Krisis Air

Pengolahan Air Hujan sebagai Alternatif Pemenuhan Air Bersih di Perumahan Anging Mammiri Makassar

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Krisis air bersih di kawasan urban Indonesia semakin nyata, dipicu oleh pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan eksploitasi air tanah yang berlebihan. Kota Makassar, khususnya kawasan Perumahan Anging Mammiri di Kelurahan Karunrung, Kecamatan Rappocini, menghadapi masalah klasik: pasokan air bersih yang tidak memadai, terutama saat musim kemarau ketika sumur dangkal mengering. Dalam konteks ini, paper karya Abdul Rahim, Andi Sulfanita, dan Andi Bustan Didi dari Universitas Muhammadiyah Parepare menawarkan solusi konkret melalui pengolahan air hujan sebagai alternatif pemenuhan air bersih di lingkungan perumahan123.

Studi Kasus: Potensi dan Realisasi Pengolahan Air Hujan di Anging Mammiri

Latar Belakang dan Permasalahan

Perumahan Anging Mammiri merupakan kawasan padat penduduk yang terus berkembang. Kebutuhan air bersih meningkat seiring pertumbuhan jumlah rumah dan penghuni. Sumber utama air bersih adalah sumur dangkal dan PDAM, yang keduanya memiliki keterbatasan: sumur dangkal rawan kering saat musim kemarau, sementara PDAM sering tidak mampu memenuhi kebutuhan seluruh warga.

Kondisi geografis Makassar yang berada di wilayah tropis dengan curah hujan tahunan rata-rata 2.263 mm menjadi peluang besar untuk memanfaatkan air hujan sebagai sumber air alternatif. Namun, pemanfaatan ini belum optimal karena minimnya sistem penampungan dan pengolahan air hujan di tingkat rumah tangga.

Metode Penelitian: Kombinasi Analisis Hidrologi dan Survei Lapangan

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif dengan pendekatan analisis aljabar untuk menghitung potensi air hujan yang dapat dimanfaatkan. Data primer dikumpulkan melalui survei langsung di Perumahan Anging Mammiri, meliputi:

  • Peta perumahan dan tipe bangunan
  • Jenis dan luas atap tiap rumah
  • Jumlah rumah dan anggota keluarga

Data sekunder diperoleh dari BMKG Makassar dan BPS Makassar, terutama data curah hujan dari tiga stasiun (Tamanyelleng, Kampili, dan Panakukang) selama 10 tahun terakhir. Analisis dilakukan pada bulan April–Juni 2023.

Temuan Utama: Kapasitas, Kualitas, dan Efektivitas Air Hujan

Potensi Air Hujan yang Dapat Diolah

Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata curah hujan harian maksimum adalah 6,19 mm/hari. Dengan luas total atap bangunan sebesar 23.435 m², air hujan yang bisa ditampung dan diolah mencapai 86.993,8 liter per hari12. Angka ini didapat dari perhitungan debit air hujan yang masuk ke sistem penampungan dengan memperhitungkan efisiensi penangkapan dan luas atap.

Kebutuhan Air Bersih Harian Warga

Dengan asumsi satu rumah dihuni oleh lima anggota keluarga dan total terdapat 190 unit rumah, kebutuhan air bersih perumahan ini mencapai 142.500 liter per hari. Rata-rata kebutuhan air per rumah adalah 150 liter per hari, digunakan untuk mandi, mencuci, memasak, dan kebutuhan domestik lainnya12.

Efektivitas Pengolahan Air Hujan

Dari perbandingan antara air hujan yang dapat diolah dan kebutuhan air bersih, sistem pengolahan air hujan mampu memenuhi sekitar 52% kebutuhan air bersih harian warga. Artinya, lebih dari separuh kebutuhan air bersih dapat dipenuhi tanpa bergantung pada PDAM atau sumur dangkal123.

Kualitas Air Hujan: Apakah Layak untuk Kebutuhan Domestik?

Uji laboratorium terhadap sampel air hujan yang ditampung menunjukkan hasil sebagai berikut:

  • pH air hujan: 6,75 (cenderung netral, sesuai standar air bersih)
  • Daya hantar listrik (DHL): 0,69 ms
  • Kekeruhan: 3 NTU (masih dalam batas aman)
  • Kandungan nitrit: 0,04 mg/L
  • Kesadahan total: 15,3 mg/L
  • Kandungan logam (Fe, Mn, Zn, Cr, Cd, Cu): semua masih dalam batas toleransi menurut standar kualitas air bersih nasional

Hasil ini menegaskan bahwa air hujan yang ditampung dan diolah secara sederhana sudah memenuhi syarat untuk digunakan sebagai air bersih domestik, meski belum direkomendasikan langsung sebagai air minum tanpa pengolahan lanjutan12.

Konsep Sistem Pengolahan Air Hujan di Tingkat Rumah Tangga

Sistem pengolahan air hujan yang diusulkan meliputi beberapa komponen utama:

  • Atap rumah sebagai bidang tangkap
  • Talang air untuk mengalirkan air hujan dari atap ke penampungan
  • Pipa distribusi menuju bak penampungan
  • Media filtrasi sederhana (pasir, kerikil) untuk menyaring kotoran
  • Bak penampungan yang disesuaikan dengan volume air hujan yang bisa diolah per rumah

Setiap rumah dianjurkan menyesuaikan ukuran bak penampungan dengan hasil perhitungan potensi air hujan dan kebutuhan harian masing-masing. Penempatan bak penampungan fleksibel, tergantung desain rumah dan preferensi pemilik12.

Analisis Kritis: Kelebihan, Tantangan, dan Potensi Replikasi

Kelebihan Studi

  • Data Lapangan Komprehensif: Penelitian ini menggunakan data curah hujan aktual dan survei langsung di lapangan, sehingga hasilnya sangat relevan dengan kondisi nyata.
  • Solusi Praktis dan Ekonomis: Sistem pengolahan air hujan dapat diadopsi dengan biaya relatif rendah dan teknologi sederhana.
  • Dampak Lingkungan Positif: Mengurangi tekanan pada sumber air tanah dan PDAM, serta membantu konservasi air di kawasan urban.

Tantangan dan Kekurangan

  • Variabilitas Curah Hujan: Ketergantungan pada curah hujan membuat sistem ini kurang optimal saat musim kemarau panjang.
  • Kualitas Air: Untuk konsumsi langsung sebagai air minum, diperlukan pengolahan tambahan seperti filtrasi lanjutan atau desinfeksi.
  • Kesadaran dan Edukasi: Implementasi sistem ini memerlukan edukasi dan perubahan perilaku masyarakat agar sistem berjalan optimal dan terawat.

Potensi Replikasi dan Tren Industri

Studi serupa di Kampung Lakkang Makassar menunjukkan setiap rumah mampu menampung hingga 272,7 liter air hujan per hari, jauh di atas rata-rata kebutuhan domestik 300 liter per rumah per hari1. Di banyak kota besar di Indonesia, sistem panen air hujan mulai dilirik sebagai bagian dari strategi ketahanan air dan urban sustainability, sejalan dengan tren global di negara-negara maju seperti Singapura dan Australia yang mewajibkan rainwater harvesting pada bangunan baru45.

Simulasi Penghematan dan Dampak Sosial Ekonomi

Jika sistem pengolahan air hujan ini diadopsi secara luas di seluruh perumahan Makassar, potensi penghematan air PDAM bisa mencapai jutaan liter per hari. Selain menekan biaya air bagi warga, sistem ini juga mengurangi risiko krisis air bersih saat musim kemarau dan membantu mengatasi masalah banjir dengan mengurangi limpasan air hujan ke saluran kota.

Rekomendasi dan Saran Pengembangan

  • Integrasi dengan Program Pemerintah: Pemerintah daerah dapat mendorong adopsi sistem pengolahan air hujan melalui insentif atau regulasi pada pembangunan rumah baru.
  • Peningkatan Teknologi: Integrasi filter lanjutan dan sistem desinfeksi sederhana agar air hujan dapat digunakan sebagai air minum.
  • Edukasi Masyarakat: Sosialisasi dan pelatihan teknis bagi warga untuk memastikan sistem berjalan optimal dan terawat.

Penutup: Investasi Ramah Lingkungan untuk Masa Depan Kota

Penelitian ini membuktikan bahwa pengolahan air hujan adalah solusi nyata, murah, dan mudah diadopsi untuk mengatasi krisis air bersih di kawasan urban seperti Makassar. Dengan potensi pemenuhan hingga 52% kebutuhan air bersih harian, sistem ini sangat layak direplikasi di kota-kota lain di Indonesia. Selain menghemat biaya, sistem ini juga berkontribusi pada konservasi air dan ketahanan lingkungan perkotaan.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Abdul Rahim, Andi Sulfanita, Andi Bustan Didi. "Pengolahan Air Hujan Sebagai Alternatif Pemenuhan Air Bersih di Perumahan Anging Mammiri Kota Makassar." Program Studi Teknik Sipil, Universitas Muhammadiyah Parepare, Kota Parepare, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Aurelia: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Indonesia, Vol. 3 No. 2 Juli 2024.

Selengkapnya
Pengolahan Air Hujan sebagai Alternatif Pemenuhan Air Bersih di Perumahan Anging Mammiri Makassar

Krisis Air

Analisis Pemanfaatan Air Hujan dengan Sistem Cistern di Balai Latihan Kerja Samarinda

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Kota-kota besar di Indonesia, termasuk Samarinda, menghadapi tantangan serius dalam penyediaan air bersih. Pertumbuhan penduduk dan perubahan fungsi lahan menyebabkan berkurangnya area resapan, sehingga air hujan lebih banyak terbuang sebagai limpasan. Akibatnya, krisis air bersih kerap terjadi, terutama saat musim kemarau atau ketika kualitas air sungai menurun. Paper karya Anggara Saputra dan Hery Setyobudiarso dari Institut Teknologi Nasional Malang ini menawarkan solusi konkret melalui pemanfaatan air hujan menggunakan sistem cistern di Komplek Balai Latihan Kerja (BLK) Samarinda1.

Studi Kasus: Implementasi Sistem Cistern di BLK Samarinda

Latar Belakang dan Permasalahan

Selama ini, air hujan di BLK Samarinda hanya dialirkan ke saluran pembuangan tanpa dimanfaatkan. Sementara itu, seluruh kebutuhan air di kawasan ini dipenuhi oleh PDAM, yang kualitas dan distribusinya sangat bergantung pada kondisi Sungai Mahakam. Ketika musim kemarau tiba, distribusi air bersih sering terganggu karena air sungai menjadi keruh dan sulit diolah1.

Padahal, tidak semua kebutuhan air di BLK memerlukan kualitas air setara air minum. Banyak aktivitas, seperti flushing toilet, menyiram tanaman, dan pemeliharaan, dapat menggunakan air hujan sebagai alternatif untuk menghemat air PDAM1.

Metode Perencanaan: Dari Survei Lapangan hingga Analisis Ekonomi

Penelitian ini dimulai dengan survei lapangan untuk mengumpulkan data jumlah pegawai, kamar mandi, luas taman, dan pengukuran luas atap gedung. Data curah hujan diperoleh dari Stasiun Meteorologi Temindung Samarinda selama 2008–2018. Semua data ini digunakan untuk menghitung potensi air hujan yang bisa dipanen dan menentukan desain cistern yang optimal1.

Perhitungan Curah Hujan dan Volume Air

Curah hujan bulanan diolah untuk mendapatkan hujan andalan, yaitu curah hujan yang peluang terjadinya 80%. Hasil analisis menunjukkan bahwa volume air hujan yang bisa dipanen dari atap-atap gedung BLK Samarinda mencapai 20.433,4 m³ per tahun, atau sekitar 54,92 m³ per hari1.

Sementara itu, kebutuhan air harian di BLK Samarinda adalah 21,6 m³ per hari, atau sekitar 5.637,6 m³ per tahun. Ini berarti, secara teoritis, air hujan yang ditampung dapat mencukupi kebutuhan air harian di kawasan ini, bahkan memiliki surplus signifikan1.

Desain dan Konstruksi Cistern

Berdasarkan kebutuhan dan ketersediaan air, dirancang enam unit cistern dengan rincian kapasitas sebagai berikut:

  • Satu unit berkapasitas 35.000 liter
  • Satu unit berkapasitas 25.000 liter
  • Tiga unit berkapasitas 15.000 liter
  • Satu unit berkapasitas 10.000 liter

Setiap cistern dilengkapi bangunan pengolah dengan ukuran setengah dari kapasitas cistern-nya. Penempatan cistern disesuaikan dengan area kebutuhan dan ketersediaan lahan di masing-masing gedung1.

Analisis Ekonomi: Investasi dan Penghematan Biaya

Total biaya investasi awal untuk pembangunan enam cistern beserta bangunan pengolahnya adalah Rp373.704.000. Investasi ini menghasilkan penghematan biaya air PDAM sebesar Rp24.157.116 per tahun. Dengan demikian, waktu pengembalian investasi (payback period) adalah sekitar 15 tahun 3 bulan1.

Penghematan biaya ini diperoleh dari pengurangan penggunaan air PDAM sebesar 5.637,6 m³ per tahun, dengan harga air PDAM sekitar Rp4.285 per m³. Selain keuntungan finansial, pemanfaatan air hujan juga memberi nilai tambah pada upaya konservasi sumber daya air di lingkungan perkotaan1.

Dampak Lingkungan dan Konservasi Air

Selain aspek finansial, manfaat lingkungan dari sistem cistern sangat signifikan. Dengan menampung dan memanfaatkan air hujan:

  • Tekanan terhadap sumber air tanah dan PDAM berkurang.
  • Limpasan air hujan ke saluran kota dapat ditekan, sehingga risiko banjir juga menurun.
  • Upaya konservasi air di kawasan urban menjadi lebih nyata dan terukur.

Studi lain juga menunjukkan bahwa pemanfaatan air hujan dapat mengurangi penggunaan air PDAM hingga 50% di lingkungan kampus atau perumahan, terutama saat musim hujan34. Bahkan, di beberapa negara maju seperti Singapura dan Jepang, sistem panen air hujan sudah menjadi standar pada bangunan baru untuk mendukung ketahanan air kota2.

Tantangan, Kritik, dan Saran Pengembangan

Kelebihan Studi

  • Data curah hujan dan kebutuhan air dianalisis secara komprehensif.
  • Desain cistern disesuaikan dengan kebutuhan aktual dan potensi ketersediaan air.
  • Analisis ekonomi dilakukan secara transparan, sehingga pembaca bisa menilai kelayakan investasi.

Tantangan dan Kritik

  • Payback period yang cukup lama (lebih dari 15 tahun) bisa menjadi kendala, terutama untuk institusi dengan keterbatasan anggaran. Namun, jika dilihat dari manfaat lingkungan dan keberlanjutan, investasi ini tetap layak dipertimbangkan.
  • Kualitas air hujan yang ditampung perlu diperhatikan, terutama jika akan digunakan untuk konsumsi langsung. Diperlukan sistem filtrasi tambahan untuk memastikan air aman digunakan.
  • Perawatan cistern harus rutin dilakukan agar tidak menjadi sarang nyamuk atau sumber kontaminasi lain.

Saran Pengembangan

  • Integrasi teknologi sensor untuk memantau level air dan kualitas air secara otomatis.
  • Edukasi kepada pengelola gedung dan masyarakat mengenai pentingnya pemeliharaan sistem cistern.
  • Pemerintah daerah dapat memberikan insentif atau mewajibkan sistem panen air hujan pada bangunan baru, terutama di kota-kota dengan curah hujan tinggi.

Relevansi dengan Tren Urban Sustainability dan Industri

Pemanfaatan air hujan dengan sistem cistern sangat relevan dengan tren urban sustainability yang kini menjadi fokus banyak kota besar di dunia. Sistem ini tidak hanya menghemat biaya, tetapi juga mendukung konservasi air dan pengelolaan lingkungan yang lebih baik. Jika diadopsi secara luas, sistem cistern dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mengatasi krisis air bersih di kawasan urban Indonesia.

Studi serupa di Bank Indonesia Jakarta membuktikan bahwa pemanfaatan air hujan dapat menghemat penggunaan air PAM hingga 65,41% untuk kebutuhan pertamanan6. Sementara itu, penelitian di Universitas Bosowa Makassar menunjukkan penurunan penggunaan air PDAM hingga 50% per tahun dengan memanfaatkan air hujan sebagai sumber air bersih alternatif3.

Simulasi Potensi Penghematan Nasional

Jika sistem cistern diadopsi oleh 1.000 institusi serupa di Indonesia, potensi penghematan air PDAM bisa mencapai lebih dari 5,6 juta m³ per tahun, dengan penghematan biaya lebih dari Rp24 miliar per tahun. Angka ini belum termasuk manfaat lingkungan yang didapat dari konservasi air dan pengurangan risiko banjir di kawasan urban.

Kesimpulan: Investasi Hijau untuk Kota Berkelanjutan

Penelitian di Komplek Balai Latihan Kerja Samarinda membuktikan bahwa sistem panen air hujan dengan cistern adalah solusi nyata untuk konservasi air di kawasan urban. Dengan investasi awal Rp373 juta dan penghematan Rp24 juta per tahun, sistem ini tidak hanya mengurangi beban PDAM dan air tanah, tetapi juga berkontribusi pada lingkungan yang lebih lestari.

Meski waktu pengembalian investasi cukup lama, manfaat jangka panjang dari sisi lingkungan, penghematan biaya, dan ketahanan air sangat besar. Sistem cistern sangat relevan dengan tren urban sustainability dan dapat menjadi model bagi institusi lain di Indonesia. Dengan penyesuaian desain dan teknologi, sistem ini dapat diadopsi di berbagai skala, mulai dari rumah tangga hingga gedung perkantoran.

Sumber Artikel

Anggara Saputra, Hery Setyobudiarso. "Analisa Pemanfaatan Potensi Air Hujan Menggunakan Cistern Sebagai Alternatif Sumber Air Kebutuhan Pada Komplek Gedung Balai Latihan Kerja Samarinda." Program Studi Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Nasional Malang. Seminar Nasional Infrastruktur Berkelanjutan Era Revolusi Industri 4.0, 2019.1

Selengkapnya
Analisis Pemanfaatan Air Hujan dengan Sistem Cistern di Balai Latihan Kerja Samarinda

Air Bersih

Pemanfaatan Air Hujan Bersih dan Layak Menggunakan Alat Filtrasi Sederhana di Taman Pagelaran Ciomas Bogor

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Ketersediaan air bersih menjadi isu krusial di banyak wilayah Indonesia, terutama di kawasan urban yang mengalami pertumbuhan pesat dan perubahan fungsi lahan. Kota Bogor, yang dikenal sebagai "kota hujan", justru menghadapi tantangan air bersih akibat keterbatasan air tanah dan kualitas air yang menurun. Paper karya Budiman Budiman, Renea Shinta Aminda, dan Syaiful Syaiful dari Universitas Ibn Khaldun Bogor ini menawarkan solusi konkret melalui pemanfaatan air hujan dengan sistem filtrasi sederhana, khususnya di Perumahan Taman Pagelaran Ciomas Bogor1.

Artikel ini akan mengupas tuntas gagasan, metodologi, hasil, serta relevansi penelitian tersebut dalam konteks kebutuhan air bersih nasional, tren urban sustainability, dan potensi replikasi di wilayah lain.

Mengapa Air Hujan? Menjawab Kebutuhan dan Konservasi

Konteks Permasalahan

  • Banyak daerah di Indonesia kekurangan air bersih karena kuantitas dan kualitas air tanah yang rendah.
  • Urbanisasi mengurangi ruang terbuka hijau (RTH), memperparah limpasan air hujan dan menurunkan resapan air tanah.
  • Pengelolaan air yang kurang baik menyebabkan air hujan terbuang sia-sia sebagai limpasan, bahkan berkontribusi pada banjir1.

Solusi yang Ditawarkan

  • Memanfaatkan air hujan sebagai sumber air alternatif untuk kebutuhan harian dan mengurangi ketergantungan pada PDAM.
  • Menggunakan alat filtrasi sederhana agar air hujan yang digunakan memenuhi standar kualitas air bersih sesuai PP RI No. 82 Tahun 2001 dan UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air1.

Sistem Panen Air Hujan: Komponen dan Standar Kualitas

Komponen Sistem Panen Air Hujan (Rainwater Harvesting System)

Menurut Efrilianita (2018), sistem panen air hujan terdiri dari lima komponen utama1:

  1. Permukaan Daerah Tangkapan: Atap bangunan sebagai area penangkapan air hujan.
  2. Talang dan Pipa Downspout: Mengalirkan air dari atap ke penampungan. Ukuran talang minimal 3-5 inch, pipa 3-8 inch.
  3. Saringan Daun & First Flush Diverters: Menyaring kotoran dan air hujan pertama yang membawa kontaminan.
  4. Tangki Penampungan: Volume disesuaikan dengan kebutuhan dan curah hujan setempat.
  5. Pemurnian dan Penyaringan: Proses akhir untuk menjamin air layak konsumsi, terutama jika digunakan sebagai air minum.

Klasifikasi Mutu Air

Berdasarkan PP RI No. 82 Tahun 2001, air dibagi menjadi empat kelas, mulai dari air baku minum (kelas 1) hingga air untuk irigasi (kelas 4). Sistem filtrasi sederhana bertujuan meningkatkan kualitas air hujan agar minimal mencapai kelas 2, bahkan dapat digunakan untuk air minum setelah proses filtrasi lanjutan1.

Studi Kasus: Implementasi di Taman Pagelaran Ciomas Bogor

Desain dan Proses Pembuatan Alat Filtrasi

Bahan-bahan:

  • Botol bekas 1500 ml & 2000 ml
  • Pasir silika (2 kg)
  • Zeolit (1 kg)
  • Karbon aktif (1 kg)
  • Spons/kapas
  • Ember, cutter, tali, gunting, tang

Susunan Media Filtrasi:

  1. Kapas/spons (paling bawah)
  2. Karbon aktif
  3. Pasir silika
  4. Zeolit (paling atas)

Fungsi Setiap Media:

  • Pasir silika: Menyaring lumpur dan partikel kasar.
  • Zeolit: Menyerap logam berat dan kapur.
  • Karbon aktif: Menghilangkan bau dan menyerap zat organik.
  • Kapas/spons: Menyaring partikel halus dan memperjelas air1.

Proses Pembuatan:

  • Semua bahan dicuci bersih, lalu disusun berlapis dalam botol yang sudah dipotong.
  • Air hujan yang tertampung di toren dialirkan ke alat filtrasi ini sebelum digunakan1.

Biaya Pembuatan

  • Estimasi biaya total: Rp40.000,-
    • Pasir silika 2 kg: Rp12.000,-
    • Zeolit 1 kg: Rp5.000,-
    • Kapas: Rp8.000,-
    • Karbon aktif 1 kg: Rp15.000,-
  • Bahan mudah didapat, alat dapat dibuat sendiri oleh masyarakat tanpa keahlian khusus1.

Hasil Uji Coba: Efektivitas Filtrasi

Pengujian Sampel Air

  • Sampel air keruh sebanyak 1 liter dimasukkan ke alat filtrasi.
  • Setelah melalui proses penyaringan, air berubah menjadi jernih dan tidak berbau.
  • Zeolit efektif menyaring partikel besar seperti tanah dan lumut, pasir dan kapas menyaring partikel halus, karbon aktif menghilangkan bau dan zat organik.
  • Semakin tebal lapisan media, semakin baik hasil filtrasi1.

Kapasitas Penampungan

  • Volume bak penampungan yang digunakan: 10 m³.
  • Dengan curah hujan tinggi di Bogor, sistem ini mampu menampung air dalam jumlah besar untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari1.

Analisis Kritis dan Nilai Tambah

Kelebihan Penelitian

  • Praktis dan Ekonomis: Alat filtrasi sederhana ini sangat murah dan mudah diaplikasikan, cocok untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
  • Replikasi Mudah: Dapat diterapkan di berbagai wilayah dengan sedikit modifikasi sesuai kebutuhan lokal.
  • Dampak Lingkungan Positif: Mengurangi limpasan air hujan, membantu konservasi air tanah, dan meminimalisir risiko banjir1.

Kritik dan Tantangan

  • Keterbatasan Skala: Alat ini ideal untuk kebutuhan rumah tangga, namun untuk skala komunitas besar perlu desain lebih besar dan sistem pemeliharaan yang baik.
  • Kualitas Air: Untuk konsumsi langsung (air minum), filtrasi sederhana ini perlu dilengkapi dengan desinfeksi (misal, klorinasi atau UV) untuk membunuh mikroorganisme patogen.
  • Kesadaran dan Edukasi: Diperlukan edukasi berkelanjutan agar masyarakat rutin memelihara alat filtrasi dan memahami pentingnya pemanfaatan air hujan.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Penelitian Novia et al. (2019) juga membuktikan efektivitas sistem filtrasi sederhana berbasis media lokal untuk air baku, namun menekankan pentingnya monitoring kualitas air secara berkala.
  • Di negara-negara seperti Australia dan India, sistem rainwater harvesting telah menjadi bagian dari regulasi bangunan baru, menunjukkan tren global pengelolaan air berkelanjutan yang bisa diadopsi di Indonesia.

Relevansi dengan Tren Industri dan Urban Sustainability

Urban Water Management

  • Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya menghadapi masalah serupa: penurunan muka air tanah, banjir, dan kekurangan air bersih.
  • Implementasi sistem panen air hujan dan filtrasi sederhana dapat menjadi solusi jangka menengah untuk mengurangi beban PDAM dan meningkatkan ketahanan air di perkotaan.

Potensi Integrasi dengan Smart City

  • Sistem monitoring kualitas air berbasis IoT dapat diintegrasikan pada penampungan air hujan untuk memastikan keamanan air secara real-time.
  • Pemerintah daerah dapat memberikan insentif atau subsidi alat filtrasi untuk mendorong adopsi lebih luas.

Studi Kasus Lanjutan: Simulasi Potensi Penghematan

Simulasi Penghematan Biaya Air

Misal, satu rumah tangga di Bogor dengan kebutuhan air 200 liter/hari dapat memenuhi 50% kebutuhan dari air hujan selama musim hujan (6 bulan/tahun).

  • Kebutuhan air selama 6 bulan: 200 liter x 30 hari x 6 bulan = 36.000 liter (36 m³)
  • Jika 50% dipenuhi dari air hujan: 18 m³
  • Tarif PDAM rata-rata: Rp4.000/m³
  • Penghematan: 18 m³ x Rp4.000 = Rp72.000/6 bulan

Dengan biaya alat Rp40.000, investasi kembali (ROI) tercapai dalam waktu kurang dari 6 bulan, belum termasuk manfaat lingkungan dan pengurangan risiko banjir1.

Kesimpulan: Solusi Sederhana, Dampak Besar

Penelitian ini membuktikan bahwa pemanfaatan air hujan dengan alat filtrasi sederhana adalah solusi murah, efektif, dan mudah diaplikasikan untuk mengatasi krisis air bersih di kawasan urban. Dengan biaya rendah dan bahan yang mudah didapat, masyarakat dapat mandiri memenuhi kebutuhan air bersih sekaligus berkontribusi pada konservasi lingkungan.

Agar manfaatnya optimal, diperlukan:

  • Edukasi berkelanjutan tentang pemeliharaan alat dan pentingnya pemanfaatan air hujan.
  • Dukungan kebijakan dari pemerintah daerah, misal insentif alat filtrasi atau integrasi dalam peraturan bangunan.
  • Pengembangan sistem filtrasi lanjutan untuk air minum, serta monitoring kualitas air secara rutin.

Dengan replikasi dan inovasi berkelanjutan, sistem ini berpotensi menjadi bagian penting dari strategi pengelolaan air berkelanjutan di Indonesia.

Sumber Asli Artikel

Budiman Budiman, Renea Shinta Aminda, Syaiful Syaiful. "Pemanfaatan Air Hujan Bersih dan Layak Menggunakan Alat Filtrasi Sederhana di Taman Pagelaran Ciomas Bogor." Universitas Ibn Khaldun Bogor, Indonesia. Diterbitkan: 21 Februari 2023.

Selengkapnya
Pemanfaatan Air Hujan Bersih dan Layak Menggunakan Alat Filtrasi Sederhana di Taman Pagelaran Ciomas Bogor

Krisis Air

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pemanfaatan Air Hujan untuk Urban Farming di Cibabat Cimahi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Kota-kota besar di Indonesia, seperti Cimahi, menghadapi tantangan besar dalam penyediaan air bersih dan ruang hijau. Kualitas air sungai di Cimahi sudah tercemar berat oleh limbah domestik dan pertanian, sementara air tanah di banyak zona kota ini juga tidak layak minum akibat pencemaran dan eksploitasi berlebih. Di tengah krisis tersebut, konsep urban farming atau pertanian kota muncul sebagai solusi untuk menciptakan ruang hijau produktif, memperkuat ketahanan pangan, dan meningkatkan kualitas lingkungan. Namun, urban farming di kota padat membutuhkan pasokan air bersih yang stabil—dan di sinilah air hujan menjadi solusi inovatif yang murah, ramah lingkungan, dan berkelanjutan12.

Mengapa Air Hujan untuk Urban Farming?

Air hujan memiliki kualitas awal yang cenderung baik, namun di wilayah perkotaan, air hujan yang jatuh ke atap bangunan bisa terkontaminasi oleh polutan udara, material atap, dan dekomposisi bahan organik. Dengan pengolahan sederhana, air hujan dapat diubah menjadi air bersih yang aman untuk kebutuhan urban farming, khususnya sistem hidroponik yang sangat bergantung pada ketersediaan air berkualitas1.

Kota Cimahi memiliki potensi air hujan yang sangat besar, dengan curah hujan tahunan antara 1.700 hingga 4.000 mm dan total potensi volume air hujan mencapai 68,9–162,1 juta m³ per tahun. Jika dimanfaatkan dengan baik, air hujan dapat menopang kebutuhan air bersih untuk pertanian kota, mengurangi tekanan pada air tanah, dan membantu mengatasi masalah banjir melalui penyerapan air ke tanah (groundwater recharge)1.

Studi Kasus: Pemberdayaan Masyarakat RT 05 RW 22 Cibabat Cimahi

Konteks Wilayah

Kegiatan pengabdian masyarakat ini dilaksanakan di RT 05 RW 22 Kelurahan Cibabat, Kecamatan Cimahi Utara. Wilayah ini didominasi permukiman padat dengan lahan terbatas dan kualitas air tanah yang buruk. Sebagian besar warga adalah ibu rumah tangga yang sebelumnya belum familiar dengan teknik hidroponik maupun pengolahan air hujan12.

Tahapan Program

  1. Sosialisasi dan Pelatihan
    Tim pengabdi dari Poltekkes Kemenkes Bandung melakukan sosialisasi mengenai pentingnya pengolahan air hujan dan teknik bertanam hidroponik. Materi pelatihan meliputi sejarah hidroponik, jenis dan keunggulan hidroponik, media tanam, kebutuhan nutrisi, serta pentingnya kualitas air untuk pertumbuhan tanaman.
  2. Praktik Pembuatan Sistem Hidroponik
    Warga dilatih membuat sistem hidroponik sederhana menggunakan metode wick system dan NFT (Nutrient Film Technique). Mereka diajarkan cara menanam bibit di rockwool, memindahkan ke netpot, serta merakit instalasi hidroponik dari paralon dan kontainer sederhana.
  3. Pengolahan Air Hujan
    Air hujan yang ditampung dari atap rumah disaring menggunakan filter sederhana sebelum digunakan untuk hidroponik. Warga diajarkan mengukur TDS (Total Dissolved Solids), EC (Electrical Conductivity), dan pH air hujan, serta mengganti air jika sudah keruh atau tidak jernih lagi.
  4. Pemeliharaan dan Panen
    Setelah bibit tumbuh 3–5 hari, tanaman dipindahkan ke instalasi hidroponik. Nutrisi hidroponik diberikan secara terukur, dan panen dilakukan sekitar 3–4 minggu kemudian. Hasil panen dapat dikonsumsi sendiri atau dijual untuk menambah pendapatan keluarga12.

Analisis Angka dan Fakta dari Program

  • Curah hujan tahunan Cimahi: 1.700–4.000 mm, potensi air hujan 68,9–162,1 juta m³/tahun1.
  • Peserta pelatihan: 15 orang ibu rumah tangga, didampingi dosen dan mahasiswa Poltekkes Kemenkes Bandung12.
  • Jenis tanaman hidroponik: Selada air, bayam, sawi, brokoli, kangkung, kale, daun kemangi, seledri, tomat, timun, paprika, stroberi, cabai, terong, dan pare1.
  • Metode hidroponik yang diajarkan: Wick system dan NFT, menggunakan bahan lokal seperti rockwool, netpot, paralon, dan kontainer plastik1.
  • Siklus panen: 3–4 minggu setelah tanam, dengan hasil yang lebih bersih dan sehat dibandingkan tanaman konvensional1.

Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

Manfaat Sosial

  • Peningkatan pengetahuan dan keterampilan: Warga belajar teknik baru yang aplikatif dan langsung berdampak pada kehidupan sehari-hari.
  • Penguatan kebersamaan: Urban farming dengan air hujan mempererat gotong royong dan interaksi sosial di lingkungan padat kota.
  • Ketahanan pangan keluarga: Hasil panen hidroponik dapat dikonsumsi sendiri, mengurangi ketergantungan pada pasar.

Manfaat Ekonomi

  • Pendapatan tambahan: Hasil panen yang berlebih bisa dijual, meningkatkan ekonomi rumah tangga.
  • Efisiensi biaya: Tidak perlu membeli air bersih untuk pertanian, cukup memanfaatkan air hujan yang gratis dan melimpah.

Manfaat Lingkungan

  • Pengurangan tekanan pada air tanah: Dengan berkurangnya pengambilan air tanah, cadangan air bawah permukaan lebih terjaga.
  • Pengurangan risiko banjir: Air hujan yang ditampung tidak langsung menjadi limpasan permukaan, membantu mengurangi genangan di musim hujan.
  • Peningkatan ruang hijau: Urban farming menciptakan lahan hijau baru di tengah permukiman padat, memperbaiki kualitas udara dan estetika lingkungan.

Tantangan dan Solusi

Tantangan

  • Kualitas air hujan yang fluktuatif: Air hujan yang ditampung dari atap bisa terkontaminasi polutan udara dan material atap, sehingga butuh pengolahan sebelum digunakan.
  • Keterbatasan lahan: Urban farming harus kreatif memanfaatkan ruang sempit, seperti vertikultur dan sistem rak bertingkat.
  • Perawatan sistem hidroponik: Dibutuhkan pengetahuan dan ketelatenan dalam mengatur nutrisi, pH, dan kebersihan air.

Solusi

  • Sosialisasi berkelanjutan: Edukasi tidak hanya sekali, tetapi terus-menerus agar warga terbiasa dan percaya diri mengelola sistem hidroponik.
  • Teknologi sederhana: Pengolahan air hujan cukup dengan filter sederhana, mudah dibuat dan dirawat oleh masyarakat.
  • Kolaborasi lintas sektor: Melibatkan tokoh masyarakat, RT/RW, dan lembaga pendidikan untuk memperluas dampak program12.

Perbandingan dengan Studi dan Tren Nasional

Studi serupa di Yogyakarta (Kelompok Tani Code Hijau Asri, Wirogunan) juga membuktikan bahwa pemanfaatan air hujan untuk urban farming sangat efektif menghidupkan kembali komunitas tani yang sempat vakum akibat pandemi. Dengan instalasi pemanenan air hujan, kelompok tani bisa mengelola kebun asri di bantaran Sungai Code, menjadikan area tersebut ruang publik produktif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar34.

Tren nasional kini mendorong adopsi sistem pemanenan air hujan dan urban farming di kawasan permukiman padat, sekolah, dan fasilitas publik. Banyak kota besar mulai mengintegrasikan sumur resapan dan SPAH (Sistem Penampungan Air Hujan) dalam perizinan bangunan baru, sebagai bagian dari strategi pengendalian banjir, konservasi air tanah, dan ketahanan pangan perkotaan.

Opini, Kritik, dan Saran Pengembangan

Kritik

  • Kurangnya data kuantitatif hasil panen: Studi ini lebih menonjolkan aspek edukasi dan pemberdayaan, belum membahas detail produktivitas tanaman atau efisiensi air hujan yang digunakan.
  • Belum ada analisis ekonomi detail: Potensi penghematan biaya air dan nilai tambah ekonomi dari hasil panen belum dihitung secara spesifik.
  • Aspek kualitas air: Studi belum membahas detail parameter kualitas air hujan setelah pengolahan, padahal ini penting untuk keamanan pangan dan kesehatan.

Saran

  • Integrasi dengan teknologi filtrasi lanjutan: Penambahan filter karbon aktif atau UV akan meningkatkan kualitas air hujan, sehingga aman untuk hidroponik dan konsumsi.
  • Pengembangan skala komunal: Sistem penampungan air hujan dan urban farming dapat dikembangkan secara kolektif di lingkungan RT/RW untuk efisiensi dan dampak lebih luas.
  • Edukasi berkelanjutan: Pelatihan harus terus dilakukan, termasuk monitoring hasil panen, perawatan sistem, dan pengelolaan nutrisi tanaman.

Relevansi dengan Tren Industri dan Urbanisasi

Pemanfaatan air hujan untuk urban farming sangat relevan dengan tren green city, green building, dan ketahanan pangan urban. Banyak pengembang properti kini mulai menawarkan hunian dengan sistem pemanenan air hujan dan kebun hidroponik sebagai selling point. Dengan perubahan iklim yang semakin nyata, inovasi lokal seperti ini menjadi kunci ketahanan air dan pangan di masa depan.

Kesimpulan: Urban Farming Berbasis Air Hujan, Solusi Nyata Kota Padat

Program pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan air hujan untuk urban farming di Cibabat Cimahi membuktikan bahwa inovasi sederhana dapat membawa perubahan besar. Dengan pelatihan, teknologi pengolahan air hujan, dan sistem hidroponik, warga kota padat bisa menciptakan ruang hijau produktif, memperkuat ketahanan pangan, dan mengurangi tekanan pada sumber air tanah. Keberhasilan program ini bergantung pada edukasi berkelanjutan, kolaborasi lintas sektor, dan adaptasi teknologi sesuai kebutuhan lokal.

Sumber Artikel (Bahasa Asli):

Nia Yuniarti Hasan, Teguh Budi Prijanto. "Pemberdayaan Masyarakat dalam Pemanfaatan Air Hujan sebagai Sumber Air Bersih 'Urban Farming' di Wilayah Cibabat Cimahi." Jurnal Pengabdian Masyarakat Kesehatan Indonesia, Vol 2 No 1 Juni 2023, hlm. 241–250.

Selengkapnya
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pemanfaatan Air Hujan untuk Urban Farming di Cibabat Cimahi

Krisis Air

Kajian Pemanfaatan Air Hujan sebagai Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih di Pulau Ende

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Indonesia memiliki ribuan pulau kecil yang menyimpan tantangan tersendiri dalam pemenuhan kebutuhan air bersih. Salah satu contohnya adalah Pulau Ende, di mana air tanah sangat terbatas dan cenderung payau akibat tipisnya lensa air tawar dan intrusi air laut. Kondisi geografis dan biofisik pulau-pulau kecil seperti Ende menyebabkan air hujan menjadi satu-satunya sumber air tawar yang layak, namun pemanfaatannya selama ini belum optimal. Paper karya Valentinus Tan dan Mikael Wora dari Universitas Flores, Ende, menyoroti pentingnya pemanenan air hujan skala rumah tangga sebagai solusi berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat Pulau Ende.

Latar Belakang dan Relevansi Penelitian

Pulau Ende menjadi gambaran nyata bagaimana air bersih merupakan barang mahal dan langka, meski dikelilingi lautan. Sumur-sumur di pulau ini umumnya menghasilkan air payau yang tidak layak konsumsi. Upaya penyulingan air laut (SWRO) pernah dilakukan dengan dana miliaran rupiah, namun gagal memberikan solusi karena alat tidak berfungsi. Akibatnya, masyarakat masih sangat bergantung pada air hujan yang ditampung di bak penampungan atau tandon, serta membeli air dari kota atau penjual keliling, yang kualitasnya pun masih payau.

Pemerintah Kabupaten Ende telah menetapkan pemenuhan kebutuhan air bersih sebagai prioritas pembangunan infrastruktur dan lingkungan hidup, terutama untuk wilayah-wilayah yang belum terjangkau layanan air bersih konvensional. Pemanenan air hujan (rainwater harvesting) menjadi alternatif yang logis dan murah, apalagi curah hujan tahunan di Indonesia rata-rata 2.263 mm dan relatif merata sepanjang tahun.

Sistem dan Komponen Pemanenan Air Hujan

Sistem pemanenan air hujan sederhana terdiri dari tiga komponen utama:

  • Area tangkapan (atap rumah): Luas atap sangat menentukan volume air hujan yang bisa ditampung.
  • Saluran pengumpul (talang/pipa): Mengalirkan air dari atap ke bak penampungan.
  • Bak penampungan (tandon/tangki): Tempat penyimpanan air hujan, baik di atas tanah maupun di bawah tanah.

Kualitas air hujan dapat dijaga dengan pemasangan filter sederhana untuk menyaring sampah dan polutan yang terbawa dari atap. Saluran pembuangan air hujan pada menit-menit awal juga penting untuk membuang air yang mungkin terkontaminasi debu atau kotoran.

Metode Penelitian: Simulasi Hidrologi Kuantitatif

Penelitian ini menggunakan data primer berupa luas atap rumah dan jumlah anggota keluarga, serta data sekunder berupa curah hujan harian rata-rata dari BPS Kabupaten Ende (2010–2014). Simulasi dilakukan dengan model siklus hujan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi air hujan dalam memenuhi kebutuhan air bersih rumah tangga, dengan variasi jumlah tangki penampungan (kapasitas 1.000–5.000 liter).

Studi Kasus: Pemenuhan Air Bersih Skala Rumah Tangga di Pulau Ende

Kondisi Sosial dan Infrastruktur

Pulau Ende didaulat sebagai pulau dengan ribuan penampung air hujan (PAH). Warga menampung air hujan dengan bak, ember, atau tandon seadanya. Namun, kapasitas penampungan yang terbatas hanya cukup untuk kebutuhan jangka pendek. Pada musim kemarau, masyarakat terpaksa membeli air dari luar pulau atau dari mobil tangki keliling, yang kualitasnya masih payau dan terasa asin saat diminum.

Simulasi dan Hasil Analisis

Penelitian mengambil sampel rumah dengan luas atap 231 m² dan 7 anggota keluarga. Dengan data curah hujan tahunan 4.560 mm, serta koefisien pengaliran 0,75 (jenis atap genteng miring), dilakukan simulasi kebutuhan air dan kapasitas tangki.

  • Dua tangki (masing-masing 1 m³): Dapat memenuhi 67,5% kebutuhan air bersih keluarga per tahun.
  • Tiga tangki (masing-masing 1 m³): Meningkatkan pemenuhan kebutuhan air hingga 82,6%.
  • Empat tangki (masing-masing 1 m³): Mampu memenuhi 90,3% kebutuhan air bersih.

Simulasi pada tahun-tahun berikutnya (2017–2020) menunjukkan variasi pemenuhan air tergantung curah hujan tahunan. Pada tahun dengan curah hujan rendah (2020), tiga tangki hanya mampu memenuhi sekitar 53,5% kebutuhan air keluarga.

Penelitian juga membandingkan beberapa skenario:

  • Luas atap sama, anggota keluarga berbeda: Semakin banyak anggota keluarga, semakin rendah persentase kebutuhan air yang terpenuhi.
  • Luas atap berbeda, anggota keluarga sama: Semakin besar luas atap, semakin tinggi volume air yang bisa ditampung dan semakin besar persentase kebutuhan air yang terpenuhi.

Contoh pada tahun 2016:

  • Rumah 231 m², 7 anggota keluarga: 82,6% kebutuhan air terpenuhi dengan 3 tangki.
  • Rumah 231 m², 6 anggota keluarga: 87,7% terpenuhi.
  • Rumah 204 m², 7 anggota keluarga: 81,6% terpenuhi.
  • Rumah 112 m², 6 anggota keluarga: 82,8% terpenuhi.

Pada tahun 2020 (curah hujan rendah), persentase pemenuhan turun drastis, misalnya pada rumah 112 m² dengan 6 anggota keluarga hanya 41,2% kebutuhan air yang terpenuhi.

Pembahasan: Faktor Penentu dan Implikasi Praktis

Faktor Penentu Keberhasilan

  • Curah hujan: Semakin tinggi curah hujan tahunan, semakin besar peluang pemenuhan kebutuhan air bersih.
  • Luas atap: Area tangkapan yang lebih luas meningkatkan volume air yang bisa ditampung.
  • Jumlah anggota keluarga: Semakin banyak penghuni, semakin besar kebutuhan air dan semakin rendah persentase kebutuhan yang bisa dipenuhi dari air hujan.
  • Kapasitas tangki: Penambahan jumlah dan kapasitas tangki penampungan sangat berpengaruh terhadap ketahanan air rumah tangga, terutama saat musim kemarau.

Tantangan Implementasi

  • Variasi curah hujan: Pada tahun-tahun kering, bahkan dengan tiga tangki, hanya sekitar 50% kebutuhan air yang bisa dipenuhi. Ini menuntut strategi tambahan seperti penghematan air atau kolaborasi antar rumah tangga.
  • Kualitas air hujan: Meski relatif bersih, air hujan tetap perlu disaring dan didesinfeksi sebelum dikonsumsi, terutama jika atap dan saluran belum terjaga kebersihannya.
  • Investasi awal: Pembuatan tangki atau tandon dengan kapasitas besar membutuhkan biaya yang tidak sedikit, meski dalam jangka panjang lebih hemat daripada membeli air dari luar.

Perbandingan dengan Studi dan Tren Nasional

Penelitian serupa di daerah lain seperti Gunungkidul, Aceh, dan Riau menunjukkan pola yang sama: air hujan sangat potensial sebagai sumber air bersih, terutama di wilayah dengan air tanah dangkal yang payau atau tercemar. Studi di Gunungkidul membuktikan bahwa dengan penampungan yang cukup, air hujan dapat memenuhi hingga 80% kebutuhan air domestik selama musim hujan.

Tren nasional saat ini juga mendorong pemanfaatan air hujan sebagai bagian dari strategi ketahanan air, baik melalui program pemerintah, LSM, maupun inisiatif komunitas. Regulasi sumur resapan dan penampungan air hujan mulai diintegrasikan dalam perizinan bangunan baru di beberapa kota besar.

Opini, Kritik, dan Saran Pengembangan

Kritik

  • Fokus pada kuantitas, bukan kualitas: Penelitian ini sangat kuat dalam aspek kuantitatif, namun belum membahas detail kualitas air hujan dan perlunya filtrasi atau desinfeksi sebelum konsumsi.
  • Kurangnya analisis ekonomi: Studi belum membahas biaya investasi, operasional, dan manfaat ekonomi jangka panjang, yang penting untuk mendorong adopsi massal.
  • Belum ada strategi adaptasi saat musim kemarau ekstrem: Perlu kajian lebih lanjut tentang integrasi sumber air alternatif dan teknologi penghematan air.

Saran

  • Integrasi dengan teknologi filtrasi: Penambahan filter sederhana dan desinfeksi sangat penting untuk menjamin keamanan konsumsi air hujan.
  • Edukasi dan sosialisasi: Masyarakat perlu diedukasi tentang perawatan atap, saluran, dan tangki, serta pentingnya penghematan air.
  • Pengembangan skala komunal: Sistem penampungan air hujan komunal dapat menjadi solusi di lingkungan padat penduduk dengan keterbatasan lahan dan dana.

Relevansi dengan Tren Industri dan Urbanisasi

Pemanfaatan air hujan kini menjadi bagian dari strategi green building dan sustainable living di sektor properti. Banyak pengembang perumahan mulai memasukkan sistem penampungan air hujan sebagai selling point hunian ramah lingkungan. Dengan perubahan iklim yang semakin nyata, inovasi lokal seperti pemanenan air hujan akan menjadi kunci ketahanan air di masa depan, tidak hanya di pulau kecil seperti Ende, tetapi juga di seluruh Indonesia.

Kesimpulan: Pemanenan Air Hujan, Solusi Sederhana untuk Tantangan Kompleks

Penelitian di Pulau Ende membuktikan bahwa pemanenan air hujan melalui sistem sederhana sangat efektif dalam memenuhi kebutuhan air bersih, terutama di wilayah dengan keterbatasan air tanah. Dengan tiga tangki penampungan berkapasitas 1 m³, rumah tangga dapat memenuhi hingga 80% kebutuhan air bersih pada tahun-tahun dengan curah hujan normal. Namun, pada tahun-tahun kering, kontribusi air hujan turun hingga sekitar 50%, sehingga perlu strategi tambahan.

Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada kapasitas penampungan, luas atap, jumlah penghuni, dan edukasi masyarakat. Kolaborasi lintas sektor dan inovasi teknologi akan memperkuat peran pemanenan air hujan sebagai bagian dari strategi ketahanan air nasional dan pengelolaan lingkungan berkelanjutan.

Sumber Artikel (Bahasa Asli):

Valentinus Tan, Mikael Wora. "Kajian Pemanfaatan Air Hujan Sebagai Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Di Pulau Ende." Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Flores, Ende, 2021.

Selengkapnya
Kajian Pemanfaatan Air Hujan sebagai Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih di Pulau Ende

Krisis Air

Uji Kualitas Air Hujan Hasil Filtrasi untuk Penyediaan Air Bersih – Studi Kasus Politeknik Negeri Lampung

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Krisis air bersih semakin nyata di Indonesia, terutama di kawasan urban dan semi-urban. Penurunan kualitas air tanah akibat pencemaran, eksploitasi berlebih, serta keterbatasan sumber air permukaan mendorong masyarakat untuk mencari alternatif yang lebih berkelanjutan. Salah satu solusi yang kian relevan adalah pemanfaatan air hujan melalui sistem pemanenan (rainwater harvesting/RWH) dan filtrasi sederhana. Paper karya Aniessa Rinny Asnaning, Surya, dan Andy Eka Saputra dari Politeknik Negeri Lampung ini menguji efektivitas sistem filtrasi sederhana dalam meningkatkan kualitas air hujan agar layak digunakan sebagai air bersih, dengan data empiris, analisis kualitas air, dan potensi penerapannya di masyarakat luas123.

Latar Belakang dan Urgensi Penelitian

Ketersediaan air bersih kini menjadi isu krusial di banyak daerah. Eksploitasi air tanah yang berlebihan memicu dampak lingkungan serius seperti banjir rob, amblesan tanah, dan intrusi air laut. Sementara itu, air hujan—salah satu sumber air atmosfer—seringkali hanya menjadi limpasan permukaan tanpa dimanfaatkan optimal. Padahal, dengan sistem penampungan dan filtrasi yang tepat, air hujan dapat menjadi sumber air bersih yang murah, ramah lingkungan, dan mendukung konservasi air tanah123.

Negara-negara maju seperti Jepang dan Australia telah lama mengadopsi RWH dalam skala luas, sementara di Indonesia, penerapan RWH masih terbatas pada inisiatif lokal dan belum menjadi kebijakan wajib di banyak daerah. Penelitian ini sangat relevan dengan tren global dan nasional yang mendorong pemanfaatan air hujan, baik untuk kebutuhan domestik, pertanian, maupun industri123.

Metode: Sistem RWH dan Filtrasi Sederhana

Desain Sistem

Penelitian dilakukan di Laboratorium Mekanika Tanah Politeknik Negeri Lampung, menggunakan atap bangunan seluas 96,72 m² sebagai area tangkapan air hujan. Sistem RWH terdiri dari rangkaian talang, pipa PVC, dan bak penampungan. Air hujan yang jatuh di atap dialirkan ke bak penampungan, lalu masuk ke sistem filtrasi seri123.

Material filtrasi yang digunakan:

  • Kerikil
  • Pasir silika
  • Serabut kelapa (pengganti ijuk)
  • Arang aktif

Urutan material ini dirancang untuk menyaring partikel kasar, partikel halus, dan zat organik, serta menjernihkan air dari warna dan bau yang tidak diinginkan. Proses filtrasi ini merupakan metode pengolahan air secara fisik, sehingga fokus pada parameter fisik dan kimia utama123.

Studi Kasus: Data Empiris dan Analisis Kualitas Air

Potensi Volume Air Hujan

Berdasarkan data klimatologi 2009–2017, curah hujan rata-rata bulanan di lokasi penelitian adalah 13,4 mm. Dengan luas atap 96,72 m² dan asumsi kehilangan air sekitar 30% karena evaporasi dan kebocoran, potensi air hujan yang bisa dikumpulkan setiap bulan adalah 0,91 m³ per bangunan123.

Kualitas Air Hujan Sebelum Filtrasi

Pengujian laboratorium menunjukkan hasil sebagai berikut123:

  • Fisik:
    • Kekeruhan: 10 NTU (standar baku mutu: 25 NTU)
    • Total padatan terlarut (TDS): 178 mg/l (standar: 1000 mg/l)
    • Suhu: 27,5°C
    • Rasa & bau: tidak berasa, tidak berbau
  • Biologi:
    • Total koliform: 6,1 MPN/100 ml (standar: 50 MPN/100 ml)
  • Kimia:
    • pH: 4,4 (standar: 6,5–8,5; tidak memenuhi)
    • Besi (Fe): <0,110 mg/l (standar: 1 mg/l)
    • Timbal (Pb): <0,021 mg/l (standar: 0,05 mg/l)
    • Kesadahan: 3,69 mg/l (standar: 500 mg/l)

Hampir semua parameter memenuhi baku mutu air bersih kecuali pH yang terlalu asam. Nilai pH rendah ini diduga berasal dari dekomposisi bahan organik di atap, seperti daun dan kotoran hewan, serta polutan udara123.

Kualitas Air Hujan Setelah Filtrasi

Setelah melewati sistem filtrasi, terjadi peningkatan kualitas air secara signifikan123:

  • Fisik:
    • Kekeruhan: turun menjadi 2,02 NTU (penurunan 79,8%)
    • Total padatan terlarut: turun menjadi 20,48 mg/l (penurunan 88,5%)
    • Suhu: 28°C
    • Rasa & bau: tetap tidak berasa dan tidak berbau
  • Kimia:
    • pH: naik menjadi 7,96 (memenuhi baku mutu)

Secara visual, air hujan hasil filtrasi tampak jauh lebih jernih, dengan endapan padatan yang sebelumnya terlihat kini sudah hilang. Proses filtrasi mampu menyaring partikel tersuspensi dan zat organik secara efektif123.

Pembahasan: Efektivitas, Tantangan, dan Implikasi

Efektivitas Sistem Filtrasi

  • Penurunan kekeruhan hampir 80% menandakan efektivitas tinggi dalam menyaring partikel tersuspensi dan endapan organik dari air hujan.
  • Penurunan total padatan terlarut lebih dari 88% membuktikan kemampuan filter dalam mengurangi zat terlarut, sehingga air lebih aman untuk kebutuhan domestik.
  • Peningkatan pH dari 4,4 menjadi 7,96 membuat air hujan layak untuk digunakan sebagai air bersih sesuai Permenkes No. 416/MEN.KES/PER/IX/1990123.

Tantangan dan Keterbatasan

  • Kapasitas Penampungan: Dengan curah hujan rendah (13,4 mm/bulan), volume air yang bisa ditampung hanya 0,91 m³/bulan. Untuk kebutuhan rumah tangga, sistem ini lebih cocok sebagai pelengkap, bukan sumber utama.
  • Kualitas Biologis: Meski total koliform sudah memenuhi standar, untuk konsumsi langsung tetap disarankan perebusan hingga mendidih. Penghilangan logam berat bisa ditingkatkan dengan tanaman air seperti eceng gondok.
  • Perawatan Sistem: Filter perlu dibersihkan dan diganti secara berkala agar performa tetap optimal123.

Studi Banding dan Tren Nasional

Studi serupa di Palestina menemukan adanya radon pada air hujan yang tidak dikelola dengan baik, menegaskan pentingnya filtrasi dan pengelolaan sistem RWH. Di Hong Kong, RWH tidak hanya untuk air bersih tetapi juga pendinginan mikroklimat kota. Di Indonesia, tren green building dan regulasi sumur resapan mulai mengadopsi sistem serupa, meski belum merata di seluruh daerah123.

Nilai Tambah dan Potensi Pengembangan

  • Solusi Berbiaya Rendah: Sistem filtrasi dengan kerikil, pasir, serabut kelapa, dan arang aktif mudah dibuat, murah, dan bisa diadopsi masyarakat pedesaan maupun perkotaan.
  • Konservasi Air Tanah: Dengan memanfaatkan air hujan, tekanan pada air tanah berkurang, membantu mengurangi risiko amblesan tanah dan intrusi air laut.
  • Dukungan Kebijakan: Pemerintah dapat mendorong adopsi RWH melalui insentif, pelatihan teknis, dan integrasi dalam perizinan bangunan baru123.

Opini, Kritik, dan Saran Pengembangan

Kritik

  • Fokus pada Kuantitas, Bukan Kualitas Konsumsi: Penelitian ini sangat kuat dalam aspek fisik dan kimia, namun belum membahas detail penghilangan bakteri patogen dan logam berat untuk air minum.
  • Kapasitas Sistem: Volume air yang bisa ditampung masih terbatas, sehingga perlu desain sistem kolektif atau penambahan area tangkapan untuk skala rumah tangga besar.
  • Kurangnya Analisis Ekonomi: Studi belum membahas biaya investasi, operasional, dan payback period, yang penting untuk mendorong adopsi massal123.

Saran

  • Integrasi dengan Filter Biologis dan UV: Untuk menjamin keamanan konsumsi, sistem dapat dikombinasikan dengan filter biologis atau lampu UV.
  • Edukasi dan Sosialisasi: Masyarakat perlu diedukasi tentang perawatan filter dan pentingnya merebus air sebelum diminum.
  • Pengembangan Skala Komunal: Sistem RWH dan filtrasi bisa dikembangkan untuk sekolah, rumah ibadah, dan fasilitas umum agar manfaatnya lebih luas123.

Relevansi dengan Tren Industri dan Urbanisasi

Pemanfaatan air hujan kini menjadi bagian dari strategi green building, sustainable city, dan ketahanan air di banyak negara. Di Indonesia, sistem seperti ini sangat potensial untuk mengatasi krisis air bersih di wilayah urban, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Dengan perubahan iklim yang semakin nyata, inovasi lokal seperti pemanenan dan filtrasi air hujan akan menjadi pilar utama ketahanan air nasional123.

Kesimpulan: Filtrasi Air Hujan, Solusi Sederhana untuk Tantangan Kompleks

Penelitian di Politeknik Negeri Lampung membuktikan bahwa sistem filtrasi sederhana mampu meningkatkan kualitas air hujan secara signifikan, sehingga layak digunakan sebagai air bersih. Dengan penurunan kekeruhan hampir 80%, total padatan terlarut turun lebih dari 88%, dan pH naik ke level netral, air hujan hasil filtrasi memenuhi standar air bersih nasional. Meski masih ada tantangan dalam kapasitas dan kualitas biologis, sistem ini sangat layak diadopsi sebagai solusi alternatif, terutama di daerah dengan keterbatasan air tanah dan permukaan.

Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada edukasi, perawatan sistem, dan dukungan kebijakan. Kolaborasi lintas sektor dan inovasi teknologi akan memperkuat peran pemanenan air hujan sebagai bagian dari strategi ketahanan air nasional dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan123.

Sumber Artikel (Bahasa Asli):

Aniessa Rinny Asnaning, Surya, Andy Eka Saputra. "Uji Kualitas Air Hujan Hasil Filtrasi untuk Penyediaan Air Bersih." Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian VII, Politeknik Negeri Lampung, 2018, hlm. 288–293.

Selengkapnya
Uji Kualitas Air Hujan Hasil Filtrasi untuk Penyediaan Air Bersih – Studi Kasus Politeknik Negeri Lampung
« First Previous page 104 of 1.121 Next Last »