Di era ketika informasi bergerak lebih cepat daripada angin, organisasi di seluruh dunia dituntut untuk beradaptasi. Tidak lagi cukup hanya mengandalkan modal finansial atau aset fisik. Yang kini menjadi pembeda adalah pengetahuan—dan lebih penting lagi, orang-orang yang membawa pengetahuan itu. Dari perusahaan teknologi, pusat riset, hingga lembaga pendidikan, semua menghadapi satu pertanyaan mendasar: bagaimana mengelola sumber daya manusia agar benar-benar menjadi penggerak utama organisasi?
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam International Journal of Knowledge Management Studies (2018) menyoroti hal ini dengan tajam. Jimmy Kansal dan Sandeep Singhal, dua peneliti asal India, menelusuri persoalan yang sebenarnya sudah lama menjadi “rahasia umum”: organisasi berbasis pengetahuan (knowledge-based organisations/KBOs) hanya akan seefektif kompetensi orang-orang di dalamnya. Tanpa kompetensi yang tepat, strategi sehebat apa pun berisiko gagal di lapangan.
Bayangkan sebuah organisasi riset besar dengan ribuan ilmuwan. Mereka memiliki akses ke teknologi mutakhir, dana riset miliaran, dan mandat nasional yang penting. Namun, jika para penelitinya tidak memiliki kompetensi yang sesuai—baik keterampilan teknis maupun kemampuan manajerial—maka riset bisa tersendat, kerja sama tim rapuh, dan hasil akhir jauh dari harapan. Inilah yang digambarkan riset Kansal dan Singhal, dengan fokus pada organisasi riset pertahanan di India, tetapi relevansinya menjalar ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Lebih jauh, penelitian ini menegaskan bahwa membangun model kompetensi bukan sekadar soal HRD atau pelatihan rutin. Ini adalah investasi strategis yang menentukan keberlangsungan organisasi dalam jangka panjang. Kompetensi dipandang bukan hanya “apa yang bisa dilakukan seseorang”, melainkan juga “bagaimana seseorang berpikir, bertindak, dan berkolaborasi dalam konteks organisasi”.
Dengan kata lain, kompetensi adalah fondasi tak terlihat di balik gedung-gedung megah, laboratorium canggih, atau perusahaan raksasa. Dan penelitian ini mencoba merumuskannya menjadi sebuah model yang sistematis.
Mengapa Kompetensi Jadi Isu Global Hari Ini?
Pertama-tama, mari kita tarik persoalan ke konteks global. Dunia kerja tengah diguncang revolusi digital, otomatisasi, dan kecerdasan buatan. Pekerjaan-pekerjaan manual digantikan mesin, sementara kebutuhan akan pekerja yang mampu berpikir kritis, beradaptasi, dan berinovasi meningkat tajam.
Dalam kondisi ini, organisasi berbasis pengetahuan menjadi aktor utama. Mereka bukan hanya menciptakan produk atau jasa, tetapi juga menciptakan nilai dari ide, riset, dan kreativitas. Namun, di sinilah masalah muncul: tidak semua organisasi siap mengelola manusia sebagai “aset pengetahuan”.
Penelitian Kansal dan Singhal menunjukkan adanya jurang yang nyata antara potensi individu dan kebutuhan organisasi. Banyak pekerja pintar, tetapi belum tentu kompeten dalam konteks organisasi. Ada yang mahir teknis, tetapi lemah dalam komunikasi. Ada yang punya ide brilian, tetapi tak mampu bekerja sama dalam tim. Jurang inilah yang membuat organisasi sering kali tidak mencapai efektivitas yang diharapkan.
Lebih mengejutkan lagi, penelitian mereka menyoroti bahwa masalah ini bukan hanya soal soft skill. Kompetensi teknis pun sering tidak selaras dengan kebutuhan organisasi. Misalnya, seorang ilmuwan mungkin sangat ahli di bidang fisika material, tetapi ketika organisasi membutuhkan aplikasi praktis untuk pertahanan, kompetensi itu tidak otomatis bisa diterjemahkan. Maka, dibutuhkan model yang mampu memetakan kompetensi dari level individu hingga ke level organisasi.
Kisah Lapangan: Menggali Kompetensi di Dunia Riset
Untuk memahami lebih dalam, Kansal dan Singhal melakukan penelitian di organisasi riset pertahanan India. Mereka menggunakan metode Behavioral Event Interview (BEI)—sebuah teknik wawancara mendalam yang menggali pengalaman nyata responden.
Metode ini ibarat membuka “kotak hitam” pengalaman seseorang. Responden diminta menceritakan situasi nyata di mana mereka merasa sangat sukses atau gagal dalam pekerjaan. Dari cerita itu, peneliti bisa mengidentifikasi pola perilaku, cara berpikir, dan keterampilan yang digunakan.
Pendekatan ini menghasilkan data yang kaya. Misalnya, peneliti menemukan bahwa kompetensi seperti problem solving, kemampuan mengelola konflik, dan keterampilan komunikasi sering kali muncul dalam cerita sukses. Sebaliknya, kurangnya kemampuan koordinasi atau manajemen waktu sering kali muncul dalam cerita kegagalan.
Temuan ini kemudian diperkuat dengan survei kuantitatif yang melibatkan ratusan ilmuwan. Hasilnya menunjukkan bahwa kompetensi memang memiliki hubungan langsung dengan efektivitas organisasi. Dengan kata lain, semakin baik kompetensi individu, semakin tinggi pula kinerja organisasi.
Model Kompetensi: Apa yang Ditemukan Peneliti?
Hasil penelitian ini menghasilkan sebuah model kompetensi khusus untuk organisasi berbasis pengetahuan. Model ini tidak hanya mencakup keterampilan teknis (hard skills), tetapi juga kemampuan perilaku dan manajerial (soft skills).
Beberapa kompetensi inti yang diidentifikasi antara lain:
- Keterampilan Teknis dan Inovasi – kemampuan menguasai pengetahuan mutakhir di bidangnya serta menerjemahkannya menjadi aplikasi nyata.
- Komunikasi dan Kolaborasi – kemampuan menyampaikan ide dengan jelas dan bekerja sama lintas tim serta lintas disiplin.
- Kepemimpinan dan Pengambilan Keputusan – bukan hanya pada level manajer, tetapi juga kepemimpinan fungsional di level ilmuwan senior.
- Problem Solving dan Adaptabilitas – kemampuan menghadapi situasi baru dengan solusi kreatif.
- Komitmen Organisasi dan Etika Profesional – menjaga integritas, disiplin, serta keselarasan dengan visi organisasi.
Model ini berfungsi sebagai “peta jalan” bagi HR dan manajemen organisasi. Dengan model ini, rekrutmen bisa lebih terarah, pelatihan lebih efektif, dan jalur karier lebih jelas.
Dampak Nyata bagi Organisasi
Apa artinya semua ini bagi organisasi? Penelitian Kansal dan Singhal memberi gambaran jelas. Jika model kompetensi diterapkan, organisasi bisa:
- Meningkatkan efektivitas: proyek lebih tepat waktu, hasil riset lebih relevan, dan kualitas kerja meningkat.
- Mengurangi konflik internal: karena komunikasi dan kolaborasi menjadi bagian dari kompetensi yang diutamakan.
- Memperkuat inovasi: dengan memastikan individu yang direkrut atau dilatih benar-benar sesuai dengan kebutuhan.
- Menjaga kesinambungan: melalui pengembangan karier yang jelas dan regenerasi pemimpin organisasi.
Sebaliknya, jika kompetensi diabaikan, organisasi berisiko menghadapi stagnasi. Proyek tertunda, ide brilian terbuang, dan organisasi kehilangan daya saing.
Kritik dan Batasan Studi
Meski temuan penelitian ini sangat relevan, ada beberapa keterbatasan. Pertama, studi dilakukan pada konteks spesifik—yaitu organisasi riset pertahanan di India. Karakteristiknya bisa berbeda dengan perusahaan swasta atau lembaga non-riset. Kedua, jumlah responden terbatas pada ilmuwan, sehingga hasilnya mungkin belum sepenuhnya mencerminkan seluruh jenis KBO.
Namun, justru di sinilah menariknya. Riset ini membuka jalan bagi penelitian lanjutan di berbagai sektor dan negara. Misalnya, bagaimana penerapan model kompetensi di startup teknologi di Indonesia? Atau di BUMN strategis seperti Pertamina dan PLN? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa menjadi agenda penelitian berikutnya.
Relevansi untuk Indonesia
Mengapa penelitian ini penting bagi Indonesia? Karena Indonesia sedang gencar membangun ekonomi berbasis pengetahuan. Dari pengembangan industri 4.0, riset energi terbarukan, hingga transformasi digital pendidikan, semua membutuhkan organisasi berbasis pengetahuan yang efektif.
Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan kesenjangan. Banyak lembaga riset masih terjebak birokrasi, perusahaan kesulitan mencari talenta yang sesuai, dan universitas menghadapi tantangan menyiapkan lulusan yang kompeten. Model kompetensi seperti yang dikembangkan Kansal dan Singhal bisa menjadi inspirasi untuk menata ulang sistem manajemen SDM di Indonesia.
Kesimpulan: Kompetensi sebagai Investasi Masa Depan
Pada akhirnya, penelitian ini menyampaikan pesan sederhana namun kuat: kompetensi adalah fondasi efektivitas organisasi berbasis pengetahuan. Tanpa kompetensi, semua strategi, teknologi, dan sumber daya akan kehilangan arah.
Jika diterapkan secara serius, model kompetensi ini bisa membantu organisasi di Indonesia dan dunia untuk mengurangi biaya akibat inefisiensi, mempercepat inovasi, dan meningkatkan daya saing global dalam waktu lima tahun ke depan.
Seperti kata pepatah, “bangunan setinggi apa pun bergantung pada fondasinya.” Dan dalam organisasi modern, fondasi itu adalah kompetensi sumber daya manusia.
Sumber Artikel:
Kansal, J., & Singhal, S. (2018). Development of a Competency Model for Enhancing the Organisational Effectiveness in a Knowledge-Based Organisation. International Journal of Knowledge Management Studies, 9(3), 203–223.