

  • Keterampilan Teknis dan Inovasi – kemampuan menguasai pengetahuan mutakhir di bidangnya serta menerjemahkannya menjadi aplikasi nyata.
  • Komunikasi dan Kolaborasi – kemampuan menyampaikan ide dengan jelas dan bekerja sama lintas tim serta lintas disiplin.
  • Kepemimpinan dan Pengambilan Keputusan – bukan hanya pada level manajer, tetapi juga kepemimpinan fungsional di level ilmuwan senior.
  • Problem Solving dan Adaptabilitas – kemampuan menghadapi situasi baru dengan solusi kreatif.
  • Komitmen Organisasi dan Etika Profesional – menjaga integritas, disiplin, serta keselarasan dengan visi organisasi.

Model ini berfungsi sebagai “peta jalan” bagi HR dan manajemen organisasi. Dengan model ini, rekrutmen bisa lebih terarah, pelatihan lebih efektif, dan jalur karier lebih jelas.

Dampak Nyata bagi Organisasi

Apa artinya semua ini bagi organisasi? Penelitian Kansal dan Singhal memberi gambaran jelas. Jika model kompetensi diterapkan, organisasi bisa:

  • Meningkatkan efektivitas: proyek lebih tepat waktu, hasil riset lebih relevan, dan kualitas kerja meningkat.
  • Mengurangi konflik internal: karena komunikasi dan kolaborasi menjadi bagian dari kompetensi yang diutamakan.
  • Memperkuat inovasi: dengan memastikan individu yang direkrut atau dilatih benar-benar sesuai dengan kebutuhan.
  • Menjaga kesinambungan: melalui pengembangan karier yang jelas dan regenerasi pemimpin organisasi.

Sebaliknya, jika kompetensi diabaikan, organisasi berisiko menghadapi stagnasi. Proyek tertunda, ide brilian terbuang, dan organisasi kehilangan daya saing.

Kritik dan Batasan Studi

Meski temuan penelitian ini sangat relevan, ada beberapa keterbatasan. Pertama, studi dilakukan pada konteks spesifik—yaitu organisasi riset pertahanan di India. Karakteristiknya bisa berbeda dengan perusahaan swasta atau lembaga non-riset. Kedua, jumlah responden terbatas pada ilmuwan, sehingga hasilnya mungkin belum sepenuhnya mencerminkan seluruh jenis KBO.

Namun, justru di sinilah menariknya. Riset ini membuka jalan bagi penelitian lanjutan di berbagai sektor dan negara. Misalnya, bagaimana penerapan model kompetensi di startup teknologi di Indonesia? Atau di BUMN strategis seperti Pertamina dan PLN? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa menjadi agenda penelitian berikutnya.

Relevansi untuk Indonesia

Mengapa penelitian ini penting bagi Indonesia? Karena Indonesia sedang gencar membangun ekonomi berbasis pengetahuan. Dari pengembangan industri 4.0, riset energi terbarukan, hingga transformasi digital pendidikan, semua membutuhkan organisasi berbasis pengetahuan yang efektif.

Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan kesenjangan. Banyak lembaga riset masih terjebak birokrasi, perusahaan kesulitan mencari talenta yang sesuai, dan universitas menghadapi tantangan menyiapkan lulusan yang kompeten. Model kompetensi seperti yang dikembangkan Kansal dan Singhal bisa menjadi inspirasi untuk menata ulang sistem manajemen SDM di Indonesia.

Kesimpulan: Kompetensi sebagai Investasi Masa Depan

Pada akhirnya, penelitian ini menyampaikan pesan sederhana namun kuat: kompetensi adalah fondasi efektivitas organisasi berbasis pengetahuan. Tanpa kompetensi, semua strategi, teknologi, dan sumber daya akan kehilangan arah.

Jika diterapkan secara serius, model kompetensi ini bisa membantu organisasi di Indonesia dan dunia untuk mengurangi biaya akibat inefisiensi, mempercepat inovasi, dan meningkatkan daya saing global dalam waktu lima tahun ke depan.

Seperti kata pepatah, “bangunan setinggi apa pun bergantung pada fondasinya.” Dan dalam organisasi modern, fondasi itu adalah kompetensi sumber daya manusia.

Sumber Artikel:

Kansal, J., & Singhal, S. (2018). Development of a Competency Model for Enhancing the Organisational Effectiveness in a Knowledge-Based Organisation. International Journal of Knowledge Management Studies, 9(3), 203–223.

Selengkapnya
Kompetensi: Fondasi Tersembunyi di Balik Sukses Organisasi Berbasis Pengetahuan

Sertifikasi Profesi dan Tenaga Kerja

Membangun Maros dari Fondasi Tenaga Kerja: Mengulik Program Pembekalan Teknis Konstruksi

Dipublikasikan oleh Hansel pada 09 September 2025


Di balik deretan gedung, jalan, dan jembatan yang berdiri di berbagai pelosok Indonesia, ada tangan-tangan pekerja konstruksi yang menopang peradaban modern. Mereka adalah aktor utama pembangunan, namun ironisnya, seringkali berada di posisi yang paling rentan: minim pelatihan, kurang sertifikasi, dan terbatas akses terhadap pengakuan formal.

Sebuah studi terbaru di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, membuka tabir persoalan klasik ini. Penelitian tersebut menyoroti program Pembekalan Teknis Tenaga Kerja Konstruksi yang digagas Universitas Hasanuddin (Unhas), bekerja sama dengan pemerintah setempat, sebagai upaya menjawab tantangan besar dalam sektor konstruksi: bagaimana memastikan tenaga kerja yang terlibat dalam proyek vital bukan hanya sekadar ada, tetapi juga mampu dan terlatih sesuai standar.

Artikel ini akan membedah secara mendalam hasil studi itu—mulai dari akar masalah, metode, hingga dampak nyata—dengan bahasa yang mudah dipahami publik. Lebih jauh lagi, kita akan menelusuri mengapa kisah Maros ini relevan bukan hanya untuk Sulawesi Selatan, melainkan untuk seluruh Indonesia yang sedang berpacu dalam pembangunan infrastruktur.

Latar Belakang: Antara Regulasi dan Realitas Lapangan

Indonesia sejatinya telah memiliki payung hukum yang jelas untuk menjamin kualitas tenaga kerja konstruksi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi menegaskan bahwa setiap pekerja konstruksi wajib memiliki sertifikasi kompetensi. Aturan ini bukan formalitas belaka; ia dirancang untuk memastikan keselamatan, mutu pekerjaan, dan keberlangsungan pembangunan nasional.

Namun, praktik di lapangan seringkali bercerita lain. Di berbagai daerah, terutama di luar kota-kota besar, ribuan pekerja konstruksi tetap bekerja tanpa sertifikat. Alasannya beragam: biaya sertifikasi yang dianggap mahal, akses ke lembaga pelatihan yang terbatas, hingga rendahnya kesadaran pekerja maupun kontraktor akan pentingnya legalitas kompetensi.

Di Kabupaten Maros, masalah ini juga nyata. Banyak tenaga kerja berpengalaman yang sehari-hari terlibat dalam pembangunan gedung atau jalan, tetapi statusnya masih “tenaga kasat mata”: terlihat bekerja, namun tak terdaftar dalam sistem resmi. Situasi ini berbahaya. Tanpa pengakuan formal, pekerja kehilangan perlindungan hukum, sementara proyek terancam menghadapi risiko mutu dan keselamatan.

Mengapa Program Ini Penting Hari Ini?

Penelitian dari Unhas menyoroti hal yang mengejutkan: masih ada jurang besar antara regulasi dan implementasi. Padahal, Indonesia sedang gencar melaksanakan proyek infrastruktur berskala masif—dari jalan tol, bendungan, hingga ibu kota negara baru.

  • Bayangkan sebuah jembatan senilai miliaran rupiah dikerjakan oleh pekerja tanpa standar kompetensi. Risiko kesalahan konstruksi bukan hanya soal uang, tetapi juga soal nyawa.
  • Tanpa sertifikasi, pekerja terampil di daerah seperti Maros sulit diakui secara nasional. Mereka tetap dipandang “buruh kasar”, padahal sebagian punya keterampilan yang sebanding dengan teknisi profesional.
  • Bagi pemerintah daerah, membiarkan pekerja tanpa sertifikasi berarti membiarkan pembangunan berjalan di atas fondasi rapuh.

Inilah yang membuat program pembekalan teknis menjadi relevan sekaligus mendesak. Ia bukan sekadar kegiatan formalitas, melainkan pintu masuk menuju tata kelola konstruksi yang lebih aman, adil, dan berdaya saing.

Studi Kasus Maros: Kolaborasi Unhas dan Pemerintah Daerah

Penelitian ini berfokus pada program Pembekalan Teknis Tenaga Kerja Konstruksi di Maros. Universitas Hasanuddin sebagai perguruan tinggi terkemuka di timur Indonesia mengambil peran sebagai motor penggerak, berkolaborasi dengan Dinas Pekerjaan Umum dan lembaga terkait.

Program ini dirancang bukan hanya untuk memberi penyuluhan singkat, tetapi juga untuk mengukur kompetensi peserta melalui mekanisme pre-test dan post-test. Dengan demikian, hasilnya bisa dinilai secara objektif: apakah ada peningkatan pengetahuan dan keterampilan setelah pembekalan?

Peserta kegiatan adalah tenaga kerja lokal—mulai dari tukang batu, tukang kayu, hingga pekerja jalan—yang sehari-hari terlibat dalam proyek konstruksi, tetapi mayoritas belum memiliki sertifikat kompetensi.

Metodologi: Dari Kelas ke Lapangan

Kegiatan pembekalan teknis berlangsung dalam beberapa tahapan.

  1. Seleksi dan Sosialisasi
    Pekerja lokal dipilih untuk mengikuti pelatihan dengan mempertimbangkan pengalaman kerja dan kebutuhan daerah. Sosialisasi menekankan pentingnya sertifikasi sebagai syarat hukum sekaligus jalan menuju pengakuan profesional.
  2. Materi Pembekalan
    • Bidang Gedung: teknik pekerjaan beton, pemasangan dinding, hingga manajemen keselamatan kerja.
    • Bidang Jalan: perataan tanah, pengaspalan, hingga standar mutu material.
      Materi diberikan secara kombinasi: teori di kelas dan praktik langsung di lapangan.
  3. Pre-test dan Post-test
    Setiap peserta menjalani tes awal untuk mengukur pengetahuan dasar, lalu dites kembali setelah pembekalan. Pola ini memungkinkan peneliti mengukur peningkatan objektif, bukan sekadar kesan subjektif.
  4. Pendampingan
    Peserta tidak dibiarkan belajar sendirian. Instruktur dari Unhas mendampingi secara intensif, baik dalam memahami teori maupun menerapkan praktik konstruksi sesuai standar.

Hasil: Peningkatan Nyata di Maros

Hasil penelitian menunjukkan temuan yang menggembirakan. Rata-rata skor post-test peserta meningkat signifikan dibanding pre-test. Dengan kata lain, dalam waktu singkat, pekerja mengalami lonjakan pemahaman teknis yang relevan dengan bidang kerja mereka.

  • Misalnya, dalam pekerjaan beton, banyak peserta awalnya tidak memahami proporsi campuran yang tepat. Setelah pelatihan, mereka bisa menjelaskan sekaligus mempraktikkan formula yang benar.
  • Di bidang jalan, peserta yang sebelumnya hanya mengandalkan pengalaman “turun-temurun” mulai memahami mengapa standar ketebalan lapisan aspal harus dipatuhi.

Lebih dari sekadar angka, peningkatan ini juga tercermin dalam sikap. Peserta mengaku lebih percaya diri, lebih memahami aspek keselamatan kerja, dan lebih siap menghadapi uji sertifikasi resmi.

Cerita di Balik Angka: Siapa yang Terdampak?

Salah satu poin menarik dalam studi ini adalah sisi manusiawi dari pekerja. Banyak di antara mereka yang sudah bertahun-tahun bekerja di lapangan, tetapi tetap dipandang sebagai tenaga informal. Program ini memberi mereka secercah harapan untuk naik kelas.

Bayangkan seorang tukang batu yang selama 15 tahun bekerja tanpa pengakuan formal. Setelah mengikuti pembekalan, ia bukan hanya memahami teknik baru, tetapi juga memiliki peluang nyata untuk mendapatkan sertifikat kompetensi. Itu berarti akses lebih besar ke proyek pemerintah, peningkatan upah, dan—yang paling penting—pengakuan sosial bahwa keterampilannya berharga.

Implikasi: Lebih dari Sekadar Pelatihan

Penelitian ini menegaskan bahwa dampak program pembekalan teknis tidak berhenti pada individu, melainkan meluas ke tingkat daerah dan nasional.

  • Bagi Kabupaten Maros, program ini memperkuat basis tenaga kerja lokal yang siap menghadapi proyek besar tanpa harus mendatangkan pekerja dari luar daerah.
  • Bagi Pemerintah Nasional, inisiatif ini menjadi contoh konkret desentralisasi pelatihan tenaga kerja: universitas dan pemerintah daerah bisa bekerja sama untuk mempercepat sertifikasi.
  • Bagi Dunia Usaha, tenaga kerja yang lebih terlatih berarti proyek bisa selesai lebih cepat, lebih aman, dan dengan mutu yang lebih terjamin.

Opini Kritis: Keterbatasan dan Peluang

Meski hasilnya menjanjikan, penelitian ini juga menyimpan catatan kritis. Pertama, cakupan program masih terbatas. Jumlah peserta yang dilatih relatif kecil dibanding ribuan pekerja konstruksi di Maros. Kedua, pelatihan hanya berlangsung singkat, sehingga ada risiko keterampilan baru tidak bertahan lama jika tidak segera diikuti uji sertifikasi.

Selain itu, penelitian ini hanya berfokus pada pekerja lapangan. Padahal, ekosistem konstruksi melibatkan banyak level, termasuk mandor, pengawas, hingga kontraktor kecil. Tanpa pelatihan menyeluruh, risiko miskomunikasi dan kesenjangan standar masih terbuka.

Namun, justru di sinilah peluangnya. Studi ini bisa menjadi batu loncatan untuk program yang lebih besar, terintegrasi, dan berkelanjutan.

Konteks Global dan Relevansi untuk Indonesia

Masalah tenaga kerja konstruksi bukan monopoli Maros. Di banyak negara berkembang, pekerja konstruksi sering berstatus informal, tanpa sertifikat, dan kurang akses pada pelatihan. Konsekuensinya sama: mutu proyek menurun, risiko kecelakaan meningkat, dan pekerja tetap miskin meski bekerja keras.

Bagi Indonesia, kisah Maros adalah cermin kecil dari tantangan besar nasional. Jika ribuan proyek infrastruktur terus berjalan tanpa tenaga kerja terlatih, Indonesia berisiko membangun gedung dan jalan di atas fondasi rapuh.

Sebaliknya, jika program pembekalan teknis digelar secara masif di seluruh daerah, dampaknya bisa dahsyat:

  • Kualitas proyek meningkat.
  • Angka kecelakaan kerja menurun.
  • Pekerja mendapat pengakuan dan kesejahteraan lebih baik.
  • Indonesia lebih siap bersaing di kancah global.

Kesimpulan: Dari Maros untuk Indonesia

Studi ini memberi pesan tegas: membangun infrastruktur tidak cukup dengan dana besar dan desain megah. Kualitas proyek bergantung pada tenaga kerja yang mengeksekusinya.

Program Pembekalan Teknis Tenaga Kerja Konstruksi di Maros adalah contoh baik bagaimana universitas, pemerintah, dan masyarakat bisa berkolaborasi. Meski masih terbatas, hasilnya nyata: pengetahuan meningkat, sikap berubah, dan harapan baru terbuka bagi pekerja konstruksi lokal.

Jika model ini diperluas, Indonesia bisa melahirkan generasi pekerja konstruksi yang bukan hanya kuat di lapangan, tetapi juga sah secara kompetensi. Dalam lima tahun, efeknya bisa terlihat: biaya pembangunan berkurang karena minim rework, mutu proyek lebih terjamin, dan pekerja lokal naik kelas.

Pembangunan sejatinya bukan hanya soal beton dan baja. Ia adalah soal manusia yang mengerjakannya. Maros sudah memulai langkah kecil itu. Kini, giliran Indonesia menjadikannya gerakan nasional.

Sumber Artikel

Universitas Hasanuddin. (2023). Pembekalan Teknis Tenaga Kerja Konstruksi Bidang Pekerjaan Gedung dan Jalan di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan

Selengkapnya
Membangun Maros dari Fondasi Tenaga Kerja: Mengulik Program Pembekalan Teknis Konstruksi

Pendidikan jarak jauh

Belajar Lewat Masalah dan Layar: Ketika Edmodo Menjadi ‘Lapangan Latihan’ Mekanika Teknik

Dipublikasikan oleh Hansel pada 09 September 2025


Di masa ketika pembelajaran tatap muka terganggu oleh kondisi luar biasa—seperti pandemi—sistem pendidikan vokasi menghadapi tantangan ganda: bagaimana menjamin kelangsungan pembelajaran teknis yang membutuhkan praktik, dan bagaimana mempertahankan mutu hasil belajar ketika interaksi fisik dibatasi. Paper ini mencoba menjawab persoalan itu secara konkret: apakah Problem Based Learning (PBL) yang dikemas lewat platform Edmodo mampu meningkatkan pemahaman konsep matematis siswa pada mata pelajaran Mekanika Teknik di tingkat SMK? Jawaban dari studi di SMKN 1 Sidoarjo itu tidak hanya relevan untuk guru dan pengambil kebijakan, tapi juga bagi dunia industri yang menunggu lulusan dengan kemampuan nyata.

Latar: kebutuhan vokasi yang praktis di era digital

Penelitian ini bermula dari kebutuhan yang jelas: pendidikan kejuruan harus mempersiapkan siswa dengan keterampilan teknis dan pola pikir pemecahan masalah. Mekanika Teknik — yang mengajarkan analisis gaya-gaya batang pada konstruksi rangka sederhana — menuntut penguasaan konsep matematis dan kemampuan menerapkan teori pada situasi nyata. Ketika pembelajaran beralih ke daring, ada kekhawatiran bahwa latihan-latihan praktis dan diskusi pemecahan masalah akan melemah. Penulis menempatkan PBL sebagai metode yang memungkinkan siswa belajar dari masalah otentik, sedangkan Edmodo dipilih sebagai wadah e-learning yang fleksibel dan kaya fitur untuk menjalankan sintaks PBL secara daring. Artikel ini memotret implementasi konkret itu dari proses validasi perangkat hingga hasil belajar siswa.

Desain penelitian: sederhana tapi tepat sasaran

Metode yang dipakai adalah pre-experimental design tipe One Group Pretest-Posttest, yaitu pengukuran kemampuan sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok yang sama. Sampel adalah siswa kelas X DPIB (Desain Pemodelan dan Informasi Bangunan) di SMKN 1 Sidoarjo—khususnya dua kelas eksperimen, TKP-2 dan TKP-3. Perlakuan yang diberikan adalah penerapan model PBL dengan media Edmodo, fokus materi pada analisis gaya-gaya batang pada konstruksi rangka sederhana. Validasi perangkat pembelajaran dilakukan oleh guru SMK dan dosen ahli; hasil validasi menunjukkan perangkat dianggap layak: silabus (81,95% — sangat valid), RPP (80,36% — sangat valid), media Edmodo (77,09% — valid), dan angket respon siswa (81,25% — sangat valid). Validasi ini memberi legitimasi bahwa intervensi tersebut dirancang secara tepat sebelum diuji ke siswa.

Pelaksanaan PBL di Edmodo — langkah demi langkah yang diterapkan

Penelitian merinci sintaks PBL dalam lingkungan daring: pertama, siswa dikumpulkan dalam kelas online; kedua, dibentuk kelompok kecil; ketiga, guru menyiapkan masalah atau isu otentik; keempat, kelompok diminta mencari referensi; kelima, diskusi dilakukan secara daring untuk membangun kerja sama dan eksplorasi; keenam, guru memonitor dan membimbing jalannya diskusi; ketujuh, tugas dikumpulkan melalui link yang disediakan; kedelapan, presentasi dilakukan secara virtual dan hasil didiskusikan; kesembilan, dilanjutkan refleksi dan evaluasi bersama. Inilah kerangka yang mengubah Edmodo dari sekadar platform distribusi bahan menjadi arena pemecahan masalah kolaboratif.

Bukti kuantitatif: normalitas data, uji t, dan N-Gain

Sebelum menyimpulkan dampak, penulis melaporkan uji statistik yang layak: data pretest dan posttest pada kedua kelas terdistribusi normal (uji chi-kuadrat) dan homogen (uji homogenitas). Setelah memenuhi prasyarat, dilakukan uji t-berpasangan. Hasil menunjukkan perbedaan signifikan antara pretest dan posttest untuk kedua kelas: thitung untuk TKP-2 = 2,097 (ttabel ≈ 2,056) dan thitung untuk TKP-3 = 2,100 (ttabel ≈ 2,042), sehingga H0 ditolak. Artinya, peningkatan nilai setelah perlakuan signifikan secara statistik. Kekuatan efek diukur juga melalui indeks N-Gain: kelas TKP-2 memperoleh N-Gain 0,6 (kategori sedang), sedangkan TKP-3 memperoleh 0,5 (kategori sedang). Angka-angka ini menunjukkan bahwa intervensi memberi peningkatan konsep matematis dalam level yang bermakna — bukan dramatis, tetapi nyata dan konsisten.

Narasi hasil: bukan sekadar angka — apa yang berubah di kelas

Angka-angka statistik memberi signifikansi, tetapi yang menarik adalah apa yang terjadi di ruang kelas daring. Angket respon siswa memperlihatkan bahwa mayoritas peserta merespons positif penerapan model PBL via Edmodo: rentang persentase jawaban pada mayoritas item berada di kisaran 60%–80% (kriteria: baik), sedangkan satu item berada pada kategori cukup. Siswa menyatakan bahwa penyajian masalah mampu menarik perhatian (65% baik), menimbulkan rasa ingin tahu (72% baik), memudahkan penggalian informasi (68,5% baik), dan membantu memecahkan permasalahan (66% baik). Menariknya, 67,5% siswa merasa bisa berpartisipasi lebih aktif di Edmodo. Respon-respon ini menunjuk pada dua hal: perlakuan tidak hanya meningkatkan skor tes, tetapi juga memperbaiki keterlibatan (engagement) dan proses berpikir kritis siswa.

Interpretasi: kenapa PBL + Edmodo bekerja (menurut data)

Ada beberapa mekanisme yang dapat ditarik dari laporan penulis tentang mengapa kombinasi ini efektif. Pertama, PBL menempatkan siswa pada posisi aktif: mereka bukan hanya menerima materi tetapi harus mencari solusi untuk masalah riil — proses yang memperkuat pemahaman konsep. Kedua, Edmodo menyediakan fitur yang mendukung kerja kelompok, pembagian tugas, pengumpulan file, forum diskusi, kuis, dan penilaian, sehingga praktik kolaboratif dapat berjalan tanpa hambatan ruang fisik. Ketiga, pembelajaran daring memberi ruang bagi siswa belajar berulang (akses materi kapan saja), memungkinkan pengulangan dan refleksi yang mendalam—faktor penting bagi pembelajaran konsep matematis yang abstrak. Hasil N-Gain sedang menjadi indikator bahwa pembelajaran tidak sekadar mengangkat skor semata, melainkan menumbuhkan kualitas berpikir yang lebih tinggi pada level kognitif siswa.

Kelebihan penelitian: desain praktis dan relevansi vokasi

Kekuatan studi ini terletak pada relevansinya yang tinggi bagi dunia SMK: soal yang diuji adalah topik yang bersentuhan langsung dengan praktik kejuruan; platform yang dipilih (Edmodo) sederhana, terjangkau, dan cocok untuk implementasi cepat; metode PBL bersinergi dengan tuntutan industri untuk lulusan yang mampu memecahkan masalah teknis. Validasi perangkat oleh pihak sekolah dan akademisi memberikan bukti bahwa perlakuan bukan sekadar eksperimen ad hoc, melainkan intervensi yang layak diterapkan secara lebih luas.

Keterbatasan yang jujur — apa yang tidak dijawab penelitian ini

Penulis juga terbuka mengenai keterbatasan. Pertama, desain penelitian bersifat pre-experimental tanpa kelompok kontrol; sehingga peningkatan yang terjadi bisa dipengaruhi oleh faktor luar selain perlakuan (mis. matang waktu belajar, faktor motivasi klaster tertentu). Kedua, sampel terbatas pada dua kelas di satu sekolah—generalizabilitasnya ke SMK lain perlu diuji lagi. Ketiga, kendala infrastruktur menjadi nyata: beberapa siswa dilaporkan memiliki keterbatasan perangkat atau akses internet memadai—faktor yang membatasi partisipasi penuh. Keempat, durasi intervensi relatif singkat; dampak jangka panjang terhadap keterampilan praktik dan kesiapan kerja belum diukur. Penulis merekomendasikan studi lanjutan dengan desain eksperimental, sampel lebih besar, dan pengukuran capaian praktik di lapangan.

Hambatan teknis dan sosial: realitas implementasi Edmodo di SMK

Paper memaparkan hambatan pelaksanaan, yang penting bagi pembaca praktik: adanya siswa tanpa smartphone memadai, keterbatasan akses internet di rumah, dan sulitnya pengawasan guru selama pembelajaran jarak jauh. Ini bukan sekadar catatan teknis—ia adalah pengingat bahwa solusi digital perlu disertai intervensi sosial: dukungan perangkat, paket data, atau fasilitas belajar di komunitas. Selain itu, adaptasi guru ke format daring dan kemampuan mendesain masalah otentik membutuhkan pelatihan. Dengan kata lain, implementasi berkelanjutan menuntut investasi non-teknis.

Implikasi praktis: dari kelas ke kebijakan vokasi

Apa arti temuan ini bagi dunia pendidikan vokasi? Pertama, PBL yang didukung e-learning bisa menjadi strategi transisi ketika tatap muka terganggu, tanpa mengorbankan hasil belajar kontekstual. Kedua, Edmodo dan platform sejenis berperan sebagai pengganda kapasitas pengajaran—memungkinkan guru memonitor, mengevaluasi, dan memberi umpan balik lebih sistematis. Ketiga, hasil yang positif menjustifikasi investasi sekolah dalam pengembangan perangkat pembelajaran digital, pelatihan guru, dan penyediaan akses digital bagi siswa. Keempat, pada level kebijakan, data ini dapat mendorong agar program vokasi memadukan kurikulum yang menekankan problem solving dan penggunaan teknologi sebagai standar.

Nuansa kritis: jangan cepat puas, skala dan kualitas praktik tetap ukuran utama

Meskipun hasilnya menjanjikan, tidak bijak bila pembaca lalu menyimpulkan bahwa sekadar mengunggah materi ke platform otomatis menyelesaikan persoalan vokasi. Inti dari PBL adalah kualitas masalah yang diberikan, kedalaman bimbingan guru, serta peluang praktik nyata. Nilai N-Gain sedang menunjukkan peningkatan, bukan transformasi penuh. Selain itu, tanpa kelompok kontrol yang jelas, perlu kehati-hatian dalam mengekstrapolasi dampak. Penulis sendiri menyinggung bahwa hasil belajar meningkat, tetapi keterampilan aplikatif jangka panjang perlu diukur melalui asesmen praktik langsung dan penempatan industri.

Rekomendasi penguatan—dari penulis ke praktik yang lebih luas

Berdasarkan temuan dan keterbatasan, studi memberikan sejumlah rekomendasi praktis yang dapat dibaca sebagai peta tindakan: (1) skala up program PBL-Edmodo ke kelas lain dengan desain studi yang lebih robust; (2) sediakan dukungan teknologi bagi siswa yang kurang mampu; (3) latih guru untuk merancang masalah otentik dan memfasilitasi diskusi daring secara efektif; (4) integrasikan evaluasi praktik lapangan untuk menilai transfer pembelajaran; (5) dorong kolaborasi sekolah-industri agar masalah pembelajaran mencerminkan kebutuhan dunia kerja; dan (6) lakukan penelitian jangka panjang untuk memetakan efek terhadap kesiapan kerja lulusan.

Kesimpulan panjang: pembelajaran vokasi yang adaptif dan bertanggung jawab

Penelitian Nurrohma & Adistana (2021) menyuguhkan bukti yang meyakinkan bahwa Problem Based Learning, bila dikemas dengan media e-learning yang tepat, mampu meningkatkan pemahaman konsep matematis siswa SMK pada ranah mekanika teknik, bahkan ketika pembelajaran tatap muka terganggu. Ini bukan sekadar kabar baik untuk masa pandemi; ini adalah argumen kuat bahwa pendidikan vokasi yang adaptif dan berbasis masalah dapat berfungsi lebih efektif bila didukung teknologi yang memungkinkan kolaborasi, akses ulang materi, dan monitoring guru. Namun keberhasilan nyata mensyaratkan perhatian pada infrastruktur, pelatihan guru, pengayaan masalah otentik, serta evaluasi praktik yang lebih mendalam.

Dengan kata lain: Edmodo dan PBL bukan obat mujarab, tetapi mereka adalah alat yang — bila dirancang dan didampingi dengan kebijakan dan dukungan nyata — dapat mengubah pengalaman belajar vokasi dari pasif menjadi aktif, dari teoritis menjadi aplikatif, dan dari rapuh menjadi lebih tahan terhadap gangguan eksternal.

Proyeksi dampak (jika diadopsi lebih luas)

Jika rekomendasi diadopsi secara berkelanjutan—termasuk peningkatan akses perangkat, pelatihan guru, dan kolaborasi sekolah-industri—sekolah vokasi dapat melihat perbaikan berkelanjutan pada pemahaman konseptual siswa dan keterlibatan belajar. Pada tingkat institusi, ini berpotensi meningkatkan kualitas lulusan yang siap kerja, menurunkan kebutuhan remedial di dunia kerja, dan memperbaiki citra SMK sebagai lembaga yang menghasilkan tenaga siap pakai. Efeknya bukan hanya akademik: ini berdampak pada daya saing tenaga kerja vokasi di pasar kerja lokal dan nasional.

Sumber Artikel:

Nurrohma, R. I., & Adistana, G. A. Y. P. (2021). Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning dengan Media E-Learning melalui Aplikasi Edmodo pada Mekanika Teknik. Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(4), 1199–1209. https://doi.org/10.31004/edukatif.v3i4.544

Selengkapnya
Belajar Lewat Masalah dan Layar: Ketika Edmodo Menjadi ‘Lapangan Latihan’ Mekanika Teknik
« First Previous page 228 of 1.350 Next Last »