Banjir Ciliwung

Menata Ulang DAS Ciliwung: Solusi Kelembagaan untuk Krisis Banjir dan Pertanian Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 16 Mei 2025


Krisis Lahan dan Banjir di DAS Ciliwung

Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung merupakan kawasan strategis yang membentang dari Kabupaten Bogor hingga DKI Jakarta. Sayangnya, kawasan ini juga menjadi ikon dari krisis tata ruang dan lingkungan yang akut. Dalam rentang 1981–1999, sekitar 14.860 ha lahan di hulu DAS telah dikonversi menjadi pemukiman, mengorbankan sawah, hutan, dan tegalan. Akibatnya, daya resap air berkurang drastis, debit air meningkat ekstrem di musim hujan, dan menurun tajam saat kemarau.

Konsekuensinya nyata: banjir tahunan Jakarta semakin parah, erosi meningkat, serta ketersediaan air irigasi untuk usahatani di wilayah tengah dan hilir terganggu. Studi BPDAS mencatat bahwa kontribusi aliran permukaan dari hilir mencapai 57,56%, menandakan bahwa kerusakan bukan hanya di hulu. Tata ruang yang tidak sesuai daya dukung wilayah memperparah masalah ini.

Solusi Non-Struktural: Kelembagaan sebagai Penjaga Lingkungan

Selama ini, penanganan banjir di DAS Ciliwung didominasi pendekatan struktural—membangun bendungan, normalisasi sungai, hingga pengerukan. Namun, upaya ini tidak menyentuh akar masalah: tata guna lahan yang amburadul dan lemahnya koordinasi antar-pemangku kepentingan.

Penelitian oleh Saridewi et al. (2014) menyarankan pendekatan kelembagaan sebagai solusi non-struktural yang lebih berkelanjutan. Mereka menggunakan kerangka Ostrom’s Institutional Analysis and Development (IAD), yang memandang partisipasi masyarakat, aturan main, dan kepemilikan lahan sebagai komponen kunci dalam pengelolaan kawasan.

Pendekatan IAD dan CPRs

Menurut teori Common Pool Resources (CPRs), DAS dan lahan pertanian adalah sumber daya bersama yang rawan eksploitasi berlebihan jika tidak diatur dengan mekanisme kelembagaan yang tepat. Dalam konteks Ciliwung, tanah milik negara (seperti sempadan sungai dan hutan lindung) sering diabaikan hak pengelolaannya, sementara tanah milik individu diubah fungsinya tanpa memperhatikan dampaknya.

Kerangka IAD menekankan pentingnya arena aksi di mana masyarakat, pemerintah, dan pemangku kebijakan berinteraksi untuk menentukan aturan bersama. Jika berhasil, partisipasi masyarakat bukan hanya memperkuat perlindungan DAS, tapi juga mendorong keberlanjutan usahatani.

Imbal Jasa Lingkungan: Contoh dan Potensi di Ciliwung

Salah satu instrumen yang relevan untuk memperkuat kelembagaan adalah mekanisme kompensasi atau imbal jasa lingkungan (payment for environmental services/PES). Hal ini telah berhasil diterapkan di Lombok, di mana masyarakat hilir membayar Rp1.000/bulan melalui PDAM sebagai kompensasi kepada petani di hulu yang menanam pohon kopi. Hasilnya, kualitas lingkungan membaik dan pendapatan petani meningkat.

Konsep ini relevan untuk diterapkan di Ciliwung. Pemerintah, PDAM, atau swasta dapat menjadi perantara transaksi antara masyarakat hilir yang membutuhkan air bersih dan masyarakat hulu yang menjaga tutupan lahan. Dengan regulasi seperti UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, skema PES bisa menjadi solusi finansial dan ekologis sekaligus.

Usahatani Berkelanjutan di Tengah Fragmentasi Lahan

Rata-rata petani di DAS Ciliwung hanya memiliki 0,12 ha lahan, terlalu kecil untuk dikelola secara efisien dan konservatif. Fragmentasi ini berkontribusi terhadap degradasi lahan dan air, karena petani kesulitan menerapkan teknologi ramah lingkungan.

Namun, jika petani diberi insentif melalui imbal jasa lingkungan, mereka akan terdorong untuk menjaga fungsi ekologis lahannya. Studi Wu et al. (2001) di Taiwan menunjukkan bahwa lahan sawah memiliki perkolasi 17% dan runoff 27%, lebih baik dibandingkan lahan kering. Ini berarti sawah punya kontribusi nyata dalam mencegah banjir dan mengisi cadangan air tanah.

Kelembagaan Petani: P3A dan HIPPA

Kelembagaan petani seperti Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan HIPPA di Brantas dapat diperluas perannya menjadi penjaga DAS. Mereka bisa diberi mandat mengelola dana imbal jasa lingkungan, sekaligus menjalankan konservasi lahan dan air di wilayah masing-masing.

Kritik dan Tantangan Implementasi

Meski pendekatan kelembagaan menjanjikan, implementasinya bukan tanpa tantangan:

  • Koordinasi Lintas Lembaga: DAS Ciliwung melintasi dua provinsi dan dikelola oleh banyak institusi. Lempar tanggung jawab kerap terjadi.
  • Minimnya Kesadaran Masyarakat: Tanpa edukasi dan insentif nyata, sulit mengubah perilaku masyarakat yang sudah terbiasa membuang limbah ke sungai.
  • Ketidaktegasan Regulasi: Batas sempadan sungai belum ditetapkan secara resmi, membuat penertiban bangunan liar menjadi sulit.

Meski begitu, pendekatan kelembagaan tetap layak diperjuangkan, apalagi jika dipadukan dengan teknologi spasial, data hidrologi real-time, dan insentif fiskal.

Penutup: Masa Depan DAS Ciliwung Ada di Tangan Kelembagaan

Penataan ruang yang mengintegrasikan kepentingan konservasi dan ekonomi secara simultan adalah kunci bagi keberlanjutan DAS Ciliwung. Jika kelembagaan dikuatkan—baik dari sisi aturan, partisipasi, maupun insentif—maka pemulihan DAS bukan hanya wacana, tapi keniscayaan.

Dengan pendekatan IAD dan instrumen PES, masyarakat bisa menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar objek kebijakan. Karena pada akhirnya, menjaga air berarti menjaga hidup.

Sumber:
Saridewi, T. R., Hadi, S., Fauzi, A., & Rusastra, I. W. (2014). Penataan ruang Daerah Aliran Sungai Ciliwung dengan pendekatan kelembagaan dalam perspektif pemantapan pengelolaan usahatani. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 32(2), 87–102.

Selengkapnya
Menata Ulang DAS Ciliwung: Solusi Kelembagaan untuk Krisis Banjir dan Pertanian Berkelanjutan

Optimasi Sumberdaya

Optimalisasi Alokasi Air di DAS Cicatih: Strategi Linier Hadapi Krisis Air 2025

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 16 Mei 2025


Latar Belakang Krisis Air di DAS Cicatih

Air adalah sumber daya yang makin langka dan kompetitif penggunaannya. Di Indonesia, ancaman krisis air diprediksi terjadi pada tahun 2025, sebagaimana diungkapkan oleh WWF II dan diperkuat oleh banyak studi nasional. Salah satu penyebab utama krisis ini adalah pengelolaan sumber daya air yang belum efisien dan tidak proporsional antar sektor.

Kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cicatih, yang berada di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, menjadi contoh nyata kompleksitas tantangan pengelolaan air. Sub DAS Cicatih Hulu misalnya, melayani kebutuhan 18 industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), lahan pertanian yang luas, serta penduduk yang terus bertambah. Persaingan antar sektor, khususnya antara industri, pertanian, dan rumah tangga, menjadi semakin tajam karena perubahan iklim dan konversi lahan pertanian ke non-pertanian.

Metodologi Linear Programming dalam Alokasi Air

Penelitian yang dilakukan oleh Waspodo et al. (2019) mengusulkan pendekatan pemrograman linier (linear programming/LP) untuk mengatasi tantangan ini. Metode LP digunakan untuk mengalokasikan sumber daya air yang terbatas agar kebutuhan sektor domestik, industri kecil, dan pertanian dapat dipenuhi secara optimal.

Tahap pertama melibatkan pengumpulan data: mulai dari debit sungai, debit mata air, curah hujan, data demografi, hingga harga dasar air untuk masing-masing sektor. Selanjutnya, proyeksi kebutuhan air dilakukan menggunakan model eksponensial untuk populasi, dan regresi linier untuk industri serta luas sawah beririgasi.

Dengan bantuan perangkat lunak Lingo 8.0, dibuatlah model fungsi tujuan dan fungsi kendala yang mempertimbangkan variabel harga air (Rp/liter), jumlah pengguna air, serta total debit dari sumber air permukaan dan mata air. Fungsi tujuannya adalah memaksimalkan profit dari distribusi air, sementara fungsi pembatasnya adalah keterbatasan debit.

Temuan Kunci dan Implikasi

Hasil proyeksi menunjukkan bahwa:

  • Kebutuhan air domestik tahun 2025 diperkirakan mencapai 274.717 m3/detik untuk melayani 1.083.817 jiwa.
  • Kebutuhan air industri kecil (sebanyak 123 unit) akan mencapai 259,39 m3/detik.
  • Kebutuhan air pertanian untuk mengairi lahan 13.037 ha diprediksi membutuhkan 452,33 m3/detik.

Adapun ketersediaan air:

  • Mata air: 5.624 liter/detik (diasumsikan konstan sepanjang tahun).
  • Air permukaan: berfluktuasi tergantung musim, namun cukup melimpah menurut simulasi.

Strategi Alokasi Air:

  • Domestik: diprioritaskan dari mata air, karena kualitasnya lebih baik dan kontinuitasnya terjaga.
  • Industri kecil: dipasok dari air permukaan karena mampu menanggung biaya lebih tinggi.
  • Pertanian: bisa menggunakan kombinasi mata air dan air permukaan.

Hasil simulasi LP menunjukkan bahwa ketersediaan air di DAS Cicatih mampu mencukupi seluruh kebutuhan tersebut hingga tahun 2025, dengan profit optimal mencapai Rp158.402.000, berdasarkan fungsi tujuan dari Lingo 8.0.

Kritik, Opini, dan Relevansi Praktis

Kekuatan Penelitian:

  • Pendekatan LP menawarkan solusi yang efisien dan berbasis data.
  • Model ini fleksibel untuk skenario perencanaan jangka panjang dan evaluasi multi-sektor.

Catatan Kritis:

  1. Asumsi Konstan: Ketersediaan debit dan harga air diasumsikan tetap, padahal realitasnya sangat fluktuatif karena iklim dan dinamika pasar.
  2. Tidak Memasukkan Urbanisasi: Kebutuhan air kota dan perubahan tata ruang (misalnya real estate) tidak dipertimbangkan.
  3. Konservasi Tidak Dibahas: Strategi untuk efisiensi air dan konservasi sumber daya belum disorot cukup dalam.

Komparasi dan Pengembangan:

Pendekatan LP ini bisa dibandingkan dengan sistem berbasis Decision Support System (DSS) atau integrasi dengan Internet of Things (IoT) untuk monitoring debit secara real-time. Bahkan, dengan kemajuan AI, model prediksi berbasis machine learning seperti Random Forest atau Long Short-Term Memory (LSTM) bisa dimanfaatkan untuk mengantisipasi anomali cuaca.

Kesimpulan: Strategi Linier untuk Ketahanan Air

Penelitian Waspodo dkk. memberikan kontribusi penting dalam merancang sistem alokasi air yang adil dan optimal di DAS Cicatih. Melalui pendekatan linear programming, ditemukan bahwa distribusi air bisa dilakukan secara efisien dengan tetap mempertimbangkan keperluan tiap sektor secara proporsional.

Namun, keberhasilan implementasi strategi ini di lapangan akan sangat bergantung pada pemutakhiran data secara berkala, pengawasan terhadap industri, serta penguatan kebijakan tata guna lahan dan konservasi air. Di tengah ancaman krisis air nasional, model seperti ini bisa menjadi blueprint manajemen sumber daya air terpadu di wilayah lain di Indonesia

Sumber:
Waspodo, R. S. B., Komariah, S., & Kusuma Dewi, V. A. (2019). Optimisasi alokasi sumberdaya air di DAS Cicatih, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Jurnal Keteknikan Pertanian, 7(3), 179–184.

 

Selengkapnya
Optimalisasi Alokasi Air di DAS Cicatih: Strategi Linier Hadapi Krisis Air 2025

Pengelolaan Waduk

Menyingkap Model Prakiraan Debit Waduk Kedung Ombo: Solusi Pintar untuk Krisis Air dan Optimalisasi SPAM

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 16 Mei 2025


Latar Belakang: Waduk Kedung Ombo dan Masalah Pengelolaannya

Waduk Kedung Ombo (WKO), salah satu infrastruktur air terbesar di Jawa Tengah, dirancang sebagai waduk multiguna: irigasi, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dan potensi penyediaan air baku. Namun, hingga saat ini, pemanfaatannya masih jauh dari optimal. Fenomena kekurangan air di musim kemarau dan limpasan air saat musim hujan adalah bukti nyata dari pengelolaan yang belum presisi. Permasalahan ini memunculkan urgensi penelitian yang tidak hanya fokus pada operasional teknis, tetapi juga pada prakiraan debit air yang akurat sebagai dasar pengambilan keputusan jangka panjang.

Tujuan Penelitian: Optimalisasi Melalui Prediksi Debit

Penelitian oleh Shanty Elizabeth Maretina Hutagalung dan Arwin Sabar ini mencoba menjawab tantangan tersebut dengan merancang model prakiraan debit yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan manajemen Waduk Kedung Ombo. Dengan menggabungkan dua pendekatan — korelasi spasial hujan-debit dan model stokastik Markov — studi ini menargetkan prakiraan yang andal untuk mendukung sistem penyediaan air minum (SPAM) di wilayah sekitarnya.

Metodologi: Dari Korelasi Spasial hingga Markov Chain

Korelasi Spasial Hujan dan Debit

Dalam metode korelasi spasial, peneliti memanfaatkan data historis hujan dan debit dari tahun 1991 hingga 2011. Beberapa kombinasi model digunakan, seperti:

  • PQ(Q1): Satu variabel hujan + satu variabel debit sebelumnya
  • QQ(Q1): Dua variabel debit tanpa hujan
  • PQQ(Q1): Satu hujan + dua debit sebelumnya
  • PPQ(Q1): Dua hujan + satu debit sebelumnya
  • PPP(Q1): Tiga variabel hujan saja

Hasilnya, model PQQ(Q1) menunjukkan korelasi tertinggi (R = 0,866) terhadap data aktual, menunjukkan bahwa kombinasi hujan dan dua debit historis paling efektif dalam memproyeksikan debit masa depan.

Model Markov 3 Kelas Orde Satu

Model stokastik Markov digunakan untuk menangani ketidakpastian aliran air. Dalam pendekatan ini, kejadian debit masa depan diasumsikan bergantung hanya pada kondisi sebelumnya, dengan membuat matriks transisi antar kelas debit. Hasilnya sangat mengesankan: koefisien korelasi mencapai 0,95, menjadikannya model terbaik dalam hal akurasi.

Hasil: Akurasi Tinggi dan Relevansi Lapangan

Hasil dari model-model ini menunjukkan bahwa:

  • Model yang melibatkan variabel debit lebih unggul daripada yang hanya mengandalkan data hujan.
  • Namun, memasukkan satu variabel hujan tetap memberikan peningkatan akurasi signifikan.
  • Model Markov secara statistik lebih unggul dari model kontinu spasial.

Gambar kalibrasi debit historis vs. prakiraan dari kedua metode menunjukkan pola yang hampir identik, menjanjikan untuk diterapkan dalam sistem operasional waduk secara nyata.

Nilai Tambah dan Kritik

Kekuatan

  • Kombinasi pendekatan deterministic dan probabilistik memberikan fleksibilitas tinggi dalam skenario perencanaan.
  • Penggunaan data historis 20 tahun memberi basis validasi yang kuat.

Kelemahan

  • Studi tidak memperhitungkan perubahan iklim atau anomali cuaca ekstrem.
  • Tidak ada integrasi dengan teknologi real-time atau sistem IoT.

Perbandingan dengan Studi Lain

Jika dibandingkan dengan model inflow reservoir berbasis machine learning seperti LSTM atau Random Forest yang kini populer, pendekatan ini kalah dalam adaptabilitas terhadap data non-linier, namun unggul dalam transparansi dan interpretabilitas hasil.

Implikasi Praktis dan Relevansi Industri

Temuan ini sangat relevan dengan konteks krisis air yang makin sering terjadi di Indonesia, khususnya di musim kemarau panjang. Dengan akurasi model mencapai 95%, Waduk Kedung Ombo berpotensi menjadi tulang punggung SPAM regional, sekaligus mendukung sektor irigasi dan energi secara simultan.

Selain itu, pendekatan seperti ini bisa menjadi blueprint untuk waduk-waduk besar lain di Indonesia, seperti Waduk Jatiluhur atau Cirata, terutama jika dikombinasikan dengan data satelit dan teknologi prediksi iklim.

Kesimpulan: Menuju Pengelolaan Waduk Berbasis Data

Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa prakiraan debit yang akurat dapat dicapai dengan menggabungkan korelasi spasial dan model stokastik Markov. Model PQQ(Q1) dan model Markov masing-masing memiliki keunggulan dalam representasi hubungan deterministik dan stokastik antar variabel hidrologi. Jika diintegrasikan dalam sistem pengelolaan waduk berbasis teknologi, temuan ini bisa menjadi solusi strategis menghadapi tantangan ketersediaan air di masa depan.

Sumber:
Hutagalung, S. E. M., & Sabar, A. (2015). Model prakiraan debit air dalam rangka optimalisasi pengelolaan Waduk Kedung Ombo. Jurnal Teknik Lingkungan, 21(1), 77–86.

 

Selengkapnya
Menyingkap Model Prakiraan Debit Waduk Kedung Ombo: Solusi Pintar untuk Krisis Air dan Optimalisasi SPAM

Pengelolaan Sumber

Resensi Kritis Konservasi dan Pengelolaan SDA di Kabupaten Klaten

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 16 Mei 2025


Pendahuluan: Ketika Air Tak Lagi Sekadar Alamiah

Air adalah sumber daya yang selalu dianggap tersedia, namun kini mulai menyusut karena eksploitasi berlebih dan tata kelola yang kurang bijak. Dalam konteks ini, penelitian yang dilakukan oleh Gudelia R. Jenahu, Nilam Aulia S.D., dan Djuhan N. Pakabu (2023) menjadi relevan dan penting. Fokusnya adalah pelaksanaan konservasi dan pengelolaan sumber daya air (SDA) secara berkelanjutan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Melalui pendekatan yuridis normatif, studi ini mengeksplorasi bagaimana regulasi nasional dan lokal diimplementasikan dalam praktik pengelolaan air tanah dan permukaan, serta bagaimana efektivitas kebijakan daerah menjawab tantangan ekologi dan kebutuhan masyarakat.

Regulasi sebagai Fondasi Konservasi

Penelitian ini mengacu pada beberapa perangkat hukum, antara lain:

  • UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air
  • PP No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan SDA
  • UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
  • Perda Klaten No. 9 Tahun 2012 tentang Pengelolaan SDA Tanah

Keempat regulasi ini digunakan sebagai tolok ukur dalam mengevaluasi sejauh mana konservasi dan pengelolaan SDA di Klaten berjalan sesuai amanat undang-undang.

Temuan Kunci: Antara Harapan Regulasi dan Realitas Lapangan

1. Pelestarian Air Tanah

Klaten mengembangkan program pelestarian air tanah yang bertujuan menjaga kualitas dan kuantitasnya, termasuk mencegah kerusakan ekosistem hidrogeologis. Ini mencakup:

  • Pengendalian ekstraksi air
  • Monitoring kondisi air tanah
  • Pelarangan aktivitas yang merusak area resapan

2. Pengawetan dan Resapan

Pengawetan air difokuskan pada efisiensi pemanfaatan serta peningkatan kapasitas resapan:

  • Edukasi penghematan air bagi warga
  • Revitalisasi sumur resapan
  • Insentif untuk bangunan ramah resapan air

3. Kualitas dan Pengendalian Pencemaran

Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan:

  • Pemetaan zona rawan pencemaran
  • Peraturan teknis bagi industri dan rumah tangga dalam membuang limbah
  • Penegakan hukum terhadap pelanggaran pembuangan limbah cair

Peran Pemerintah Daerah: Antara Pengatur dan Fasilitator

Pemerintah Kabupaten Klaten berperan ganda:

  • Sebagai regulator, melalui Perda No. 9/2012 yang menjadi payung hukum pelestarian air tanah
  • Sebagai pelaksana dan fasilitator, dalam mengembangkan program konservasi dan penyediaan air

Namun, tantangan utamanya adalah:

  • Keterbatasan dana dan SDM teknis
  • Rendahnya kesadaran masyarakat
  • Kurangnya sinergi antarinstansi dalam implementasi kebijakan

Studi Banding: Inspirasi dari Daerah Lain

Bandung

Penerapan Perda konservasi air tanah dikombinasikan dengan teknologi recharge well

Sleman

Model insentif pajak bagi pemilik bangunan yang membangun sumur resapan atau kolam retensi

Denpasar

Kampanye edukatif kolaboratif antara Pemda, LSM, dan komunitas warga dalam menjaga air tanah

Klaten bisa belajar dari pendekatan-pendekatan ini untuk memperkuat efektivitas regulasinya.

Kritik dan Opini

Penelitian ini berhasil mengurai kerangka regulasi konservasi SDA secara deskriptif dan sistematis. Namun, masih ada ruang perbaikan:

  • Belum ada data kuantitatif (misalnya tren debit air tanah, penurunan muka air)
  • Tidak disertakan analisis efektivitas penerapan sanksi atau penghargaan
  • Minim eksplorasi kolaborasi multipihak (swasta, LSM, akademisi)

Kekuatan studi ini adalah kemampuannya menunjukkan pentingnya sinergi antara regulasi dan praktik lokal yang kontekstual.

Rekomendasi Strategis

  1. Peningkatan kapasitas kelembagaan untuk pemantauan dan edukasi
  2. Pemanfaatan teknologi sensor untuk memantau kualitas dan debit air tanah
  3. Integrasi konservasi SDA dalam perencanaan ruang dan bangunan
  4. Revitalisasi partisipasi publik melalui kampanye air sebagai hak dan tanggung jawab bersama
  5. Evaluasi berkala efektivitas Perda No. 9/2012 dan penyesuaian dengan dinamika sosial-ekologis

Kesimpulan: Menuju Klaten Tangguh Air

Konservasi air di Klaten adalah cerminan tantangan nasional: antara kelimpahan potensi dan keterbatasan dalam pengelolaan. Penelitian ini memberi gambaran jelas bahwa keberhasilan konservasi tidak hanya bergantung pada regulasi, tapi pada daya eksekusi pemerintah daerah dan keterlibatan warga.

Dengan memperkuat kebijakan berbasis data, edukasi, dan kolaborasi lintas sektor, Klaten bisa menjadi pionir konservasi air tanah di Jawa Tengah dan bahkan nasional.

Sumber:
Jenahu, G. R., Aulia, N. S. D., & Pakabu, D. N. (2023). Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Air Berkelanjutan di Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Seminar Nasional SEMSINA 2023, ITN Malang.

 

Selengkapnya
Resensi Kritis Konservasi dan Pengelolaan SDA di Kabupaten Klaten

Teknologi SIG

Pemetaan Kemiskinan dan Gizi Buruk di Jawa Timur: Solusi SIG untuk Kebijakan Efektif

Dipublikasikan oleh pada 16 Mei 2025


Pendahuluan

Paper ilmiah yang berjudul "Sistem Informasi Geografis untuk Pemetaan Kemiskinan dan Gizi Buruk di Jawa Timur" menyajikan penelitian tentang pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam mengidentifikasi daerah miskin dan gizi buruk. Paper ini ditulis oleh Yuniar Kurnianingtyas dan Fajar Astuti Hermawati, diterbitkan dalam Jurnal KONVERGENSI, Volume 13, Nomor 1, Januari 2017. Fokus utama penelitian ini adalah pemetaan spasial kemiskinan dan gizi buruk dengan memanfaatkan SIG berbasis web, guna membantu pemerintah dalam pengambilan kebijakan yang lebih tepat sasaran.

Latar Belakang

Provinsi Jawa Timur memiliki jumlah penduduk miskin yang signifikan, mencapai sekitar 4,7 juta jiwa pada tahun 2013. Selain itu, Jawa Timur juga menyumbang angka gizi buruk tertinggi di Indonesia, dengan lebih dari 11.000 kasus pada tahun yang sama. Masalah ini memerlukan solusi berbasis data spasial agar kebijakan dapat diarahkan lebih tepat.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Sistem Informasi Geografis (SIG) berbasis web untuk pemetaan kemiskinan dan gizi buruk. Data dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur dan Dinas Kesehatan. Pemetaan dilakukan dengan memadukan data spasial dan data sosial ekonomi, seperti jumlah rumah tangga miskin, penyebaran gizi buruk, dan fasilitas kesehatan.

Teknik Analisis

Analisis dilakukan dengan memetakan data spasial melalui layer SIG, termasuk layer desa, layer kemiskinan, dan layer gizi buruk. Teknik intersection digunakan untuk menganalisis tumpang tindih data antara daerah miskin dan daerah gizi buruk, sehingga dapat diidentifikasi wilayah yang memerlukan perhatian khusus.

Studi Kasus & Data

Pada studi kasus pemetaan kemiskinan di Surabaya, data menunjukkan bahwa daerah dengan kepadatan penduduk tinggi cenderung memiliki angka kemiskinan yang lebih besar. Selain itu, peta gizi buruk menunjukkan konsentrasi kasus di daerah pesisir dengan akses kesehatan yang terbatas. Data ini sejalan dengan penelitian Thongdara & Tibkaew (2012) tentang pemetaan kemiskinan di Thailand yang juga menemukan korelasi antara kepadatan penduduk dan kemiskinan.

Analisis dan Nilai Tambah

Penelitian ini menunjukkan bahwa SIG sangat efektif dalam menampilkan data spasial kemiskinan dan gizi buruk secara komprehensif. Namun, ada kelemahan dalam keterbaruan data, terutama karena perubahan sosial ekonomi yang cepat. Penggunaan data real-time dan pembaruan rutin akan meningkatkan akurasi pemetaan.

Implikasi Praktis

Temuan ini berguna bagi pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan berbasis data spasial. Dengan pemetaan berbasis SIG, daerah prioritas intervensi dapat diidentifikasi lebih cepat. Hal ini penting terutama dalam distribusi bantuan sosial dan penyediaan layanan kesehatan.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Berbeda dengan penelitian Akinyemi (2008) di Rwanda yang menggunakan SIG untuk pemetaan ekonomi secara nasional, penelitian ini lebih fokus pada isu lokal di Jawa Timur. Pendekatan berbasis web juga mempermudah akses bagi pemangku kepentingan di daerah.

Kesimpulan

Paper ini memberikan kontribusi penting dalam penggunaan SIG untuk pemetaan masalah sosial di Jawa Timur, terutama dalam konteks kemiskinan dan gizi buruk. Dengan implementasi yang tepat, SIG dapat menjadi alat penting dalam mendukung kebijakan pengentasan kemiskinan secara lebih terstruktur.

Sumber

Penelitian ini dapat diakses melalui Jurnal KONVERGENSI melalui tautan: https://doi.org/10.30996/konv.v13i1.2750.

 

Selengkapnya
Pemetaan Kemiskinan dan Gizi Buruk di Jawa Timur: Solusi SIG untuk Kebijakan Efektif

Pengelompokan Data

Analisis Pengelompokan Ekonomi Kabupaten di Jawa Timur: Temuan dan Implikasi Praktis

Dipublikasikan oleh pada 16 Mei 2025


Pendahuluan

Paper ilmiah yang berjudul "Pengelompokan Kabupaten/Kota Berdasarkan Indikator Pembangunan Ekonomi dan Potensi Daerah Provinsi Jawa Timur Menggunakan Similarity Weight and Filter Method (SWFM)" menyajikan penelitian tentang pengelompokan daerah berdasarkan indikator ekonomi dan potensi lokal. Paper ini ditulis oleh Renaldy Aprevia Lutfi dan dibimbing oleh Dr. Dra. Ismaini Zain, M.Si., diterbitkan oleh Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, pada tahun 2018. Fokus utama penelitian ini adalah mengelompokkan daerah di Jawa Timur menggunakan metode SWFM untuk mengatasi ketimpangan pembangunan.

Latar Belakang

Provinsi Jawa Timur menghadapi masalah ketimpangan ekonomi antara kabupaten/kota, meskipun tingkat pertumbuhan ekonominya mencapai 5,45% pada tahun 2017. Penelitian ini mencoba mengidentifikasi kelompok daerah berdasarkan indikator ekonomi dan potensi lokal untuk mendukung kebijakan pemerataan.

Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan adalah Similarity Weight and Filter Method (SWFM) yang memungkinkan penggabungan data numerik dan kategori tanpa perlu transformasi. Data yang digunakan berasal dari BPS Jawa Timur dan melibatkan 38 kabupaten/kota dengan variabel ekonomi dan potensi daerah. Pengelompokan dilakukan dengan teknik ward untuk data numerik dan metode k-modes untuk data kategori.

Teknik Analisis

Teknik ward digunakan untuk mengelompokkan data numerik seperti PDRB per kapita, IPM, dan angka partisipasi sekolah, sedangkan k-modes diterapkan pada data kategori seperti ketinggian wilayah dan status daerah utama. Hasilnya menunjukkan pembagian daerah dalam lima kelompok optimum dengan variasi karakteristik ekonomi dan potensi daerah.

Studi Kasus & Data

Hasil pengelompokan menunjukkan adanya lima kelompok kabupaten/kota dengan karakteristik yang berbeda. Kabupaten di dataran tinggi cenderung memiliki potensi pertanian, sementara daerah pesisir memiliki potensi industri perikanan. Kabupaten Surabaya dan Malang tergabung dalam kelompok dengan ekonomi kuat, sedangkan daerah pedalaman lebih fokus pada pertanian.

Analisis dan Nilai Tambah

Penggunaan metode SWFM menunjukkan efektivitas dalam mengelompokkan daerah dengan variabel campuran. Namun, ada kelemahan dalam pembaruan data karena perubahan ekonomi yang dinamis. Sebagai solusi, pembaruan data secara berkala perlu dilakukan untuk menjaga validitas hasil pengelompokan.

Implikasi Praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk merumuskan kebijakan pembangunan berbasis potensi lokal. Dengan adanya pembagian kelompok yang jelas, alokasi sumber daya dapat dilakukan lebih tepat sasaran.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Studi ini sejalan dengan penelitian Prakoso (2017) yang juga menggunakan SWFM pada pengelompokan sekolah di Sidoarjo, tetapi dengan fokus berbeda. Selain itu, penelitian oleh Putri (2017) menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi Jawa Timur masih menjadi isu penting yang perlu diatasi melalui kebijakan berbasis data.

Kesimpulan

Paper ini memberikan kontribusi penting dalam memahami pola pembangunan ekonomi di Jawa Timur melalui metode SWFM. Namun, penelitian lanjutan perlu mempertimbangkan perubahan data secara real-time untuk memperkuat akurasi pengelompokan.

Sumber

Penelitian ini dapat diakses melalui Tugas Akhir Renaldy Aprevia Lutfi di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, 2018.

 

Selengkapnya
Analisis Pengelompokan Ekonomi Kabupaten di Jawa Timur: Temuan dan Implikasi Praktis
« First Previous page 192 of 1.137 Next Last »