Transformasi Lingkungan Dimulai dari Rumah: Inovasi Air Hujan dan Minyak Jelantah oleh Ibu-Ibu PTPN-III Sei Mangkei

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

04 Juni 2025, 07.30

pixabay.com

Indonesia adalah negeri tropis dengan curah hujan melimpah, tetapi ironi justru terjadi saat banjir dan kekeringan datang silih berganti. Di sisi lain, minyak jelantah—produk sisa dari kegiatan dapur rumah tangga—masih banyak dibuang sembarangan ke selokan, mencemari tanah dan air. Masalahnya bukan pada ketiadaan teknologi, tapi pada rendahnya kesadaran masyarakat.

Artikel ini merefleksikan bagaimana program pengabdian kepada masyarakat di Desa Sei Mangkei, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, berhasil mengubah paradigma ibu rumah tangga tentang pentingnya mengelola air hujan dan minyak jelantah. Program ini diinisiasi oleh tim dosen dari Universitas Asahan dan Universitas Al-Azhar Medan, dengan pendekatan ceramah, pelatihan, dan praktik langsung.

Tujuan Penelitian dan Konteks Sosial

Tujuan utama kegiatan ini adalah edukasi lingkungan berbasis rumah tangga. Dua hal yang disoroti:

  1. Mengubah paradigma masyarakat tentang pemanfaatan air hujan sebagai sumber air alternatif.
  2. Mengedukasi risiko minyak jelantah dan mengajarkan teknik pengolahan menjadi produk bermanfaat, seperti sabun dan biodiesel.

Mitra kegiatan adalah Ikatan Keluarga Besar Istri (IKBI) karyawan PTPN-III Sei Mangkei, terdiri dari 25 ibu rumah tangga dengan mayoritas berusia 28–37 tahun (36%) dan tingkat pendidikan terbanyak SMA (48%).

Air Hujan: Sumber Daya yang Terbuang

Masalah Umum

Meskipun air hujan melimpah di Indonesia, justru sering kali dianggap masalah karena:

  • Tidak ditampung → menyebabkan genangan dan banjir lokal.
  • Tidak dimanfaatkan → padahal bisa digunakan untuk mandi, cuci, siram tanaman, bahkan air minum jika diolah.

Referensi dari Lestari et al. (2021) menyebutkan bahwa pemanenan air hujan (PAH) belum menjadi praktik umum padahal potensinya besar, terutama untuk kebutuhan non-potable (tidak untuk dikonsumsi langsung).

Teknologi PAH yang Diterapkan

Metode pemanenan air hujan dalam kegiatan ini menggunakan pendekatan sederhana yang bisa diaplikasikan di lingkungan rumah tangga:

  • Pipa dari talang atap → menyalurkan air hujan ke bak pertama.
  • Bak penampung awal ukuran 120×40 cm → menampung air awal dan menyaring kotoran besar.
  • Saluran filtrasi berisi pasir dan kerikil → menyaring partikel halus.
  • Bak utama ukuran 500×40 cm → menampung air jernih hingga 10–12 m³.
  • Sumur resapan ukuran 100×250 cm → menjaga keseimbangan air tanah, dilapisi ijuk dan kerikil.

➡️ Total kapasitas sistem ini mampu menampung lebih dari 10.000 liter air bersih dari satu atap rumah.

Minyak Jelantah: Limbah yang Bisa Jadi Berkah

Risiko Minyak Jelantah

Minyak goreng bekas yang digunakan berulang dapat menghasilkan senyawa karsinogenik akibat:

  • Oksidasi termal,
  • Polimerisasi suhu tinggi,
  • Autooksidasi oleh paparan udara.

Megawati & Muhartono (2019) menyebutkan bahwa penggunaan minyak lebih dari empat kali dengan suhu di atas 100°C dapat memicu terbentuknya radikal bebas pemicu kanker dan gangguan jantung.

Potensi Minyak Jelantah sebagai Produk Baru

Program ini mengenalkan ibu-ibu IKBI PTPN-III pada dua aplikasi minyak jelantah:

  1. Sabun padat (batangan):
    • Dicampur dengan KOH (kalium hidroksida),
    • Dipanaskan dan diaduk hingga membentuk pasta sabun.
  2. Biodiesel:
    • Disuling dan direaksikan dengan metanol,
    • Menghasilkan biofuel untuk kompor atau bahkan motor diesel kecil.

Menurut Suryatini & Milati (2022), potensi minyak jelantah skala rumah tangga di Indonesia mencapai 1,638 juta liter biodiesel/tahun, jika dikelola dengan baik.

Implementasi Program dan Hasil Kegiatan

Rangkaian Kegiatan

  • Ceramah dan Diskusi:
    Menjelaskan teori dasar, bahaya minyak jelantah, dan manfaat air hujan.
  • Pelatihan dan Praktik Langsung:
    Pembuatan sistem PAH dan sabun dari minyak jelantah secara kolektif.

Studi Kasus: Ibu-Ibu IKBI PTPN-III Sei Mangkei

Jumlah peserta: 25 orang
Rentang usia terbanyak: 28–37 tahun (36%)
Pendidikan terbanyak: SMA (48%)
Tingkat antusiasme: Tinggi (partisipatif aktif dalam pelatihan dan diskusi)

Analisis Kuantitatif: Perubahan Pengetahuan Sebelum dan Sesudah Kegiatan

Evaluasi dilakukan dengan menyebarkan kuesioner pada awal dan akhir kegiatan, dengan hasil sebagai berikut:

Indikator 1 – Pengetahuan tentang air hujan

  • Sebelum: 50% tidak tahu, 20% tahu
  • Sesudah: 0% tidak tahu, 80% tahu/sangat tahu

Indikator 2 – Pengetahuan tentang sistem PAH

  • Sebelum: 50% tidak tahu
  • Sesudah: 80% tahu/sangat tahu

Indikator 3 – Pengetahuan tentang minyak jelantah

  • Sebelum: 65% tidak tahu
  • Sesudah: 95% tahu/sangat tahu

➡️ Terjadi transformasi paradigma signifikan, terutama dalam hal kesadaran dampak limbah dan pemanfaatan air.

Opini dan Analisis Kritis: Apa yang Bisa Ditingkatkan?

Pendekatan Sosial Berbasis Komunitas Efektif

Kunci keberhasilan kegiatan ini bukan hanya teknologi yang sederhana, tapi juga pendekatan sosial yang tepat. Dengan menyasar kelompok ibu rumah tangga, dampak edukatifnya menyebar ke seluruh keluarga.

Desain Sistem Mudah Direplikasi

Sistem PAH berbasis pipa, pasir, dan kerikil bisa dibangun dengan biaya rendah. Ini menjadikannya cocok untuk kawasan pedesaan maupun kota pinggiran.

Tantangan Lanjutan

  • Pemeliharaan sistem PAH: Belum dijelaskan teknis perawatan filter dan bak.
  • Sertifikasi produk sabun/biodiesel: Perlu tindak lanjut bila produk ingin dijual.
  • Legalitas dan kemitraan: Perlu sinergi dengan dinas lingkungan atau UMKM agar program berkelanjutan.

Komparasi dengan Program Serupa

  • Program di Lampung Selatan (Nury et al., 2022): Fokus pada pelatihan sabun dari minyak bekas, tanpa sistem air hujan.
  • Pemanenan air hujan di Kota Serang (Wigati et al., 2022): Fokus pada PAH untuk ketahanan air saat pandemi, tapi tanpa edukasi pengolahan limbah rumah tangga.

➡️ Program di Sei Mangkei lebih holistik karena menggabungkan dua isu besar sekaligus: air bersih dan limbah dapur.

Rekomendasi Strategis dan Replikasi Program

  1. Integrasi dalam CSR perusahaan BUMN lain:
    Program ini bisa jadi model CSR berkelanjutan di sektor sawit, energi, maupun logistik.
  2. Kemitraan dengan Dinas Lingkungan Hidup dan UMKM:
    Sabun atau biodiesel dari rumah bisa jadi komoditas ekonomi baru jika diorganisasi.
  3. Kurikulum PAUD/SD/PKK:
    Ajarkan PAH dan pengelolaan jelantah sejak dini sebagai bagian dari edukasi lingkungan hidup.
  4. Platform digital monitoring:
    Aplikasi sederhana untuk mencatat volume air tertampung atau minyak terolah di setiap rumah.

Kesimpulan: Perubahan Paradigma Dimulai dari Kesadaran

Pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh Zufri Hasrudy Siregar dan timnya bukan hanya mengubah perilaku harian, tapi juga membuka mata tentang potensi besar dari sumber daya yang selama ini dianggap limbah. Air hujan bisa menggantikan air PAM dalam banyak fungsi rumah tangga. Minyak jelantah yang semula merusak, bisa menjadi sabun atau energi terbarukan.

Di tengah krisis iklim dan polusi yang semakin nyata, program seperti ini menjadi angin segar. Terbukti, perubahan tidak selalu butuh teknologi tinggi. Kadang cukup dimulai dari ember di bawah talang dan minyak di dapur yang tidak dibuang sembarangan.

Sumber Asli Artikel:

Zufri Hasrudy Siregar, Mawardi, Riana Puspita, Muhammad Fazri, Refiza, Muhammad Irwansyah, dan Simon Petrus Simorangkir. Pemanfaatan Air Hujan dan Minyak Jelantah sebagai Kepedulian Lingkungan di Ikatan Keluarga Besar Istri (IKBI) PTPN-III Desa Sei Mangkei. Vol. 3, No. 2, Juli 2023. DOI: 10.54123/deputi.v3i2.276.