Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025
Pendahuluan
Seiring dengan akselerasi pembangunan infrastruktur di Indonesia, model kontrak EPC (Engineering, Procurement, and Construction) menjadi pilihan utama berbagai proyek strategis nasional. Namun, tingginya angka klaim dan sengketa yang muncul dalam implementasinya mengindikasikan adanya persoalan fundamental dalam pemahaman dan pelaksanaan kontrak tersebut. Paper yang ditulis oleh Iskandar, Sarwono Hardjomuljadi, dan Hendrik Sulistio (2021), dan dipublikasikan di jurnal Review of International Geographical Education (RIGEO), mengulas faktor-faktor dominan penyebab sengketa dan klaim dalam kontrak EPC infrastruktur di Indonesia.
Latar Belakang dan Urgensi Studi
Proyek-proyek besar seperti LRT, jalan tol, pembangkit listrik, hingga kereta cepat, kebanyakan menggunakan model kontrak EPC. Meski model ini menawarkan efisiensi melalui pembayaran lumpsum, kenyataannya banyak proyek menghadapi masalah karena perbedaan persepsi antara pengguna jasa dan penyedia layanan. Tidak hanya berdampak finansial, namun sengketa ini memperlambat penyelesaian proyek dan memperburuk reputasi pelaku industri.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini berbasis data primer melalui kuesioner dan wawancara dengan 116 responden yang terdiri dari pemilik proyek, kontraktor, konsultan, dan auditor. Instrumen penelitian divalidasi menggunakan SPSS v23 dengan pendekatan uji validitas dan reliabilitas. Variabel diuji menggunakan indeks Relative Importance Index (RII) untuk mengukur bobot pengaruh terhadap penyebab klaim dan sengketa.
Temuan Utama Penelitian
1. Perbedaan Persepsi Antar Pihak
Terdapat perbedaan persepsi signifikan antara pengguna jasa dan penyedia layanan. Mayoritas kontraktor menilai pihak lain sebagai penyebab utama sengketa, sedangkan auditor mengkritisi lemahnya pelaksanaan kontrak.
2. Tiga Faktor Utama Penyebab Sengketa
Berdasarkan hasil RII konsolidasi dari seluruh responden, tiga faktor utama penyebab sengketa adalah:
3. Temuan Khusus Berdasarkan Kelompok Responden
4. Studi Kasus Tambahan
Sebagai ilustrasi, proyek pembangkit listrik di Sumatera mengalami klaim sebesar 10% dari nilai kontrak akibat keterlambatan dokumen desain dari konsultan. Dalam hal ini, kontraktor menggugat perpanjangan waktu (EOT) dan kompensasi biaya, yang menimbulkan sengketa hingga ke tingkat arbitrase.
Analisis dan Opini
Penelitian ini memberikan gambaran menyeluruh mengenai kompleksitas implementasi kontrak EPC. Fakta bahwa pemahaman kontrak masih minim dan proses administrasi tidak dijalankan dengan disiplin menjadi akar masalah utama. Ketiadaan standar baku nasional untuk implementasi kontrak EPC menambah kerumitan.
Menariknya, penelitian ini juga mengungkap bahwa pendekatan "saling menyalahkan" menjadi budaya dalam proyek, di mana tiap pihak merasa tidak bersalah. Ini menunjukkan pentingnya pelatihan kontraktual dan komunikasi lintas pihak sejak awal proyek.
Jika dibandingkan dengan studi internasional seperti yang dilakukan oleh Du et al. (2016) dan Tang et al. (2020), proyek EPC di Indonesia cenderung lebih rentan terhadap sengketa karena aspek pengawasan dan pendampingan hukum yang lemah.
Implikasi Praktis
Penelitian ini menyarankan langkah-langkah preventif yang dapat diambil oleh berbagai pihak:
Kesimpulan
Kontrak EPC memiliki potensi untuk menyederhanakan pelaksanaan proyek besar, namun risiko sengketa tetap tinggi bila administrasi, pemahaman kontrak, dan koordinasi tidak dijalankan dengan benar. Tiga faktor dominan yang menyebabkan sengketa—yaitu administrasi kontrak, serah terima lahan, dan interpretasi kontrak—perlu mendapat perhatian khusus. Penelitian ini menjadi acuan penting untuk memperkuat ekosistem manajemen konstruksi di Indonesia.
Sumber:
Iskandar, Hardjomuljadi, S., & Sulistio, H. (2021). The Most Influencing Factors on the Causes of Construction Claims and Disputes in the EPC Contract Model of Infrastructure Projects in Indonesia. Review of International Geographical Education (RIGEO), 11(2), 80–91. https://doi.org/10.48047/rigeo.11.02.07
Kegagalan Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025
Pendahuluan
Rumah sakit adalah fasilitas vital yang harus tetap berfungsi dalam segala kondisi, termasuk saat bencana seperti gempa bumi. Namun, salah satu elemen arsitektural yang sering kali luput dari perhatian adalah plafon. Melalui studi berjudul "Relationship of Damage Causes and Ceiling Damage Levels in Indonesia Hospital" oleh Rita Laksmitasari Rahayu, Sugeng Triyadi S., dan Lily Tambunan (2022), diketahui bahwa plafon rumah sakit di Indonesia sangat rentan terhadap kerusakan, baik akibat gempa maupun faktor-faktor lain seperti kebocoran dan kesalahan konstruksi.
Penelitian ini menelaah 39 data kerusakan dari 28 rumah sakit daerah di Indonesia dan menunjukkan bahwa walau kebocoran air menjadi penyebab paling umum, gempa bumi tetap menjadi penyebab kerusakan paling fatal.
Latar Belakang dan Urgensi Studi
Kerusakan arsitektural seperti plafon dapat menyebabkan kegagalan fungsional rumah sakit meskipun struktur utama masih berdiri. Pasien yang sedang dirawat memiliki mobilitas terbatas, dan plafon yang runtuh berpotensi mencelakai mereka. Oleh karena itu, memahami hubungan antara penyebab dan tingkat kerusakan plafon adalah langkah penting dalam meningkatkan ketahanan rumah sakit di Indonesia.
Tujuan dan Metodologi Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara penyebab kerusakan dengan tingkat keparahan kerusakan plafon. Data dikumpulkan melalui observasi lapangan di tiga rumah sakit dan tinjauan literatur terhadap 25 rumah sakit lainnya. Penelitian menggunakan metode kuantitatif, termasuk teknik open coding dan content analysis dari artikel media daring, serta pengukuran tingkat kerusakan berdasarkan European Macroseismic Scale (EMS).
Hasil Temuan Utama
1. Lokasi Rawan Kerusakan
Sebanyak 72% kerusakan plafon ditemukan di unit rawat inap, lokasi yang paling kritis karena pasien tidak dapat menyelamatkan diri secara cepat. Unit ICU, instalasi farmasi, dan ruang tunggu publik juga terdampak namun lebih jarang.
2. Jenis dan Pola Kerusakan
3. Penyebab Kerusakan Plafon
4. Tingkat Kerusakan
Berdasarkan EMS:
5. Studi Kasus Tambahan
Salah satu insiden di RSUD Sinjai, Sulawesi Selatan, menunjukkan plafon runtuh hanya setahun setelah renovasi. Pasien hampir tertimpa material plafon. Sumber utama masalah adalah kebocoran air dari pipa kamar mandi lantai atas yang tidak terdeteksi sejak awal.
Analisis dan Opini
Penelitian ini sangat kuat dalam mengaitkan antara kondisi material, sistem instalasi, dan potensi gempa dengan tingkat kerusakan plafon. Salah satu kritik utama terhadap praktik konstruksi rumah sakit di Indonesia adalah ketergantungan pada metode pemasangan plafon sederhana yang tidak memperhitungkan kekuatan gempa. Hal ini berlawanan dengan praktik terbaik internasional yang mengutamakan desain berbasis performa (performance-based design).
Jika dibandingkan dengan studi oleh Achour et al. (2011) di Jepang dan WHO (2010), rumah sakit Indonesia masih tertinggal dalam sistem evaluasi komponen non-struktural. Sementara negara-negara lain telah mengembangkan indeks keselamatan rumah sakit yang menyertakan plafon sebagai elemen krusial, Indonesia masih fokus pada kerusakan struktural.
Implikasi Praktis dan Rekomendasi
Desainer dan Kontraktor: Harus menerapkan standar anti-gempa untuk komponen plafon, termasuk pemilihan rangka dan pengikat yang tahan guncangan.
Manajemen Rumah Sakit: Rutin menginspeksi plafon terutama setelah musim hujan dan gempa.
Pemerintah: Perlu menetapkan regulasi khusus untuk instalasi plafon di fasilitas kesehatan.
Akademisi: Diperlukan riset lanjut dengan cakupan lebih luas dan teknik inspeksi yang lebih modern seperti drone atau thermal imaging untuk mendeteksi kelembaban tersembunyi.
Kesimpulan
Plafon rumah sakit merupakan komponen vital non-struktural yang selama ini kurang diperhatikan dalam konteks mitigasi bencana. Studi ini menegaskan pentingnya integrasi antara kualitas material, teknik konstruksi, dan evaluasi berkala untuk menjamin keselamatan pasien dan staf medis. Ke depan, standar nasional tentang instalasi dan pemeliharaan plafon di fasilitas kesehatan harus diperbarui secara menyeluruh.
Sumber:
Rahayu, R. L., Triyadi, S. S., & Tambunan, L. (2022). Relationship of Damage Causes and Ceiling Damage Levels in Indonesia Hospital. Civil Engineering and Architecture, 10(1), 163–174. https://doi.org/10.13189/cea.2022.100115
Kegagalan Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025
Pendahuluan: Lebih dari Sekadar Kesalahan Teknis
Dalam lanskap pembangunan Indonesia yang kian kompleks, kegagalan konstruksi bukan hanya persoalan teknis belaka. Penelitian oleh Riki Saputra dkk. (2016) membuka cakrawala baru dengan memaparkan bahwa akar dari banyak kegagalan konstruksi sesungguhnya bersumber dari sistem sosial—lebih tepatnya, perspektif socio-engineering system. Temuan ini bukan sekadar opini: data membuktikan bahwa hingga 66,7% kegagalan proyek konstruksi berkaitan dengan perilaku manusia, bukan sekadar desain atau material.
Apa Itu Socio-Engineering System?
Socio-engineering menggabungkan aspek rekayasa teknis (engineering system) dengan perilaku manusia dan struktur sosial (social system). Artinya, kualitas infrastruktur tidak hanya bergantung pada desain atau bahan, tetapi juga pada:
Dalam konteks proyek konstruksi, variabel-variabel ini menciptakan ekosistem risiko yang sulit terdeteksi namun sangat merusak.
Tiga Titik Rawan Kegagalan: Temuan Kunci Penelitian
1. Tahap Perencanaan Konstruksi
Tahap ini terbukti memiliki pengaruh besar terhadap kegagalan proyek. Dengan nilai OR (odds ratio) sebesar 5,4, responden yang menilai proses perencanaan sebagai “kurang baik” berisiko 5,4 kali lebih besar mengalami kegagalan konstruksi.
Faktor utama penyebab:
Kritik tambahan: Masalah ini tidak hanya mencerminkan lemahnya kontrol proyek, tetapi juga budaya kerja yang menjadikan kompromi terhadap kualitas sebagai “kebiasaan industri”.
2. Dokumen Perencanaan
Tahap dokumentasi pun menunjukkan nilai OR = 5,4, yang mengindikasikan bahwa dokumen perencanaan yang lemah berkontribusi besar terhadap potensi kegagalan.
Kasus nyata yang sering terjadi:
Tanggapan kritis: Hal ini mengarah pada pseudo-profesionalisme—praktik yang hanya formalitas namun mengabaikan kompetensi teknis. Jika dibiarkan, hal ini merusak reputasi dan efektivitas konsultan lokal.
3. Proses Pengadaan Barang dan Jasa
Inilah titik paling kritis. Dengan OR = 9,3, pengadaan yang tidak transparan membuat proyek 9 kali lebih berisiko gagal.
Praktik buruk yang ditemukan:
Studi kasus relevan: Dalam proyek revitalisasi drainase kota X (tidak disebut dalam paper), terjadi kolusi antara panitia tender dan pemenang proyek, yang menyebabkan kualitas pengerjaan buruk dan banjir besar kembali terjadi hanya tiga bulan pasca pembangunan.
Mengapa Perspektif Ini Penting untuk Masa Depan Industri Konstruksi?
Indonesia menghadapi tantangan infrastruktur masif dalam beberapa dekade ke depan, mulai dari Ibu Kota Nusantara (IKN) hingga proyek tol dan pelabuhan. Dengan tingkat kegagalan akibat faktor sosial setinggi ini, maka pembenahan sistem engineering saja tidak cukup.
Solusi yang ditawarkan berdasarkan analisis:
Komparasi dengan Penelitian Terkait
Jika dibandingkan dengan studi Oyfer (2002) di Amerika Serikat, faktor manusia juga mendominasi sumber kegagalan konstruksi (54%). Artinya, Indonesia tidak sendirian dalam tantangan ini. Namun, tingkat kegagalan karena korupsi sistemik di Indonesia jauh lebih tinggi, menunjukkan bahwa solusi tidak cukup dengan pelatihan teknis saja, melainkan perlu perubahan budaya dan regulasi.
Dampak Luas: Tidak Hanya Bangunan yang Runtuh
Kegagalan konstruksi membawa dampak jauh lebih besar dari sekadar kerugian material:
Rekomendasi: Jalan ke Depan bagi Industri Konstruksi
Agar masa depan konstruksi Indonesia lebih tahan risiko dan beretika, berikut rekomendasi berdasarkan hasil studi ini:
A. Untuk Pemerintah
B. Untuk Industri
C. Untuk Akademisi
Penutup: Infrastruktur Hebat Butuh Integritas Hebat
Konstruksi bukan sekadar bangunan. Ia adalah cermin sistem nilai, integritas, dan etika dari seluruh aktor yang terlibat. Penelitian oleh Riki Saputra dkk. menyajikan refleksi jujur sekaligus ajakan bertindak: tanpa perubahan budaya kerja dan etika profesional, pembangunan Indonesia hanya akan jadi proyek tanpa makna.
Sumber Referensi:
Saputra, Riki; Suraji, Akhmad; Hakam, Abdul. (2016). Analisis Kegagalan Konstruksi dari Perspektif Socio – Engineering System. Jurnal Rekayasa Sipil, Vol. 12 No. 1, Universitas Andalas. https://jurnal.ft.unand.ac.id/index.php/jrs/article/view/xxx
Kegagalan Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025
Pengantar: Ironi di Balik Anggaran Besar
Di tengah alokasi dana yang terus meningkat untuk proyek infrastruktur permukiman, kualitas hasil pembangunan di banyak daerah justru sering kali mengecewakan. Paper karya Dedi Suryadi, Hendrik Sulistio, dan Lia Amelia Megawati (2021) berjudul "Analisis Risiko Kegagalan Konstruksi Infrastruktur Permukiman" memotret ironi ini dengan pendekatan Soft System Methodology (SSM), sebuah metode analisis sistemik yang fokus pada kompleksitas dunia nyata.
Latar Belakang: Antara Harapan dan Kenyataan Pembangunan
Pemerintah Indonesia telah menggelontorkan anggaran besar untuk infrastruktur permukiman dalam rangka pemerataan pembangunan dari Sumatera hingga Papua. Namun, kenyataan di lapangan seperti di Kabupaten Bekasi menunjukkan ketidaksesuaian antara investasi dan kualitas fisik konstruksi yang terbangun. Kegagalan proyek kerap kali tidak hanya disebabkan oleh kesalahan teknis, tetapi juga oleh lemahnya manajemen proyek dan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang terlibat.
Metodologi: Soft System Methodology (SSM)
Penelitian ini menggunakan metode SSM untuk:
Melalui tahapan seperti rich picture dan analisis CATWOE, penulis menyusun gambaran utuh hubungan antara aktor, kebijakan, dan lingkungan proyek.
Temuan Utama: Variabel Risiko Dominan
Dari hasil survei dan analisis risiko di lapangan, ditemukan bahwa faktor paling dominan penyebab kegagalan konstruksi adalah:
1. Mutu SDM Rendah (peringkat risiko tertinggi)
2. Kualitas pekerjaan tidak sesuai spesifikasi
3. Perencanaan teknis yang tidak matang
4. Pengawasan lemah dan tidak menyeluruh
5. Budaya kerja kontraktor yang abai terhadap mutu
Sebagai ilustrasi, proyek jalan lingkungan di Bekasi pada 2020 mengalami retak dini hanya dua bulan pasca selesai. Evaluasi menunjukkan kesalahan dalam pemilihan material serta pelaksanaan yang tidak diawasi secara ketat.
Model Konseptual: Solusi Sistemik untuk Masalah Kompleks
Dengan bantuan SSM, penulis merancang model konseptual yang menggambarkan solusi seperti:
Model ini juga dilengkapi dengan pendekatan CATWOE (Customer, Actor, Transformation, Worldview, Owner, Environment) untuk memetakan semua elemen yang berpengaruh terhadap kegagalan proyek.
Analisis Tambahan: Kritik dan Perbandingan
Studi ini memberikan kritik halus terhadap lemahnya sinergi antara perencanaan dan eksekusi proyek. Banyak proyek gagal bukan karena kekurangan dana, melainkan karena pengelolaan yang tidak profesional.
Jika dibandingkan dengan studi Saputra (2015), yang menekankan faktor sosial dalam kegagalan proyek, riset Dedi dkk. ini lebih fokus pada sisi teknis dan kelembagaan. Keduanya saling melengkapi.
Implikasi Praktis
Hasil studi ini sangat aplikatif untuk:
Selain itu, konsep pemaketan proyek yang disesuaikan dengan kapasitas SDM setempat dapat menjadi formula strategis untuk proyek skala kecil dan menengah.
Rekomendasi Strategis
Berikut saran tindak lanjut berdasarkan riset:
Penutup: Membangun dari Dasar yang Kuat
Kegagalan konstruksi sering kali menjadi puncak dari akumulasi masalah kecil yang dibiarkan. Studi ini menunjukkan pentingnya membangun sistem yang memfasilitasi pemetaan masalah sejak awal. Dengan SDM yang mumpuni dan sistem pengawasan yang kuat, infrastruktur pemukiman bukan hanya bisa dibangun dengan baik, tetapi juga tahan lama dan tepat guna.
Referensi:
Penelitian ini dapat diakses di Jurnal BENTANG, Universitas Islam 45 Bekasi, Vol. 9 No. 2 Tahun 2021 melalui laman resmi: http://jurnal.unismabekasi.ac.id/index.php/bentang
Kegagalan Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025
Pendahuluan: Menjaga Pesisir, Menjaga Masa Depan
Pantai Pangandaran Timur merupakan aset wisata dan ekonomi penting bagi wilayah Pangandaran. Namun, kawasan ini mengalami tantangan berat berupa erosi pantai tahunan yang diperparah oleh musim angin timur. Tulisan karya Sukiyoto, M.Eng (2021) ini menjadi dokumentasi reflektif sekaligus analisis teknis atas kegagalan konstruksi bangunan pengaman pantai yang dibangun oleh pemerintah daerah dan pusat.
Latar Belakang: Abrasi dan Signifikansi Strategis Pantai Timur
Pantai Timur Pangandaran menghadapi erosi signifikan terutama pada bulan Agustus hingga Oktober. Gelombang besar yang muncul pada musim angin timur menyebabkan daratan pantai terus terkikis. Ini mengancam fasilitas pariwisata, penginapan, serta kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal.
Sebagai respon, Pemerintah Kabupaten Ciamis (sebelum Pangandaran menjadi kota mandiri) membangun konstruksi tembok laut (retaining wall) pada tahun 1986–1988. Namun, dalam beberapa tahun bangunan tersebut rusak diterjang gelombang, menandai kegagalan fungsional.
Kajian Teknis: Penyebab Kegagalan Bangunan Pengaman
1. Faktor Alam: Siklus Erosi dan Sedimentasi
2. Kegagalan Desain dan Konstruksi
3. Dampak Sosial dan Ekonomi
Analisis Skematis: Bagaimana Struktur Itu Gagal?
Sukiyoto menyajikan sketsa perkembangan kondisi pantai dan tembok laut:
1. Bangunan berdiri normal sebelum musim angin timur.
2. Gelombang besar menggerus pondasi.
3. Struktur terguling, retak, dan akhirnya hancur.
Peristiwa ini berulang selama beberapa tahun, hingga bangunan tidak lagi berfungsi. Dalam kerangka UU Konstruksi, ini dikategorikan sebagai kegagalan konstruksi karena tidak lagi menjalankan fungsinya.
Studi Komparatif dan Kritik Tambahan
Jika dibandingkan dengan proyek-proyek pengamanan pantai di Belanda atau Jepang, proyek Pangandaran Timur memiliki kekurangan mendasar:
Kritiknya: Bangunan pengaman dibangun dengan pendekatan yang terlalu teknokratis dan konvensional, tanpa cukup mempertimbangkan perilaku gelombang setempat.
Rekomendasi Strategis: Mencegah Terulangnya Kegagalan
A. Dari Sisi Perencanaan:
B. Dari Sisi Desain Konstruksi:
C. Dari Sisi Pendekatan Sosial dan Lingkungan:
D. Penguatan Institusi:
Penutup: Pembelajaran dari Kegagalan
Studi ini menjadi pengingat penting bahwa konstruksi di wilayah pesisir membutuhkan pemahaman ekosistem dan dinamika laut yang mendalam. Infrastruktur tidak bisa hanya dilihat dari sisi fisik, melainkan juga sebagai bagian dari sistem sosial dan ekologis yang kompleks.
Pengalaman gagalnya pengaman Pantai Pangandaran Timur dapat menjadi katalis peningkatan kapasitas SDM konstruksi, serta reformasi sistem perencanaan proyek infrastruktur pesisir di Indonesia.
Berikut format sumber referensi untuk artikel Kegagalan Konstruksi Bangunan Pengaman Pantai Pangandaran Timur karya Sukiyoto, disesuaikan seperti yang Anda minta:
Sumber Referensi:
Sukiyoto, M.Eng. (2021). Studi Kasus Kegagalan Konstruksi Bangunan Pengaman Pantai Pangandaran Timur. Jurnal PERTAHKINDO (Perkumpulan Tenaga Ahli Konsultan Indonesia).
https://pertahkindo.org/jurnal/file/b457375e87d6e90155ec70e3ba3c9356.pdf]
Kegagalan Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025
Pendahuluan
Kualitas konstruksi bangunan di wilayah rawan gempa seperti Kota Padang sangat menentukan keselamatan penghuninya. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan masih banyak proyek bangunan yang mengalami cacat dan potensi kegagalan struktural. Paper berjudul "Potential Defects & Failures in Building Industry" oleh Akhmad Suraji, Benny Hidayat, dan Afdaluz Zaki (2023), yang dipublikasikan dalam E3S Web of Conferences, mengungkap berbagai jenis cacat dan potensi kegagalan bangunan yang ditemukan dalam tiga proyek konstruksi di Kota Padang. Dengan pendekatan grounded theory dan metode kualitatif deskriptif, penelitian ini menyoroti aspek teknis, manajerial, dan manusiawi sebagai faktor utama penyebab cacat konstruksi.
Latar Belakang dan Urgensi Penelitian
Padang merupakan kawasan dengan aktivitas seismik tinggi yang berisiko mengalami gempa besar. Berdasarkan data PVMBG, intensitas guncangan dapat mencapai > VIII MMI, yang berarti sangat merusak. Dalam konteks ini, bangunan harus dirancang dan dikerjakan secara tahan gempa. Namun, penelitian ini menemukan bahwa kualitas konstruksi belum mencerminkan kesiapan tersebut. Tujuan utama studi ini adalah mengidentifikasi jenis cacat dan kegagalan, menganalisis penyebabnya, serta merekomendasikan strategi mitigasi.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan melalui survei lapangan di tiga proyek bangunan (kantor, perpustakaan, dan laboratorium) dengan teknik observasi, wawancara terhadap kontraktor pelaksana dan konsultan pengawas, serta dokumentasi kerusakan. Analisis menggunakan metode grounded theory dengan tiga tahap:
Hasil dan Temuan Utama
1. Cacat Teknis
Studi relevan: Kasus serupa terjadi di Semarang (Maharani & Priyanto, 2023), di mana mutu beton menurun karena kesalahan peracikan dan perawatan.
2. Cacat Manajerial
Kesalahan dalam perencanaan dan pengawasan konstruksi:
3. Cacat Akibat Faktor Manusia
4. Faktor Lingkungan
Studi Kasus Ilustratif
Dalam proyek kantor, ditemukan cacat pada sambungan balok dan kolom yang membentuk rongga. Jika tidak diperbaiki, berisiko menurunkan stabilitas bangunan. Solusinya adalah inspeksi menyeluruh dan perbaikan menggunakan perekat serta curing yang tepat.
Pada proyek laboratorium, cacat berupa defleksi balok di ujung-ujung karena beban tidak merata dan perancah lemah. Solusi: perkuatan dengan penyangga tambahan dan evaluasi ulang beban.
Analisis dan Opini
Penelitian ini memperkuat pentingnya pengawasan ketat dan pengetahuan teknis dalam proyek konstruksi, terutama di zona rawan gempa. Salah satu kekuatan studi ini adalah pendekatannya yang holistik, melibatkan aspek teknis, manajerial, hingga psikologis (perilaku pekerja). Namun, studi masih terbatas pada tiga proyek dan belum mencakup bangunan bertingkat tinggi atau proyek infrastruktur besar.
Perbandingan dengan penelitian internasional, seperti Atkinson (1999) di Inggris, menunjukkan bahwa kesalahan manusia dan lemahnya pengawasan juga menjadi penyebab dominan cacat konstruksi secara global. Namun, di Indonesia, faktor lingkungan dan gempa menjadi pembeda penting.
Rekomendasi Praktis dan Strategi Mitigasi
1. Teknis: Pastikan mutu bahan, sistem pencampuran beton, dan teknik perakitan sesuai standar SNI.
2. Manajerial: Terapkan perencanaan dinamis dan pengawasan lapangan yang aktif.
3. Sumber Daya Manusia: Latih tenaga kerja secara berkala, khususnya terkait konstruksi tahan gempa.
4. Desain: Gunakan sistem fondasi yang adaptif seperti KJRB untuk tanah lunak di wilayah gempa.
5. Pemantauan: Gunakan teknologi digital seperti drone dan sensor untuk inspeksi awal kerusakan.
Kesimpulan
Kualitas konstruksi di daerah rawan gempa seperti Padang harus diawasi dengan ketat. Penelitian ini membuktikan bahwa cacat bangunan disebabkan oleh kombinasi faktor teknis, manajerial, manusia, dan lingkungan. Ke depan, mitigasi harus bersifat menyeluruh dari hulu ke hilir, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pemeliharaan bangunan.
Sumber:
Suraji, A., Hidayat, B., & Zaki, A. (2023). Potential Defects & Failures in Building Industry. E3S Web of Conferences 464, 07007. https://doi.org/10.1051/e3sconf/202346407007