Keterlambatan Proyek
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 26 Mei 2025
Pendahuluan
Produktivitas tenaga kerja adalah indikator utama efisiensi proyek konstruksi. Meningkatnya kompleksitas proyek, ketatnya tenggat waktu, dan pembengkakan biaya menjadi tantangan serius yang mengakar pada satu isu mendasar: rendahnya produktivitas tenaga kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Rabia Al-Mamlook dan tim (2020) dalam American Journal of Environmental Science and Engineering mengulas secara sistematis 30 faktor yang memengaruhi produktivitas tenaga kerja di industri konstruksi Libya. Resensi ini mengupas ulang temuan tersebut dengan pendekatan analitis, membandingkannya dengan studi global, serta mengevaluasi implikasi praktisnya.
Latar Belakang Penelitian
Mengapa Produktivitas Penting di Konstruksi?
Menurut Yates dan McTague, biaya tenaga kerja menyumbang antara 30–50% dari total biaya proyek. Oleh karena itu, efisiensi tenaga kerja sangat menentukan keberhasilan finansial dan operasional proyek. Penurunan produktivitas dapat menyebabkan keterlambatan jadwal, pembengkakan biaya, dan penurunan kualitas bangunan.
Konteks Libya dan Tantangannya
Libya merupakan negara berkembang dengan sektor konstruksi yang sedang bergeliat. Namun, tantangan besar dihadapi mulai dari minimnya pelatihan tenaga kerja hingga lemahnya pengawasan lapangan. Studi ini menargetkan mengidentifikasi faktor utama penghambat produktivitas dan memberikan rekomendasi praktis bagi pelaku industri.
Metodologi dan Cakupan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis survei terhadap 92 responden (kontraktor, konsultan, dan manajer proyek) dengan tingkat respons sebesar 82%. Alat ukur utama yang digunakan adalah Relative Importance Index (RII) untuk menentukan peringkat dari 30 faktor berdasarkan tingkat pengaruhnya terhadap produktivitas tenaga kerja.
Faktor-faktor tersebut dibagi dalam tiga kategori:
Manajerial (16 faktor)
Teknologis (11 faktor)
Sumber daya manusia (3 faktor)
Temuan Utama – 10 Faktor Teratas Penghambat Produktivitas
1. Kurangnya Pengawasan Tenaga Kerja (RII = 0,876)
Menempati posisi teratas, minimnya supervisi menyebabkan kekacauan di lapangan. Pekerja tidak memiliki arahan jelas, yang berdampak pada pemborosan waktu dan kesalahan kerja.
2. Kurangnya Keterampilan dan Pengalaman (RII = 0,873)
Ini memperkuat temuan dari Nigeria, Uganda, dan Mesir bahwa kekurangan tenaga kerja terampil menjadi tantangan global dalam konstruksi.
3. Teknologi Konstruksi yang Tidak Memadai (RII = 0,870)
Metode dan alat yang ketinggalan zaman memperlambat proses kerja dan meningkatkan risiko kesalahan.
4. Kurangnya Koordinasi Antar-Disiplin (RII = 0,863)
Koordinasi yang buruk antara arsitek, insinyur, dan kontraktor menciptakan konflik teknis di lapangan.
5. Kesalahan dalam Gambar Desain (RII = 0,845)
Drawing error menyebabkan kebingungan interpretasi dan rework.
6. Keterlambatan Respon terhadap Permintaan Informasi (RII = 0,831)
Informasi yang lambat berdampak pada stagnasi pekerjaan, terutama saat menghadapi kondisi tak terduga.
7. Rework atau Pekerjaan Ulang (RII = 0,823)
Rework memakan waktu dan biaya, menjadi cerminan manajemen mutu yang buruk.
8. Tidak Ada Skema Insentif (RII = 0,809)
Kurangnya penghargaan finansial atau non-finansial menurunkan motivasi dan keterlibatan pekerja.
9. Jam Kerja Lembur (RII = 0,802)
Alih-alih produktif, kerja lembur justru mengarah ke kelelahan, kesalahan kerja, dan burnout.
10. Kepemimpinan Manajer Konstruksi yang Lemah (RII = 0,772)
Kurangnya visi dan kontrol dari manajemen proyek menyebabkan tim lapangan bekerja tanpa arahan yang jelas.
Analisis Kategori Faktor
Faktor Manajerial – Kontributor Terbesar (Rata-rata RII: 71,9%)
Kategori ini menunjukkan bahwa manajemen proyek masih menjadi titik lemah utama. Banyak proyek belum menerapkan prinsip project management modern.
Faktor Teknologi (Rata-rata RII: 67%)
Kesalahan gambar, metode kerja yang tidak efisien, hingga keterlambatan informasi teknis mengindikasikan bahwa digitalisasi konstruksi masih minim.
Faktor Sumber Daya Manusia (Rata-rata RII: 66,8%)
Meskipun hanya ada tiga indikator, hasil menunjukkan bahwa kualitas tenaga kerja memiliki bobot besar, khususnya terkait skill dan motivasi.
Perbandingan Global – Tren dan Kesamaan
Studi di negara lain seperti:
India (Anu, 2014): Gangguan desain dan jadwal berdampak signifikan.
Uganda (Alinaitwe, 2007): Minimnya pelatihan dan supervisor tidak kompeten.
Indonesia (Olomolaiye, 1996): Material shortage dan rework jadi hambatan besar.
Kesamaan tren ini menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja adalah isu universal yang memerlukan pendekatan sistemik dan lintas negara.
Implikasi Praktis dan Strategi Perbaikan
1. Reformasi Sistem Supervisi
Perusahaan konstruksi harus memperkuat struktur pengawasan dengan pelatihan bagi mandor dan pemanfaatan teknologi monitoring berbasis real-time.
2. Investasi dalam Pelatihan Vokasi
Pemerintah dan sektor swasta perlu memperluas akses pelatihan teknik dasar dan lanjut, serta menjalin kemitraan dengan lembaga pendidikan.
3. Digitalisasi Proyek
Implementasi Building Information Modeling (BIM), sistem ERP, dan tools kolaboratif (seperti Procore atau PlanGrid) bisa memangkas delay akibat miskomunikasi dan error gambar.
4. Skema Insentif Produktivitas
Perusahaan perlu menetapkan KPI dan memberikan insentif berbasis hasil, bukan hanya kehadiran.
Kritik dan Rekomendasi Lanjutan
Kekuatan Studi:
Didukung data lapangan dan metode statistik (RII) yang valid.
Memuat tinjauan literatur lintas negara.
Kelemahan:
Fokus pada Libya saja tanpa membahas perbedaan antar wilayah dalam negeri.
Tidak menjelaskan hubungan kausal antar faktor.
Rekomendasi Penelitian Selanjutnya:
Gunakan pendekatan SEM (Structural Equation Modeling) untuk melihat pengaruh antar faktor.
Perluasan studi ke konteks regional lain di Afrika atau Timur Tengah.
Kesimpulan
Studi ini menggarisbawahi pentingnya peningkatan manajemen, adopsi teknologi, dan pengembangan tenaga kerja dalam meningkatkan produktivitas konstruksi. Temuan dari Libya bersifat representatif untuk banyak negara berkembang lainnya. Dengan mengimplementasikan reformasi struktural dan teknologi, industri konstruksi dapat keluar dari stagnasi produktivitas dan menjelma menjadi sektor yang lebih efisien dan kompetitif.
Sumber Referensi
Al-Mamlook, R., Bzizi, M., Al-Kbisbeh, M., Ali, T., & Almajiri, E. (2020). Factors Affecting Labor Productivity in the Construction Industry. American Journal of Environmental Science and Engineering, 4(2), 24–30. https://doi.org/10.11648/j.ajese.20200402.13
Kontruksi Hijau
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 26 Mei 2025
Pendahuluan
Mata pelajaran Mekanika Teknik merupakan dasar penting dalam kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan Bisnis Konstruksi dan Properti. Salah satu topik krusial dalam mata pelajaran ini adalah perhitungan konstruksi balok sederhana. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tingkat pemahaman siswa terhadap materi ini masih rendah. Penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh Windri Eka Candri (2021) bertujuan untuk meningkatkan kompetensi siswa dengan menggabungkan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan metode Drill.
Artikel ini akan membahas secara kritis hasil penelitian tersebut, menganalisis dampak penggunaan model PBL dan drill terhadap pencapaian kompetensi siswa, serta memberikan perspektif tambahan dari praktik pendidikan teknik sipil yang lebih luas.
Latar Belakang Masalah
Tantangan Pembelajaran Mekanika Teknik
Lebih dari 65% siswa kelas X BKP 2 SMKN 1 Cibinong belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dalam topik konstruksi balok sederhana. Permasalahan ini disebabkan oleh:
Rendahnya pemahaman siswa terhadap materi.
Kurangnya keterlibatan siswa dalam proses belajar.
Metode pengajaran monoton (hanya ceramah).
Minimnya latihan soal dan evaluasi aktif.
Balok Sederhana dalam Konstruksi
Balok sederhana adalah bagian dari struktur bangunan yang terdiri dari dua tumpuan (sendi dan rol) dan mengalami momen lentur akibat pembebanan tegak lurus sumbu batang. Memahami perhitungan ini penting bagi calon teknisi bangunan.
Strategi Intervensi: PBL dan Drill
Model PBL mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam pemecahan masalah nyata, sedangkan metode Drill memberi penguatan dalam bentuk latihan berulang. Kombinasi ini dirancang untuk:
Meningkatkan pemahaman konsep.
Mendorong keterlibatan aktif siswa.
Menguatkan kompetensi teknis melalui latihan intensif.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kelas X BKP 2 SMKN 1 Cibinong selama dua siklus (Agustus–Desember 2019), dengan rincian:
Jumlah siswa: 34 orang (18 laki-laki, 16 perempuan)
Desain: Penelitian tindakan kelas (PTK)
Teknik pengumpulan data: observasi aktivitas siswa dan guru, nilai pre-test dan post-test
Hasil Penelitian dan Analisis Data
Perkembangan Nilai Pengetahuan
Pre-test: Hanya 13 siswa (38,2%) memenuhi KKM.
Post-test Siklus I: 21 siswa (58,8%) mencapai KKM — peningkatan 20,6%.
Post-test Siklus II: 29 siswa (85,3%) memenuhi KKM — peningkatan 26,5% dari siklus I.
Keaktifan Siswa
Siklus I: Rata-rata keaktifan 79% (cukup aktif).
Siklus II: Meningkat menjadi 87% (aktif).
Aktivitas Guru
Siklus I: 84% (baik)
Siklus II: 90% (sangat baik)
Temuan ini menunjukkan bahwa kombinasi PBL dan drill tidak hanya meningkatkan hasil akademik, tetapi juga memperbaiki dinamika pembelajaran di kelas.
Studi Perbandingan dan Opini Kritis
Dukungan dari Penelitian Lain
Ikawati (2015) dan Mardiah et al. (2016) membuktikan bahwa PBL meningkatkan aktivitas belajar siswa secara signifikan.
Syafei & Silalahi (2019) menemukan bahwa penggunaan PBL di SMK mampu meningkatkan hasil belajar mata pelajaran Mekanika Teknik.
Opini
Penerapan PBL dan Drill bukan hanya solusi pedagogis tetapi juga pendekatan yang kontekstual dengan kebutuhan pendidikan kejuruan. Dalam dunia konstruksi yang nyata, siswa dituntut untuk mampu menyelesaikan masalah dan menguasai teknik dengan presisi. Metode ini membekali mereka dengan kompetensi tersebut secara simultan.
Namun demikian, penulis tidak membahas hambatan teknis implementasi metode tersebut seperti:
Kesiapan guru dalam merancang skenario pembelajaran berbasis masalah.
Keterbatasan waktu di kurikulum SMK.
Variasi kemampuan individu siswa.
Nilai Tambah: Relevansi untuk Dunia Industri
Keterkaitan dengan Dunia Kerja
Industri konstruksi saat ini menuntut tenaga kerja terampil yang mampu:
Menguasai perhitungan struktural dasar.
Bekerja secara kolaboratif.
Berpikir kritis dalam menyelesaikan masalah teknis.
Model pembelajaran seperti PBL mengarah ke pengembangan soft skill ini, menjadikan lulusan lebih adaptif dan siap kerja.
Potensi Pengembangan
Integrasi dengan teknologi seperti software simulasi struktural (misalnya SAP2000, AutoCAD Structural Detailing).
Kolab.orasi dengan industri lokal untuk studi kasus nyata
Pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) sebagai kelanjutan dari PBL.
Rekomendasi Praktis
Guru perlu mendapatkan pelatihan khusus untuk mengembangkan skenario PBL.
Sekolah hendaknya memfasilitasi PTK sebagai budaya profesional guru.
Diperlukan panduan resmi dari Kemendikbudristek untuk integrasi PBL dalam kurikulum kejuruan.
Kesimpulan
Penelitian Windri Eka Candri membuktikan bahwa penerapan model pembelajaran Problem Based Learning yang dipadukan dengan metode Drill dapat meningkatkan kompetensi siswa dalam menghitung konstruksi balok sederhana. Tidak hanya berdampak pada hasil akademik, metode ini juga mendorong keaktifan siswa dan meningkatkan kualitas pembelajaran guru. Studi ini patut dijadikan rujukan untuk pembaruan metode pengajaran di SMK teknik sipil.
Sumber Referensi
Candri, W. E. (2021). Peningkatan Kompetensi Konstruksi Balok Sederhana melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning Dipadukan dengan Metode Drill. Jurnal Pensil, 10(1), 34–39. https://doi.org/10.21009/jpensil.v10i1.18505
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 26 Mei 2025
Dalam dunia konstruksi modern, keterlambatan proyek bukan hanya sebuah ketidakefisienan, melainkan potensi kerugian besar yang bisa berdampak pada reputasi, biaya, dan relasi antar pihak. Artikel “Analisis Faktor Risiko terhadap Keterlambatan Proyek Konstruksi The Himana Condotel” oleh Ni Made Sintya Rani dan Ni Kadek Sri Ebtha Yuni dari Politeknik Negeri Bali memberikan studi kasus konkret mengenai bagaimana risiko keterlambatan teridentifikasi dan diatasi secara sistematis melalui pendekatan manajemen risiko berbasis kuantitatif.
Artikel ini menjadi sangat relevan, terutama dalam konteks pertumbuhan industri konstruksi di kawasan wisata seperti Bali, di mana tekanan terhadap kualitas dan ketepatan waktu sangat tinggi. Resensi ini akan mengurai poin-poin utama dalam artikel tersebut dan mengaitkannya dengan praktik terbaik industri serta tren manajemen proyek global.
Proyek The Himana Condotel yang dikerjakan oleh PT. Jaya Kusuma Sarana Bali di Kabupaten Badung, Bali, dirancang untuk diselesaikan dalam waktu 18 bulan. Namun, dalam pelaksanaannya, proyek ini mengalami keterlambatan yang signifikan. Penelitian ini mengidentifikasi 48 uraian risiko yang dikategorikan ke dalam 5 variabel utama:
Dari kelima aspek tersebut, penelitian menemukan bahwa 17 uraian risiko memiliki tingkat risiko tinggi dengan persentase dominan sebesar 36%, menjadikan risiko ini sebagai perhatian utama dalam proses mitigasi.
Pendekatan yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif, dengan pengumpulan data melalui:
Dengan dominasi responden berpengalaman (57,14% memiliki pengalaman kerja 10–15 tahun), keandalan data menjadi kekuatan utama studi ini.
Analisis Risiko: Apa Saja Faktor Paling Menentukan?
1. Risiko Perencanaan
Salah satu risiko dominan adalah penentuan durasi waktu kerja yang kurang terperinci. Ini menimbulkan efek domino yang menghambat berbagai tahapan pelaksanaan proyek. Hal ini menunjukkan pentingnya penyusunan jadwal berbasis metode seperti CPM (Critical Path Method) dan integrasi dengan tools seperti BIM 4D.
2. Risiko Dokumen dan Kontrak
Termasuk di antaranya:
Masalah-masalah ini berkorelasi kuat dengan lemahnya manajemen perubahan (change management), yang dalam proyek konstruksi seharusnya diatur melalui dokumen formal seperti addendum kontrak dan SOP persetujuan desain.
3. Risiko Pelaksanaan
Hal ini menegaskan pentingnya sertifikasi dan pelatihan SDM, serta kontrol kualitas yang kuat.
4. Risiko Sumber Daya
Dalam tren industri, penggunaan metode Just-in-Time (JIT) seringkali menjadi pisau bermata dua. Tanpa dukungan sistem logistik dan procurement yang kuat, metode ini justru meningkatkan risiko keterlambatan.
5. Risiko Lingkungan
Risiko ini bersifat eksternal:
Proyek yang berada di wilayah dengan aktivitas adat tinggi seperti Bali memang membutuhkan analisis sosial-budaya sebagai bagian dari feasibility study dan perencanaan awal.
Berdasarkan skala kemungkinan (likelihood) dan dampak (consequences), risiko-risiko diklasifikasikan sebagai berikut:
Risiko yang masuk kategori ekstrem memerlukan tindakan langsung, sementara risiko tinggi harus menjadi fokus perhatian manajemen tingkat atas.
Strategi Mitigasi: Apa Saja yang Bisa Dilakukan?
Penulis menawarkan berbagai tindakan mitigasi berbasis hasil wawancara dan best practices, seperti:
Pendekatan ini tidak hanya reaktif, tetapi juga proaktif dan partisipatif, sesuai dengan prinsip manajemen risiko modern.
Kritik & Opini: Apakah Sudah Cukup?
Secara umum, artikel ini menyajikan struktur risiko yang solid. Namun, ada beberapa catatan:
Sebagai perbandingan, penelitian oleh Sukirno (2015) menekankan bahwa risiko desain dan perubahan spesifikasi dapat meningkat drastis akibat kelalaian komunikasi dalam tim proyek.
Hubungan dengan Tren Global
Penelitian ini relevan dengan tren global konstruksi yang mengedepankan:
Misalnya, implementasi Building Information Modeling (BIM) dengan fitur 4D dan 5D memungkinkan perencanaan dan pemantauan risiko yang lebih akurat dan real-time. Dalam konteks proyek seperti The Himana Condotel, BIM dapat membantu memvisualisasikan dampak keterlambatan terhadap seluruh urutan kerja.
Penelitian ini menunjukkan bahwa:
Namun, untuk proyek-proyek ke depan, perlu dipertimbangkan pendekatan berbasis digital serta peran stakeholder yang lebih partisipatif dalam proses manajemen risiko.
Saran Strategis untuk Praktisi Konstruksi
Referensi Asli Artikel:
Ni Made Sintya Rani & Ni Kadek Sri Ebtha Yuni. (2021). Analisis Faktor Risiko terhadap Keterlambatan Proyek Konstruksi The Himana Condotel. PADURAKSA: Volume 10, Nomor 1, Juni 2021. P-ISSN: 2303-2693, E-ISSN: 2581-2939.
Wirausaha Kreatif Lokal
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 26 Mei 2025
Pendahuluan: Celuk dan Konstelasi Pariwisata Bali
Desa Celuk di Kabupaten Gianyar, Bali, telah menjelma sebagai ikon kerajinan perak yang mendunia. Popularitasnya tidak lepas dari perkembangan sektor pariwisata Bali yang terus meningkat sejak 1960-an. Artikel ini merefleksikan temuan penting dari tesis Yerik Afrianto Singgalen (2015) yang mengangkat isu keberlangsungan bisnis seni kerajinan perak dengan fokus pada pemanfaatan bentuk-bentuk modal oleh pengusaha lokal dan migran. Kajian ini menggabungkan pendekatan etnografi dan teori modal Pierre Bourdieu untuk menelusuri bagaimana individu bertahan dan bersaing dalam ranah seni kriya.
Modal sebagai Instrumen Bertahan dan Berkembang (H2)
Empat Modal Utama dalam Perspektif Bourdieu (H3)
Singgalen mengidentifikasi bahwa kesuksesan pengusaha dan pengrajin di Celuk sangat dipengaruhi oleh pemanfaatan empat modal utama:
Modal Sosial: jejaring sosial dan koneksi budaya yang mendukung kelangsungan usaha.
Modal Budaya: keterampilan turun-temurun, pengetahuan teknis, dan gaya hidup berwirausaha.
Modal Ekonomi: aset tetap seperti toko, bahan baku, dan alat produksi.
Modal Simbolik: reputasi, status sosial, dan penghargaan komunitas.
Perbedaan Strategi Lokal dan Migran
Pengusaha lokal memiliki akses kuat terhadap semua jenis modal dan cenderung memulai dari warisan budaya.
Pengrajin migran lebih mengandalkan modal sosial dan budaya, lalu membangun akses ekonomi secara bertahap.
studi ini menunjukkan bahwa dominasi dalam ranah tidak ditentukan semata oleh bakat atau kerja keras, tetapi juga struktur sosial yang tidak setara.
Studi Kasus dan Fakta Lapangan (H2)
Dampak Bom Bali dan Strategi Koping (H3)
Tragedi Bom Bali II mengakibatkan penurunan drastis wisatawan. Usaha perak terpaksa:
Menekan biaya produksi.
Melakukan diversifikasi produk.
Meningkatkan penjualan ke pasar lokal dan daring.
Kisah Migran: Dari Pengrajin ke Pengusaha Mandiri
Salah satu informan migran memulai usaha dengan hanya mengandalkan:
Hasil tabungan kerja.
Kemampuan produksi yang dikuasai selama menjadi pekerja.
Jaringan ke pengusaha dan pengepul lokal.
Hasilnya? Mereka berhasil mendapatkan pesanan secara konsisten dan bahkan merekrut tenaga kerja sendiri.
Analisis Kritis: Ketimpangan Akses Modal (H2)
Studi ini menyoroti adanya stratifikasi sosial:
Penduduk lokal lebih mudah mencapai posisi dominan.
Migran harus bersaing di jalur berbeda dan menghadapi resistensi sosial.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa keberhasilan dalam usaha tidak hanya berbasis kapasitas personal, tapi juga relasi kuasa dan legitimasi sosial yang diperoleh dari habitus masing-masing.
Rekomendasi dan Relevansi Praktis (H2)
Bagi Pemerintah Daerah:
Perlu ada pelatihan dan akses kredit untuk pengrajin migran.
Perlindungan terhadap hak pekerja dan pengrajin informal.
Bagi Pelaku Usaha:
Membangun kolaborasi antara pengrajin migran dan pengusaha lokal.
Optimalisasi penjualan daring dan ekspor sebagai strategi diversifikasi.
Perbandingan dengan Studi Sejenis (H2)
Studi ini berbeda dari karya Moyes et al. (2015) dan Gomulia & Manurung (2014) karena:
Memadukan semua jenis modal Bourdieu.
Menghadirkan narasi empiris dari dua kelompok sosial berbeda dalam satu ranah ekonomi.
Kesimpulan: Seni Kriya dalam Arus Modal Sosial Budaya (H2)
Bisnis kerajinan perak di Celuk bukan sekadar soal produksi, tapi tentang bagaimana individu mengakses dan memanfaatkan modal yang tersedia. Artikel ini menggarisbawahi pentingnya memahami konteks sosial dan budaya dalam keberhasilan wirausaha di sektor kreatif.
Sumber
Yerik Afrianto Singgalen. (2015). Bisnis Seni Kerajinan Perak di Desa Celuk: Pemanfaatan Modal dalam Dinamika Berwirausaha. Universitas Kristen Satya Wacana.
Teknologi Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 26 Mei 2025
Pendahuluan
Di tengah akselerasi pembangunan infrastruktur nasional, salah satu tantangan mendasar yang dihadapi Indonesia adalah keterbatasan tenaga teknisi konstruksi yang layak dan tersertifikasi. Artikel ilmiah oleh Muhammad Agung Wibowo dan Manlian R. A. Simanjuntak (2021) membahas secara mendalam kondisi ini melalui kajian model kelaikan tenaga teknisi konstruksi di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan D.I. Yogyakarta. Resensi ini bertujuan mengulas isi penelitian tersebut secara kritis, dengan penambahan analisis praktis dan keterkaitannya dengan tantangan dunia konstruksi saat ini.
Latar Belakang dan Signifikansi Penelitian
Tantangan Sertifikasi Tenaga Konstruksi
Berdasarkan data Kementerian PUPR tahun 2020, dari 5,2 juta tenaga kerja konstruksi, hanya 107.562 orang atau sekitar 6,46% yang memiliki sertifikat, terdiri dari 29.417 pemegang SKA dan 78.145 pemegang SKT. Artinya, lebih dari 93% pekerja belum tersertifikasi—angka yang mengkhawatirkan di tengah tuntutan mutu dan keselamatan kerja.
Peran Strategis Teknisi dalam Proyek Infrastruktur
Tenaga teknisi, berada di antara level operator dan tenaga ahli, memegang peran vital dalam implementasi teknis dan pengawasan mutu di lapangan. Tanpa kompetensi dan sertifikasi yang memadai, kualitas pembangunan bisa terancam.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif berbasis Soft Systems Methodology (SSM). Tujuh tahap SSM diterapkan, termasuk analisis rich picture dan model konseptual berbasis CATWOE (Customers, Actors, Transformation, Worldview, Owners, Environmental constraints). Data dikumpulkan dari literatur, database konstruksi nasional, dan studi sebelumnya.
Temuan Utama dan Analisis Wilayah
Komposisi Tenaga Teknisi Berdasarkan Kualifikasi
Berikut adalah distribusi tenaga teknisi pada tiga wilayah yang dikaji:
DKI Jakarta: 3.972 (Kualifikasi I), 985 (II), 29.565 (III)
Jawa Barat: 14.206 (I), 6.933 (II), 17.152 (III)
D.I. Yogyakarta: 1.918 (I), 1.560 (II), 3.111 (III)
Tren penting: Jakarta mengalami penurunan teknisi hingga 33% dari 2019 ke 2020, sedangkan Jawa Barat tumbuh 29%, Yogyakarta naik 5%. Perbedaan ini menunjukkan perlunya strategi daerah yang kontekstual.
Ketidakseimbangan Supply dan Demand
Laporan McKinsey Global Institute (2016) menyebutkan bahwa pada 2030, Indonesia membutuhkan 113 juta tenaga teknisi, namun per 2020 baru tersedia 57 juta. Ketimpangan ini makin terasa dalam sektor konstruksi, yang sangat bergantung pada SDM teknis.
Kajian Model Kelaikan Tenaga Teknisi
Model kelaikan teknisi konstruksi dalam studi ini dibangun berdasarkan indikator Project Resource Management (PRM) dari PMBOK dan ISO 9001:2015. Indikator tersebut mencakup:
Perencanaan sumber daya
Akuisisi tim proyek
Pengembangan tim
Pengelolaan tim
Penerapan CATWOE mengungkap bahwa transformasi yang dibutuhkan adalah penerapan sistem manajemen SDM konstruksi berbasis kompetensi dan sertifikasi, dengan LPJK dan pemerintah sebagai aktor utama.
Nilai Tambah dan Implikasi Praktis
Perbandingan dengan Studi Sebelumnya
Studi ini memperkuat hasil Widiasanti (2013) dan Haryadi (2010), yang menyoroti bahwa portfolio kompetensi dan dukungan asosiasi profesi seperti LPJK menjadi kunci peningkatan kelaikan tenaga teknisi. Namun, penelitian ini menambahkan kerangka CATWOE sebagai pendekatan sistemik yang memberi kejelasan peran dan strategi aksi.
Relevansi Industri Saat Ini
MEAs dan persaingan tenaga asing: Ketersediaan teknisi kompeten domestik menjadi benteng penting dari masuknya tenaga asing non-kompeten.
Digitalisasi konstruksi: Perlu teknisi yang adaptif terhadap BIM, alat ukur digital, dan software perencanaan.
Kritik terhadap Penelitian
Kelebihan:
Pendekatan SSM dan CATWOE memberikan kerangka sistemik yang jarang digunakan di riset tenaga kerja konstruksi.
Data didasarkan pada sumber kredibel nasional dan disusun terstruktur.
Kelemahan:
Sampel wilayah terbatas pada tiga provinsi—belum mewakili Indonesia Timur.
Tidak ada data primer melalui wawancara atau survei lapangan.
Rekomendasi Strategis
Peningkatan pelatihan dan sertifikasi teknisi oleh LPJK dengan kolaborasi kampus vokasi.
Pendekatan berbasis daerah: Daerah harus menyusun strategi berdasarkan proyeksi kebutuhan SDM lokal.
Digitalisasi sistem manajemen SDM konstruksi, termasuk pelacakan portofolio teknisi.
Inklusi indikator PRM dan ISO dalam regulasi nasional, agar kelaikan tidak hanya administratif, tapi operasional.
Kesimpulan
Penelitian ini menyajikan peta permasalahan sekaligus model konseptual untuk mengatasi krisis tenaga teknisi konstruksi di Indonesia. Dengan pendekatan sistemik berbasis SSM dan analisis CATWOE, studi ini berhasil menghubungkan antara regulasi, kebutuhan pasar, dan kesiapan SDM. Penerapan model ini dapat menjadi pijakan penting bagi pembuat kebijakan dan penyedia jasa konstruksi untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Sumber Referensi
Wibowo, M. A., & Simanjuntak, M. R. A. (2021). Kajian Model Kelaikan Tenaga Teknisi Konstruksi di dalam Proses Pembangunan Infrastruktur di Beberapa Wilayah Indonesia. Seminar Nasional Ketekniksipilan, Infrastruktur dan Industri Jasa Konstruksi (KIIJK).
Manajemen Strategis
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 26 Mei 2025
Pendahuluan
Di tengah dinamika dunia kerja yang kian kompleks dan penuh ketidakpastian, dua kualitas utama menjadi penentu utama keberhasilan kinerja karyawan: resiliensi dan kompetensi. Artikel ilmiah oleh Susanto et al. (2023) yang terbit dalam Indonesian Journal of Business Analytics mengupas secara mendalam bagaimana kedua faktor ini memengaruhi kinerja pegawai, dengan Key Performance Indicator (KPI) sebagai variabel intervening yang krusial. Resensi ini mengupas kembali hasil riset tersebut dengan pendekatan yang komunikatif, analitis, dan mengaitkannya dengan konteks industri serta tren sumber daya manusia modern.
Apa yang Dimaksud dengan Resiliensi dan Kompetensi?
Resiliensi dalam Dunia Kerja Modern
Resiliensi adalah kemampuan individu untuk bangkit dan tetap produktif di tengah tekanan dan kesulitan. Dalam konteks pekerjaan, resiliensi membantu karyawan tetap fokus, fleksibel, dan proaktif meski menghadapi tantangan berat seperti perubahan target, tekanan deadline, hingga reorganisasi internal. Menurut Cooper et al. (2019), resiliensi juga berperan penting dalam menjaga well-being karyawan.
Kompetensi sebagai Modal Dasar Kinerja
Kompetensi mencakup kombinasi antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja. Karyawan yang kompeten tak hanya mampu menyelesaikan tugas secara efektif, tetapi juga cakap dalam pengambilan keputusan dan problem solving. Kompetensi bersifat dinamis dan dapat ditingkatkan melalui pelatihan, rotasi kerja, dan pembelajaran berkelanjutan.
Studi Kasus dan Temuan Penelitian
Artikel ini berbasis analisis 15 artikel ilmiah internasional dari jurnal bereputasi tinggi. Metodologi yang digunakan bersifat kualitatif dengan pendekatan analisis isi. Beberapa studi yang menjadi rujukan antara lain:
Waris (2015): Kompetensi, pelatihan, dan disiplin kerja berkontribusi positif terhadap kinerja pegawai di sektor asuransi.
Subari & Raidy (2015): Menyoroti pentingnya komunikasi internal dalam memoderasi pengaruh motivasi terhadap performa.
Cooper et al. (2019): Menemukan hubungan langsung antara praktik HRM berbasis well-being dengan peningkatan resiliensi dan performa.
Nwabuike et al. (2022): Menunjukkan korelasi kuat (R = 0,915) antara resiliensi emosional dengan performa karyawan di bank komersial.
Peran KPI sebagai Jembatan
Key Performance Indicator (KPI) digunakan sebagai alat ukur objektif terhadap output kerja. Penelitian ini memperlihatkan bahwa KPI bukan hanya sebagai alat ukur, tetapi juga sebagai jembatan yang memperkuat hubungan antara resiliensi, kompetensi, dan kinerja.
Analisis Tambahan dan Relevansi Industri
Mengapa KPI Menjadi Penentu Utama?
KPI membantu manajemen menetapkan ekspektasi kerja, memantau performa, dan memberi umpan balik terukur. Ketika KPI diintegrasikan dengan pendekatan pengembangan resiliensi dan kompetensi, hasilnya lebih berdampak.
Implementasi di Industri
Sektor Kesehatan: Liu & Itoh (2013) mengembangkan model manajemen dialisis berbasis KPI untuk peningkatan layanan.
Sektor Konstruksi: Rony (2020) menunjukkan bahwa model kompetensi berperan penting dalam evaluasi kinerja proyek.
Sektor Perbankan: Studi Cooper menunjukkan HRM berbasis kesejahteraan meningkatkan retensi dan performa.
Nilai Tambah: Tren HR Terkini
HR Analytics: Menggunakan big data untuk prediksi performa berbasis KPI.
Employee Experience Design: Mendesain pengalaman kerja yang memperkuat resiliensi dan pemberdayaan.
Blended Learning: Meningkatkan kompetensi melalui kombinasi pelatihan daring dan on-site.
Kritik terhadap Studi
Kekuatan
Literatur yang digunakan sangat luas dan kredibel.
Pendekatan meta-analisis kualitatif memperkuat validitas temuan.
Kelemahan
Tidak dijelaskan bagaimana perbedaan sektor atau budaya organisasi memengaruhi hubungan antar variabel.
Tidak semua penelitian dikaji mendalam secara metodologis.
Rekomendasi Praktis untuk Perusahaan
Integrasikan KPI dengan program resiliensi dan pelatihan kompetensi.
Buat indikator KPI yang spesifik untuk mengukur dampak psikologis dan sosial dari pekerjaan.
Kembangkan HRM berbasis kesejahteraan dan fleksibilitas kerja.
Kesimpulan
Artikel ini menguatkan bahwa resiliensi dan kompetensi adalah pilar utama kinerja karyawan, dengan KPI sebagai penguat hubungan antara keduanya. Penemuan ini menjadi dasar penting bagi pengembangan sistem manajemen kinerja berbasis sains yang humanistik.
Sumber Referensi
Susanto, P. C., Hidayat, W. W., Widyastuti, T., Rony, Z. T., & Soehaditama, J. P. (2023). Analysis of Resilience and Competence on Employee Performance through Intervening Key Performance Indicator Variables. Indonesian Journal of Business Analytics, 3(3), 899–910. https://doi.org/10.55927/ijba.v3i3.4274