Keterlambatan Proyek

Mengungkap Akar Keterlambatan Proyek Konstruksi di Aceh: Analisis Faktor Risiko dan Solusi Strategis

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 28 Mei 2025


Pendahuluan: Keterlambatan Proyek, Fenomena Sistemik di Industri Konstruksi

 

Keterlambatan proyek konstruksi merupakan persoalan klasik yang terus berulang, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Di Provinsi Aceh, masalah ini bahkan menjadi hal rutin yang terjadi hampir setiap akhir tahun anggaran. Tidak hanya menimbulkan kerugian secara ekonomi, tetapi juga berdampak langsung pada keterlambatan pelayanan publik dan kepercayaan terhadap tata kelola pemerintah daerah.

Penelitian oleh Rauzana dan Dharma berupaya menjawab pertanyaan mendasar: apa saja faktor risiko utama yang memicu keterlambatan proyek konstruksi di Aceh? Melalui pendekatan kuantitatif menggunakan kuesioner dan analisis deskriptif statistik, mereka mengidentifikasi dan mengklasifikasikan 60 indikator keterlambatan berdasarkan pengaruhnya terhadap proyek.

 

Metodologi: Survei Lapangan dan Analisis Statistik

 

Penelitian ini mengandalkan data primer dari 68 responden, seluruhnya berasal dari perusahaan kontraktor yang memiliki pengalaman mengelola proyek konstruksi antara tahun 2012–2020 di Aceh. Responden sebagian besar memiliki kualifikasi perusahaan M1 (92,65%) dengan rentang biaya proyek di bawah Rp10 miliar.

Data dianalisis menggunakan uji validitas, reliabilitas (dengan Cronbach Alpha > 0,6 untuk semua variabel), dan distribusi frekuensi. Indikator dinilai menggunakan skala Likert 1–5, dan diklasifikasikan ke dalam tiga kategori pengaruh: sangat berpengaruh (mode = 5), berpengaruh tinggi (mode = 4), dan pengaruh sedang (mode = 3).

 

Temuan Utama: 30 Faktor Risiko Paling Dominan

 

Dari 60 indikator, terdapat 30 faktor yang dikategorikan sebagai sangat berpengaruh terhadap keterlambatan proyek. Faktor-faktor ini diklasifikasikan ke dalam sepuluh kelompok utama:

1. Material

Masalah seperti perubahan spesifikasi, kerusakan penyimpanan, keterlambatan pengiriman, dan kesalahan perhitungan kebutuhan material menjadi penyebab utama.
Contoh: 91,2% responden menyebut “perubahan spesifikasi material” sebagai faktor keterlambatan tertinggi (mode = 5).

 

2. Peralatan

Kerusakan alat berat dan rendahnya produktivitas alat menjadi pemicu utama. Efisiensi penggunaan alat menjadi krusial agar pekerjaan tidak stagnan.

 

3. Keuangan

Kondisi keuangan kontraktor yang lemah, keterlambatan pembayaran oleh pemilik proyek, serta tingginya biaya overhead berkontribusi besar terhadap kegagalan progres proyek.

 

4. Tenaga Kerja

Kelangkaan tenaga kerja terampil, kelelahan akibat lembur, dan rendahnya motivasi karyawan menjadi perhatian utama.

 

5. Pelaksanaan Proyek

Perubahan desain, kesalahan perencana, dan pekerjaan tambahan yang tidak terencana menambah beban waktu pengerjaan.

 

6. Manajemen

Kesalahan dalam memahami dokumen kontrak, tidak adanya SOP, dan metode pelaksanaan yang keliru termasuk faktor internal paling kritis.

 

7. Faktor Politik

Persoalan seperti lambatnya pengesahan anggaran, intervensi organisasi massa, dan ketidakharmonisan antar instansi pemerintah sangat berdampak pada kelancaran proyek.

 

8. Faktor Kriminalitas

Kehilangan material, pemakaian narkoba oleh pekerja, hingga pungutan liar menciptakan kerugian tidak hanya secara finansial tapi juga moral.

 

9. Kepemimpinan Proyek

Kurangnya pengalaman manajer proyek dalam menyusun jadwal dan membagi tugas menjadi pemicu langsung keterlambatan.

 

10. Lingkungan

Cuaca ekstrem dan aksesibilitas yang buruk ke lokasi proyek seringkali diabaikan dalam perencanaan awal, padahal sangat memengaruhi progres fisik lapangan.

 

Analisis Tambahan dan Studi Kasus Relevan

 

Tren Nasional: Kasus Serupa di Daerah Lain

Penelitian oleh Yap et al. (2021) di Malaysia menunjukkan bahwa 80% proyek mengalami keterlambatan akibat faktor serupa, seperti masalah keuangan, ketidaksiapan tenaga kerja, dan lemahnya koordinasi.

 

Data Proyek Aceh (2012–2020):

Menurut laporan BPK Aceh, hampir 72% proyek APBA 2019 tidak selesai tepat waktu. Ini menunjukkan betapa strukturalnya persoalan ini di provinsi tersebut.

 

Studi Banding Internasional:

  • Di Mesir, Aziz & Abdel-Hakam (2016) menyatakan bahwa 88% keterlambatan disebabkan oleh desain ulang dan manajemen waktu yang buruk.

  • Di UEA, studi Mpofu et al. (2017) mencatat keterlambatan besar karena minimnya komunikasi antar stakeholder.
     

 

Kritik dan Rekomendasi: Menuju Solusi Berbasis Data

 

Kelebihan Penelitian:

  • Cakupan data yang luas dan analisis mendalam berdasarkan 68 responden.

  • Klasifikasi variabel sangat rinci, mencakup aspek teknis hingga politik.
     

Namun, terdapat beberapa keterbatasan:

  • Fokus wilayah hanya di Aceh membuat generalisasi terbatas.

  • Data hanya berasal dari pihak kontraktor. Perspektif pemilik proyek dan konsultan belum diwakili.
     

Rekomendasi Strategis:

  1. Penguatan Manajemen Risiko di Tahap Awal Proyek.
    Identifikasi risiko seharusnya dilakukan sebelum kontrak ditandatangani, termasuk penilaian kapasitas finansial dan teknis kontraktor.
     

  2. Integrasi Teknologi Informasi.
    Mengadopsi sistem manajemen proyek berbasis digital (seperti BIM atau PMIS) untuk meningkatkan koordinasi dan pelacakan real-time.
     

  3. Peningkatan Kompetensi SDM Konstruksi.
    Pelatihan intensif bagi manajer proyek dan pengawas lapangan dalam hal time management dan pengendalian mutu.
     

  4. Kolaborasi Antarlembaga Pemerintah.
    Diperlukan SOP yang seragam dan harmonisasi lintas instansi agar birokrasi tidak menjadi penghambat.

 

Kesimpulan

Studi ini memperjelas bahwa keterlambatan proyek konstruksi bukan sekadar akibat teknis di lapangan, tapi mencerminkan kegagalan sistemik dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian proyek. Dengan mengidentifikasi 60 faktor penyebab keterlambatan dan mengelompokkan 30 di antaranya sebagai sangat berpengaruh, penelitian ini memberikan landasan yang kuat untuk pengambilan keputusan berbasis data dalam industri konstruksi, khususnya di Aceh.

Dampak keterlambatan tidak hanya finansial, tetapi juga sosial, terutama jika menyangkut infrastruktur dasar yang menyentuh kepentingan masyarakat luas. Oleh karena itu, penanganan persoalan ini membutuhkan kolaborasi lintas sektor, pendekatan preventif berbasis data, serta penerapan manajemen proyek yang lebih adaptif terhadap risiko.

 

Sumber:

Rauzana, A., & Dharma, W. (2022). Causes of delays in construction projects in the Province of Aceh, Indonesia. PLOS ONE, 17(1): e0263337.
DOI: https://doi.org/10.1371/journal.pone.0263337

 

Selengkapnya
Mengungkap Akar Keterlambatan Proyek Konstruksi di Aceh: Analisis Faktor Risiko dan Solusi Strategis

Kegagalan Kontruksi

Kegagalan Bangunan dan Tanggung Jawab Penyedia Jasa: Kajian UU Jasa Konstruksi 20

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 28 Mei 2025


Pendahuluan: Pentingnya Regulasi dalam Dunia Konstruksi

Industri konstruksi memiliki karakteristik risiko yang tinggi karena menyangkut aspek teknis, keselamatan, dan investasi besar. Maka dari itu, kegagalan bangunan bukan hanya persoalan teknis, tapi juga berdampak hukum yang signifikan. Artikel ini menyoroti bagaimana Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi mengatur pertanggungjawaban penyedia jasa bila terjadi kegagalan bangunan—baik dalam bentuk fisik, fungsi, maupun keamanan.

Tulisan ini menguraikan proses ganti rugi, peran penilai ahli, serta tanggung jawab hukum berdasarkan kontrak konstruksi yang berlaku. Dengan pendekatan normatif, penulis melakukan telaah mendalam terhadap pasal-pasal kunci dalam UU tersebut, serta menggambarkan implikasi praktis di lapangan.

 

Dasar Hukum: Struktur Tanggung Jawab dalam UU Jasa Konstruksi

UU No. 2 Tahun 2017 menjadi payung hukum utama yang menggantikan UU No. 18 Tahun 1999. Di dalamnya, istilah “kegagalan bangunan” dijelaskan sebagai keadaan bangunan yang tidak berfungsi secara teknis, manfaat, atau keselamatan akibat kesalahan pihak penyedia atau pengguna jasa. Beberapa poin kunci dari UU ini:

  • Pasal 60–67: Mengatur mekanisme tanggung jawab dan ganti rugi

  • Pasal 65: Menyatakan penyedia jasa bertanggung jawab maksimal 10 tahun setelah serah terima akhir

  • Pasal 61–62: Menyebutkan bahwa kegagalan hanya dapat ditetapkan oleh penilai ahli yang ditunjuk oleh Menteri
     

Penegasan ini menempatkan tanggung jawab sebagai komponen hukum utama dalam pelaksanaan proyek.

 

Analisis Faktor Hukum: Ganti Rugi sebagai Bentuk Pertanggungjawaban

 

Kapan Ganti Rugi Wajib Diberikan?

 

Berdasarkan Pasal 1248 KUH Perdata dan pasal dalam UU No. 2 Tahun 2017, ganti rugi wajib diberikan jika:

  • Terjadi kegagalan bangunan akibat kelalaian penyedia jasa

  • Pekerjaan tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak

  • Terdapat wanprestasi (ingkar janji) berupa:

    • Tidak melakukan apa yang dijanjikan

    • Melakukan tapi tidak sesuai janji

    • Melakukan terlalu lambat

    • Melakukan sesuatu yang dilarang
       

Contoh praktis:
Jika kontraktor membangun fondasi tidak sesuai RKS (Rencana Kerja dan Syarat), sehingga retak dalam 6 bulan, maka ia wajib mengganti kerugian atas pondasi itu, meski pekerjaan telah diserahterimakan.

 

Peran Kontrak dan Klausul Kegagalan Bangunan

 

Kontrak konstruksi menjadi instrumen penting dalam pembagian tanggung jawab. Beberapa hal yang harus dimuat:

  • Jangka waktu pertanggungjawaban

  • Risiko yang ditanggung masing-masing pihak

  • Skema ganti rugi dan penghentian kontrak
     

Namun praktik di lapangan sering menunjukkan bahwa banyak kontrak tidak memasukkan klausul kegagalan bangunan secara rinci, atau hanya menyalin format standar tanpa penyesuaian proyek.

 

Peran Penilai Ahli: Menjamin Objektivitas dan Keadilan

 

Penentu utama kegagalan bangunan bukan pemilik proyek atau kontraktor, tapi penilai ahli yang ditunjuk Menteri. Berdasarkan Pasal 61 UU No. 2/2017, penilai ahli harus:

  • Memiliki sertifikat keahlian sesuai jenis bangunan

  • Terdaftar secara resmi di kementerian terkait

  • Bekerja secara independen dan objektif
     

Tugas utama penilai ahli antara lain:

  • Menetapkan tingkat kerusakan dan penyebabnya

  • Menilai apakah standar keselamatan dan keberlanjutan dilanggar

  • Mengidentifikasi pihak yang bertanggung jawab

  • Memberikan rekomendasi untuk mencegah kegagalan serupa
     

 

Kritik dan Refleksi terhadap Implementasi UU

1. Kelemahan dalam Implementasi di Lapangan

Banyak pelaksana jasa konstruksi, khususnya di daerah, belum memahami struktur tanggung jawab ini secara utuh. Masih sering ditemukan:

  • Proyek berjalan tanpa dokumen kontrak yang lengkap

  • Penanggung jawab bangunan kabur setelah pekerjaan selesai

  • Penilaian kegagalan dilakukan tanpa penunjukan ahli resmi
     

2. Belum Optimalnya Pengawasan Teknis

Seringkali proyek tetap berjalan meski kualitas pelaksana rendah. Kurangnya pengawasan saat pengerjaan fisik memicu kegagalan struktur di masa mendatang.

 

Komparasi dengan Regulasi Negara Lain

 

Negara seperti Singapura dan Jepang menerapkan sistem tanggung jawab berjenjang:

  • Konsultan, kontraktor, dan pemilik proyek sama-sama dapat dimintai pertanggungjawaban

  • Skema asuransi decennial liability (10 tahun) wajib diterapkan

  • Pengujian kelayakan dilakukan rutin, bahkan setelah proyek selesai
     

Indonesia masih dalam tahap transisi menuju model ini, terutama dalam hal pendanaan dan kapasitas teknis SDM.

 

Kasus Terkini dan Relevansi Penelitian

 

Salah satu contoh kegagalan bangunan di Indonesia adalah runtuhnya balkon gedung sekolah di Malang tahun 2022. Penyelidikan mengungkap bahwa bahan yang digunakan tidak sesuai spesifikasi dan pemasangan tidak mengikuti standar. Akibatnya, pihak kontraktor diminta menanggung perbaikan total dan dikenakan denda.

 

Penelitian ini menjadi sangat relevan karena mempertegas bahwa:

  • Penegakan tanggung jawab bukan hanya melalui pidana, tetapi juga perdata melalui mekanisme kontrak

  • Mekanisme ganti rugi harus dimuat jelas sejak awal kontrak, bukan diselesaikan saat sengketa muncul

 

Rekomendasi Strategis

 

Bagi Pemerintah:

  • Perkuat peran penilai ahli melalui sistem sertifikasi digital dan pengawasan independen

  • Sosialisasi intensif kepada kontraktor kecil dan menengah tentang pasal-pasal kunci dalam UU No. 2/2017
     

Bagi Pengguna Jasa (Owner Proyek):

  • Pastikan kontrak memuat klausul kegagalan bangunan secara terpisah dari risiko umum

  • Gunakan kontrak berbasis kinerja (performance-based contract)
     

Bagi Penyedia Jasa:

  • Miliki asuransi pertanggungjawaban konstruksi (liability insurance)

  • Dokumentasikan setiap tahap pelaksanaan sebagai bukti pengendalian mutu
     

 

Kesimpulan

Kegagalan bangunan tidak lagi bisa dipandang sebagai risiko yang bisa dinegosiasi, tetapi harus menjadi tanggung jawab penuh berdasarkan hukum. UU No. 2 Tahun 2017 menegaskan bahwa penyedia jasa wajib memberikan ganti rugi maksimal 10 tahun sejak proyek diserahterimakan. Penilaian oleh ahli yang independen adalah jantung dari penentuan kesalahan dan skema pertanggungjawaban.

Penerapan regulasi ini secara disiplin akan melindungi tidak hanya kepentingan pengguna jasa, tetapi juga membentuk ekosistem konstruksi yang profesional, transparan, dan berorientasi pada kualitas dan keberlanjutan.

 

Sumber

Swita Bella, Said Aneke-R, & Frits Marannu Dapu.
Ganti Kerugian oleh Penyedia Jasa Apabila Terjadi Kegagalan Bangunan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
Jurnal Lex Privatum, Vol.XI/No.5/Jun/2023.
Universitas Sam Ratulangi, Fakultas Hukum.

 

Selengkapnya
Kegagalan Bangunan dan Tanggung Jawab Penyedia Jasa: Kajian UU Jasa Konstruksi 20

Teknologi Infrastruktur

Transformasi Infrastruktur Menuju Pembangunan Ekonomi yang Inklusif

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 28 Mei 2025


Pendahuluan: Infrastruktur sebagai Pilar Pemerataan Ekonomi

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan populasi sekitar 270 juta jiwa, Indonesia menghadapi tantangan luar biasa dalam membangun kesetaraan sosial dan ekonomi antar wilayah. Di tengah dominasi ekonomi yang selama ini terpusat di Pulau Jawa (menyumbang 58% PDB), pemerintah Indonesia menetapkan arah pembangunan yang lebih Indonesia-sentris melalui agenda Nawacita.

Laporan Infrastructure for Inclusive Economic Development: Lessons Learnt from Indonesia, yang disusun oleh berbagai pakar ekonomi dan lembaga kementerian, menjadi catatan penting atas bagaimana Indonesia mengakselerasi pembangunan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan.

 

Strategi Pembangunan Infrastruktur: Mobilisasi Semua Sektor

Pembangunan infrastruktur sejak 2016 difokuskan pada konektivitas antarpulau, pemerataan layanan dasar, serta peningkatan daya saing ekonomi daerah. Pemerintah meluncurkan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang pada 2022 mencakup 210 proyek senilai lebih dari Rp5.746 triliun, termasuk jalan tol, bendungan, bandara, pelabuhan, kawasan industri, dan sistem irigasi.

 

Beberapa capaian utama:

  • 153 PSN selesai pada 2016–2022 dengan nilai investasi total Rp1.040 triliun

  • 36 bendungan menghasilkan pasokan air bersih 2,73 miliar m³ dan mengairi 288.000 hektare lahan

  • 1.000+ km jalur rel dibangun di berbagai wilayah
     

Keberhasilan ini tak lepas dari kolaborasi lintas lembaga: Kementerian Keuangan, Bappenas, Kemenko Perekonomian, dan ERIA, dengan dukungan investasi swasta dan skema KPBU (kerja sama pemerintah dan badan usaha).

 

Dampak Langsung: Konektivitas, Investasi, dan Pertumbuhan Daerah

 

Pembangunan infrastruktur berdampak langsung terhadap ekonomi daerah. Studi dalam buku ini menggunakan pendekatan difference-in-differences terhadap proyek Tol Bakauheni–Terbanggi Besar, yang menunjukkan:

  • Pertumbuhan ekonomi daerah inti meningkat 7,6%

  • Akses ke air bersih dan sanitasi meningkat hingga 13%

  • Penurunan tingkat kemiskinan di wilayah terdampak
     

Selain itu, proyek SPAM (sistem penyediaan air minum) seperti Umbulan dan Bandar Lampung memperlihatkan penghematan pengeluaran air rumah tangga hingga Rp100.000 per bulan bagi rumah tangga berpendapatan rendah.

 

Analisis Tambahan: Tantangan Riil dan Solusi Inovatif

 

Meski pembangunan masif dilakukan, tantangan di lapangan masih nyata:

1. Pembebasan Lahan

Kendala ini menjadi penyebab utama molornya proyek. Beberapa proyek seperti pembangunan jalan dan bandara sempat tertunda bertahun-tahun karena negosiasi yang rumit. Pemerintah membentuk LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara) untuk mengelola pembiayaan lahan secara transparan.

2. Keterbatasan Pendanaan

Pasca krisis finansial Asia 1997, belanja infrastruktur Indonesia sempat turun drastis menjadi hanya 2% dari PDB. Kini, melalui penerbitan green sukuk dan skema obligasi berkelanjutan, Indonesia menjadi pelopor pembiayaan hijau di Asia Tenggara.

3. Kesenjangan Regional

Laporan menunjukkan bahwa 67,5% investasi PSN terkonsentrasi di Jawa. Kalimantan, Sulawesi, dan Papua masih menghadapi ketimpangan infrastruktur yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah.

 

Nilai Tambah: Kritik Konstruktif dan Arah Masa Depan

 

Perbandingan dengan Negara Lain:

  • Vietnam dan China berhasil menarik lebih banyak investasi asing langsung (FDI) dengan mengintegrasikan pembangunan infrastruktur dan reformasi regulasi bisnis.

  • Indonesia dapat meniru integrasi antara zoning industri, infrastruktur, dan insentif fiskal secara lebih sistemik.
     

Peluang:

  • Digitalisasi infrastruktur menjadi kunci. Layanan digital seperti logistik berbasis aplikasi, pembayaran tol non-tunai, hingga sensor pemantau air memungkinkan efisiensi lebih tinggi.

  • Infrastruktur hijau dan adaptif iklim semakin mendesak di tengah ancaman perubahan iklim. Buku ini mencatat bahwa Indonesia telah menerbitkan Green Sukuk senilai USD 3,2 miliar dalam kurun 2018–2022 untuk mendanai proyek berkelanjutan.
     

 

Kesimpulan: Infrastruktur Bukan Sekadar Beton dan Aspal

 

Resensi ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia telah berkembang dari sekadar pembangunan fisik menjadi instrumen untuk mencapai pemerataan ekonomi, transformasi digital, dan adaptasi iklim. Indonesia memang belum sepenuhnya setara dengan negara maju, namun langkah strategis melalui PSN menjadi bukti nyata bahwa infrastruktur adalah pendorong inklusivitas.

Untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, pembangunan infrastruktur harus terus diarahkan untuk:

  • Menutup kesenjangan regional

  • Menjawab tantangan iklim

  • Mendorong peran serta sektor swasta

  • Memastikan manfaat langsung ke masyarakat miskin dan daerah tertinggal
     

 

Sumber Resmi

Disusun oleh Sri Mulyani Indrawati dkk.
Dipublikasikan oleh Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Oktober 2023.
https://www.eria.org
ISBN: 978-602-5460-51-7

Selengkapnya
Transformasi Infrastruktur Menuju Pembangunan Ekonomi yang Inklusif

Konstruksi

Menakar Kompetensi Manajer Proyek Konstruksi dari Pihak Klien: Tantangan, Strategi, dan Rekomendasi di Indonesia

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 28 Mei 2025


Pendahuluan: Pentingnya Peran CPM dalam Proyek Publik

Dalam proyek konstruksi sektor publik, keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh kualitas rancangan atau besarnya anggaran, tetapi juga oleh kualitas manajemen proyek dari sisi pemilik proyek atau klien. Peran Client Project Manager (CPM) menjadi sangat vital karena mereka bertanggung jawab langsung dalam perencanaan, pengawasan, pengendalian biaya, dan jaminan mutu proyek. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kompetensi CPM kerap kali belum sejalan dengan tuntutan kompleksitas proyek yang mereka tangani.

Penelitian oleh Kartika Puspa Negara ini bertujuan mengisi kekosongan pengetahuan mengenai kondisi aktual kompetensi CPM di Indonesia, hambatan pengembangannya, dan strategi untuk memperkuat peran mereka di masa depan melalui sebuah kerangka kerja yang komprehensif.

 

Metodologi dan Pendekatan Penelitian

Penelitian menggunakan pendekatan mixed method—menggabungkan survei kuantitatif dan wawancara kualitatif. Survei dilakukan terhadap 147 CPM di tiga provinsi Indonesia, sedangkan 12 wawancara mendalam dilakukan dengan informan ahli yang relevan. Hasil dari kedua pendekatan ini kemudian dianalisis untuk mengidentifikasi gap antara kompetensi aktual dan kompetensi yang diharapkan atau diprioritaskan.

 

Delapan Kompetensi Utama yang Harus Diprioritaskan

Dari hasil penelitian, delapan kompetensi inti yang paling urgen dikembangkan oleh CPM Indonesia adalah sebagai berikut:

  • Teamwork
    Kemampuan bekerja sama lintas tim dan stakeholder menjadi krusial dalam proyek multi-pihak. CPM harus mampu menjembatani antara konsultan, kontraktor, dan pemilik proyek.
     

  • Decision Making
    Proyek publik memerlukan pengambilan keputusan cepat dan tepat. CPM dengan pengambilan keputusan yang lemah rentan menimbulkan keterlambatan dan pembengkakan biaya.
     

  • Technical Area
    CPM tidak selalu memiliki latar belakang teknik, namun mereka tetap perlu memahami aspek teknis untuk bisa mengelola proyek konstruksi secara menyeluruh.
     

  • Leadership
    Kemampuan memimpin tim proyek dan menjaga arah kerja tim menjadi faktor penting keberhasilan manajemen proyek.
     

  • Quality Management
    CPM berperan menjaga standar mutu pekerjaan melalui pengawasan dan validasi proses kerja, bukan hanya sebagai pengawas administratif.
     

  • Cost Management
    Kemampuan menyusun dan mengontrol anggaran proyek membantu mencegah pemborosan dan inefisiensi anggaran negara.
     

  • Integrity
    Etika kerja dan integritas tinggi sangat diperlukan karena posisi CPM berhubungan dengan pengelolaan dana publik.
     

  • Problem Solving
    Kemampuan menghadapi masalah teknis dan non-teknis di lapangan menjadi keterampilan yang wajib dimiliki.
     

 

Hambatan Utama dalam Pengembangan Kompetensi CPM

 

Penelitian ini mengidentifikasi sepuluh hambatan utama dalam pengembangan kompetensi CPM sektor publik di Indonesia, antara lain:

  • Beban kerja berlapis, banyak CPM juga menjabat sebagai kepala bidang lain

  • Rendahnya partisipasi dalam pelatihan karena waktu dan biaya

  • Tidak adanya jalur karier atau skema pengembangan yang jelas untuk posisi CPM

  • Minimnya fasilitasi teknologi digital seperti e-learning

  • Budaya kerja yang tidak mendorong pengembangan diri

  • Lemahnya dokumentasi dan berbagi pengetahuan dari proyek sebelumnya

  • Minimnya dukungan dari atasan atau manajemen puncak
     

Sebagian besar CPM menangani lebih dari tiga proyek sekaligus, menyebabkan keterbatasan waktu untuk pelatihan dan refleksi kompetensi.

 

Kerangka Kerja Pengembangan Kompetensi CPM

 

Kartika Puspa Negara menyusun sebuah framework pengembangan CPM dengan lima elemen strategis:

  • Metode pelatihan dan pengembangan: Perlu sistem pelatihan berbasis kebutuhan nyata dan variasi metode (klasikal, mentoring, on-the-job).

  • Standarisasi jalur menjadi CPM: Ada kebutuhan mendesak untuk membuat jalur karier yang jelas dan sistematis, dimulai dari proyek kecil hingga kompleks.

  • Sistem manajemen pengetahuan: Harus ada sistem dokumentasi pelajaran proyek dan forum pertukaran pengetahuan antarsesama CPM.

  • Budaya belajar: Pemerintah dan instansi harus menciptakan lingkungan kerja yang mendukung pembelajaran berkelanjutan dan reward sharing knowledge.

  • Dukungan sistemik: Dibutuhkan dukungan regulasi, anggaran, dan peran aktif manajemen untuk mewujudkan sistem pengembangan kompetensi ini.
     

Framework ini dapat dijadikan panduan nasional dalam pelatihan dan pengembangan CPM sektor publik.

 

Opini dan Nilai Tambah

 

Kelebihan studi ini:

  • Pendekatan gabungan (survei + wawancara) memberikan validitas tinggi

  • Fokus pada posisi CPM dari sisi klien, berbeda dengan banyak studi yang fokus pada kontraktor

  • Solusi konkret dalam bentuk framework
     

Kritik terhadap penelitian:

  • Wilayah studi hanya mencakup tiga provinsi sehingga generalisasi nasional masih terbatas

  • Tidak mencakup CPM sektor swasta, padahal mereka juga berperan penting

  • Framework belum diuji di lapangan (masih berupa rencana konseptual)
     

Perbandingan dengan studi lain:

 

Sebagian besar studi luar negeri (seperti Hwang & Ng, 2013) menyarankan bahwa CPM harus fokus pada aspek teknis. Namun, dalam konteks Indonesia, penelitian ini menunjukkan bahwa aspek non-teknis (leadership, integrity, teamwork) justru lebih krusial karena struktur birokrasi dan kompleksitas tata kelola proyek pemerintah.

 

Implikasi Praktis dan Rekomendasi

 

Untuk memaksimalkan implementasi dari temuan ini, beberapa langkah bisa diambil:

  • Pemerintah pusat dan daerah: Gunakan framework ini sebagai acuan dalam pengembangan pelatihan dan sistem karier CPM.

  • Lembaga pelatihan dan universitas: Sesuaikan kurikulum pelatihan CPM agar fokus pada delapan kompetensi inti.

  • CPM individu: Aktiflah mencari pelatihan tambahan, dokumentasikan pembelajaran proyek, dan terlibat dalam komunitas profesi.
     

 

Kesimpulan

Tesis ini berhasil menyajikan potret komprehensif kondisi aktual CPM di sektor publik Indonesia. Dengan menggabungkan data lapangan dan rekomendasi strategis, Kartika Puspa Negara tidak hanya mengidentifikasi permasalahan, tetapi juga merumuskan kerangka kerja sebagai solusi nasional.

Ke depan, jika framework ini diimplementasikan secara konsisten, maka kualitas manajemen proyek publik di Indonesia akan meningkat, yang pada akhirnya berdampak pada efisiensi anggaran negara dan kualitas layanan infrastruktur kepada masyarakat.

 

Sumber

Negara, K. P. (2022). Client Construction Project Manager Competency in Indonesia. Tesis, Queensland University of Technology.
Tersedia di: https://doi.org/10.5204/thesis.eprints.151987

 

Selengkapnya
Menakar Kompetensi Manajer Proyek Konstruksi dari Pihak Klien: Tantangan, Strategi, dan Rekomendasi di Indonesia

Teknologi Infrastruktur

Membaca Defisit Infrastruktur Indonesia dari Perspektif Developmentalist

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 28 Mei 2025


Pendahuluan

Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang dinamis, kerap dihadapkan pada tantangan infrastruktur yang kompleks. Dalam artikel ilmiah berjudul "Analysing Indonesia’s Infrastructure Deficits from a Developmentalist Perspective" karya Kyunghoon Kim (2021), penulis mengupas kegagalan reformasi institusional pasca-krisis Asia 1997 dan menawarkan pendekatan alternatif melalui kacamata developmentalist. Penelitian ini memberikan narasi baru bahwa kegagalan pembangunan infrastruktur di Indonesia bukan hanya akibat kelemahan tata kelola (good governance), melainkan juga akibat absennya kebijakan pembangunan yang proaktif.

 

Latar Belakang Historis: Dari Krisis ke Reformasi

 

Pasca-krisis moneter 1997–1998, Indonesia mengadopsi berbagai kebijakan reformasi institusional yang dikenal sebagai agenda good governance. Tujuannya adalah memperbaiki efisiensi investasi publik dan menarik investasi swasta. Namun, sebagaimana Kim tunjukkan, reformasi ini tidak berhasil sepenuhnya karena justru membuka ruang bagi para elit bisnis untuk menangkap institusi baru demi kepentingan pribadi. Korupsi masih merajalela, meskipun dalam bentuk dan jaringan yang lebih terdesentralisasi dibandingkan era Orde Baru.

 

Kelemahan Reformasi Institusional di Sektor Konstruksi

 

Reformasi di sektor konstruksi difokuskan pada tiga aspek utama: pendaftaran perusahaan, pengadaan publik, dan reformasi BUMN. Dalam implementasinya, ketiga aspek ini mengalami tantangan besar, terutama akibat lemahnya kapasitas institusi dan tingginya pengaruh kelompok kepentingan. Organisasi sektor seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) sering disusupi kepentingan asosiasi bisnis yang menciptakan hambatan masuk baru dan praktik rente terselubung.

 

Paradoks Pertumbuhan Konstruksi vs. Defisit Infrastruktur

 

Menariknya, meski pertumbuhan sektor konstruksi meningkat dari 5% menjadi 10,1% dari PDB antara 2000 hingga 2014, investasi infrastruktur justru menurun dari 7,8% menjadi hanya 2,7% dari PDB. Hal ini menunjukkan bahwa lonjakan aktivitas konstruksi lebih banyak diarahkan ke sektor properti komersial dan residensial, bukan proyek infrastruktur publik seperti jalan tol, pelabuhan, atau jalur kereta api.

 

Kebangkitan Strategi Developmentalist di Era Jokowi

 

Dari pertengahan 2010-an, strategi pembangunan negara mulai bergeser dari pendekatan liberal ke pendekatan negara-intervensionis. Presiden Joko Widodo secara eksplisit mendorong peran aktif BUMN dalam proyek infrastruktur besar. Data menunjukkan, pada 2015 untuk pertama kalinya belanja modal pemerintah melampaui subsidi BBM, dan pada 2019, anggaran infrastruktur empat kali lipat dari subsidi energi. Contohnya, proyek-proyek besar seperti jalan tol Trans-Jawa, kereta cepat Jakarta–Bandung, dan pembangunan pelabuhan menjadi bukti konkret dari strategi ini.

 

Peran SOEs: Antara Agen Pembangunan dan Instrumen Pasar

 

Salah satu aspek menarik dalam artikel ini adalah sorotan terhadap peran BUMN. Di satu sisi, mereka digunakan sebagai alat negara untuk mendorong pembangunan infrastruktur, tapi di sisi lain juga diarahkan untuk mengejar profitabilitas melalui privatisasi parsial. Perusahaan seperti Waskita Karya dan Wijaya Karya mengalami lonjakan posisi di bursa saham—Waskita naik dari peringkat 94 menjadi 16 antara 2014–2019. Namun, tekanan untuk menghasilkan laba membuat banyak BUMN enggan mengambil proyek berisiko tinggi, terutama di wilayah terluar.

 

Kritik terhadap Narasi ‘Good Governance’

 

Kim secara tajam mengkritik dominasi narasi good governance yang dianut lembaga keuangan internasional (IFIs). Menurutnya, narasi ini terlalu fokus pada institusi formal dan mengabaikan kenyataan bahwa reformasi sering kali ditunggangi oleh elite oligarki. Reformasi yang mestinya mendemokratisasi proses investasi publik justru melahirkan bentuk baru dari patronase dan rente. Kim juga menunjukkan bahwa agenda reformasi ini terlalu menekankan liberalisasi pasar dan peran swasta, tanpa memahami bahwa di negara seperti Indonesia, investasi swasta sangat bergantung pada dorongan awal dari negara.

 

Studi Perbandingan: Asia Timur vs. Indonesia

 

Dalam membandingkan pengalaman Indonesia dengan negara-negara Asia Timur seperti China dan Korea Selatan, terlihat perbedaan mencolok. Di negara-negara tersebut, pemerintah memainkan peran langsung dalam mobilisasi sumber daya dan penguatan sektor konstruksi. Di China, misalnya, 7,6% kontraktor SOE menghasilkan 40% output konstruksi nasional pada 1994. Sementara itu, Indonesia justru menarik diri dari pembangunan dan menyerahkan peran tersebut pada pasar yang belum siap.

 

Opini dan Nilai Tambah

 

Resensi ini mendukung argumen Kim bahwa pendekatan developmentalist lebih cocok untuk negara seperti Indonesia. Dengan kebutuhan besar akan infrastruktur dasar dan lemahnya pasar domestik, ketergantungan pada investasi swasta akan selalu timpang tanpa dukungan negara. Namun, strategi negara-intervensionis juga bukan tanpa risiko. Lonjakan utang BUMN, inefisiensi proyek, dan potensi korupsi tetap menjadi perhatian. Di sinilah pentingnya membangun keseimbangan antara penguatan peran negara dan tata kelola yang transparan.

 

Kaitannya dengan Tren Industri Saat Ini

 

Dalam konteks global, tren menuju state capitalism mulai terlihat kembali, terutama pasca pandemi COVID-19. Negara-negara semakin menyadari pentingnya peran negara dalam pembangunan infrastruktur untuk pemulihan ekonomi. Strategi Indonesia yang mengedepankan peran BUMN dalam pembangunan dapat dianggap selaras dengan tren ini. Namun, untuk menjamin keberlanjutan, dibutuhkan reformasi kebijakan fiskal, pengawasan proyek, serta transparansi dalam pengadaan.

 

Kesimpulan

 

Artikel ini memberikan kontribusi penting dalam wacana pembangunan Indonesia. Alih-alih menyalahkan kegagalan pada reformasi institusional yang belum matang, Kim mengajak pembaca untuk mempertimbangkan kembali pentingnya kebijakan pembangunan yang aktif dan terencana. Melalui pendekatan developmentalist, pemerintah diharapkan tidak hanya menjadi wasit, tetapi juga pemain utama dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif melalui pembangunan infrastruktur yang merata dan strategis.

 

 

Sumber
Kim, K. (2021). Analysing Indonesia’s Infrastructure Deficits from a Developmentalist Perspective. Competition & Change, Vol. 27(1), 115–142. DOI: 10.1177/10245294211043355

Selengkapnya
Membaca Defisit Infrastruktur Indonesia dari Perspektif Developmentalist

Manajemen Risiko

Mengungkap Tantangan Strategi Manajemen Risiko dalam Proyek Infrastruktur Publik

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 28 Mei 2025


Manajemen risiko merupakan komponen penting dalam pengelolaan proyek, terlebih dalam konteks proyek infrastruktur publik yang kompleks, penuh ketidakpastian, dan dikelola dalam lingkungan organisasi besar seperti lembaga pemerintah. Dalam tesis bertajuk “Challenges in Risk Management Strategies in Public Infrastructure Projects,” Dylan Vorgers secara mendalam mengeksplorasi bagaimana strategi manajemen risiko dipilih dalam proyek-proyek publik, serta apa saja faktor internal dan eksternal yang memengaruhi pilihan tersebut.

Melalui pendekatan kualitatif berbasis studi kasus terhadap Rijkswaterstaat—lembaga eksekutif dari Kementerian Infrastruktur dan Manajemen Air Belanda—penelitian ini tidak hanya mengupas proses teknis pengelolaan risiko, tetapi juga menyentuh sisi budaya organisasi, dinamika tim, dan tekanan akuntabilitas publik. Artikel ini akan membahas temuan utama dari tesis tersebut, disertai studi kasus, kutipan wawancara, dan data numerik, sekaligus mengaitkannya dengan tren manajemen proyek modern.

Mengapa Strategi Manajemen Risiko Itu Penting?

Proyek infrastruktur publik seperti pembangunan jalan, bendungan, atau sistem irigasi beroperasi dalam lingkungan yang dinamis dan tidak pasti. Hal ini ditandai oleh banyaknya pemangku kepentingan, regulasi ketat, dan ekspektasi publik yang tinggi. Dalam lingkungan seperti itu, risiko seperti perubahan iklim, keterlambatan kontraktor, atau resistensi dari masyarakat lokal dapat muncul dengan cepat dan sulit diprediksi.

Tesis ini menyoroti bagaimana tim manajemen proyek (PMT) menghadapi dilema dalam memilih strategi pengelolaan risiko: apakah mereka akan menghindari, menerima, mengendalikan, atau mentransfer risiko. Namun, kenyataannya, sebagaimana terungkap dalam riset, pilihan tersebut jarang menjadi keputusan eksplisit.

Studi Kasus Rijkswaterstaat: Realitas Lapangan yang Kompleks

Penelitian ini berfokus pada Rijkswaterstaat sebagai studi kasus utama. Organisasi ini bertanggung jawab atas berbagai proyek infrastruktur besar di Belanda, dan telah mengintegrasikan kerangka kerja manajemen risiko berdasarkan standar internasional seperti COSO-ERM dan ISO 31000.

Dalam studi ini, Dylan melakukan analisis terhadap 16 risk file dari proyek-proyek berbeda, termasuk proyek jalan, air, dan teknologi informasi. Proyek-proyek ini mencakup fase yang beragam—dari perencanaan hingga pelaksanaan akhir—sehingga memberikan cakupan data yang luas dan variatif.

Dari 16 risk file yang dianalisis, ditemukan bahwa 89% tindakan mitigasi risiko bersifat preventif, sedangkan hanya 11% yang bersifat korektif. Ini menunjukkan adanya kecenderungan kuat dalam organisasi untuk menghindari risiko ketimbang menerima atau menanganinya saat risiko tersebut benar-benar terjadi.

Temuan Utama: Kontrol Risiko Mendominasi

Salah satu hasil penting dari penelitian ini adalah kecenderungan dominan untuk menggunakan strategi kontrol risiko. Dalam wawancara dengan 15 anggota PMT, mayoritas menyatakan bahwa strategi pengendalian (controlling) menjadi pendekatan standar, meskipun tidak selalu melalui pertimbangan eksplisit antara empat strategi yang tersedia. Bahkan, beberapa responden tidak menyadari bahwa ada empat strategi utama dalam pengelolaan risiko.

Sebagai contoh, seorang manajer proyek mengatakan, “Kami terutama berusaha mengurangi peluang dan konsekuensi dari risiko.” Ini menunjukkan bahwa pendekatan default adalah pengendalian, bukan keputusan strategis yang didasarkan pada konteks atau analisis biaya-manfaat.

Kelemahan dari Pendekatan “Over-Control”

Strategi kontrol yang berlebihan membawa dampak tersendiri. Dalam proyek besar, banyaknya tindakan kontrol menyebabkan file risiko menjadi sangat besar dan kompleks. Hal ini justru membuat tim kesulitan untuk memantau dan mengelola risiko secara efektif. Salah satu manajer proyek menyatakan bahwa sulit untuk menjaga keterlibatan semua pihak terhadap daftar risiko yang terlalu panjang.

Fakta ini mencerminkan gejala "over-management" yang pernah dikritik oleh Mikes (2009) dan Power (2009), yaitu ketika perhatian terhadap risiko berlebihan justru melemahkan efisiensi proyek.

Peran Budaya Organisasi dan Akuntabilitas Publik

Penelitian ini mengungkap bahwa strategi manajemen risiko tidak hanya dipengaruhi oleh pertimbangan teknis, tetapi juga oleh faktor budaya organisasi. Dalam konteks Rijkswaterstaat, terdapat budaya yang sangat menekankan pada kontrol dan minimisasi risiko. Hal ini berkaitan erat dengan peran organisasi sebagai pelayan publik yang harus menjaga keselamatan dan keandalan infrastruktur nasional.

Sebanyak 7 dari 15 anggota tim PMT secara eksplisit menyebut bahwa “mengendalikan risiko adalah bagian dari budaya Rijkswaterstaat.” Nilai-nilai organisasi seperti “selalu ingin menunjukkan kontrol penuh” menjadikan penerimaan risiko sebagai hal yang tabu, karena dapat dianggap sebagai bentuk kelalaian atau ketidaksiapan.

Di sisi lain, akuntabilitas publik juga menjadi faktor penekan. Risiko yang direalisasi (materialized risks) bisa memicu pertanyaan dari parlemen atau pengawasan publik, sehingga mendorong organisasi untuk lebih memilih kontrol ketat ketimbang menerima risiko.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Strategi

Vorgers membagi faktor-faktor yang memengaruhi pemilihan strategi risiko menjadi dua kategori utama: faktor yang berasal dari tim proyek (PMT) dan faktor dari organisasi induk.

Dari sisi PMT, terdapat variasi persepsi risiko yang besar antar individu. Beberapa anggota tim bersifat risk-averse, sementara yang lain lebih toleran. Dalam sesi diskusi kelompok (risk sessions), perbedaan ini menjadi arena diskusi terbuka yang konstruktif. Salah satu responden menyatakan bahwa diskusi kolektif membantu menghindari penilaian risiko yang terlalu subjektif dan ekstrem.

Namun, efek seperti groupthink dan tekanan kelompok juga menjadi tantangan. Bila suasana tim tidak mendukung kritik terbuka, maka strategi yang dipilih bisa saja bias.

Dari sisi organisasi induk, selain budaya dan akuntabilitas publik, faktor seperti sistem pelaporan dan dokumentasi risiko juga berperan besar. Risk file tidak hanya digunakan untuk internal proyek, tetapi juga untuk laporan ke pemangku kepentingan, anggaran, dan negosiasi kontrak. Ini menyebabkan preferensi terhadap kuantifikasi risiko dalam angka (dampak waktu dan biaya), meskipun beberapa risiko tidak mudah dikalkulasikan secara matematis.

Implikasi Praktis dan Tantangan Strategis

Penelitian ini menyimpulkan bahwa kemampuan memilih strategi yang tepat sangat penting untuk efisiensi sumber daya proyek. PMT perlu diberi ruang untuk membuat penilaian strategis berdasarkan konteks, bukan sekadar mengikuti prosedur standar.

Empat tantangan utama yang diidentifikasi oleh Dylan Vorgers dalam tesis ini adalah:

  1. Meningkatkan Ketepatan Penilaian Risiko oleh PMT, dengan cara membangun keragaman pandangan dan budaya diskusi yang terbuka.
  2. Mengintegrasikan Nilai-Nilai Organisasi dalam Strategi Risiko, sehingga penerimaan risiko bukan lagi dianggap sebagai kelemahan, melainkan sebagai pilihan strategis dalam kondisi tertentu.
  3. Menyeimbangkan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif, terutama untuk risiko yang sulit diukur.
  4. Mengelola Tekanan Akuntabilitas Publik, tanpa mengorbankan efisiensi proyek. Hal ini membutuhkan transparansi dan edukasi publik tentang manajemen risiko.

Relevansi dengan Tren Industri Konstruksi dan Infrastruktur Global

Temuan dalam studi ini sangat relevan dengan situasi global, terutama di negara-negara dengan birokrasi besar dan proyek-proyek publik berskala raksasa. Dalam banyak proyek internasional seperti pembangunan bendungan di Ethiopia, proyek MRT di Jakarta, atau sistem pengolahan limbah di Jerman, tekanan untuk “tidak gagal” menyebabkan organisasi memilih pendekatan risk-averse yang ekstrem. Padahal, dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian, justru dibutuhkan fleksibilitas dan keberanian untuk menerima risiko tertentu.

Penelitian ini menambah kontribusi penting terhadap diskursus manajemen risiko proyek, terutama karena menyatukan pendekatan teoritis dengan praktik nyata di lapangan, serta memberikan bukti empiris dari organisasi kelas dunia.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Tesis Dylan Vorgers memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana strategi manajemen risiko dipraktikkan dalam proyek infrastruktur publik dan mengapa pendekatan yang terlalu kaku dapat menimbulkan inefisiensi. Organisasi publik perlu mengembangkan budaya risiko yang seimbang—berani menerima ketidakpastian saat memang diperlukan, dan fokus pada kontrol saat memang risiko dapat dikendalikan dengan efektif.

Pendekatan strategis semacam ini membutuhkan kepemimpinan organisasi yang visioner, sistem pelatihan yang baik bagi PMT, dan kerangka kerja yang mendukung penilaian kualitatif serta diskusi terbuka. Pada akhirnya, keberhasilan proyek publik tidak hanya bergantung pada seberapa banyak risiko yang dihindari, tetapi juga pada ketepatan strategi dalam mengelola risiko tersebut secara proporsional dan kontekstual.

Sumber Asli:
Vorgers, Dylan. Challenges in Risk Management Strategies in Public Infrastructure Projects. Master Thesis. University of Twente, Faculty of Engineering Technology, Civil Engineering and Management. 2020.

Selengkapnya
Mengungkap Tantangan Strategi Manajemen Risiko dalam Proyek Infrastruktur Publik
« First Previous page 202 of 1.196 Next Last »