Konstruksi

Transformasi Evaluasi Kinerja Proyek Konstruksi di Negara Berkembang: Perspektif Baru yang Lebih Komprehensif

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025


Pendahuluan

 

Proyek konstruksi memainkan peranan vital dalam pertumbuhan ekonomi, khususnya di negara berkembang. Namun, efektivitas implementasinya kerap terganggu oleh masalah keterlambatan, pembengkakan biaya, hingga dampak lingkungan. Dalam paper berjudul "The Changing Face of Performance Evaluation among Construction Projects in Developing Countries" karya Joseph Makori, disajikan kerangka teoritis untuk mengevaluasi kinerja proyek konstruksi berdasarkan enam indikator utama: waktu, biaya, kualitas, keselamatan, minimnya sengketa, dan dampak lingkungan. Artikel ini tidak hanya menyuguhkan analisis literatur, tetapi juga membangun proposisi hubungan antara faktor keberhasilan dan kinerja proyek secara menyeluruh.

 

Menggugat Paradigma Tradisional: Dari Segitiga Besi ke Pendekatan Holistik

 

Selama beberapa dekade, evaluasi proyek konstruksi hanya berpusat pada tiga elemen klasik: waktu, biaya, dan kualitas, yang dikenal dengan sebutan "iron triangle." Namun pendekatan ini dianggap terlalu sempit. Penelitian Makori mendorong evolusi paradigma dengan menambahkan indikator keselamatan, minim sengketa, dan dampak lingkungan sebagai metrik penting dalam menilai keberhasilan proyek. Hal ini sejalan dengan pendekatan keberlanjutan dan peningkatan kepuasan masyarakat dalam proyek publik.

 

Kerangka Evaluasi: KPI dan Faktor Keberhasilan Kritis (CSF)

 

Penelitian ini menyusun enam Key Performance Indicators (KPI):

 

1. Waktu penyelesaian

2. Biaya proyek

3. Kualitas bangunan

4. Keselamatan kerja

5. Minim sengketa di lokasi

6. Dampak terhadap lingkungan

 

Untuk mengukur KPI ini, ditetapkan pula enam Critical Success Factors (CSF):

 

Faktor terkait proyek (lokasi, ukuran, kompleksitas)

Faktor terkait klien (pengalaman, kemampuan membayar)

Faktor konsultan (kejelasan desain, dokumen proyek)

Faktor kontraktor (keterampilan teknis, pengelolaan lokasi)

Faktor rantai pasok (material, tenaga kerja, alat)

Faktor eksternal (kondisi ekonomi, cuaca, kebijakan publik)

 

Studi Kasus: Survei Pakar dan Penerapan Lapangan

 

Makori menguji kerangka teoritis ini melalui survei kepada lima pakar di Kenya yang terdiri dari akademisi, kontraktor, dan pejabat publik. Hasilnya, seluruh KPI dan CSF dianggap relevan. Menariknya, indikator kepuasan masyarakat akhirnya dikesampingkan karena dipandang lebih sebagai akibat dari performa proyek, bukan ukuran langsungnya.

 

Di tahap lanjutan, kerangka kerja diuji pada 12 responden dari 10 proyek berbeda di Busia County, Kenya. Hasilnya menunjukkan bahwa para pelaku proyek memahami pentingnya KPI dan CSF, namun klasifikasi antar faktor masih tumpang tindih.

 

Analisis Kritis: Kekuatan dan Keterbatasan Pendekatan Makori

 

Nilai Tambah:

 

Komprehensif dan relevan: Menggabungkan dimensi keberlanjutan dan sosial yang selama ini diabaikan.

Adaptif terhadap konteks lokal: Dengan studi kasus di Kenya, kerangka ini dapat direplikasi pada konteks negara berkembang lain seperti Indonesia.

Struktur sistematis: Diagram hubungan antar faktor (lihat Gambar 1 dalam paper) memudahkan pemetaan penyebab dan akibat.

 

Keterbatasan:

 

Kurangnya pengujian empiris: Meskipun kerangka kerja solid, validitasnya belum diuji secara statistik.

Potensi tumpang tindih antar CSF: Sejumlah faktor bisa masuk ke lebih dari satu kategori, yang dapat menimbulkan kebingungan saat implementasi.

Tidak ada data kuantitatif: Penelitian masih dalam tahap teoritis dan survei terbatas.

 

 

Perbandingan dengan Penelitian Sejenis

 

Berbeda dengan penelitian Atkinson (1999) yang juga menggugat model "iron triangle" namun tidak menyertakan dimensi lingkungan, Makori melangkah lebih jauh dengan menjadikan dampak lingkungan dan sengketa sebagai variabel utama. Sementara itu, penelitian oleh Chan dan Tam (2000) memetakan penyebab keterlambatan dan penurunan kualitas, tetapi tidak menyusun kerangka evaluasi seperti yang dilakukan Makori.

 

Implikasi Praktis untuk Industri Konstruksi

 

Bagi manajer proyek, kerangka ini dapat dijadikan panduan komprehensif untuk:

  • Menentukan indikator performa sejak tahap perencanaan.
  • Mempetakan risiko berdasarkan faktor internal dan eksternal.
  • Meningkatkan transparansi dalam evaluasi proyek publik.
  • Mendorong pembangunan yang lebih ramah lingkungan dan bebas konflik.

 

Penutup: Arah Baru Evaluasi Kinerja Proyek Konstruksi

 

Makori memberikan kontribusi penting terhadap literatur manajemen proyek di negara berkembang. Dengan menggabungkan KPI tradisional dan kontemporer serta menetapkan hubungan sistemik antara CSF dan KPI, kerangka ini dapat menjadi fondasi bagi sistem evaluasi proyek yang lebih adil, berkelanjutan, dan akuntabel.

 

Sumber:

 

Makori, Joseph. The Changing Face of Performance Evaluation among Construction Projects in Developing Countries. International Scientific Conference on Economic, Social and Environmental Sustainability, Malta, 2023. Tersedia di: https://www.issbs.si/press/

Selengkapnya
Transformasi Evaluasi Kinerja Proyek Konstruksi di Negara Berkembang: Perspektif Baru yang Lebih Komprehensif

Manajemen Kualitas

Strategi dan Tantangan Perencanaan Biaya Kualitas oleh Kontraktor di Proyek Konstruksi Indonesia

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025


Pendahuluan

 

Kualitas dalam industri konstruksi bukan sekadar slogan, melainkan penentu keberhasilan proyek dan reputasi perusahaan. Dalam dunia yang semakin kompetitif, khususnya di Indonesia, pendekatan sistematis terhadap biaya kualitas menjadi krusial. Sayangnya, banyak kontraktor masih belum menyadari pentingnya perencanaan dan pencatatan biaya kualitas yang memadai.

 

Makalah berjudul "Identifying Contractors' Planned Quality Costs in Indonesian Construction Projects" karya Puti F. Marzuki dan M. Wisridani (2014), memaparkan bagaimana dua perusahaan konstruksi besar—satu milik negara dan satu swasta—merancang biaya kualitas dalam tiga proyek besar di Jakarta. Penelitian ini tidak hanya mengklasifikasikan biaya kualitas, tetapi juga mengungkapkan praktik nyata dan kekurangannya dalam dunia proyek konstruksi Indonesia.

 

Definisi dan Kategori Biaya Kualitas

 

Biaya kualitas dalam konteks konstruksi mengacu pada seluruh pengeluaran yang timbul akibat:

 

1. Biaya Pencegahan (Prevention Cost): Langkah-langkah untuk mencegah kesalahan sebelum terjadi.

2. Biaya Penilaian (Appraisal Cost): Kegiatan untuk menilai dan menguji kualitas pekerjaan.

3. Biaya Kegagalan (Failure Cost): Biaya yang muncul karena kesalahan, baik yang ditemukan sebelum (internal) atau sesudah (eksternal) proyek diserahkan.

 

Menurut Lam et al. (1994), biaya kualitas bisa mencapai 8–15% dari total anggaran proyek. Namun, belum banyak kontraktor Indonesia yang menerapkan pendekatan ini secara terstruktur.

 

Metodologi Penelitian

 

Penelitian ini melibatkan tiga proyek konstruksi di Jakarta:

 

Proyek 1 dan 2: Dikerjakan oleh kontraktor milik negara (Kontraktor A)

Proyek 3: Dikerjakan oleh perusahaan swasta (Kontraktor B)

 

Responden berasal dari tim quality control dan cost control. Semua kontraktor tersertifikasi ISO 9001 dan memiliki departemen khusus manajemen mutu.

 

Hasil Penelitian dan Analisis

 

1. Perencanaan Biaya Pencegahan

 

Proyek 1: 0,304% dari nilai kontrak

Proyek 2: 0,860%

Proyek 3: 0,948%

 

Fokus utama: proses kontrol mutu (63%–64%) seperti ITP dan remunerasi staf QC.

 

Kekurangan: Tidak ada anggaran untuk kontrak review, audit mutu internal, atau pelatihan bersertifikasi. Alokasi untuk pelatihan rata-rata <1%.

 

Analisis: Investasi yang minim pada pencegahan mengindikasikan lemahnya pemahaman jangka panjang. Padahal, TQM menekankan bahwa biaya pencegahan akan menurunkan biaya kegagalan.

 

2. Perencanaan Biaya Penilaian

 

Proyek 1: 0,883%

Proyek 2: 1,790%

Proyek 3: 2,324%

 

Elemen terbesar: inspeksi dan pengujian (±74%). Komponen ini mencakup pengujian lapangan, evaluasi material, dan kalibrasi alat.

 

Catatan: Beberapa kegiatan seperti inspeksi pabrik masih tidak dipertimbangkan. Namun, pendekatan ini lebih sistematis dibanding biaya pencegahan.

 

3. Biaya Kegagalan: Tidak Direncanakan

 

Biaya kegagalan hanya diketahui setelah proyek selesai:

 

Proyek 1: 1,35%

Proyek 2: 1,028%

Proyek 3: 0,55%

 

Komponen terbesar:

 

Proyek 1: 66,7% dari biaya kegagalan adalah scrap material

Proyek 3: 72,7% adalah biaya rework

 

Kritik: Tidak ada perencanaan ataupun pencatatan sistematis terhadap kegagalan internal maupun eksternal. Hal ini membuat evaluasi mutu jadi reaktif, bukan preventif.

 

Studi Perbandingan Proyek: BUMN vs Swasta

 

Proyek 3 (swasta) mengalokasikan total biaya kualitas tertinggi (3,822%), namun menunjukkan kegagalan paling rendah (0,55%).

 

Implikasi: Semakin tinggi investasi pada pencegahan dan penilaian, semakin rendah kegagalan yang muncul. Ini mendukung prinsip "right the first time" dari TQM.

 

Hambatan dan Tantangan

 

1. Tidak ada sistem akuntansi biaya kualitas

2. Data tidak terdokumentasi dengan baik

3. Aktivitas mutu tidak dijadikan indikator kinerja utama

4. Kegagalan eksternal seperti komplain klien tidak dianggarkan

 

Dampaknya: Perusahaan kesulitan mengevaluasi efektivitas sistem mutu yang sudah dijalankan.

 

Rekomendasi

 

Kembangkan sistem pencatatan biaya kualitas terintegrasi

Masukkan biaya kualitas ke dalam sistem ERP proyek

Jadikan indikator mutu sebagai KPI utama

Tingkatkan pelatihan terkait konsep biaya kualitas

 

Relevansi dengan Tren Industri Saat Ini

 

Dengan masuknya proyek-proyek berskala besar seperti IKN dan meningkatnya tuntutan keberlanjutan (green building, ESG), perusahaan konstruksi Indonesia dituntut untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas mutu. Kontraktor yang bisa membuktikan efisiensi kualitas lewat data akan lebih unggul dalam kompetisi proyek.

 

Kesimpulan

 

Penelitian ini menunjukkan bahwa perencanaan biaya kualitas di industri konstruksi Indonesia masih dalam tahap awal. Tanpa sistem yang baik, biaya mutu hanya dianggap beban, bukan investasi. Namun, ketika direncanakan dengan baik, biaya kualitas dapat menjadi alat strategis untuk efisiensi, pengendalian risiko, dan peningkatan daya saing.

 

Sumber:

 

Marzuki, P. F., & Wisridani, M. (2014). Identifying Contractors' Planned Quality Costs in Indonesian Construction Projects. Journal of Engineering and Technological Sciences, Vol. 46, No. 4. DOI: https://doi.org/10.5614/j.eng.technol.sci.2014.46.4.2

Selengkapnya
Strategi dan Tantangan Perencanaan Biaya Kualitas oleh Kontraktor di Proyek Konstruksi Indonesia

Keterlambatan Proyek

Mengurai Penyebab Keterlambatan Proyek Jalan di Tanzania: Studi Kasus TANROADS Dar es Salaam

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025


Pendahuluan

 

Keterlambatan dalam proyek konstruksi jalan telah lama menjadi persoalan serius di berbagai negara berkembang, termasuk Tanzania. Dengan sektor jalan menyumbang 8% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan melibatkan lebih dari 1,9 juta pekerja, kelambanan proyek tak hanya berdampak pada efisiensi, tetapi juga pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Penelitian Jenifa Simon (2017) yang berjudul "The Factors Causing Delays in Road Construction Projects in Tanzania: A Case of TANROADS Dar es Salaam City" mencoba mengidentifikasi akar masalah dari fenomena ini.

 

Melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif, penelitian ini menelaah persepsi dari berbagai pihak seperti pejabat TANROADS, kontraktor, konsultan, dan pemangku kepentingan lainnya. Penemuan menarik muncul: faktor politik mendominasi sebagai penyebab utama keterlambatan, bahkan melampaui isu teknis dan sumber daya.

 

Delays dalam Konstruksi: Konsep dan Klasifikasi

 

Dalam dunia konstruksi, "delay" merujuk pada keterlambatan penyelesaian proyek dibandingkan dengan jadwal yang telah disepakati. Delay ini diklasifikasikan menjadi:

  • Excusable vs Non-Excusable
  • Compensable vs Non-Compensable
  • Concurrent Delays
  • Critical vs Non-Critical

 

Pemahaman klasifikasi ini penting agar manajer proyek bisa mengantisipasi risiko dan menetapkan strategi mitigasi secara tepat.

 

Tujuan dan Metode Penelitian

 

Penelitian ini bertujuan untuk:

 

1. Mengidentifikasi penyebab keterlambatan secara umum

2. Menentukan penyebab yang paling dominan

3. Menyigi perbedaan persepsi antara kontraktor, konsultan, dan klien terhadap faktor penyebab keterlambatan

 

Sebanyak 60 kuesioner disebar ke responden dari TANROADS, kontraktor, konsultan, dan pemangku kepentingan lainnya. Tingkat respons mencapai 75% atau 45 responden. Pendekatan analisis yang digunakan adalah kombinasi statistik (SPSS) dan analisis konten.

 

Temuan Utama: 7 Penyebab Utama Keterlambatan Proyek Jalan

 

Berikut adalah variabel utama beserta persentase responden yang mengakui kontribusinya terhadap keterlambatan proyek:

 

1. Intervensi politik: 68,9%

2. Manajemen konstruksi yang buruk: 60%

3. Desain yang tidak memadai: 55,6%

4. Hubungan kontraktual yang lemah: 57,8%

5. Ketersediaan sumber daya: 51,1%

6. Keterlibatan pihak ketiga yang tidak efektif: 44,4%

7. Kondisi lingkungan: 42,2%

 

Rata-rata seluruh variabel memberikan kontribusi sebesar 54,3% terhadap keterlambatan proyek.

 

Studi Lapangan: Proyek-Proyek di Dar es Salaam

 

Penelitian dilakukan di tiga distrik utama: Ilala, Kinondoni, dan Temeke. Mayoritas proyek dikelola oleh TANROADS, institusi negara yang bertanggung jawab atas pembangunan jalan. Data di lapangan menunjukkan bahwa:

 

  • Banyak proyek terganggu karena pergantian kepemimpinan politik
  • Ketidaksiapan desain menyebabkan proyek ditunda hingga perbaikan dokumen selesai
  • Kurangnya tenaga kerja terampil menyebabkan kesalahan kerja dan rework

 

Efek dari Keterlambatan

 

Keterlambatan proyek jalan tak hanya berdampak finansial, tetapi juga sosial. Berikut adalah tujuh efek utama keterlambatan yang diidentifikasi oleh responden:

 

1. Time overrun: 77,8%

2. Cost overrun: 73,3%

3. Dampak sosial negatif: 71,1%

4. Kualitas kerja menurun: 64,4%

5. Tertundanya keuntungan klien: 62,2%

6. Stres pada kontraktor: 57,8%

7. Sengketa dan arbitrase: 55,6%

 

Analisis Tambahan: Faktor Politik sebagai Isu Paling Kritis

 

Menariknya, intervensi politik justru muncul sebagai variabel paling berpengaruh, berbeda dengan hasil-hasil penelitian lain di Malaysia dan Timur Tengah yang menempatkan perencanaan kontraktor dan masalah material sebagai penyebab utama.

 

Beberapa praktik yang memperburuk situasi:

  • Pemaksaan kontraktor tidak kompeten oleh pejabat politik
  • Perubahan kebijakan fiskal tanpa koordinasi teknis
  • Penambahan ruang lingkup pekerjaan tanpa anggaran tambahan

 

Perbandingan dengan Penelitian Internasional

 

  • Malaysia (Sambasivan & Soon, 2007): Penyebab utama adalah perencanaan kontraktor yang buruk dan kurangnya pengalaman.
  • Yordania (Al-Momani, 2000): Faktor utama adalah perubahan desain dan kondisi cuaca.
  • Arab Saudi (Al-Kharashi, 2009): Kekurangan tenaga kerja berpengalaman menjadi faktor dominan.

 

Dari perbandingan ini, dapat dilihat bahwa politik menjadi faktor khas yang lebih menonjol di Tanzania.

 

Rekomendasi Praktis

 

1. Reformasi Kebijakan Publik: Pemerintah harus membuat regulasi yang membatasi intervensi politik dalam proyek infrastruktur.

2. Peningkatan Kompetensi Manajerial: Kontraktor dan manajer proyek perlu dibekali pelatihan manajemen risiko dan mutu.

3. Desain Lebih Matang: Audit desain sebelum lelang proyek harus diwajibkan.

4. Penguatan Komunikasi Lintas Pihak: Sistem komunikasi antar kontraktor, konsultan, dan klien harus lebih efisien.

5. Perencanaan Musim Hujan: Jadwal proyek perlu disesuaikan dengan kondisi cuaca.

 

Dampak Luas terhadap Industri Konstruksi Tanzania

 

Penelitian ini membuka wawasan tentang pentingnya governance dalam pengelolaan proyek. Isu teknis dan sumber daya memang penting, tetapi tanpa tata kelola yang bersih, proyek jalan akan terus terlambat dan merugikan publik. Dengan reformasi menyeluruh, industri konstruksi di Tanzania bisa lebih efisien, transparan, dan profesional.

 

Kesimpulan

 

Penelitian Jenifa Simon berhasil mengidentifikasi secara rinci penyebab keterlambatan proyek jalan di Tanzania. Dominasi faktor politik menunjukkan perlunya pendekatan lintas sektor dalam perbaikan sistem proyek. Selain itu, hasil ini memperkuat urgensi integrasi manajemen risiko, akuntabilitas, dan profesionalisme dalam sektor konstruksi publik.

 

Sumber:

 

Simon, Jenifa. (2017). The Factors Causing Delays in Road Construction Projects in Tanzania: A Case of TANROADS Dar es Salaam City. Open University of Tanzania. Tersedia di: https://core.ac.uk/display/79425368

Selengkapnya
Mengurai Penyebab Keterlambatan Proyek Jalan di Tanzania: Studi Kasus TANROADS Dar es Salaam

Keterlambatan Proyek

Mengungkap Dampak Keterlambatan Proyek Konstruksi di Aljazair: Studi Empiris Berbasis SMART-PLS

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025


Pendahuluan

 

Dalam konteks pembangunan nasional, proyek konstruksi memainkan peran strategis dalam menciptakan infrastruktur vital dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun, salah satu masalah paling kronis yang terus menghantui sektor ini adalah keterlambatan proyek. Artikel ilmiah berjudul "The Effects of Delays in Algerian Construction Projects: An Empirical Study" karya Roumeissa Salhi dan Karima Messaoudi (2021) membedah dampak keterlambatan proyek konstruksi secara mendalam, khususnya di Aljazair.

 

Melalui pendekatan statistik dan model struktural berbasis SMART-PLS, penelitian ini tidak hanya memetakan berbagai efek keterlambatan, tetapi juga menjelaskan hubungan antar kelompok dampak secara logis dan ilmiah. Artikel ini memberikan wawasan penting, terutama dalam merancang solusi manajemen proyek yang lebih tanggap dan akurat terhadap keterlambatan.

 

Latar Belakang dan Tujuan Penelitian

 

Mengingat kompleksitas proyek konstruksi dan banyaknya aktor yang terlibat, keterlambatan kerap muncul sebagai konsekuensi dari kurangnya koordinasi, perencanaan yang buruk, dan kendala eksternal seperti kondisi cuaca atau fluktuasi ekonomi. Tujuan utama dari penelitian ini adalah:

 

  • Mengidentifikasi dan mengelompokkan efek keterlambatan pada proyek konstruksi di Aljazair
  • Menilai bobot kepentingan masing-masing efek menggunakan metode statistik
  • Menganalisis perbedaan persepsi antara pemilik proyek, kontraktor, dan konsultan
  • Mengembangkan model hubungan antar kelompok dampak berdasarkan pendekatan SMART-PLS

 

Studi ini juga menjadi pelopor dalam pengkajian khusus terhadap dampak keterlambatan di wilayah Aljazair dengan metode empiris yang terstruktur.

 

Metodologi Penelitian

 

Peneliti menggunakan metode survei dengan menyebarkan kuesioner kepada 160 profesional konstruksi, dan berhasil mengumpulkan 114 respon valid (71,25%).

 

Komposisi responden:

 

43% kontraktor

38,6% konsultan

18,4% pemilik proyek

 

Sebagian besar responden (74,6%) berusia antara 25–40 tahun, dan lebih dari 50% memiliki pengalaman kerja lebih dari 5 tahun.

 

Teknik analisis yang digunakan:

 

  • Relative Importance Index (RII) untuk mengukur bobot kepentingan tiap efek
  • One-way ANOVA untuk melihat perbedaan persepsi antar kelompok
  • Exploratory Factor Analysis (EFA) untuk mengelompokkan efek
  • Structural Equation Modeling (SEM) berbasis SMART-PLS untuk menguji hubungan antar kelompok efek

 

Reliabilitas kuesioner terkonfirmasi dengan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,896.

 

Hasil dan Pembahasan

 

10 Efek Keterlambatan Teratas (berdasarkan RII)

 

1. Keterlambatan Waktu (Time Overrun) – RII: 4,13

2. Gagal Mencapai Tujuan Proyek (Non-Achievement of Objectives) – RII: 3,91

3. Pembengkakan Biaya (Cost Overrun) – RII: 3,88

4. Menurunnya Kualitas Pekerjaan (Poor Quality) – RII: 3,79

5. Kegagalan Proyek (Project Failure) – RII: 3,76

6. Dampak Negatif terhadap Ekonomi Nasional – RII: 3,76

7. Citra Kota Tercemar (Negative City Image) – RII: 3,71

8. Penurunan Produktivitas – RII: 3,69

9. Pemborosan Sumber Daya (Wastage of Resources) – RII: 3,68

10. Gangguan Program dan Jadwal – RII: 3,65

 

Perbedaan Persepsi antar Aktor Proyek

 

Analisis ANOVA menunjukkan bahwa 29 dari 31 efek memiliki persepsi yang serupa di antara kontraktor, konsultan, dan pemilik proyek. Namun dua poin menunjukkan perbedaan signifikan:

 

Sengketa dan Klaim Hukum: Pemilik cenderung menganggap ini sebagai efek minor, berbeda dengan kontraktor yang sering menanggung beban hukum.

 

Produktivitas yang Hilang: Kontraktor menganggap ini sebagai masalah serius karena langsung berdampak pada efisiensi operasional mereka.

 

Klasterisasi Efek melalui Analisis Faktor

 

31 efek diklasifikasikan ke dalam 5 klaster utama:

 

1. Persepsi Publik dan Kerugian Sosial Ekonomi (18,05%)

 

Dampak terhadap citra pemerintah, meningkatnya pengangguran, dan kekecewaan publik

 

2. Pemborosan dan Mutu Buruk (12,31%)

 

Terjadi akibat percepatan kerja yang memaksa pengorbanan kualitas

 

3. Kegagalan dan Gangguan Proyek (12,19%)

 

Berujung pada batalnya proyek atau tak tercapainya milestone

 

4. Disrupsi dan Konflik (11,59%)

 

Ketegangan internal, sengketa antar pemangku kepentingan, dan ketidakseimbangan kerja

 

5. Kerusakan Korporasi (10,16%)

 

Termasuk penalti kontraktual, kebangkrutan perusahaan, hingga hilangnya profitabilitas

 

Model Struktural Antar Efek: Hasil SMART-PLS

 

Dengan SEM berbasis SMART-PLS, ditemukan 10 hubungan signifikan antar faktor, seperti:

 

  • Faktor 2 (mutu & pemborosan) memengaruhi Faktor 1 (persepsi publik) dan Faktor 3 (kegagalan proyek)
  • Faktor 4 (disrupsi) berdampak pada semua faktor lainnya
  • Faktor 5 (kerusakan korporasi) memperparah persepsi publik

 

Model ini menunjukkan bahwa dampak keterlambatan saling berkaitan dan dapat menimbulkan efek domino.

 

Analisis Tambahan dan Opini

 

Penelitian ini menyajikan pemetaan yang komprehensif dan sangat relevan. Nilai lebih dari studi ini antara lain:

 

  • Menggabungkan pendekatan kuantitatif dan model struktural
  • Mendeteksi efek yang tidak umum dibahas seperti "penuaan bangunan" atau "kehilangan kredibilitas perusahaan"
  • Fokus pada negara berkembang yang minim data seperti Aljazair

 

Namun, studi ini belum menjawab aspek penyebab keterlambatan atau strategi mitigasi secara langsung.

 

Bandingkan dengan studi lain: Penelitian di negara seperti Mesir dan Uni Emirat Arab lebih fokus pada faktor penyebab seperti masalah keuangan dan perizinan, bukan efek berantai seperti yang diteliti Salhi dan Messaoudi.

 

Implikasi Praktis

 

Berikut rekomendasi untuk industri konstruksi di Aljazair dan negara berkembang lain:

 

1. Sistem Manajemen Proyek Digital: Pengawasan progres dan keuangan secara real-time

2. Pelatihan Manajemen Risiko Konstruksi: Terutama untuk manajer proyek dan konsultan

3. Perencanaan Berbasis Data Historis: Menggunakan proyek sebelumnya sebagai referensi waktu dan anggaran

4. Sanksi Keterlambatan yang Proporsional: Untuk menghindari kontraktor yang tidak profesional

5. Kolaborasi Lebih Intensif Antarpihak: Agar ekspektasi dan jadwal sinkron sejak awal

 

Kesimpulan

 

Studi ini menjadi terobosan penting dalam memahami keterlambatan proyek dari sudut efek berantai yang timbul. Dengan pendekatan berbasis data dan analisis struktural, artikel ini memberikan kerangka kuat bagi regulator, pemilik proyek, dan kontraktor untuk menyusun strategi pencegahan yang lebih tepat sasaran.

 

Sumber:

 

Salhi, R., & Messaoudi, K. (2021). The Effects of Delays in Algerian Construction Projects: An Empirical Study. Civil and Environmental Engineering Reports, 31(2), 218–254. DOI: https://doi.org/10.2478/ceer-2021-0027

Selengkapnya
Mengungkap Dampak Keterlambatan Proyek Konstruksi di Aljazair: Studi Empiris Berbasis SMART-PLS

Keterlambatan Proyek

Mengungkap Akar Masalah Keterlambatan Proyek Mall ABC: Analisis HOR dan Solusi Praktis

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025


Pendahuluan

 

Keterlambatan proyek konstruksi masih menjadi momok dalam industri pembangunan di Indonesia. Salah satu kasus nyata yang menggambarkan kompleksitas masalah ini adalah keterlambatan penyelesaian proyek pembangunan Mall ABC yang ditangani oleh PT. XYZ. Mall dengan luas area sewa 180.000 m2 ini semestinya menjadi pusat perbelanjaan terbesar di Surabaya, namun kenyataannya proses pembangunannya terkendala berbagai isu. Studi oleh Ramdhan Yundra Saputra pada tahun 2017 mengupas secara rinci penyebab utama keterlambatan tersebut dengan pendekatan House of Risk (HOR).

 

Artikel ini mengulas kembali penelitian tersebut dengan gaya parafrase dan tambahan opini serta wawasan industri terkini, untuk memberikan nilai tambah serta menjamin keterbacaan dan optimasi SEO.

 

Faktor Penyebab Keterlambatan: Temuan Kunci dari HOR

 

1. Metodologi HOR dan Pendekatan Penelitian

 

Penelitian ini menggunakan dua tahap metode HOR yang dikembangkan oleh Pujawan (2009): HOR1 untuk identifikasi dan prioritisasi agen risiko, serta HOR2 untuk penyusunan strategi mitigasi. Data dikumpulkan melalui focus group discussion (FGD) dan wawancara dengan para profesional proyek yang memiliki pengalaman langsung dalam pembangunan Mall ABC.

 

2. Identifikasi Delay Event dan Delay Agent

 

Lima kejadian keterlambatan utama (delay events) ditemukan, di antaranya:

 

  • Perubahan desain (gambar berubah-ubah)
  • Kurangnya koordinasi dari pihak pemilik (owner)
  • Penambahan lingkup pekerjaan
  • Keterlambatan pengadaan material
  • Permasalahan internal kontraktor

 

Dari kejadian tersebut, diturunkan 13 agen penyebab keterlambatan (delay agents), seperti:

 

  • Keputusan owner yang tidak tepat waktu
  • Keterlambatan pembayaran termin
  • Ketiadaan prosedur revisi gambar

 

Melalui penilaian tingkat keparahan (severity) dan probabilitas (occurrence), dihitung nilai Aggregated Delay Potential (ADP) untuk menentukan prioritas penanganan.

 

3. Tiga Faktor Utama Penyebab Keterlambatan

 

Berdasarkan HOR1, tiga agen penyebab paling signifikan adalah:

 

  • Perubahan gambar desain (drawing changes)
  • Kurangnya koordinasi oleh pemilik proyek
  • Penambahan lingkup pekerjaan (scope creep)

 

Ketiganya memberikan kontribusi besar terhadap total potensi keterlambatan proyek.

 

Solusi dan Strategi Mitigasi: HOR2

 

Pada tahap HOR2, strategi mitigasi ditentukan berdasarkan rasio efektivitas dan tingkat kesulitan implementasi. Berikut beberapa solusi yang diusulkan:

  • Penyusunan prosedur revisi gambar: Menghindari ketidakpastian desain.
  • Penguatan komunikasi antara owner dan kontraktor: Memastikan setiap keputusan strategis bersifat terinformasi dan terdokumentasi.
  • Checklist lingkup kerja komprehensif sejak awal proyek: Menghindari penambahan scope di tengah jalan.

 

Analisis dan Opini Tambahan

 

Kelemahan Proses Manajemen Proyek

 

Penelitian ini mencerminkan lemahnya sistem manajemen proyek, terutama dari sisi komunikasi antar stakeholder. Dalam proyek besar seperti pembangunan mal, kegagalan komunikasi bisa menjadi pemicu utama konflik dan penundaan.

 

Studi Banding: Kasus Serupa di Industri

 

Keterlambatan akibat perubahan desain juga terjadi pada proyek MRT Jakarta fase I. Penyesuaian desain stasiun dan rel mengakibatkan lonjakan biaya dan penambahan waktu pembangunan. Hal ini memperkuat argumen bahwa scope management adalah aspek krusial.

 

Tren Industri: Digitalisasi Proyek

 

Solusi masa kini mencakup pemanfaatan Building Information Modeling (BIM) untuk meminimalisir konflik desain dan mempercepat koordinasi antarpihak. BIM telah terbukti mempercepat proyek dan mengurangi revisi gambar.

 

Rekomendasi Praktis

 

  • Terapkan BIM sejak tahap perencanaan untuk visualisasi dan koordinasi lintas divisi.
  • Bentuk tim koordinasi proyek lintas fungsi yang memiliki wewenang pengambilan keputusan cepat.
  • Lakukan audit berkala terhadap rencana kerja dan scope guna menghindari scope creep.

 

Kesimpulan

 

Keterlambatan proyek pembangunan Mall ABC menunjukkan pentingnya identifikasi risiko secara sistematis. Metode House of Risk terbukti efektif dalam memetakan faktor penyebab utama dan merancang mitigasi yang tepat sasaran. Namun, keberhasilan implementasi strategi tersebut sangat bergantung pada komitmen seluruh stakeholder dan adopsi teknologi manajemen proyek terkini.

 

Dengan mengadopsi prinsip manajemen risiko yang tepat dan penggunaan teknologi digital, keterlambatan proyek di masa depan dapat ditekan secara signifikan.

 

 

Sumber:

Saputra, R. Y. (2017). Analisa Faktor Penyebab Keterlambatan Penyelesaian Proyek Pembangunan Mall ABC. Tesis. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Tersedia di: http://repository.its.ac.id

Selengkapnya
Mengungkap Akar Masalah Keterlambatan Proyek Mall ABC: Analisis HOR dan Solusi Praktis

Konstruksi

Mengapa Tenaga Terampil Enggan Disertifikasi? Analisis Faktor Penghambat Sertifikasi Kompetensi Konstruksi di Indonesia

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 26 Mei 2025


Pendahuluan

Sertifikasi kompetensi dalam dunia konstruksi tidak sekadar formalitas administratif, melainkan penentu mutu kerja dan daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar global. Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja konstruksi yang tersertifikasi masih sangat minim. Artikel ilmiah karya Irika Widiasanti dan rekan-rekannya (2018) mengangkat isu ini melalui penelitian di tiga proyek bangunan tinggi, menggali persepsi tenaga terampil terhadap proses sertifikasi, serta faktor penghambat utama yang mereka hadapi.

Artikel ini mengupas ulang hasil penelitian tersebut secara kritis, disertai data, studi komparatif, dan analisis lapangan yang memperkuat urgensi reformasi sistem sertifikasi tenaga kerja konstruksi di Indonesia.

Latar Belakang Penelitian

Ironi Sertifikasi di Era Daya Saing Global

Dengan masuknya pasar global ke dalam sistem ekonomi Indonesia, permintaan akan tenaga kerja bersertifikat meningkat drastis. Namun, menurut data Kementerian PUPR (2018), baru 740.000 dari 7,4 juta tenaga kerja konstruksi yang tersertifikasi—hanya sekitar 10%. Target pemerintah mencapai 3 juta sertifikat pun masih jauh dari realisasi.

Sertifikasi Tenaga Terampil: Ujung Tombak Lapangan

Tenaga terampil atau tukang memegang peran vital dalam pelaksanaan proyek, khususnya proyek bangunan bertingkat tinggi. Tanpa sertifikasi, tidak hanya aspek legalitas yang dipertanyakan, namun juga kompetensi teknis dan keselamatan kerja di lapangan.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif-deskriptif melalui survei kuesioner dan observasi di tiga proyek bangunan tinggi dengan total responden sebanyak 129 orang. Metode sampling yang digunakan adalah incidental sampling. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif berbentuk persentase.

Temuan Utama: Empat Faktor Penghambat Sertifikasi

1. Biaya Sertifikasi Kompetensi (26,59%)

Ini menjadi faktor paling dominan. Mayoritas responden menganggap biaya Rp 250.000 yang ditetapkan oleh LPJK terlalu mahal. Bahkan, sebagian besar menyatakan hanya mampu membayar Rp 100.000. Ini menunjukkan adanya ketimpangan antara kemampuan ekonomi tenaga terampil dan kebijakan tarif sertifikasi.

2. Pelaksanaan Sertifikasi yang Kurang Efektif (24,76%)

Banyak responden merasa proses sertifikasi tidak mudah diakses, kurang sosialisasi, dan jarang dilaksanakan di lokasi kerja mereka. Kegiatan sertifikasi dianggap membingungkan, tidak terjadwal dengan baik, dan kurang melibatkan pekerja sebagai subjek utama.

3. Tidak Ada Insentif Upah bagi Tenaga Bersertifikat (25,91%)

Salah satu alasan utama tenaga terampil enggan mengikuti sertifikasi adalah karena tidak ada perbedaan signifikan dalam hal upah antara pekerja bersertifikat dan non-sertifikat. Hal ini melemahkan motivasi mereka untuk mengikuti program.

4. Jaminan Mutu yang Tidak Terasa Nyata (22,72%)

Sertifikat kompetensi belum dianggap menjamin kualitas kerja karena perusahaan tidak selalu mempertimbangkan sertifikasi dalam proses rekrutmen atau penilaian kinerja. Akibatnya, sertifikat hanya menjadi "kertas formalitas" tanpa dampak nyata.

Persepsi Terhadap Biaya Sertifikasi

  • 21,4% responden menyebut biaya Rp 250.000 terlalu mahal.

  • 18,6% menyatakan bersedia jika biayanya Rp 100.000.

  • 19% mengatakan biaya bukan prioritas karena kebutuhan pokok lebih mendesak.

  • 21,3% menilai upah mereka tidak cukup untuk membayar sertifikasi.
     

Hal ini menunjukkan bahwa kendala biaya bukan sekadar angka nominal, melainkan berkaitan erat dengan daya beli, prioritas ekonomi keluarga, dan persepsi nilai manfaat sertifikat itu sendiri.

Analisis Tambahan dan Kritik

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Adi & Adillah (2012): Biaya dianggap sebagai hambatan umum sertifikasi di berbagai sektor.

  • Toreh & Wiguna (2015): Tidak ada perbedaan signifikan antara performa tukang bersertifikat dan tidak, memperkuat argumen bahwa sertifikasi harus diikuti dengan pelatihan teknis lanjutan.
     

Kritik terhadap Penelitian

  • Hanya menggunakan pendekatan deskriptif; tidak menguji hubungan antar variabel secara statistik lanjutan.

  • Wilayah penelitian terbatas pada tiga proyek di wilayah Jabodetabek; belum mencerminkan kondisi nasional.

  • Sampling insidental dapat menimbulkan bias keterwakilan data.
     

Rekomendasi Strategis

  1. Subsidi Sertifikasi bagi Tenaga Terampil melalui dana CSR atau APBN.

  2. Integrasi Sertifikasi dengan Kenaikan Upah dan Jenjang Karier.

  3. Perluasan Akses Melalui Sertifikasi Keliling dan Digitalisasi Proses.

  4. Kampanye Edukasi Nilai Sertifikasi yang melibatkan asosiasi kontraktor dan serikat buruh.
     

Dampak Jangka Panjang Jika Tidak Diatasi

Jika faktor-faktor penghambat ini tidak segera diatasi, maka risiko yang timbul antara lain:

  • Semakin rendah daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar ASEAN.

  • Meningkatnya angka kecelakaan kerja akibat tenaga tidak kompeten.

  • Sertifikasi akan dianggap tidak relevan dan kehilangan legitimasi sosial.
     

Kesimpulan

Penelitian ini berhasil mengungkap realita di lapangan bahwa meskipun sertifikasi kompetensi sangat penting, pelaksanaannya belum mampu menjangkau dan meyakinkan tenaga terampil untuk terlibat aktif. Biaya, pelaksanaan yang rumit, insentif yang tidak jelas, dan manfaat yang belum terasa nyata menjadi penghambat dominan. Solusinya bukan hanya pada aspek regulasi, tapi juga bagaimana membangun ekosistem yang membuat sertifikasi benar-benar bernilai di mata pekerja konstruksi.

Sumber Referensi

  • Widiasanti, I., Fridestu, A., Rochyadi, D., & Anisah. (2018). Faktor Dominan Penghambat Sertifikasi Kompetensi dalam Persepsi Tenaga Terampil di Sektor Konstruksi. Seminar Nasional Sains dan Teknologi, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Jakarta. https://jurnal.umj.ac.id/index.php/semnastek

Selengkapnya
Mengapa Tenaga Terampil Enggan Disertifikasi? Analisis Faktor Penghambat Sertifikasi Kompetensi Konstruksi di Indonesia
« First Previous page 150 of 1.131 Next Last »