Infrastruktur Jalan

Mengungkap Akar Masalah Penurunan Kualitas Jalan Nasional: Analisis Sistemik Berbasis Metode SIDLACOM

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 05 Mei 2025


Pendahuluan: Jalan Nasional dan Krisis Kualitas yang Berulang

Kondisi jalan nasional di Indonesia sering menjadi sorotan karena cepat mengalami kerusakan meski belum lama diperbaiki. Hal ini tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi akibat terganggunya distribusi logistik dan transportasi, tapi juga memperbesar risiko kecelakaan. Lantas, apa akar dari masalah ini?

Dalam artikel berjudul “Analisis Sistemik Penurunan Kualitas Jalan Nasional Menggunakan Metode SIDLACOM”, Arifin dan rekan-rekannya mencoba menyigi persoalan ini secara komprehensif dengan menggunakan pendekatan sistemik. Penelitian ini tidak berhenti pada permukaan (seperti kesalahan teknis pelaksanaan proyek), melainkan menggali hubungan antar faktor—mulai dari kelembagaan, sumber daya manusia, manajemen proyek, hingga budaya kerja.

Metodologi: Pendekatan Sistemik ala SIDLACOM

SIDLACOM (Systemic, Identification, Learning, and Control Methodology) adalah metode pemecahan masalah sistemik yang memetakan interaksi antar elemen dalam suatu sistem, termasuk soft system seperti perilaku dan budaya organisasi. Metode ini terdiri dari tujuh komponen utama:

  1. Structure (Struktur Organisasi)

  2. Infrastructure (Sarana-Prasarana)

  3. Software (Perangkat Manajemen & Digitalisasi)

  4. Stakeholder (Pemangku Kepentingan)

  5. Strategy (Strategi Perencanaan)

  6. Skill (Kapasitas SDM)

  7. Style (Gaya Kepemimpinan dan Budaya Kerja)

 

Dalam konteks penelitian ini, SIDLACOM digunakan untuk memetakan penyebab penurunan kualitas jalan secara holistik dan menyusun strategi solutif berbasis sistemik.

Temuan Utama: Jalan Rusak, Sistem yang Sakit

1. Kelemahan dalam Struktur dan Infrastruktur

Penelitian mengungkapkan bahwa struktur organisasi pengelola proyek jalan nasional masih bersifat birokratis dan terfragmentasi. Koordinasi antar lembaga (seperti Kementerian PUPR, Dinas Provinsi/Kabupaten, dan pelaksana teknis) lemah, menyebabkan bottleneck dalam pengambilan keputusan dan respons terhadap kerusakan.

Selain itu, infrastruktur pendukung seperti laboratorium uji kualitas jalan atau sistem monitoring proyek belum optimal digunakan. Ini berdampak pada lemahnya pengawasan mutu konstruksi.

2. Ketimpangan Kompetensi SDM dan Gaya Kepemimpinan

Sebanyak 60% SDM yang terlibat dalam proyek jalan nasional di daerah studi tidak memiliki sertifikasi kompetensi terkini. Ini diperparah oleh gaya kepemimpinan yang cenderung top-down dan minim ruang diskusi antartim. Budaya kerja pun cenderung formalistik—mengutamakan administrasi dibanding kualitas teknis di lapangan.

3. Ketidakjelasan Strategi dan Lemahnya Digitalisasi

Strategi jangka panjang pembangunan jalan masih bersifat reaktif. Banyak proyek hanya menambal kerusakan daripada membangun ketahanan jangka panjang. Selain itu, pemanfaatan software manajemen proyek, seperti BIM (Building Information Modelling), masih minim. Ini menyebabkan ketidaktepatan dalam pengendalian mutu dan waktu pengerjaan.

Studi Kasus: Proyek Jalan Nasional di Sulawesi Tenggara

Penelitian mengambil studi kasus di Sulawesi Tenggara, khususnya ruas jalan nasional yang menghubungkan Kendari dengan beberapa kabupaten pesisir. Hasil observasi lapangan menunjukkan:

  • Kerusakan jalan muncul dalam waktu kurang dari 2 tahun pasca perbaikan.

  • Kontrol kualitas hanya dilakukan saat serah terima proyek, bukan selama proses pembangunan.

  • Kepuasan pengguna jalan sangat rendah, dengan indeks hanya 48 dari 100.

 

Data tersebut menunjukkan bahwa masalah kualitas jalan bukan sekadar pada teknis pengerjaan, tapi lebih kompleks dan sistemik.

Nilai Tambah dan Kritik terhadap Penelitian

Kelebihan:

  • Pendekatan sistemik sangat relevan untuk menjelaskan kompleksitas persoalan infrastruktur.

  • Penggunaan metode SIDLACOM berhasil membuka blind spot dalam manajemen proyek jalan nasional.

  • Studi kasus konkret memberikan gambaran nyata dan kontekstual.

Catatan Kritis:

  • Sampel data masih terbatas pada satu wilayah (Sulawesi Tenggara) sehingga generalisasi nasional perlu dikaji lebih lanjut.

  • Belum ada simulasi policy modeling untuk menguji dampak dari solusi yang diusulkan.

  • Aspek pembiayaan (funding structure) tidak

Perbandingan dengan Studi Sebelumnya

Beberapa studi terdahulu, seperti penelitian oleh Nugroho dkk. (2021) dalam Jurnal Infrastruktur Nasional, menyebut bahwa kualitas jalan dipengaruhi oleh faktor teknis seperti pemilihan material dan cuaca. Namun, Arifin dkk. memperluas cakupan analisis hingga ke faktor perilaku organisasi dan budaya kerja. Ini menjadikan penelitian ini sebagai kontribusi penting dalam wacana reformasi manajemen infrastruktur nasional.

 

Implikasi Praktis dan Rekomendasi Strategis

Penelitian ini menghasilkan beberapa rekomendasi strategis:

  1. Reformasi Struktur dan Digitalisasi Sistem

    • Pemerintah perlu mengintegrasikan data proyek dalam satu sistem digital lintas lembaga (misalnya melalui dashboard Kementerian PUPR berbasis cloud).

    • Sertifikasi SDM harus menjadi syarat wajib bagi pelaksana proyek strategis.

  2. Perubahan Gaya Kepemimpinan dan Budaya Kerja

    • Diperlukan gaya kepemimpinan partisipatif dan agile.

    • Budaya kerja berbasis continuous improvement harus dibangun sejak tahap perencanaan.

  3. Monitoring Jalan Berbasis Data

    • Sensor IoT dapat digunakan untuk mendeteksi kerusakan jalan secara real time.

    • Penilaian kepuasan pengguna jalan harus dilakukan rutin dan menjadi indikator kinerja utama (KPI).

Mengaitkan Temuan dengan Tantangan Industri

Dalam konteks transformasi digital sektor konstruksi, penggunaan BIM, GIS, dan dashboard monitoring menjadi tren global. Namun, seperti disorot dalam artikel ini, Indonesia masih tertinggal dalam adopsinya. Ini menjadi peluang sekaligus tantangan: tanpa perubahan sistemik, investasi besar pada infrastruktur bisa terus “bocor” di lapangan.

Kesimpulan: Jalan Rusak adalah Cerminan Sistem yang Lemah

Kerusakan jalan bukanlah masalah permukaan. Ia merupakan refleksi dari sistem manajemen proyek yang tidak sehat—mulai dari kelembagaan, kepemimpinan, hingga budaya kerja. Pendekatan SIDLACOM yang digunakan dalam artikel ini mampu memperlihatkan hubungan sebab-akibat yang selama ini tersembunyi.

Dengan penguatan sistem dan digitalisasi berbasis data, harapan untuk membangun jalan nasional yang tangguh bukanlah ilusi. Namun, dibutuhkan komitmen lintas sektor untuk menjadikan infrastruktur bukan hanya proyek fisik, tetapi juga representasi kualitas tata kelola bangsa.

Sumber:

Arifin, Tumpal Pandapotan Silalahi, dan Fajrin Fadillah. Analisis Sistemik Penurunan Kualitas Jalan Nasional Menggunakan Metode SIDLACOM. Dipublikasikan di Jurnal Penelitian Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Vol. 14 No. 2 (2021). Tersedia di: https://ejurnal.pps.uns.ac.id/index.php/jpptk/article/view/1119

Selengkapnya
Mengungkap Akar Masalah Penurunan Kualitas Jalan Nasional: Analisis Sistemik Berbasis Metode SIDLACOM

Manajemen Proyek

Evaluasi Kinerja Proyek Konstruksi: Studi Kasus Implementasi PMPK Kementerian PUPR

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 05 Mei 2025


Pendahuluan: Mengapa Evaluasi Kinerja Proyek Itu Krusial?

Dalam dunia konstruksi yang kompleks, dinamis, dan penuh risiko, keberhasilan sebuah proyek tidak hanya dinilai dari selesai atau tidaknya pembangunan, tetapi juga dari seberapa efektif proses manajemen yang diterapkan. Di sinilah peran evaluasi kinerja menjadi krusial.

Artikel ini membedah bagaimana Panduan Manajemen Proyek Konstruksi (PMPK) dari Kementerian PUPR menjadi alat evaluasi dalam proyek pembangunan Kantor Pusat Komando Pangkalan TNI AU Haluoleo di Kendari. Penelitian ini tidak hanya menilai hasil akhir proyek, tetapi juga menelusuri ketercapaian proses dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengendalian.

Metodologi: Studi Kasus Terapan dengan Pendekatan Kuantitatif-Kualitatif

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif dan kualitatif dengan metode studi kasus. Data dikumpulkan melalui:

  • Observasi langsung di lapangan

  • Wawancara dengan pelaku proyek

  • Dokumentasi proyek dan checklist berbasis PMPK

PMPK sendiri merupakan panduan terstruktur yang mencakup lima fase utama manajemen proyek:

  1. Inisiasi

  2. Perencanaan

  3. Pelaksanaan

  4. Pengendalian

  5. Penutupan

Evaluasi dilakukan dengan membandingkan pelaksanaan proyek terhadap indikator dalam PMPK, menghasilkan penilaian dalam tiga kategori:

  • Baik (≥76%)
  • Cukup (56–75%)
  • Kurang (≤55%)

Hasil Temuan: Evaluasi Menyeluruh Berdasarkan Lima Tahapan PMPK

1. Inisiasi (93,75%) – Sangat Baik

Proses awal proyek menunjukkan kinerja optimal. Dokumen studi kelayakan, lingkup pekerjaan, dan analisis risiko telah dipenuhi sesuai standar. Ini menunjukkan keseriusan pihak proyek dalam memulai dengan fondasi yang kuat.

2. Perencanaan (71,93%) – Cukup

Tahapan ini justru menunjukkan celah terbesar. Meskipun aspek waktu, biaya, dan mutu direncanakan, dokumentasi manajemen risiko dan strategi pengadaan belum optimal. Hal ini bisa berdampak pada ketidaksiapan dalam menghadapi perubahan selama pelaksanaan.

3. Pelaksanaan (84,09%) – Baik

Implementasi di lapangan cukup berhasil. Namun, terdapat kekurangan dalam integrasi pengawasan dan komunikasi antar stakeholder, yang bisa menimbulkan keterlambatan atau miskomunikasi.

4. Pengendalian (81,25%) – Baik

Proses kontrol menunjukkan keberhasilan dalam memonitor anggaran dan waktu. Sayangnya, pengendalian risiko belum maksimal karena tidak adanya sistem early warning.

5. Penutupan (83,33%) – Baik

Proses akhir proyek ditutup dengan baik—dokumentasi lengkap, pelaporan disampaikan, dan hasil akhir proyek sesuai kontrak.

Analisis Tambahan: Apa yang Bisa Dipelajari?

Ketimpangan antara Inisiasi dan Perencanaan

Skor tinggi pada tahap inisiasi yang kontras dengan perencanaan menunjukkan adanya “semangat awal” yang tidak diimbangi dengan kesiapan implementasi. Dalam banyak proyek di Indonesia, semangat eksekusi sering kali tidak diiringi dengan ketelitian perencanaan.

Kebutuhan Digitalisasi Manajemen Risiko

Tidak adanya sistem pengendalian risiko yang terdigitalisasi menyebabkan keterlambatan dalam mitigasi masalah. Implementasi sistem seperti BIM (Building Information Modeling) atau software manajemen proyek seperti Primavera bisa menjadi solusi konkret.

Pengaruh terhadap Efisiensi Biaya dan Waktu

Dengan kinerja perencanaan yang hanya “cukup”, potensi pembengkakan biaya dan deviasi waktu sangat besar. Data BPS menunjukkan bahwa 30% proyek konstruksi pemerintah di Indonesia mengalami keterlambatan karena perencanaan yang tidak matang (BPS, 2023).

Studi Kasus Pendukung: Proyek Tol Cisumdawu

Sebagai perbandingan, proyek Tol Cisumdawu juga mengalami hambatan besar di tahap perencanaan karena masalah pembebasan lahan yang tidak dipetakan secara strategis sejak awal. Akibatnya, proyek molor hampir 3 tahun.

Bandingkan dengan proyek TNI AU dalam artikel ini: meskipun dalam lingkup militer, proyek tetap mengalami kendala serupa. Artinya, sektor dan institusi berbeda tetap menghadapi masalah manajemen proyek yang mirip.

Opini Kritis: PMPK Perlu Diperbarui?

PMPK versi Kementerian PUPR sudah menjadi pedoman utama, tetapi masih ada ruang untuk pembaruan. Misalnya:

  • Tidak adanya indikator ESG (Environmental, Social, Governance) dalam evaluasi proyek. Padahal, aspek keberlanjutan kini krusial dalam proyek-proyek modern.

  • Kurangnya penekanan pada transformasi digital dalam manajemen proyek.

  • Belum ada mekanisme pembobotan risiko dan kompleksitas proyek.

Penambahan parameter-parameter tersebut akan membuat PMPK lebih adaptif terhadap kebutuhan industri konstruksi saat ini.

Implikasi Praktis bagi Manajer Proyek

  1. Manajemen Risiko Harus Proaktif
    Buat sistem deteksi dini risiko, bukan hanya sistem pelaporan setelah masalah terjadi.

  2. Dokumentasi Wajib Digital
    Gunakan platform seperti Microsoft Project, BIM 360, atau Trello untuk manajemen dokumen dan koordinasi.

  3. Pendidikan Berkelanjutan Bagi Tim Proyek
    Banyak proyek gagal bukan karena teknologi, tapi karena SDM tidak memahami prinsip dasar manajemen proyek.

Kesimpulan: Apakah PMPK Efektif?

Secara umum, PMPK terbukti sebagai alat evaluasi kinerja yang cukup efektif. Namun efektivitasnya sangat bergantung pada konsistensi implementasi oleh tim proyek. PMPK tidak akan berdaya jika hanya digunakan sebagai formalitas tanpa komitmen dari pelaku proyek.

Studi kasus proyek pembangunaEvaluasi proyek konstruksi dengan PMPK PUPR: studi kasus TNI AU Kendari, temuan kinerja, kritik metode, dan solusi digital yang aplikatif.n Komando TNI AU menunjukkan bahwa meskipun proyek mencapai kategori “baik”, masih ada ruang besar untuk perbaikan, terutama di aspek perencanaan dan manajemen risiko.

Sumber Resmi Artikel

Rahmatullah, Muh. Chaiddir Hajia, dan Muhammad Rusmin. Evaluasi Kinerja Proyek Konstruksi Berdasarkan Panduan Manajemen Proyek Konstruksi (PMPK) Kementerian PUPR. Jurnal Media Ilmiah Teknik Sipil, Vol. 10, No. 1, 2023.
Akses jurnal: https://ejournal.uho.ac.id/index.php/MITS/article/view/135

Selengkapnya
Evaluasi Kinerja Proyek Konstruksi: Studi Kasus Implementasi PMPK Kementerian PUPR

Konstruksi

Mengurai Simpul Kendala Inovasi: Analisis Penerapan Teknologi Terbatas dalam Proyek Jalan di Indonesia

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 05 Mei 2025


Pendahuluan: Mengapa Inovasi di Proyek Jalan Masih Tertahan?

 

Indonesia telah melangkah cepat dalam pembangunan infrastruktur, namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa inovasi teknologi belum sepenuhnya teradopsi secara optimal dalam sektor ini. Salah satu inisiatif penting untuk mempercepat transfer teknologi adalah penerapan pilot project—proyek percontohan berskala terbatas yang dimaksudkan sebagai uji coba dan validasi teknologi baru sebelum diadopsi secara luas.

 

Namun, pelaksanaan pilot project tidak selalu berjalan mulus. Penelitian Kiki Mohammad Iqbal (2020) mengangkat fenomena ini secara komprehensif, dengan membedah faktor-faktor kendala yang saling terkait dan mempengaruhi keberhasilan alih teknologi melalui penyedia jasa. Melalui pendekatan Interpretive Structural Modeling (ISM), tesis ini menawarkan peta struktural keterkaitan antar kendala, sebagai dasar pengambilan keputusan strategis di sektor jalan.

 

Konteks Riset: Dari Strategi Alih Teknologi ke Realita Pelaksanaan

 

Pusat Litbang Jalan dan Jembatan (Pusjatan) sebagai garda depan inovasi jalan nasional mencatat bahwa dalam periode 2016–2019, anggaran pilot project menyumbang hingga 80% dari total alokasi belanja litbang yang dieksekusi secara kontraktual. Namun demikian, hanya 9 dari 11 target teknologi yang berhasil diterapkan pada 2017. Kegagalan ini tidak semata karena faktor teknis, tapi karena dinamika kompleks antara para pemangku kepentingan, utamanya penyedia jasa yang belum siap menerima teknologi baru.

 

Metode Penelitian: Interpretive Structural Modeling (ISM)

 

Penelitian ini mengadopsi metode Interpretive Structural Modeling (ISM) yang bertujuan menyusun hierarki antar kendala. ISM menekankan pada driver power (faktor yang paling memengaruhi) dan dependence (faktor yang paling dipengaruhi). Dengan menggunakan wawancara semi-terstruktur dan kuesioner terhadap praktisi, model struktural ini menghasilkan peta keterkaitan untuk mengidentifikasi prioritas penyelesaian masalah.

 

Hasil Kunci: Faktor-Faktor Kendala yang Saling Mengikat

 

1. Kendala Paling Memengaruhi (High Driver Power)

Kemampuan Keuangan Kontraktor: Banyak penyedia jasa yang tidak memiliki cukup modal untuk menjalankan proyek teknologi baru yang memerlukan alat atau metode kerja khusus.

Sistem Lelang Berdasarkan Harga Terendah: Kebijakan ini seringkali menyebabkan pemenang proyek tidak memiliki kapasitas teknologi yang memadai.

 

Analisis tambahan: Dua faktor ini menunjukkan adanya celah besar antara kebijakan pengadaan dan kesiapan teknis di lapangan. Sistem lelang berbiaya rendah memang efisien secara anggaran, namun bisa menjadi jebakan bagi inovasi.

 

2. Kendala Paling Dipengaruhi (High Dependence)

Kualitas Penjadwalan Proyek: Ini menjadi indikator yang sangat bergantung pada faktor-faktor lain, seperti kapabilitas manajemen kontraktor dan koordinasi dengan pemilik proyek.

 

3. Keterkaitan Hierarki Faktor

Dengan ISM, faktor-faktor ini tidak berdiri sendiri, tetapi saling terhubung. Misalnya, kurangnya pelatihan terhadap teknologi baru memengaruhi kesalahan metode kerja, yang kemudian menyebabkan mutu hasil konstruksi tidak sesuai spesifikasi.

 

Studi Kasus & Data: Kinerja Pilot Project Pusjatan (2016–2019)

 

Tahun 2018 menjadi titik nadir dengan nihilnya realisasi melalui penyedia jasa, memperlihatkan bahwa penyedia swakelola (biasanya instansi pemerintah) lebih siap mengadopsi inovasi daripada sektor kontraktor swasta.

 

 

Kritik terhadap Penelitian Sebelumnya

 

Penelitian terdahulu (Hendrawan, 2018) menggunakan metode pemeringkatan bobot faktor untuk mengidentifikasi kendala utama. Namun, pendekatan tersebut gagal mengungkap keterkaitan antar faktor. Artinya, faktor dengan bobot tinggi belum tentu menjadi pemicu utama kegagalan implementasi jika tidak dipertimbangkan dalam konteks sistemik.

 

Tesis Kiki memberikan lompatan signifikan dengan menawarkan pemodelan hierarki kendala yang lebih realistis, berbasis pada interaksi dinamis antar elemen dalam sistem proyek.

 

Usulan Solusi dan Rekomendasi Praktis

 

Penelitian ini memberikan insight bagi pembuat kebijakan dan pelaksana proyek, di antaranya:

  • Revisi sistem lelang: Dari sekadar harga terendah menjadi berbasis value for money dan kompetensi teknis.
  • Pelatihan dan literasi teknologi: Khususnya bagi kontraktor lokal dan penyedia jasa kecil agar mampu memahami dan menerapkan teknologi baru.
  • Manajemen risiko kolaboratif: Pelibatan penyedia jasa sejak awal tahap perencanaan agar kendala teknis bisa diidentifikasi dini.
  • Evaluasi pascaproyek secara sistematis: Untuk mengukur dampak jangka panjang dari adopsi teknologi terbatas.

 

Implikasi Strategis dan Opini Penulis

 

Tesis ini sangat relevan di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur nasional. Ketika target akselerasi jalan tol, jembatan, dan jalan nasional terus dikejar, inovasi teknologi justru sering dikorbankan karena terbentur pada realitas lapangan.

 

Penulis menilai bahwa pilot project semestinya bukan hanya uji coba teknologi, tetapi juga menjadi laboratorium kebijakan di mana kelemahan dalam rantai pengadaan, manajemen proyek, hingga kapasitas SDM dapat diuji dan diperbaiki. Penelitian ini membuka peluang untuk mengubah pendekatan inovasi menjadi lebih sistemik dan berjangka panjang.

 

Keterbatasan dan Saran Penelitian Lanjutan

 

Meski cukup komprehensif, tesis ini memiliki keterbatasan:

  • Data hanya diambil dari internal Pusjatan, belum melibatkan proyek pilot di luar lingkup instansi tersebut.
  • Tidak membahas faktor eksternal seperti tekanan politik, resistensi budaya organisasi, atau integritas dalam lelang.

Penelitian lanjutan bisa memperluas lingkup dengan pendekatan kuantitatif dan keterlibatan lebih luas dari pelaku proyek jalan di sektor swasta, LSM, hingga pengguna jalan.

 

Kesimpulan: Menyusun Ulang Strategi Inovasi Jalan Nasional

 

Tesis ini menyajikan pemetaan faktor kendala penerapan teknologi terbatas secara struktural dan sistemik. Temuannya bukan hanya penting bagi Pusjatan, tetapi juga relevan untuk seluruh aktor dalam proyek infrastruktur nasional. Dengan mengidentifikasi faktor kunci penghambat dan pola keterkaitan antar kendala, pembuat kebijakan dan pelaksana proyek kini memiliki alat bantu analitis yang lebih tepat sasaran dalam mengelola risiko dan memfasilitasi alih teknologi.

 

 

Sumber

 

Kiki Mohammad Iqbal. (2020). Pemodelan Keterkaitan Antar Faktor Kendala Penerapan Teknologi Terbatas (Pilot Project) Bidang Jalan Melalui Penyedia Jasa. Universitas Katolik Parahyangan.

Selengkapnya
Mengurai Simpul Kendala Inovasi: Analisis Penerapan Teknologi Terbatas dalam Proyek Jalan di Indonesia

Konstruksi

Budaya dan Teknologi: Membongkar Perbedaan Adopsi Inovasi Konstruksi di India dan Turki

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 05 Mei 2025


Pendahuluan: Inovasi Tak Berdiri Sendiri, Budaya Menentukan

 

Di tengah dorongan global menuju digitalisasi dan efisiensi, sektor konstruksi perlahan tapi pasti mengadopsi teknologi baru seperti Building Information Modeling (BIM), Internet of Things (IoT), hingga Virtual Reality (VR). Namun, adopsi teknologi ini tidak terjadi dalam ruang hampa—faktor budaya memainkan peran penting yang kerap diabaikan.

 

Amir Bashir, melalui tesisnya di Anadolu University, menawarkan analisis komparatif lintas budaya tentang bagaimana insinyur konstruksi di dua negara berkembang—India dan Turki—menanggapi dan mengadopsi teknologi canggih. Penelitian ini menggabungkan Technology Acceptance Model (TAM) dengan dimensi budaya Hofstede, menghasilkan pemetaan perilaku adopsi teknologi yang dipengaruhi oleh karakteristik individu dan norma sosial.

 

Latar Belakang: Industri 4.0 dan Tantangan Adopsi Teknologi di Negara Berkembang

 

Revolusi Industri 4.0 mendorong transformasi digital di berbagai sektor, termasuk konstruksi. Namun, di banyak negara berkembang, proses ini dihambat oleh keterbatasan sumber daya manusia, infrastruktur, dan terutama—budaya kerja. Teknologi hanya efektif bila diterima dan digunakan secara aktif oleh penggunanya.

 

India dan Turki dipilih sebagai objek penelitian karena perbedaan signifikan dalam empat dimensi budaya menurut Hofstede:

  • Power Distance: India (77), Turki (66)
  • Masculinity: India (48), Turki (37)
  • Individualism: India (56), Turki (45)
  • Uncertainty Avoidance: India (40), Turki (85)

Perbedaan ini diprediksi memengaruhi cara insinyur merespons teknologi baru di lingkungan kerja mereka.

 

Metodologi: Gabungan TAM, SEM, dan Hofstede

 

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis Structural Equation Modeling (SEM) dan menyebarkan 600 kuesioner kepada insinyur di India dan Turki. Dari 462 responden yang valid (214 India, 248 Turki), analisis dilakukan untuk menguji:

  • Perceived Ease of Use (PEOU)
  • Perceived Usefulness (PU)
  • Facilitating Conditions (FC)
  • Behavioral Intention (BI)
  • Actual Usage (AU)

Selain itu, dimensi budaya Hofstede dijadikan variabel moderasi untuk menguji sejauh mana budaya individu mempengaruhi niat dan perilaku penggunaan teknologi.

 

Hasil Kunci: Perbedaan Lintas Budaya yang Signifikan

 

Temuan Utama:

  • Perceived Ease of Use dan Perceived Usefulness memiliki pengaruh langsung terhadap niat menggunakan teknologi di kedua negara.
  • Facilitating Conditions lebih berpengaruh di Turki, yang menunjukkan pentingnya dukungan organisasi dan infrastruktur.
  • Power Distance dan Uncertainty Avoidance secara signifikan memoderasi hubungan antara niat dan perilaku aktual di Turki, namun tidak di India.
  • Individualism justru berperan besar di India, mencerminkan kecenderungan insinyur untuk bertindak mandiri dalam pengambilan keputusan teknologi.

 

Studi Kasus Nyata:

 

Di India, sejumlah perusahaan konstruksi mengadopsi BIM berbasis cloud untuk efisiensi desain, namun sering kali hanya digunakan oleh segelintir staf teknis.

Di Turki, adopsi VR dalam pelatihan keselamatan meningkat berkat dukungan pemerintah lokal dan lembaga pelatihan vokasi.

 

Analisis Tambahan: Dimensi Budaya sebagai Katalis atau Penghambat?

 

1. Power Distance:

Tingginya power distance di kedua negara menciptakan hirarki ketat, yang bisa menghambat inovasi. Di Turki, insinyur cenderung menunggu perintah dari atasan sebelum mencoba teknologi baru.

 

2. Uncertainty Avoidance:

Turki memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi (85), yang mendorong resistensi terhadap teknologi baru yang dianggap "belum terbukti". Hal ini menjelaskan perlunya pelatihan intensif dan proof of concept yang kuat.

 

3. Individualism:

India cenderung lebih individualistis, memungkinkan insinyur mengambil keputusan secara mandiri. Namun, ini juga menciptakan tantangan dalam kolaborasi tim lintas departemen.

 

Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya

 

Berbeda dengan riset teknologi sebelumnya yang lebih fokus pada aspek teknis atau organisasi, tesis ini menyoroti aspek psikososial dan budaya. Pendekatan ini mirip dengan studi Srite dan Karahanna (2006) yang juga mengadaptasi TAM dengan dimensi budaya pada tingkat individu. Namun, Amir Bashir melangkah lebih jauh dengan menggabungkan model TAM, TAM 2, dan UTAUT secara sistematis.

 

Implikasi Praktis

 

Untuk Industri Konstruksi:

  • Pentingnya pelatihan berbasis budaya: Desain pelatihan teknologi harus mempertimbangkan dimensi budaya dominan.
  • Perlu kebijakan diferensiasi regional: Strategi implementasi teknologi sebaiknya disesuaikan dengan konteks budaya lokal.

 

 

Untuk Pemerintah dan Regulator:

  • Dukungan infrastruktur teknologi perlu diseimbangkan dengan program literasi digital yang mengedepankan konteks sosial.
  • Stimulus adopsi teknologi harus mempertimbangkan insentif sosial, bukan hanya finansial.

 

Kritik dan Keterbatasan

 

Kelebihan:

  • Menggabungkan berbagai model penerimaan teknologi dengan pendekatan budaya mikro
  • Menyediakan data kuantitatif lintas negara dengan validitas statistik tinggi

 

 

Kelemahan:

  • Responden terbatas pada insinyur, belum mencakup pekerja operasional dan manajer proyek
  • Tidak memperhitungkan faktor kebijakan nasional atau iklim politik yang bisa memengaruhi adopsi teknologi

 

 

Saran:

 

Penelitian lanjutan dapat memperluas cakupan ke wilayah Asia Tenggara atau Afrika untuk menguji generalisasi model. Selain itu, perlu eksplorasi faktor gender dan usia yang lebih mendalam dalam konteks sosial patriarkal.

 

Kesimpulan: Merancang Teknologi dengan Lensa Budaya

 

Tesis ini membuktikan bahwa adopsi teknologi bukan hanya soal efisiensi dan efektivitas, tetapi juga dipengaruhi oleh struktur sosial dan nilai budaya. Di era globalisasi, pemahaman lintas budaya menjadi prasyarat dalam mendesain sistem teknologi yang inklusif dan adaptif.

 

Model integratif yang ditawarkan dapat menjadi acuan bagi praktisi dan pembuat kebijakan untuk merancang strategi implementasi teknologi yang responsif terhadap keragaman budaya.

 

 

Sumber

 

Bashir, Amir. (2019). Cross-Cultural Comparison in the Adoption of Emerging Technologies in Construction Industry. Anadolu University.

Selengkapnya
Budaya dan Teknologi: Membongkar Perbedaan Adopsi Inovasi Konstruksi di India dan Turki

Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Teknologi Digital dalam Menekan Kecelakaan Konstruksi di Irak: Peluang dan Tantangan

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 05 Mei 2025


Mengapa Keselamatan Konstruksi Jadi Sorotan?

 

Sektor konstruksi global terus menjadi penyumbang utama kecelakaan kerja fatal. Menurut International Labour Organization (ILO), tingkat kematian akibat kecelakaan konstruksi di negara berkembang 3–4 kali lebih tinggi dibanding negara maju. Irak, yang tengah gencar membangun kembali infrastruktur pasca konflik, menghadapi dilema serius: tingginya angka kecelakaan kerja yang mengancam produktivitas proyek dan keselamatan pekerja.

 

Dalam konteks inilah, riset oleh Yousif Saeed dan timnya menjadi sangat relevan. Artikel ini menyoroti peran teknologi, khususnya mobile application technologies (MATS), dalam pengelolaan keselamatan dan kesehatan kerja (Occupational Safety and Health / OSH) pada proyek konstruksi di Irak.

 

Latar Belakang: Kebutuhan Mendesak akan Solusi Digital

 

Irak sedang memasuki tahap rekonstruksi besar-besaran, khususnya di wilayah pasca-konflik. Ribuan proyek infrastruktur berskala kecil dan menengah telah diluncurkan, namun keselamatan kerja belum menjadi prioritas. Metode manajemen OSH masih konvensional—sebagian besar terbatas pada penggunaan email dan pesan singkat antar pekerja proyek.

 

Riset ini mengeksplorasi potensi teknologi seluler, seperti Building Information Modeling (BIM), Wearable Sensing Devices (WSD), dan sistem visualisasi lainnya, untuk meningkatkan manajemen keselamatan di lapangan.

 

Metodologi: Survei 98 Manajer Proyek Konstruksi di Irak

 

Peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif melalui kuesioner yang disebar ke 140 profesional konstruksi di seluruh Irak, dengan 98 responden valid (rasio respons 70%). Mereka merupakan manajer proyek berpengalaman minimal 10 tahun di bidang manajemen OSH.

 

Data dianalisis untuk mengevaluasi:

  • Tingkat adopsi teknologi MATS
  • Manfaat nyata dari penggunaannya
  • Hambatan atau keterbatasan utama

 

 

Tingkat Adopsi Teknologi: Masih Rendah, Tapi Menjanjikan

 

Hasil survei menunjukkan bahwa BIM (25,5%) dan WSD (23,4%) adalah teknologi yang paling umum digunakan, meski masih jauh dari optimal. Berikut data lengkapnya:

 

Tingkat Penggunaan Teknologi untuk Manajemen OSH (Top 5):

  1. BIM – 25,5%
  2. Wearable Sensing Devices – 23,4%
  3. Mobile Devices Onsite – 18,3%
  4. Laser Scanning & LiDAR – 16,3%
  5. RFID – 16,3%

Catatan: Teknologi yang lebih canggih seperti Artificial Intelligence (11,2%), Virtual Reality (10,2%), dan Exoskeletons (7,1%) masih tergolong langka di lapangan.

 

Manfaat Teknologi MATS: Bukti Keefektifan yang Diakui

 

Meski tingkat adopsi masih rendah, pemahaman terhadap manfaat teknologi cukup tinggi:

 

Top 5 Manfaat Menurut Responden:

  • Menghilangkan bahaya sejak fase desain – 76,5%
  • Visualisasi bahaya secara nyata – 75,5%
  • Meningkatkan pelaporan insiden nyaris celaka (near miss) – 71,4%
  • Meningkatkan kesadaran pekerja terhadap bahaya – 66,3%
  • Meningkatkan inspeksi keselamatan – 54,0%

 

Analisis Tambahan: Ini menunjukkan bahwa pekerja dan manajer memahami betul nilai strategis teknologi, namun belum memiliki cukup dukungan (regulasi, infrastruktur, insentif) untuk mengimplementasikannya secara luas.

 

Tantangan dan Hambatan: Masalah Biaya hingga Regulasi Minim

 

Top 5 Kendala Implementasi Teknologi:

  • Biaya tinggi – 86,7%
  • Minimnya regulasi pemerintah – 80,6%
  • Respons pekerja terhadap sistem peringatan rendah – 66,3%
  • Pelatihan tidak efisien dari segi biaya – 51,0%
  • Tidak adanya sistem data terpusat – 50,0%

 

Insight Tambahan:

 

Masalah biaya dan regulasi menjadi tantangan utama, bahkan dibandingkan dengan negara maju seperti AS, yang juga mengeluhkan mahalnya teknologi tetapi memiliki infrastruktur dukungan yang lebih kuat.

 

Faktor resistensi pekerja terhadap teknologi (contoh: abaikan peringatan dari perangkat) menjadi perhatian serius.

 

Perbandingan dengan Kasus di Amerika Serikat

 

Penelitian serupa oleh Nnaji & Karakhan (2020) di AS menunjukkan bahwa semua 15 jenis MATS digunakan oleh lebih dari 58% responden. Di Irak, bahkan BIM dan WSD hanya dipakai oleh sekitar 25%. Artinya:

Tingkat adopsi teknologi di Irak tertinggal lebih dari dua kali lipat dibanding AS.

Namun persepsi manfaat antara kedua negara relatif serupa, khususnya pada aspek visualisasi bahaya dan kesadaran keselamatan.

 

 

Interpretasi: Hambatan di Irak bukan pada mentalitas pekerja, tetapi pada ekosistem pendukung.

 

 

Studi Kasus Tambahan: Potensi Sukses di Masa Depan

 

BIM untuk manajemen risiko desain: Perusahaan di Finlandia menggunakan BIM untuk mengidentifikasi titik rawan kecelakaan sejak tahap desain, mengurangi potensi insiden hingga 30%.

WSD untuk pelacakan pekerja: Di proyek-proyek besar di Jepang, WSD digunakan untuk memantau posisi dan kondisi vital pekerja secara real-time.

Jika pendekatan ini ditiru dan disesuaikan untuk konteks Irak, peningkatan keselamatan bisa menjadi signifikan.

 

Rekomendasi dan Implikasi Praktis

 

1. Dukungan Pemerintah Dibutuhkan

Regulasi nasional harus mengatur standar penggunaan MATS dalam proyek publik.

Insentif pajak untuk perusahaan yang berinvestasi pada teknologi keselamatan.

 

2. Investasi dalam Pelatihan dan Infrastruktur

Pelatihan OSH berbasis teknologi harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan vokasi teknik.

Perlu dibangun sistem data keselamatan nasional berbasis cloud.

 

3. Kolaborasi Multisektor

Pemerintah, sektor swasta, universitas, dan lembaga internasional harus bekerja sama mempercepat transformasi digital keselamatan kerja.

 

Kritik dan Catatan Tambahan

 

Kelebihan:

  • Menggunakan data primer dari survei lapangan yang relevan dan terkini.
  • Memadukan data kuantitatif dan literatur internasional sebagai pembanding.

 

Keterbatasan:

  • Fokus hanya pada manajer proyek, belum mencakup pekerja lapangan sebagai aktor utama di lapangan.
  • Belum ada pengujian langsung efektivitas teknologi secara longitudinal.

 

 

Saran:

  • Penelitian lanjutan dapat mengukur korelasi langsung antara adopsi MATS dan pengurangan angka kecelakaan dalam proyek nyata.

 

Kesimpulan: Teknologi Bukan Sekadar Alat, Tapi Solusi Keselamatan

 

Artikel ini menegaskan bahwa transformasi digital dalam keselamatan kerja di sektor konstruksi adalah kebutuhan, bukan pilihan. Irak memiliki potensi besar untuk memperbaiki catatan keselamatannya dengan memanfaatkan teknologi seperti BIM, WSD, dan aplikasi seluler lainnya. Namun, kemajuan ini mensyaratkan keberanian politik, dukungan regulasi, dan kolaborasi lintas sektor.

 

Dengan roadmap yang jelas dan kemauan untuk berubah, teknologi dapat menjadi penyelamat nyawa—dan penyelamat produktivitas—di proyek-proyek konstruksi Irak.

 

 

Sumber

 

Yousif Saeed, Esam Aziz, & Leonid Zelentsov. (2021). Technology Role in Safety Management of Iraqi Construction Projects. E3S Web of Conferences, Vol. 263. https://doi.org/10.1051/e3sconf/202126304043

Selengkapnya
Teknologi Digital dalam Menekan Kecelakaan Konstruksi di Irak: Peluang dan Tantangan

Konstruksi

Membangun Masa Depan dengan Teknologi: Refleksi dan Arah Baru Rekayasa Konstruksi Indonesia

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 05 Mei 2025


Pengantar: Menyambut Tantangan Abadi Konstruksi Digital

 

Industri konstruksi Indonesia telah menjadi pilar pembangunan nasional, tetapi peran aspek rekayasa dan teknologi masih terpinggirkan di tengah dominasi manajemen dan regulasi. Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Biemo W. Soemardi menggarisbawahi urgensi reposisi aspek teknologi sebagai inti penggerak industri konstruksi ke depan.

 

Sebagai negara berkembang dengan infrastruktur yang terus tumbuh, Indonesia dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana bertransformasi dari pengguna teknologi menjadi pencipta dan pengembang teknologi konstruksi. Dalam paparan ini, Prof. Biemo tidak hanya menawarkan tinjauan historis, tetapi juga memetakan langkah strategis menuju lanskap konstruksi masa depan.

 

Kontribusi Strategis Industri Konstruksi terhadap Ekonomi Nasional

 

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa kontribusi sektor konstruksi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia meningkat dari 7% pada awal 2000-an menjadi 10,12% pada 2019. Ini menunjukkan bahwa konstruksi bukan hanya pelengkap, tapi juga penggerak utama ekonomi.

 

Namun, ironisnya, adopsi teknologi konstruksi modern masih lamban. Banyak proyek besar tetap bergantung pada teknologi asing, seperti tunnel boring machine, launching gantry, dan teknologi struktur baja. Kondisi ini menciptakan ketergantungan yang berisiko secara strategis dan ekonomi.

 

Refleksi Historis: Dari Borobudur hingga Proyek Kereta Cepat

 

Prof. Biemo menelusuri jejak teknologi konstruksi di Indonesia dari era Candi Borobudur, masa penjajahan Belanda, hingga masa modern. Setiap periode memperlihatkan bagaimana inovasi lokal dan adopsi luar negeri memainkan peran penting:

  • Borobudur: Penggunaan sambungan mekanik tanpa semen menunjukkan kecanggihan teknik struktural di abad ke-9.
  • Era Belanda: Penerapan metode Belgia pada terowongan Sasaksaat dan jembatan Tjisomang menunjukkan kemampuan lokal dalam menyerap teknologi barat.
  • Awal Kemerdekaan: Bangunan monumental seperti Gelora Bung Karno dan Hotel Indonesia mencerminkan semangat nasionalisme dan kolaborasi teknologi asing-lokal.
  • Era Reformasi: Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung menjadi etalase tantangan integrasi teknologi Tiongkok dan kapasitas domestik.

 

Tantangan Kunci: Ketimpangan Antara Regulasi dan Teknologi

 

Meskipun regulasi dan manajemen konstruksi berkembang pesat—ditandai dengan munculnya UU Jasa Konstruksi dan pembentukan LPJK—penguatan sisi teknologinya justru stagnan. Banyak perguruan tinggi lebih fokus pada manajemen proyek daripada inovasi rekayasa.

 

Catatan kritis: LPJK, yang diharapkan menjadi katalisator inovasi industri, justru lebih sibuk pada isu administratif seperti sertifikasi, bukan pada pengembangan teknologi atau pembentukan ekosistem inovatif berbasis riset.

 

Teknologi Konstruksi: Lanskap, Realita, dan Peluang

 

1. Industrialisasi: Beton Pracetak dan Modularisasi

Meski sudah dikenal sejak 1970-an, adopsi teknologi beton pracetak dan baja modular masih terbatas pada proyek-proyek skala besar. Keterbatasan rantai pasok dan mahalnya material baja menjadi kendala nyata. Namun, proyek IKN mulai menunjukkan potensi konstruksi modular sebagai masa depan efisiensi.

 

2. Green Construction dan Sustainability

Konsep konstruksi berkelanjutan (KB) telah masuk kebijakan sejak 2011 dan diperkuat oleh Permen PUPR No. 5 Tahun 2015. Namun, masih sebatas proyek-proyek PUPR dan belum mengakar di sektor swasta. Program greenship oleh GBCI pun dinilai belum menyentuh aspek konstruksi secara utuh—terlalu fokus pada aspek arsitektural bangunan, bukan proses konstruksinya.

 

3. Teknologi Digital: BIM dan PMIS

Building Information Modeling (BIM) kini mulai digunakan pada proyek-proyek nasional seperti Tol Rengat–Pekanbaru.

Project Management Information System (PMIS) mampu memantau progres, efisiensi, dan risiko, namun penggunaannya belum merata di seluruh proyek pemerintah.

 

Arah Masa Depan: Strategi Penguatan Kerekayasaan Nasional

 

Langkah 1: Bangun Lanskap Teknologi Konstruksi

  • Lanskap teknologi menjadi alat untuk:
    • Menentukan posisi teknologi saat ini (baseline)
    • Mengidentifikasi technology gap
    • Merancang peta jalan penguasaan teknologi konstruksi Indonesia
  • Contoh sukses: Negara seperti Korea Selatan memiliki Construction Technology Roadmap yang jelas dari riset hingga penerapan di lapangan.

 

Langkah 2: Transformasi Pendidikan Tinggi

  • Perlu ada program studi khusus “Teknologi Konstruksi” atau “Rekayasa Metode Pelaksanaan”
  • Praktikum berbasis proyek nyata, bukan hanya simulasi di laboratorium

 

Langkah 3: Kolaborasi Trilateral: Pemerintah–Kampus–Industri

  • Pemerintah sebagai regulator dan penyedia insentif
  • Kampus sebagai pusat riset dan pelatihan
  • Industri sebagai pengguna dan pengembang teknologi

 

Kritik dan Analisis Tambahan

 

Kelebihan Orasi:

  • Mampu membingkai tantangan dan solusi secara holistik: dari sejarah, regulasi, teknologi, hingga kebijakan
  • Menyediakan data dan ilustrasi konkret (e.g., Jembatan Barelang, Proyek KCJB)

 

Kelemahan:

  • Minim penjabaran kuantitatif tentang kebutuhan SDM teknologi konstruksi
  • Belum mengulas secara mendalam soal teknologi baru seperti IoT, AI, atau digital twin

 

Rekomendasi lanjutan: Riset lanjutan bisa fokus pada benchmarking Indonesia dengan negara seperti Malaysia, Singapura, atau Vietnam dalam adopsi teknologi dan ekosistem inovasinya.

 

 

Penutup: Saatnya Indonesia Menjadi Produsen Teknologi Konstruksi

 

Orasi ilmiah ini adalah panggilan strategis agar Indonesia beralih dari pengguna teknologi menjadi produsen dan pengembang teknologi konstruksi. Di tengah tekanan global, bonus demografi, dan proyek infrastruktur besar seperti IKN, Indonesia tak punya pilihan selain membangun daya saing berbasis teknologi.

 

Sebagaimana disampaikan Prof. Biemo, sejarah membuktikan bahwa bangsa ini mampu menciptakan karya konstruksi agung sejak ribuan tahun lalu. Kini saatnya sejarah itu disambung kembali dengan semangat inovasi, bukan hanya repetisi.

 

 

Sumber

 

Prof. Biemo W. Soemardi. (2024). Rekayasa dan Teknologi Konstruksi di Indonesia: Perkembangan dan Peluang di Masa Mendatang. ITB Press.

ISBN: 978-623-297-404-3

e-ISBN: 978-623-297-405-0

Dapat diakses melalui www.itbpress.id

Selengkapnya
Membangun Masa Depan dengan Teknologi: Refleksi dan Arah Baru Rekayasa Konstruksi Indonesia
« First Previous page 123 of 989 Next Last »