Hak Air Bersih di Tengah Krisis Global
Pandemi COVID-19 bukan sekadar ujian kesehatan, tetapi juga ujian tata kelola sumber daya dasar—terutama air bersih. Di Indonesia, negara dengan sumber air tawar melimpah, ironi besar terjadi: jutaan rumah tangga masih kesulitan mengakses air layak, terutama saat kebutuhan melonjak akibat pandemi. Studi Nadia Astriani dkk. (2021) membedah secara kritis bagaimana negara memenuhi (atau justru gagal memenuhi) hak atas air bersih selama krisis, menyoroti kebijakan, implementasi, hingga studi kasus nyata seperti Kendeng. Resensi ini mengajak pembaca memahami akar masalah, menelaah data dan studi kasus, serta merefleksikan solusi dan kritik yang relevan dengan tren global tata kelola air1.
1. Hak Atas Air: Fondasi Konstitusi dan Hak Asasi
Air sebagai Hak Asasi dan Mandat Konstitusi
- Konstitusi Indonesia (UUD 1945 Pasal 33 ayat 3) menegaskan air sebagai sumber daya vital yang dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Hak atas air bersih juga diakui sebagai hak asasi manusia, diperkuat oleh adopsi Resolusi PBB 2010 tentang hak air dan sanitasi sebagai hak fundamental1.
- Tiga Pilar Kewajiban Negara:
- Menghormati: Tidak menghambat akses masyarakat pada air.
- Melindungi: Mencegah pihak ketiga (swasta, pencemar) merusak akses air.
- Memenuhi: Mengupayakan segala sumber daya untuk menjamin hak air bagi semua1.
Regulasi Kunci Tata Kelola Air
- UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air: Menjamin hak rakyat atas air untuk kebutuhan dasar, pertanian rakyat, dan usaha air minum, dengan prinsip keadilan, keberlanjutan, dan partisipasi masyarakat.
- UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman: Memastikan setiap bangunan dan kawasan permukiman wajib menyediakan akses air bersih dan sanitasi layak1.
2. Realitas di Lapangan: Data, Ketimpangan, dan Tantangan Selama Pandemi
Akses Air Bersih: Angka-angka Penting
- Akses Nasional: Pada 2018, akses air minum layak baru 72% (target 100% di 2019 tidak tercapai). Pada 2019, hanya 76–77% penduduk yang terlayani air minum layak. Artinya, 23% penduduk masih rentan terhadap penyakit akibat air tidak layak1.
- DKI Jakarta: Cakupan air bersih hanya 60%—artinya 40% warga ibu kota tidak punya akses air layak, dengan kelompok miskin paling terdampak. Di beberapa wilayah, air sumur berwarna hitam, bau, dan tidak layak konsumsi, sementara air PAM tidak selalu mengalir meski sudah dibayar1.
- Sanitasi: Pada 2018, akses sanitasi layak nasional 70,97%, naik jadi 77,39% di 2019. Namun, hanya 6,8% penduduk yang benar-benar punya akses aman (secure access)1.
- Kebutuhan Minimum: Rata-rata kebutuhan air rumah tangga 144 liter/hari, dengan kebutuhan minimum 70 liter/orang/hari1.
Dampak Pandemi: Kebutuhan Meningkat, Akses Tertinggal
- Pandemi COVID-19 meningkatkan kebutuhan air untuk cuci tangan, kebersihan rumah, dan sanitasi. Namun, kelompok miskin dan penghuni kawasan kumuh tetap kesulitan mengakses air layak, bahkan harus membeli dari pedagang keliling tanpa jaminan higienitas1.
- Pergeseran Konsumsi: Konsumsi air rumah tangga naik signifikan, sementara konsumsi industri turun. PAM Jaya mencatat peningkatan distribusi air melalui mobil tangki dan kios air di wilayah tanpa jaringan pipa1.
3. Studi Kasus: Kendeng dan Perjuangan Hak Air Komunitas Lokal
Kendeng: Karst, Air, dan Perlawanan Warga
- Latar Belakang: Pegunungan Karst Kendeng di Jawa Tengah adalah “spons” alami yang menyimpan dan mengalirkan air bersih untuk lebih dari 500 ribu warga. Rencana penambangan karst oleh PT Semen Indonesia (BUMN) memicu protes warga, terutama perempuan petani, yang khawatir sumber air akan rusak1.
- Fakta Lapangan: Kajian pemerintah menemukan permintaan air di Kendeng sudah melebihi pasokan. Penambangan karst mengancam sumber air bawah tanah dan memperparah krisis air, terutama di musim kemarau1.
- Putusan Mahkamah Agung: Pada 2016, MA membatalkan izin lingkungan PT Semen Indonesia setelah gugatan warga dan WALHI dikabulkan. Presiden memerintahkan moratorium izin baru dan penghentian aktivitas tambang sampai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) selesai, namun implementasi di lapangan masih lemah—izin baru tetap terbit, penambangan berlanjut, dan akses air warga tetap terancam1.
Refleksi Kasus Kendeng
- Kasus Kendeng menyoroti konflik antara pembangunan (industri semen) dan hak dasar warga atas air. Keterlibatan perempuan, advokasi komunitas, dan litigasi lingkungan menjadi kunci perlawanan, namun lemahnya implementasi putusan hukum dan inkonsistensi pemerintah daerah memperburuk ketidakadilan akses air1.
4. Kebijakan dan Implementasi: Antara Ambisi dan Realitas
Kebijakan Nasional dan Target SDGs
- SDGs (Tujuan 6): Pemerintah menargetkan akses air minum layak 100% dan sanitasi 90% pada 2024, serta 15% akses air minum aman. Namun, capaian hingga 2019 masih jauh dari target, terutama di kawasan timur (Papua hanya 32,87% akses sanitasi layak)1.
- Rencana Strategis Kementerian PUPR: Fokus pada pembangunan infrastruktur dasar (jaringan pipa, bendungan, irigasi), namun pandemi memaksa refocusing anggaran sehingga banyak program air bersih tertunda1.
- Pendanaan: Rata-rata anggaran air bersih Rp3,5–6,5 triliun/tahun (2015–2020), jauh dari kebutuhan Rp147 triliun (2024) atau Rp238 triliun (2030). Ketergantungan pada APBN/APBD dan minimnya investasi swasta memperlambat ekspansi layanan1.
Respons Pemerintah Selama Pandemi
- Minim Terobosan: Tidak ada upaya tambahan signifikan selain program yang sudah direncanakan dalam RPJM dan Renstra. Pemerintah pusat dan daerah lebih fokus pada pembatasan sosial daripada mempercepat akses air bersih1.
- Inovasi Terbatas: Kementerian PUPR meluncurkan inovasi “Kereta MCK” (mobil toilet dan cuci tangan) di DKI Jakarta, dengan kapasitas 7.000 liter air/hari untuk 350 orang. Namun, solusi ini hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar masalah akses air1.
- Peran Daerah dan Swasta: Beberapa pemerintah daerah memberikan keringanan tarif air, namun bantuan air bersih lebih banyak datang dari inisiatif lokal dan swasta, seperti pemasangan wastafel portabel di area publik1.
5. Perbandingan Global: Belajar dari Afrika Selatan dan Ethiopia
Afrika Selatan: Respons Proaktif dan Koordinasi Nasional
- Komando Nasional Air dan Sanitasi: Pemerintah membentuk pusat komando khusus sejak awal lockdown, mendistribusikan 18.262 tangki air dan 1.299 truk air ke seluruh negeri, termasuk ke sekolah dan permukiman informal. Dana tambahan Rp831 miliar dialokasikan untuk memastikan keberlanjutan layanan1.
- Kolaborasi Lintas Sektor: Kementerian Air, Pendidikan, dan perusahaan air negara (Rand Water) berkoordinasi memastikan tidak ada sekolah atau komunitas tanpa air selama pandemi. Pendekatan ini menekankan pentingnya kepemimpinan nasional dan sinergi antar lembaga1.
Ethiopia: Teknologi dan Partisipasi Komunitas
- Para-hydrologists: Ethiopia melibatkan warga terlatih untuk mengumpulkan data akses air dan perilaku higienis, membantu pemerintah menyesuaikan intervensi berbasis data lokal.
- Inovasi Teknologi: Pemerintah dan donor memperluas penggunaan pompa air tenaga surya dan teknologi panen air hujan untuk mengatasi kekurangan air di desa-desa terpencil. Model pembiayaan inovatif (subsidi, kredit mikro) mempercepat adopsi teknologi ini1.
Pelajaran untuk Indonesia
- Respons Darurat: Negara lain menunjukkan pentingnya respons ekstra-ordinary di masa krisis, bukan sekadar menjalankan program rutin.
- Kolaborasi dan Inovasi: Keterlibatan komunitas, adopsi teknologi murah, dan sinergi lintas sektor menjadi kunci memperluas akses air secara cepat dan inklusif.
6. Analisis Kritis dan Opini: Di Mana Letak Masalah Utama?
Kelemahan Tata Kelola dan Implementasi
- Ketimpangan Regional: Akses air bersih sangat timpang antar wilayah (Jakarta vs Papua), memperlebar jurang ketidakadilan sosial dan kesehatan1.
- Keterbatasan Anggaran dan Prioritas: Pandemi memperparah krisis fiskal, membuat pemerintah menunda banyak proyek air bersih. Namun, minimnya inovasi dan keberanian mengambil langkah darurat memperlihatkan lemahnya sense of crisis1.
- Dominasi Negara, Peran Swasta dan Komunitas Lemah: Negara masih menjadi aktor utama, sementara swasta dan komunitas belum diberdayakan optimal. Padahal, pengalaman Ethiopia dan Afrika Selatan menunjukkan pentingnya kolaborasi multipihak1.
- Inkonsistensi Penegakan Hukum: Kasus Kendeng membuktikan bahwa putusan hukum progresif tidak selalu diikuti implementasi di lapangan, akibat lemahnya pengawasan dan konflik kepentingan di tingkat lokal1.
Perbandingan dengan Studi Lain
- Jepson et al. (2017) dan Zeitoun et al. (2016) menyoroti bahwa hak air sering kali hanya diakui secara normatif, namun gagal diwujudkan dalam kebijakan dan praktik sehari-hari, terutama di Global Selatan.
- Tren Industri: Sektor air global kini bergerak ke arah digitalisasi (IoT, big data), investasi blended finance, dan standar ESG. Namun, Indonesia masih tertinggal dalam adopsi teknologi dan inovasi pembiayaan air1.
7. Rekomendasi Strategis: Jalan Menuju Tata Kelola Air yang Adil dan Tangguh
- Respons Darurat dan Inovasi Kebijakan
- Pemerintah harus berani mengambil langkah darurat di masa krisis, seperti distribusi air darurat, pemasangan tangki air massal, dan subsidi air bersih untuk kelompok rentan.
- Adopsi teknologi murah (pompa surya, panen air hujan) dan inovasi pembiayaan (subsidi, kredit mikro) untuk mempercepat akses air di desa dan kawasan kumuh.
- Perkuat Kolaborasi Multipihak
- Libatkan swasta, komunitas, dan LSM dalam perencanaan, implementasi, dan monitoring program air bersih.
- Dorong investasi swasta dan kemitraan publik-swasta untuk pembangunan infrastruktur air.
- Transparansi dan Akuntabilitas
- Tingkatkan transparansi data akses air, anggaran, dan capaian program. Gunakan platform digital untuk pelaporan dan pengawasan publik.
- Reformasi Tata Kelola dan Penegakan Hukum
- Pastikan implementasi putusan hukum lingkungan berjalan konsisten di lapangan.
- Perkuat pengawasan dan sanksi bagi pelanggar hak air, termasuk pemerintah daerah dan swasta.
- Fokus pada Kelompok Rentan
- Prioritaskan akses air bersih untuk kelompok miskin, perempuan, anak, dan komunitas adat. Libatkan mereka dalam perumusan kebijakan dan solusi lokal.
- Integrasi dengan Agenda SDGs dan Perubahan Iklim
- Sinkronkan program air bersih dengan target SDGs, aksi iklim, dan agenda pembangunan berkelanjutan.
Hak Air, Pandemi, dan Masa Depan Tata Kelola di Indonesia
Pandemi COVID-19 membuka tabir rapuhnya tata kelola air di Indonesia: regulasi sudah memadai, tetapi implementasi, inovasi, dan keberpihakan pada kelompok rentan masih jauh dari ideal. Studi kasus Kendeng dan data nasional menunjukkan bahwa hak atas air bukan sekadar janji konstitusi, tetapi ujian nyata bagi keberpihakan negara pada rakyat. Belajar dari negara lain, Indonesia harus berani berinovasi, memperkuat kolaborasi, dan memastikan setiap warga, tanpa kecuali, mendapatkan hak dasarnya atas air bersih—bukan hanya di atas kertas, tapi nyata di kehidupan sehari-hari1.
Sumber artikel :
Nadia Astriani, Betty Rubiati, Yulinda Adharani, Siti Sarah Afifah, Rewita Salsabila, Rizkia Diffa. "The Responsibility of the Indonesian Government to Fulfill the Rights to Water During the COVID-19 Pandemic: Some Legal Issues." Environmental Policy and Law 51 (2021): 327–341.