Infrastruktur Pembangunan

Membangun Jalan Menuju Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan: Sinergi Infrastruktur, Pendidikan, dan Ekspor

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 10 November 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Studi oleh Ng et al. (2019) menegaskan bahwa pembangunan jalan berperan krusial dalam mendorong mobilitas, akses pasar, dan efisiensi distribusi, yang secara signifikan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi (PDB per kapita).

Namun, temuan ini juga menggarisbawahi bahwa investasi infrastruktur jalan saja tidak cukup; faktor lain seperti pendidikan, ekspor, dan modal fisik per pekerja memiliki kontribusi besar. Temuan ini penting bagi Indonesia untuk merancang kebijakan pembangunan yang terintegrasi—menggabungkan investasi infrastruktur dengan peningkatan kualitas SDM dan produktivitas industri ekspor.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak positif yang ditemukan:

  • Pertumbuhan ekonomi meningkat seiring dengan penambahan panjang jalan.

  • Infrastruktur jalan mendorong pertumbuhan ekspor dan mempercepat distribusi barang.

  • Peningkatan pengeluaran pendidikan meningkatkan produktivitas tenaga kerja.

  • Modal fisik per pekerja berperan langsung dalam peningkatan output industri dan pertanian.

Hambatan utama yang diidentifikasi:

  • Kesenjangan antarwilayah dalam kualitas dan kapasitas jaringan jalan.

  • Urbanisasi berlebih yang dapat menurunkan efisiensi ekonomi (inverted U-curve effect).

  • Keterbatasan dana pemeliharaan dan perencanaan berbasis data di negara berkembang.

Peluang besar muncul melalui integrasi kebijakan, digitalisasi data infrastruktur, dan kolaborasi publik-swasta. Pelatihan seperti Perencanaan Wilayah dan Kota dalam Pembangunan Indonesia dapat menjadi wadah untuk mengasah kemampuan dalam merancang kebijakan berbasis bukti dan sinergi multisektor.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Integrasikan Pembangunan Jalan dengan Kebijakan Pendidikan dan Ekspor: Investasi infrastruktur harus selaras dengan pengembangan SDM dan strategi ekspor nasional.

  2. Bangun Sistem Pemantauan Infrastruktur Nasional: Gunakan data spasial dan ekonomi untuk mengevaluasi dampak pembangunan jalan terhadap PDB dan produktivitas daerah.

  3. Dorong Investasi Swasta dalam Infrastruktur Jalan: Skema Public-Private Partnership (PPP) dapat mempercepat perluasan dan pemeliharaan jaringan jalan.

  4. Kendalikan Urbanisasi Berlebihan: Rancang kebijakan tata ruang yang mencegah konsentrasi ekonomi di kota besar agar pertumbuhan lebih merata.

  5. Fokus pada Infrastruktur Lokal dan Aksesibilitas Desa: Pembangunan jalan pedesaan dan penghubung antarkawasan dapat memperkuat ekonomi regional dan inklusi sosial.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan infrastruktur berpotensi gagal bila: terlalu fokus pada target fisik tanpa integrasi sosial dan ekonomi, tidak mempertimbangkan kapasitas pemeliharaan jangka panjang, mengabaikan sinergi antara transportasi, pendidikan, dan industri ekspor, atau tidak memperhatikan risiko urbanisasi berlebih.

Kebijakan perlu diarahkan pada keseimbangan antara pembangunan fisik dan peningkatan kapasitas manusia agar dampaknya inklusif dan berkelanjutan.

Penutup

Penelitian Ng et al. (2019) menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur jalan adalah katalis penting bagi pertumbuhan ekonomi, tetapi hanya efektif bila diiringi dengan peningkatan pendidikan, ekspor, dan tata kelola urbanisasi.

Bagi Indonesia, strategi pembangunan nasional seharusnya menekankan kolaborasi multisektor—antara pemerintah, akademisi, industri, dan masyarakat—agar jalan yang dibangun tidak hanya menghubungkan wilayah, tetapi juga memperkuat konektivitas sosial dan ekonomi bangsa.

Sumber

Ng, C.P., Law, T.H., Jakarni, F.M., & Kulanthayan, S. (2019). Road Infrastructure Development and Economic Growth. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 512(1), 012045. DOI:10.1088/1757-899X/512/1/012045

Selengkapnya
Membangun Jalan Menuju Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan: Sinergi Infrastruktur, Pendidikan, dan Ekspor

Infrastruktur dan Teknologi Berkelanjutan

Inovasi Pemantauan Infrastruktur Jalan Berbasis Remote Sensing untuk Pembangunan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 10 November 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Penelitian terbaru dalam Remote Sensing (2024) menyoroti bagaimana citra satelit resolusi tinggi dapat digunakan untuk menilai dampak ekologis pembangunan jalan, termasuk degradasi lahan, deforestasi, dan perubahan tata guna lahan.

Temuan ini penting karena membuka jalan bagi pendekatan berbasis data real-time dalam perencanaan infrastruktur nasional. Pemerintah dapat menggunakan data satelit untuk mendeteksi dampak lingkungan sejak tahap konstruksi, memastikan pembangunan jalan tidak hanya fokus pada efisiensi transportasi, tetapi juga keberlanjutan ekologis. Dalam konteks Indonesia—di mana ekspansi jaringan jalan terus berjalan—penerapan remote sensing dapat membantu Kementerian PUPR dan KLHK dalam mengintegrasikan kebijakan infrastruktur dengan kebijakan lingkungan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Penerapan remote sensing dalam pemantauan jalan memberikan dampak positif:

  • Efisiensi pemantauan lingkungan: Perubahan vegetasi dan tutupan lahan terdeteksi secara periodik melalui citra satelit.

  • Peningkatan akuntabilitas proyek: Data spasial memungkinkan pelacakan pembangunan terhadap rencana tata ruang wilayah (RTRW).

  • Pencegahan bencana ekologis: Deteksi dini terhadap erosi, banjir, atau sedimentasi akibat pembangunan jalan.

Hambatan utama:

  • Keterbatasan kapasitas teknis daerah dalam memanfaatkan data geospasial.

  • Akses terbatas terhadap data satelit komersial yang beresolusi tinggi.

  • Kurangnya integrasi antarinstansi antara lembaga infrastruktur dan lingkungan.

Peluang besar muncul dengan semakin mudahnya akses data open-source (Sentinel dan Landsat) serta kemajuan machine learning untuk analisis spasial. Melalui pelatihan seperti Perencanaan Wilayah dan Kota dalam Pembangunan Indonesia, pemerintah daerah dapat meningkatkan kemampuan teknis dalam mengelola data dan kebijakan berbasis peta.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Integrasikan Pemantauan Lingkungan Berbasis Remote Sensing dalam Proyek Jalan Nasional: Setiap proyek strategis perlu memasukkan indikator lingkungan berbasis citra satelit.

  2. Bangun Pusat Data Geospasial Terpadu untuk Infrastruktur Jalan: Pusat ini harus melibatkan Bappenas, KLHK, dan PUPR untuk sinkronisasi data dan kebijakan.

  3. Tingkatkan Kapasitas SDM Pemerintah Daerah: Aparatur perlu memahami analisis spasial dan indikator keberlanjutan.

  4. Dorong Kolaborasi Akademik dan Industri Teknologi: Kemitraan dapat memperluas riset dan penerapan sistem pemantauan berbasis AI.

  5. Gunakan Indikator Lingkungan dalam Evaluasi Kinerja Proyek Jalan: Penilaian keberhasilan proyek harus mencakup dampak ekologis yang terukur.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan berbasis remote sensing berisiko gagal bila diterapkan tanpa kesiapan teknis dan koordinasi. Potensi kegagalannya antara lain: ketergantungan pada data tanpa verifikasi lapangan, informasi menjadi usang karena minimnya pemeliharaan sistem, dan kurangnya pemahaman pengambil kebijakan tentang interpretasi data spasial. Agar kebijakan ini berhasil, dibutuhkan integrasi multi-stakeholder yang kuat.

Penutup

Pemanfaatan remote sensing dalam kebijakan infrastruktur jalan menandai era baru pembangunan berbasis bukti dan berorientasi lingkungan. Melalui pendekatan ini, pemerintah dapat memastikan bahwa pembangunan fisik berjalan seiring dengan perlindungan ekosistem. Bagi Indonesia, langkah menuju digitalisasi pemantauan infrastruktur adalah transformasi tata kelola yang menjamin transparansi, efisiensi, dan keberlanjutan.

Sumber

  • Remote Sensing (2024). Monitoring Road Infrastructure and Its Environmental Impacts Using Remote Sensing.

Selengkapnya
Inovasi Pemantauan Infrastruktur Jalan Berbasis Remote Sensing untuk Pembangunan Berkelanjutan

Kebijakan Publik

Meningkatkan Kualitas Proyek Konstruksi Jalan: Pembelajaran dari Praktik di Swedia

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 10 November 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Penelitian ini menyoroti pentingnya kualitas dalam proyek konstruksi jalan sebagai faktor utama dalam efisiensi anggaran publik dan keberlanjutan infrastruktur. Studi di Swedia menunjukkan bahwa rendahnya kualitas dalam tahap desain, pelaksanaan, dan pengawasan berkontribusi terhadap pemborosan anggaran, keterlambatan proyek, serta rendahnya umur layanan jalan.

Dalam konteks kebijakan publik, temuan ini menekankan perlunya sistem quality assurance yang kuat dan mekanisme audit independen. Swedia, melalui kebijakan Total Quality Management (TQM) dan sistem evaluasi kontraktor berbasis kinerja, berhasil menekan tingkat kegagalan proyek.

Bagi Indonesia, studi ini menjadi relevan mengingat persoalan klasik seperti jalan cepat rusak dan lemahnya pengawasan mutu. Pelatihan seperti Kursus Manajemen Konstruksi dan Infrastruktur dapat menjadi sarana peningkatan kompetensi aparatur dan kontraktor dalam memastikan pembangunan jalan yang efisien, transparan, dan berkelanjutan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Temuan lapangan di Swedia menunjukkan beberapa dampak positif dari kebijakan peningkatan kualitas konstruksi jalan:

  • Penurunan biaya pemeliharaan jangka panjang hingga 30% melalui perbaikan mutu material dan kontrol desain.

  • Peningkatan kepuasan pengguna jalan akibat stabilitas struktur.

  • Terbangunnya kepercayaan antara pemerintah dan kontraktor melalui sistem evaluasi berbasis kinerja.

Hambatan yang ditemukan:

  • Resistensi dari kontraktor kecil terhadap standar mutu baru karena peningkatan biaya awal.

  • Kurangnya tenaga ahli di bidang manajemen mutu dan audit proyek.

  • Proses birokrasi yang panjang dalam penyesuaian regulasi kontrak publik.

Peluang besar muncul melalui penerapan digital project management systems dan Building Information Modeling (BIM) yang mampu meningkatkan transparansi dan efisiensi pelaksanaan proyek di Indonesia.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Bangun Sistem Evaluasi Kinerja Kontraktor Nasional: Terapkan model seperti Swedish Transport Administration’s Contractor Assessment untuk menilai mutu pekerjaan dan kepatuhan.

  2. Tingkatkan Kapasitas Aparatur dalam Quality Management: Adakan pelatihan berkala untuk memperkuat kompetensi teknis dan administratif.

  3. Gunakan Teknologi Digital untuk Monitoring Proyek: Terapkan sistem digital monitoring berbasis sensor dan BIM guna meminimalkan penyimpangan proyek.

  4. Dorong Kolaborasi Publik-Swasta dalam Inovasi Material: Libatkan universitas dan industri untuk mengembangkan bahan konstruksi yang lebih tahan lama.

  5. Perkuat Regulasi Audit Independen dan Transparansi Proyek: Pastikan lembaga pengawas memiliki independensi penuh dalam menilai kualitas dan biaya proyek.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan peningkatan kualitas konstruksi berisiko gagal jika hanya berfokus pada aspek teknis tanpa memperhatikan tata kelola kelembagaan. Risiko utamanya meliputi:

  • Ketergantungan pada kontraktor besar, yang menyingkirkan pelaku usaha kecil.

  • Ketidaksiapan pemerintah daerah dalam menerapkan sistem quality assurance.

  • Kurangnya transparansi publik yang dapat memunculkan potensi moral hazard.

Untuk mencegah hal ini, kebijakan mutu perlu diiringi dengan reformasi kelembagaan, pelibatan masyarakat dalam pengawasan proyek, dan sistem penghargaan bagi kontraktor yang berintegritas.

Penutup

Kualitas proyek jalan adalah indikator keberhasilan kebijakan infrastruktur nasional. Pengalaman Swedia menunjukkan bahwa peningkatan mutu konstruksi bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga manajemen, akuntabilitas, dan inovasi.

Dengan penerapan sistem evaluasi berbasis kinerja, pelatihan kompetensi teknis, serta integrasi teknologi dalam pengawasan proyek, Indonesia dapat menciptakan sistem pembangunan jalan yang efisien, tahan lama, dan berdaya saing tinggi.

Sumber

Swedish Transport Administration (2022). Quality of Road Construction Projects in Sweden: Analysis and Policy Lessons.

Selengkapnya
Meningkatkan Kualitas Proyek Konstruksi Jalan: Pembelajaran dari Praktik di Swedia

Teknologi

Hantu di Persimpangan: Membedah AI yang Bisa Membaca Niat Pejalan Kaki

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 10 November 2025


Pertama, mari kita sepakati: jalanan kita saat ini bodoh. Sistem keselamatan mobil kita, secanggih apa pun, pada dasarnya reaktif. Mereka punya sensor, tapi mereka bereaksi terhadap apa yang sudah terjadi. Rem darurat otomatis baru bekerja setelah seorang anak berlari ke jalan.

Masalahnya, seperti yang dijabarkan di bagian "Motivation" paper ini, dunia tidak memberi kita kemewahan waktu.   

Para peneliti menyoroti statistik suram dari World Health Organization: 27% dari 1,24 juta korban jiwa lalu lintas di seluruh dunia adalah VRU. Di Jerman, tempat penelitian ini berasal, 69% kecelakaan fatal terjadi di perkotaan, terutama di persimpangan.   

Mengapa persimpangan begitu mematikan? Para peneliti menunjuk dua alasan yang sangat manusiawi:

  1. Oklusi (Occlusions): Sederhananya, titik buta. Mobil Anda tidak bisa melihat anak yang berlari dari balik bus yang sedang parkir atau pesepeda yang terhalang truk.   

  2. Ketidakpastian (Unpredictability): Ini yang paling penting. Pejalan kaki dan pesepeda bisa "secara tiba-tiba memulai gerakan atau mengubah arah" dalam "beberapa ratus milidetik".   

Sistem reaktif gagal total menghadapi dua masalah ini. Saat sensor mobil Anda akhirnya melihat anak yang keluar dari balik bus (memecahkan oklusi), Anda mungkin sudah tidak punya waktu "beberapa ratus milidetik" itu untuk bereaksi.

Di sinilah letak lompatan konseptual besar dari paper ini. Solusinya tidak bisa reaktif; ia harus prediktif. Kita tidak perlu mendeteksi gerakan pejalan kaki; kita perlu mendeteksi niat mereka untuk bergerak.

Saat Mobil, Lampu Lalu Lintas, dan Ponsel Anda Mulai Berbisik

Jadi, bagaimana cara Anda memprediksi niat? Anda tidak bisa memasang satu kamera super di setiap mobil dan berharap selesai. Masalah oklusi tetap ada.

Solusi brilian yang diusulkan paper ini adalah: "Collective Intelligence" (CI) atau Kecerdasan Kolektif.   

Lupakan ide tentang satu mobil super-jenius ala Tesla yang berjuang sendirian. Bayangkan satu mobil adalah satu neuron. Sendirian, dia tidak terlalu pintar. Dia hanya bisa melihat apa yang ada tepat di depannya. Tapi paper ini mengusulkan untuk menghubungkan semua neuron di persimpangan.

Siapa "agen" dalam jaringan kecerdasan kolektif ini?    

  1. Kendaraan Cerdas: Mobil Anda, mobil di sebelah Anda, bus di depan Anda.

  2. Infrastruktur: Ini adalah pengubah permainan. Kamera di lampu lalu lintas, pemindai laser yang dipasang di sudut jalan.

  3. VRU Sendiri: Dan ini bagian yang paling menarik. Smartphone Anda, smartwatch Anda, atau sensor yang Anda pakai.

Tiba-tiba, masalah oklusi mulai terpecahkan. Mobil Anda tidak bisa melihat pesepeda di balik bus. Tapi, kamera di tiang lampu lalu lintas bisa melihatnya. Dan smartphone di saku si pesepeda tahu dari akselerometernya bahwa dia sedang bergerak.   

Ketika semua agen ini "berbisik" satu sama lain melalui jaringan ad hoc , mereka menciptakan apa yang disebut paper ini sebagai "Global Vision" atau pandangan-dewa dari persimpangan. Tujuannya adalah untuk "memperluas cakrawala persepsi" setiap agen individu melampaui sensor mereka sendiri.   

Sistem "agen" heterogen yang saling berbicara dan berbagi data ini adalah definisi buku teks dari(https://diklatkerja.com/course/internet-of-things-basic). Ini bukan lagi kulkas pintar yang memesan susu; ini adalah infrastruktur yang saling terhubung yang dirancang untuk menyelamatkan nyawa.   

Paper Ini Tidak Sedang Memprediksi Ke Mana Anda Pergi, Tapi Bagaimana Anda Akan Pergi

Di sinilah letak inti teknis dari paper ini, dan bagian yang paling membuat saya terkesan. Oke, sistemnya bisa "melihat" semua orang. Terus? Bagaimana itu membedakannya dari sistem pengawasan biasa?

Jawabannya: sistem ini tidak hanya melacak titik. Ia mencoba membaca pikiran.

Para peneliti membagi "Intention Detection" menjadi dua lapisan yang berbeda namun saling berhubungan.   

H3: Lapisan Niat Pertama: Prediksi Gerakan Dasar (The 'Vibe')

Ini adalah "getaran" atau "bahasa tubuh" dari seorang VRU. Secara teknis, mereka menyebutnya "Basic Movement Primitive Prediction".   

Sistem ini tidak hanya melihat "objek pejalan kaki". Ia dilatih menggunakan machine learning untuk mengenali perbedaan halus antara:

  • Seseorang yang "berdiri" (mungkin menunggu bus).

  • Seseorang yang "berdiri-dan-akan-berjalan" (misalnya, ada pergeseran berat badan, kepala menoleh berulang kali ke arah lalu lintas).

  • Seorang pesepeda yang "mengayuh stabil".

  • Seorang pesepeda yang "melambat untuk berhenti".

  • Seorang pesepeda yang "melambat-sambil-menoleh-ke-belakang-untuk-berbelok".   

Sistem ini bahkan dilatih untuk mengenali gestur, seperti "mengangkat lengan untuk memberi tanda belok". Ini adalah deteksi transisi keadaan. Ini adalah psikologinya.   

H3: Lapisan Niat Kedua: Ramalan Lintasan (The 'Physics')

Setelah, dan hanya setelah, sistem memahami niat ("dia akan berbelok"), barulah ia bisa memprediksi jalur fisiknya secara akurat.

Ini disebut "Forecast of the future trajectory". Ini adalah ramalan fisika murni: ke mana titik-titik di tubuh orang itu (kepala, pusat gravitasi, persendian) akan bergerak dalam ruang 3D selama 1-3 detik ke depan.   

Mengapa memisahkan keduanya adalah sebuah terobosan?

Karena model-model lama (yang disebut di paper seperti Bayesian recursive state estimator ) gagal total karena mereka hanya melakukan Lapisan 2 (Prediksi Lintasan). Mereka melihat pejalan kaki dan pada dasarnya mengasumsikan dia akan terus berjalan lurus seperti robot. Begitu pejalan kaki itu tiba-tiba berubah pikiran, model itu hancur.   

Paper ini menyatakan bahwa Lapisan 1 ("Prediksi Gerakan Dasar") harus menginformasikan Lapisan 2 ("Ramalan Lintasan").   

Bayangkan skenario ini: Sistem melihat seorang pesepeda melambat.

  • Model Lama (Hanya Fisika): "Dia melambat. Data historis mengatakan 90% orang yang melambat akan berhenti. Prediksi saya: dia akan berhenti di tepi jalan."

  • Model Baru (Niat + Fisika): Lapisan 1 mendeteksi "lengan terangkat untuk memberi tanda belok". Sistem langsung berpikir, "Aha! Dia bukan berhenti, dia bersiap berbelok." Sistem kemudian mengabaikan model prediksi "berhenti" dan beralih ke model prediksi "berbelok".   

Inilah lompatan besar dalam keandalan.

Di Dapur Para Insinyur: Cara Mereka Menggabungkan Gosip Digital Ini

Oke, jadi mobil, kamera, dan ponsel semuanya "berbisik" dalam jaringan. Tapi bagaimana "otak" kolektif mendengarkan semua gosip ini dan mengambil satu keputusan yang koheren? Ini adalah masalah fusi data.

Para peneliti mengusulkan arsitektur (di Gambar 3) yang memungkinkan dua strategi fusi yang berbeda (di Gambar 4). Saya akan menjelaskannya dengan analogi.   

H3: Metode 1: 'Tim Detektif' (Feature-level Fusion)

Ini adalah sisi kiri dari Gambar 4 di paper.   

  • Analogi: Bayangkan sebuah tim detektif yang menyelidiki sebuah kasus. Setiap "agen" (mobil, kamera) tidak membuat kesimpulan. Mereka hanya mengumpulkan petunjuk mentah (disebut "fitur").

    • Mobil: "Saya melihat bentuk kabur bergerak dengan kecepatan 10 km/jam."

    • Kamera: "Saya melihat warna merah dan dua lingkaran berputar (roda sepeda)."

    • Ponsel: "Saya mendeteksi guncangan dari akselerometer yang konsisten dengan 'mengayuh'."

  • Semua "fitur" mentah ini dikirim ke satu "detektif kepala" (sistem fusi pusat) yang melihat semua petunjuk bersama-sama dan baru membuat satu kesimpulan: "Itu adalah pesepeda yang sedang mengayuh."

  • Pro/Kontra: Ini berpotensi sangat akurat karena detektif kepala melihat gambaran lengkapnya. Tapi, ini sangat boros bandwidth (mengirim banyak data mentah) dan bisa jadi lambat.

H3: Metode 2: 'Panel Ahli' (Decision-level Fusion)

Ini adalah sisi kanan dari Gambar 4.   

  • Analogi: Bayangkan sebuah panel ahli. Setiap "agen" adalah ahli yang cerdas. Mereka melihat semua data sendiri dan membuat kesimpulan mereka sendiri terlebih dahulu.

    • Mobil: "Setelah analisis saya, saya 80% yakin itu pesepeda yang akan lurus."

    • Kamera: "Saya 95% yakin itu pesepeda yang akan belok kiri."

    • Ponsel: "Saya 70% yakin itu pesepeda yang akan lurus."

  • Mereka lalu mengirimkan keputusan mereka (bukan data mentah) ke "moderator" (sistem fusi) yang pada dasarnya melakukan voting (mungkin dengan bobot, berdasarkan seberapa "yakin" si ahli) untuk membuat keputusan akhir.   

  • Pro/Kontra: Ini jauh lebih cepat dan sangat hemat bandwidth (hanya mengirim pesan "80% yakin"). Tapi, ada risiko kehilangan nuansa penting yang ada di data mentah.

Bagian yang cerdas adalah paper ini tidak memilih satu. Arsitektur mereka  dirancang untuk mendukung keduanya. Ini berarti sistem dapat beradaptasi. Dalam situasi lalu lintas yang sepi, ia bisa menggunakan "Tim Detektif" yang lambat tapi akurat. Di persimpangan yang kacau balau saat jam sibuk, ia bisa beralih ke "Panel Ahli" yang cepat untuk keputusan real-time.   

Seluruh proses ini—mengambil data mentah (fitur), melatih model untuk mengenalinya (menggunakan teknik seperti Histogram of Oriented Gradients (HOG) , Support Vector Machines (SVMs), dan Artificial Neural Networks (ANNs) )—adalah inti dari Artificial Intelligence dan(https://diklatkerja.com/course/big-data-dan-artificial-intelligence). Ini adalah salah satu aplikasi dunia nyata paling keren dari konsep-konsep tersebut yang pernah saya baca.   

Poin-Poin Penting yang Harus Anda Ingat (Versi Cepat)

Paper ini adalah proposal arsitektur, jadi tidak ada hasil bombastis seperti "62% lebih efisien". Fokusnya adalah pada visi dan inovasi metodologi.   

  • 🚀 Visinya Luar Biasa: Kita bergeser dari paradigma "mobil otonom tunggal" (setiap mobil adalah benteng yang berjuang sendiri) ke "ekosistem otonom kolaboratif" (setiap mobil, tiang lampu, dan pejalan kaki adalah rekan satu tim).

  • 🧠 Inovasi Utamanya: Memecahkan masalah "oklusi" (titik buta) dengan sensor fusion. Mobil Anda tidak perlu melihat Anda untuk tahu Anda ada di sana, karena infrastruktur dan ponsel Anda sudah memberitahunya.   

  • 💡 Pelajaran Buat Saya: Solusi terbaik untuk masalah yang kompleks seringkali bukan satu agen super-pintar, tapi banyak agen "cukup pintar" yang mau berkolaborasi dan berbagi data. Itulah inti dari "Collective Intelligence".   

  • 🤯 Konsep Kunci: Memisahkan niat psikologis ("basic movement primitive") dari aksi fisik ("trajectory forecast"). Ini adalah kunci untuk prediksi yang benar-benar andal.   

Sebuah Kritik Halus: Apa yang (Sengaja?) Dilewatkan oleh Paper Ini

Meskipun saya menyukai visi ini, ada beberapa hal yang membuat saya mengernyitkan dahi. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang—menurut saya—tidak dijawab oleh paper ini.

H3: Masalah Kesenjangan Digital (The Digital Divide)

Seluruh arsitektur yang agung ini (digambarkan di Gambar 3) memiliki tiga pilar: Mobil, Infrastruktur, dan "Body" (sensor yang dipakai VRU). Pilar "Body" ini bergantung pada "VRU yang dilengkapi dengan perangkat pintar".   

Mari kita pikirkan sejenak. Siapa VRU yang paling rentan di jalanan? Seringkali anak-anak yang berlari mengejar bola, lansia, atau tunawisma. Mereka adalah kelompok yang paling tidak mungkin membawa smartphone atau smartwatch terbaru yang menjalankan aplikasi pelacakan ini.

Apakah sistem ini secara tidak sengaja menciptakan "kasta" keselamatan di jalan? Di mana mereka yang kaya dan memiliki teknologi terbaru menjadi "terlihat" dan dilindungi oleh sistem, sementara mereka yang tidak mampu membelinya menjadi semakin tidak terlihat dan rentan? Paper ini tidak membahas bias sosio-ekonomi yang sangat nyata ini.

H3: Masalah Ketergantungan dan Akurasi

Paper ini dengan jujur mengakui di bagian akhir bahwa data dari sensor yang dipakai di tubuh (ponsel) "jauh kurang akurat mengenai penentuan posisi absolut" dibandingkan, katakanlah, video dari kamera infrastruktur.   

Mereka lalu mengatakan ini tidak apa-apa karena (1) informasi yang tidak akurat pun lebih baik daripada tidak ada informasi sama sekali (terutama saat terhalang) dan (2) "sistem sensor di perangkat seluler akan terus ditingkatkan".   

Alasan kedua itu, terus terang, adalah sedikit hand-waving—mengandalkan teknologi masa depan untuk memperbaiki masalah desain hari ini. Menggantungkan sistem keselamatan real-time yang kritis pada akurasi GPS ponsel yang terkenal buruk di "hutan kota" (dikelilingi gedung tinggi) terasa sangat berisiko bagi saya.

H3: Masalah Privasi dan Komunikasi

Mari kita bahas gajah di dalam ruangan. Smartphone saya akan terus-menerus menyiarkan "niat" saya—pergerakan dasar saya, ke mana saya melihat, prediksi ke mana saya akan melangkah—ke setiap mobil dan infrastruktur di sekitar saya?

Siapa yang memiliki data ini? Bagaimana data ini dianonimkan? Apa yang terjadi jika data ini diretas?

Secara teknis, paper ini hanya menyebutkan bahwa "strategi baru untuk jaringan ad hoc diusulkan". Ini adalah cara akademis untuk mengatakan, "Kami tahu ini masalah besar, tapi itu bukan fokus kami." Menciptakan jaringan on-the-fly yang stabil, aman, dan berlatensi sangat rendah antara puluhan agen yang bergerak (mobil, orang) di persimpangan yang kacau adalah tantangan teknik yang monumentalPaper ini mengidentifikasinya, tetapi tidak menyelesaikannya.   

Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini (Bukan Cuma di Mobil)

Anda mungkin tidak sedang membangun mobil otonom. Saya juga tidak. Tapi prinsip-prinsip dalam paper ini sangat relevan dengan cara kita bekerja setiap hari.

Pelajaran 1: Hancurkan Silo Data Anda. Mobil yang sendirian di paper ini adalah "silo". Ia buta terhadap apa yang tidak bisa dilihatnya. Di kantor Anda, tim sales adalah "silo". Tim marketing adalah "silo". Tim produk adalah "silo". Mereka semua memiliki "oklusi" (titik buta). Visi "Collective Intelligence"  adalah tentang menciptakan fusi data. Bagaimana Anda bisa membuat data dari tim sales (umpan balik pelanggan) secara otomatis menginformasikan model tim marketing (target audiens)?   

Pelajaran 2: Debat 'Feature' vs. 'Decision' di Rapat Anda. Ingat analogi 'Tim Detektif' (feature-level) vs. 'Panel Ahli' (decision-level)?. Ini terjadi di setiap rapat yang pernah Anda hadiri. Apakah Anda ingin tim Anda membawa "data mentah" (fitur) ke rapat untuk dianalisis bersama? (Ini lambat, tapi mendalam). Atau Anda ingin setiap anggota tim datang dengan "keputusan" mereka yang sudah matang dan Anda tinggal melakukan voting? (Ini cepat, tapi dangkal). Keduanya adalah strategi yang valid, dan paper ini mengajarkan kita untuk bersikap fleksibel tentang kapan menggunakan yang mana.   

Mengelola semua bagian yang bergerak ini—data dari agen yang berbeda, tujuan yang saling bertentangan, timeline yang ketat, dan komunikasi antar tim—pada dasarnya adalah inti dari Project ManagementPaper ini, pada intinya, adalah proposal untuk sistem manajemen proyek yang sangat canggih untuk keselamatan lalu lintas.   

Bayangkan kembali "tarian" canggung di persimpangan yang saya ceritakan di awal.

Sekarang bayangkan ini: Anda melangkah ke tepi trotoar. Bahkan sebelum kaki Anda meninggalkan trotoar, sistem "Collective Intelligence" ini telah mendeteksi pergeseran postur dan arah pandangan Anda. Ia mengklasifikasikan "gerakan dasar" Anda sebagai 'akan-menyeberang'.   

Secara instan, sistem ini memberi tahu setiap mobil dalam radius 100 meter bahwa niat Anda adalah 'akan-menyeberang'. Mobil yang mendekat tidak hanya "melihat" Anda sebagai objek. Ia memahami niat Anda. Tidak ada lagi tarian canggung. Tidak ada lagi ambiguitas.

Itu adalah dunia yang sedang dibangun oleh para peneliti ini. Ya, ini rumit. Ya, ini sedikit menyeramkan dari sisi privasi. Tapi ini juga sangat brilian.

Kalau kamu tertarik dengan ini, dan ingin ikut pusing-pusing seru bareng saya memikirkan detail teknisnya, coba baca paper aslinya. Ini bacaan yang padat, tapi sangat sepadan.

(https://doi.org/10.48550/arXiv.1809.03916)    

Selengkapnya
Hantu di Persimpangan: Membedah AI yang Bisa Membaca Niat Pejalan Kaki

Opini Sains

Otak Kita Pembohong Ulung: Apa yang Saya Pelajari dari Riset Keselamatan Jalan yang Mengubah Segalanya

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 10 November 2025


Itu terjadi Selasa lalu. Saya sedang mendengarkan podcast, melangkah dari trotoar di persimpangan yang saya lewati setiap hari. Saya melirik ke kiri, melihat sedan merah masih "jauh". Saya punya banyak waktu.

Lalu, klakson.

Saya melompat mundur ke trotoar saat sedan merah itu melesat lewat, hanya beberapa inci dari lutut saya. Jantung saya berdebar kencang. Pengemudinya membentak saya. Saya balas membentak.

Dalam pikiran saya, saya aman. Saya telah membuat kalkulasi sepersekian detik dan menyimpulkan "aman untuk menyeberang". Tapi fisika berkata lain. Jarak yang saya rasakan dan jarak sebenarnya adalah dua hal yang sama sekali berbeda.

Pengalaman universal yang menakutkan ini—momen "nyaris celaka"—adalah inti dari masalah yang dibahas dalam "Book of Abstracts" setebal 72 halaman dari lokakarya ICTCT (International Co-operation on Theories and Concepts in Traffic Safety). Seluruh buku ini, yang baru saja saya "lahap" selama akhir pekan, pada dasarnya bertanya: Mengapa perasaan aman kita seringkali salah? Dan yang lebih penting, bagaimana kita bisa mengukur bahaya sebelum seseorang benar-benar tertabrak?   

Kesimpulan saya setelah membaca puluhan abstrak penelitian ini? Hampir semua yang kita—sebagai masyarakat—pikirkan tentang keselamatan di jalan raya itu keliru. Kita terobsesi dengan data yang salah, seringkali menyalahkan orang yang salah, dan akibatnya, kita membangun solusi yang salah.

Tapi ada cara yang lebih baik. Dan itu dimulai dengan sebuah filosofi yang radikal.

Kita Tidak Butuh Darah di Jalan untuk Tahu Itu Berbahaya

Inilah filosofi inti dari grup peneliti ICTCT, dicetak dengan huruf kapital semua: "KITA TIDAK MEMBUTUHKAN KECELAKAAN UNTUK MENCEGAH KECELAKAAN!".   

Ini adalah sebuah revolusi. Pikirkan sejenak: Bagaimana cara kota Anda memutuskan di mana harus memasang zebra cross baru atau lampu lalu lintas? Jawabannya hampir selalu: setelah ada cukup banyak orang yang terluka atau tewas di lokasi tersebut. Kebijakan keselamatan kita bersifat reaktif. Kita menunggu data kecelakaan (biasanya data polisi) terkumpul selama 3-5 tahun, menemukan "titik hitam" (black spots), lalu mungkin, mungkin, memperbaikinya.

Sebuah paper dari Ralf Risser  menjelaskan mengapa pendekatan ini gagal total.   

Data kecelakaan standar bisa memberi tahu Anda apa yang terjadi (misalnya, "mobil menabrak sepeda") dan di mana itu terjadi. Tapi itu tidak bisa memberi tahu Anda mengapa.

Data itu tidak bisa memberi tahu Anda apa yang dilihat pengemudi, ke mana mereka berencana pergi, seberapa fokus mereka pada lalu lintas, apa yang mereka persepsikan, atau strategi apa yang mereka gunakan. Untuk memahami mengapa, kita perlu beralih dari "data kecelakaan" ke "indikator bahaya"—sesuatu yang oleh para peneliti ini disebut traffic conflicts (konflik lalu lintas) dan near-accidents (nyaris celaka). Momen klakson sedan merah saya itu.   

Sebuah studi kasus sempurna tentang mengapa data kita saat ini buta berasal dari Belanda, meneliti kecelakaan sepeda fatal. Para peneliti melakukan sesuatu yang brilian: mereka membandingkan statistik polisi dengan statistik "penyebab kematian" (yang diisi oleh pemeriksa medis).   

Inilah yang mereka temukan:

  • Untuk tabrakan sepeda-kendaraan bermotor, kedua datanya cocok.

  • TAPI... untuk kecelakaan fatal sepeda tanpa kendaraan bermotor (misalnya, pengendara jatuh sendiri dan meninggal), statistik polisi sangat meremehkan jumlahnya.   

Masalah ini tersembunyi dan terus bertambah.

Mari kita pikirkan implikasinya. Jika data polisi salah, maka seluruh kebijakan keselamatan sepeda kita mungkin salah. Kita mungkin menghabiskan miliaran rupiah untuk membangun jalur sepeda yang "melindungi" pesepeda dari mobil, tetapi kita sama sekali mengabaikan alasan sebenarnya mengapa pesepeda meninggal—yang bisa jadi karena infrastruktur yang buruk.

Ini terhubung sempurna dengan paper lain dalam buku yang sama , yang menemukan bahwa di Belanda, pedoman nasional untuk infrastruktur sepeda (seperti lebar jalur yang memadai dan zona bebas rintangan) sering tidak dipatuhi. Mengapa? Alasan yang paling sering disebutkan adalah "kurangnya ruang" atau "anggaran".   

Jadi, kita secara aktif membangun infrastruktur yang mungkin berkontribusi pada epidemi "kecelakaan tunggal" yang tersembunyi ini, semua karena data reaktif kita gagal menunjukkannya. Kita butuh cara yang proaktif.

Tetapi masalahnya lebih dalam dari sekadar data yang buruk. Masalahnya ada di dalam kepala kita.

Otak Kita Pembohong Ulung: Mengapa Kita Semua Bodoh dalam Menilai Risiko

Ini adalah paper favorit saya di seluruh buku ini. Paper dari Rune Elvik  pada dasarnya berargumen bahwa otak manusia, melalui evolusi, tidak mampu secara akurat menilai risiko di lalu lintas modern. Ada "hukum psikofisik universal" yang mengacaukan kita semua, setiap hari.   

Hukumnya sederhana: Kita cenderung melebih-lebihkan (overestimate) probabilitas rendah atau kuantitas kecil, dan meremehkan (underestimate) probabilitas tinggi atau kuantitas besar.   

Kedengarannya abstrak? Mari kita buat ini nyata.

Ilusi Kontrol Saat Menyeberang Jalan

Bayangkan ini, kembali ke skenario sedan merah saya.

  1. Kamu berdiri di pinggir jalan. Sebuah mobil mendekat dengan kecepatan rendah, katakanlah 15 km/jam. Otakmu melihatnya dan berkata, "Wah, dia mungkin butuh jarak 20 meter untuk berhenti." Kamu melebih-lebihkannya. Jarak berhentinya sebenarnya jauh lebih pendek.

  2. Situasi berikutnya. Mobil lain mendekat dengan kecepatan tinggi, 80 km/jam. Otakmu berkata, "Ah, dia mungkin butuh 50 meter untuk berhenti." Padahal, jarak pengereman sebenarnya (termasuk waktu reaksi pengemudi) adalah jauh lebih dari itu. Kamu meremehkannya secara besar-besaran.

Ini bukan hanya firasat saya. Paper Elvik  mengonfirmasi hal ini dengan data: Pejalan kaki overestimate jarak berhenti mobil pelan dan underestimate jarak berhenti mobil kencang. Otak kita memberi kita ilusi keamanan palsu tepat pada saat kita paling membutuhkannya.   

Mengapa "Hanya Nambah 10 km/jam" Adalah Kebohongan yang Kita Katakan pada Diri Sendiri

Hukum yang sama berlaku saat kita berada di belakang kemudi.

  • Kita melebih-lebihkan risiko dari kenaikan kecepatan kecil. (Misalnya, "Wah, ngebut dari 20 ke 30 km/jam di jalan perumahan terasa sangat berbahaya!").

  • Kita meremehkan risiko dari kenaikan kecepatan besar. (Misalnya, "Ah, bedanya mengemudi 100 km/jam dengan 110 km/jam di jalan tol apa sih?"). Padahal, secara fisika, peningkatan energi kinetik (dan risiko cedera) bersifat eksponensial.   

Ini juga berlaku untuk risiko tertilang polisi.

  • Ketika risiko tertilang rendah (jalan sepi di malam hari), kita melebih-lebihkannya. ("Awas, polisi bisa ada di mana-mana!").

  • Ketika risiko tertilang tinggi (di area yang terkenal diawasi ketat), kita meremehkannya. ("Ah, aku bisa lolos, yang lain juga ngebut.").   

Sekarang, mari kita tarik implikasi radikal dari temuan Elvik. Jika dia benar—jika kita semua secara biologis hardwired untuk salah menilai risiko—maka sebagian besar kampanye "kesadaran keselamatan" dan "pendidikan" lalu lintas yang kita lakukan pada dasarnya tidak ada gunanya.   

Kita tidak bisa "mendidik" orang untuk melawan bias kognitif yang sudah tertanam selama ribuan tahun.

Kesimpulannya? Kita harus berhenti mencoba mengubah pikiran orang dan mulai mengubah lingkungan fisik tempat pikiran itu beroperasi. Kita harus merancang jalan yang mustahil untuk digunakan secara salah. Jika otak manusia tidak bisa diandalkan untuk menilai kecepatan 80 km/jam, maka jalan itu sendiri yang harus memaksa kecepatan turun—bukan dengan tanda "Pelan-pelan", tetapi dengan desain fisik yang membuatnya tidak nyaman untuk mengebut.

Roda Baru di Aspal: Dilema E-Bike yang Mengubah Segalanya

Jika ada satu hal yang membuat perencana kota pusing saat ini, itu adalah e-bike (dan saudaranya yang lebih sopan, pedelec atau sepeda dengan bantuan pedal). Mereka cepat, mereka senyap, dan mereka ada di mana-mana. Buku abstrak ini  memiliki klaster khusus tentang mereka, dan temuannya... mengejutkan.   

Lebih Cepat, Tentu Saja. Lebih Berbahaya? Ternyata Tidak.

Ketakutan terbesar kita adalah e-bike terlalu cepat untuk dikendalikan, terutama oleh pengguna jalan yang rentan seperti lansia.

Jadi, para peneliti di Belgia  mengamatinya. Mereka mengambil sekelompok lansia (usia 65-75 tahun) dan menyuruh mereka bersepeda di rute 4,8 km menggunakan sepeda biasa dan pedelec.   

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Ya, mereka memang lebih cepat. Rata-rata 3 km/jam lebih cepat di jalan datar dan 5 km/jam lebih cepat di tanjakan.

  • 🧠 Tapi... beban kerja mental mereka (diukur dengan tugas deteksi perifer) tidak ada bedanya antara sepeda biasa dan pedelec.

  • 💡 Dan... detak jantung mereka secara signifikan lebih rendah saat di tanjakan.   

Ini berarti mereka mendapatkan manfaat mobilitas (lebih cepat, lebih mudah menanjak) tanpa kelelahan fisik atau stres mental tambahan.

"Oke," katamu, "itu lansia. Bagaimana dengan populasi umum yang ngebut?"

Studi naturalistic cycling yang brilian dari Jerman  menjawab ini. Mereka memasang kamera dan sensor GPS pada sepeda milik 90 orang dan membiarkan mereka berkendara secara alami selama empat minggu (total 17.000 km data!).   

  • 🚀 Kecepatannya luar biasa: S-pedelecs (yang bisa melaju hingga 45 km/jam) rata-rata 9 km/jam lebih cepat dari sepeda biasa. Pedelecs (hingga 25 km/jam) rata-rata 2 km/jam lebih cepat.

  • 🧠 INI TEMUAN KUNCINYA: Para peneliti dengan susah payah mengidentifikasi 202 "Safety Critical Events" (SCEs) atau "peristiwa kritis keselamatan" (momen nyaris celaka). Namun, setelah menganalisis semua data... mereka tidak menemukan perbedaan signifikan dalam frekuensi SCEs di antara ketiga jenis sepeda (biasa, pedelec, s-pedelec).   

Ini adalah sebuah paradoks. Kecepatan ekstra tidak secara otomatis berarti bahaya ekstra. Mengapa? Paper itu tidak menyimpulkan, tetapi datanya jelas: fokus publik dan kepanikan media pada kecepatan e-bike mungkin salah arah.

Mengapa Saya (dan Mereka) Mengendarai E-Bike di Trotoar

Jika bukan kecepatan, masalahnya apa? Perilaku. Secara spesifik, mengapa begitu banyak pengendara e-bike (di Israel, dalam studi ini ) secara ilegal menggunakan trotoar, yang membahayakan pejalan kaki?   

Apakah mereka hanya orang-orang nakal? Tidak.

Studi ini  menggunakan "Reasoned Action Approach" untuk mewawancarai pengendara dan menemukan tiga alasan psikologis utama mengapa mereka melakukannya:   

  1. Alasan Normatif: Persepsi bahwa "orang lain" (teman, orang tua) juga melakukannya dan menyetujuinya. Ini adalah tekanan sosial klasik.

  2. Alasan Konsep Diri (Self-Concept): Ini adalah alasan terkuat. Ini adalah tentang perceived control (persepsi kontrol). Pengendara merasa lebih amanlebih terkendali, dan lebih nyaman di trotoar, meskipun itu ilegal. Mereka merasa trotoar yang lebar dan aman memfasilitasi perilaku ini, sementara jalan raya terasa kacau dan berbahaya.

  3. Alasan Moral: Ini yang paling menarik. Pengendara memiliki "norma moral" internal (rasa bersalah) untuk tidak melakukannya, tetapi norma ini "jauh dari level maksimal". Artinya, mereka tahu itu salah, tapi tidak terlalu salah.   

Ini menghubungkan semuanya. Orang tidak naik e-bike di trotoar karena mereka "jahat". Mereka melakukannya karena infrastruktur jalan raya terasa sangat berbahaya sehingga melanggar hukum terasa lebih aman dan lebih bisa dikendalikan ("Alasan Konsep Diri").

Solusinya bukan hanya penegakan hukum (yang mencoba melawan "Alasan Konsep Diri" yang kuat). Solusinya adalah memperbaiki infrastruktur jalan raya sehingga terasa jauh lebih aman daripada trotoar. Sekali lagi, ini masalah desain, bukan edukasi.

Perjuangan Tak Terlihat dari Si Kaki Telanjang (dan Roda Kecil)

Fokus utama lokakarya ini adalah vulnerable road users (VRUs) atau "pengguna jalan rentan". Dan tidak ada yang lebih rentan daripada pejalan kaki dan pesepeda. Abstrak-abstrak ini melukiskan gambaran suram tentang bagaimana infrastruktur kita saat ini mengecewakan mereka.   

Kebutuhan Bersama Anak-Anak dan Lansia yang Kita Abaikan

Sebuah studi di Wina, Austria , melakukan wawancara mendalam dengan anak-anak dan lansia tentang pengalaman mereka berjalan kaki.   

  • Temuan Kunci: Kebutuhan mereka ternyata sama: keselamatan, rasa hormat, dan kenyamanan.

  • Kesimpulan Brutal: Para peneliti menyimpulkan bahwa sistem lalu lintas saat ini dirancang hanya untuk "kemampuan fisik orang dewasa yang sehat", sementara kebutuhan anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas "sebagian besar diabaikan". Mereka terpaksa mengembangkan "strategi kompensasi" (seperti berjalan memutar jauh) hanya untuk bertahan hidup di lingkungan yang memusuhi mereka.   

Apa yang Saya Sadari Setelah Melihat Studi Jalur Bus Ini (Kritik Halus #1)

Kadang-kadang, bahkan ketika kita mencoba untuk membantu, intuisi kita salah.

  • Masalah: Haruskah sepeda diizinkan berbagi jalur dengan bus? Ini adalah perdebatan besar di banyak kota.

  • Hipotesis "Akal Sehat": Pedoman desain internasional (dari Flanders, Jerman, Australia) menyarankan agar jalur bus dibuat sempit. Logikanya? Ini akan memaksa pengemudi bus untuk pindah ke jalur sebelah saat menyalip sepeda, yang dianggap lebih aman daripada menyalip "tipis" di dalam jalur yang sama.   

  • Apa yang Ditemukan Studi Ini: Sebuah studi di Belgia  menggunakan analisis video untuk membandingkan satu jalur sempit (yang "direkomendasikan") dengan satu jalur lebar (yang dianggap "terlalu lebar").   

    • 🚀 Hasilnya luar biasa: Hipotesis itu salah.

    • 🧠 Tidak ada perbedaan signifikan secara statistik dalam jumlah salipan berbahaya (kurang dari 1 meter) antara kedua desain tersebut.

    • 💡 Bahkan, ada kecenderungan (meskipun tidak signifikan) ke arah lebih banyak salipan berbahaya di jalur sempit yang direkomendasikan.   

Ini adalah contoh kedua di mana "akal sehat" desain infrastruktur kita terbukti salah oleh data. Intuisi kita tentang bagaimana manusia (dalam hal ini, pengemudi bus) akan berperilaku ternyata keliru.

Tombol Lampu Merah Itu Ternyata Palsu (Secara Psikologis)

Ini satu lagi. Bagaimana kepatuhan pejalan kaki terhadap lampu lalu lintas?

  • Data Keras: Sebuah studi besar di Belgia  mengamati 69.211 pejalan kaki.   

    • 🚀 Hasilnya: Rata-rata 21% melanggar lampu merah.

  • Temuan Paling Mengejutkan (Perangkap Intuisi #2):

    • Apa yang menurunkan pelanggaran? Kepadatan lalu lintas. Jika jalanan ramai, orang lebih patuh. Ini masuk akal.

    • Apa yang meningkatkan pelanggaran? Keberadaan tombol tekan (push buttons).   

Tunggu, apa?

Bukankah tombol itu seharusnya membuat pejalan kaki lebih aman? Mengapa itu malah meningkatkan pelanggaran? Abstrak  tidak menjelaskan "mengapa", tapi saya bisa berspekulasi: mungkin tombol itu memberikan ilusi kontrol, tetapi waktu tunggunya terlalu lama. Seorang pejalan kaki menekan tombol, tidak terjadi apa-apa, mereka merasa diabaikan, frustrasi, dan kemudian menyeberang saat merah.   

Ini adalah cermin sempurna dari studi "Hukum Statistik"  dan studi "E-bike di Trotoar". Ini semua tentang persepsi kontrol vs. realitas fisik. Infrastruktur kita menjanjikan sesuatu ("tekan ini dan kamu akan aman") tetapi gagal memenuhinya dengan cukup cepat, mendorong perilaku tidak aman.   

Kritik Halus Saya: Apakah Kita Hanya Menghitung Mobil?

Meskipun temuan ini hebat, ada bias yang mengakar dalam banyak penelitian ini. Sebuah paper di halaman 14  meninjau "traffic conflict indicators" (TCI)—alat yang digunakan para peneliti untuk mengukur "nyaris celaka" secara objektif.   

Masalahnya: Ulasan tersebut menemukan bahwa banyak indikator yang umum digunakan ini "agak 'berorientasi mobil'" (car-oriented). Mereka pandai mengukur waktu-ke-tabrakan antara dua mobil, tetapi memiliki "kelemahan signifikan" saat menilai konflik dengan pengguna jalan non-motor (pejalan kaki dan pesepeda).   

Ini adalah opini pribadi saya: Ini adalah masalah besar. Jika alat ukur kita sendiri bias terhadap mobil, maka solusi yang kita usulkan juga akan bias terhadap mobil. Kita bisa secara tidak sengaja merancang infrastruktur yang terlihat "aman" dalam metrik TCI kita, tetapi sebenarnya mengabaikan bahaya nyata bagi pejalan kaki dan pesepeda. Kita perlu mengembangkan alat baru.

Masa Depan Keselamatan: Dari Debat Kusir Menjadi Analisis Data

Jadi, mari kita rangkum:

  1. Data kecelakaan kita yang ada saat ini bias dan tidak lengkap.   

  2. Otak kita tidak bisa diandalkan untuk menilai risiko secara akurat.   

  3. Intuisi "akal sehat" kita tentang desain infrastruktur seringkali salah.   

Ini terdengar menyedihkan. Tapi solusinya ada di bagian akhir buku abstrak ini. Solusinya: Berhenti berdebat dan mulai mengukur segalanya.

Di sinilah "Big Data" masuk. Filosofi ICTCT  tentang "indikator bahaya" akhirnya menjadi mungkin dalam skala besar berkat teknologi baru.   

Membaca "Sentakan" dan "Konflik" dari dalam Matrix

Alih-alih menunggu tabrakan, para peneliti ini sekarang mengumpulkan data proxy (pengganti) untuk bahaya secara proaktif.

  • Metode 1: "Sentakan" (Jerks). Satu studi  menggunakan Floating Car Data (FCD)—pada dasarnya, data GPS anonim dari 425 mobil—untuk mencari "sentakan". "Sentakan" adalah istilah fisika untuk turunan dari deselerasi, alias pengereman yang sangat mendadak. Hipotesisnya adalah bahwa "sentakan" ini adalah proxy untuk konflik serius atau nyaris celaka. Mereka mengumpulkan 19,1 MILIAR titik data akselerasi. Ini adalah teknik studi konflik skala area.   

  • Metode 2: Mata di Langit. Studi lain  menggunakan computer vision (penglihatan komputer) untuk "pengawasan lalu lintas otomatis" di persimpangan. Sistem ini secara otomatis mengekstrak lintasan pengguna jalan (mobil, sepeda, pejalan kaki) dan dapat mengidentifikasi konflik, pengereman keras, dan akhirnya, lokasi berbahaya sebelum kecelakaan terjadi.   

  • Metode 3: Mendengar Jalan. Peneliti lain  menggunakan data dari inductive loops (sensor yang sudah tertanam di aspal untuk lampu lalu lintas) untuk menemukan korelasi antara arus lalu lintas makroskopik (kepadatan, kecepatan rata-rata) dan situasi kritis mikroskopik (seperti Time-to-Collision yang rendah).   

🚀 Apa yang Saya Pelajari (dan Bisa Anda Terapkan Hari Ini)

Ini adalah rangkuman dari apa yang saya saring dari 72 halaman penelitian ini, dan apa artinya bagi kita:

  • 🚀 Inovasinya: Kita tidak lagi perlu menebak-nebak. Dengan alat seperti analisis "sentakan" FCD  dan computer vision , kita dapat mengidentifikasi lokasi berbahaya secara proaktif. Kita bisa memvalidasi solusi desain (seperti jalur bus baru) dalam beberapa minggu, tanpa harus menunggu 3-5 tahun untuk data kecelakaan terkumpul.   

  • 🧠 Wawasannya: Jangan pernah percaya pada "akal sehat" dalam desain jalan. Percayalah pada data. Intuisi kita salah. Otak kita hardwired untuk meremehkan kecepatan tinggi. Intuisi desain kita (jalur bus sempit , tombol tekan pejalan kaki ) seringkali memperburuk keadaan.   

  • 💡 Pelajarannya: Intervensi pasif (fisik) mengalahkan intervensi aktif (edukasi/tanda).

    • Bukti: Sebuah studi  menguji apa yang terjadi ketika mereka memasang raised pedestrian crossings (zebra cross yang ditinggikan, alias "polisi tidur" yang landai) di jalan arteri perkotaan yang sibuk.   

    • Hasilnya: "Penurunan signifikan" pada kecepatan kendaraan, "peningkatan" dalam pengemudi yang memberi jalan kepada pejalan kaki, dan "pengurangan" konflik kendaraan-pejalan kaki.   

    • Kesimpulan: Kita tidak meminta pengemudi untuk melambat (seperti yang dilakukan tanda); kita membuat mereka melambat dengan gundukan fisik. Kita mendesain untuk "otak yang rusak". Inilah solusinya.   

Mengubah Cara Saya Melihat Jalan Pulang

Membaca semua penelitian ini mengubah sesuatu dalam diri saya. Saya tidak lagi melihat jalan raya sebagai ruang netral. Saya melihatnya sebagai sistem yang dirancang (seringkali dengan buruk) yang bertentangan langsung dengan perangkat keras kognitif kita.

Saya jadi teringat pada studi tentang anak-anak dan lansia di Wina —bahwa sistem ini "sebagian besar mengabaikan" mereka. Mungkin sudah waktunya kita berhenti merancang jalan untuk "orang dewasa yang sehat" (dan mobil mereka) dan mulai merancang untuk semua orang.   

Ini hanyalah puncak gunung es dari apa yang ada di buku abstrak ini. Jika Anda seorang geek data, perencana kota, atau hanya seseorang yang peduli tentang bagaimana kita bisa berhenti saling membunuh dengan mesin seberat dua ton, Anda harus melihatnya sendiri.

(https://doi.org/10.1000/123-456) (Catatan: Ini adalah tautan DOI placeholder untuk buku abstrak lokakarya).

Kunci untuk semua ini adalah kemauan untuk melihat data—bukan hanya data kecelakaan yang jelas, tetapi data big data yang berantakan: "sentakan" , "konflik" , dan "lintasan". Jika Anda tertarik untuk belajar bagaimana mengubah data mentah semacam ini menjadi wawasan yang dapat ditindaklanjuti, ini adalah keterampilan yang sangat dibutuhkan di masa depan. Untuk memulai, Anda bisa melihat kursus seperti(https://diklatkerja.com/course/big-data-analytics-data-visualization-and-data-science/) di Diklatkerja untuk membangun fondasi dalam menganalisis kumpulan data besar yang kompleks seperti yang digunakan para peneliti ini.   

Selengkapnya
Otak Kita Pembohong Ulung: Apa yang Saya Pelajari dari Riset Keselamatan Jalan yang Mengubah Segalanya

Teknologi Otomotif

Mobil Anda Tidak Paham Kapan Anda Akan Mengerem: Pelajaran Mengejutkan dari Tesis yang Membedah Pikiran Pengemudi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 10 November 2025


Kita semua pernah mengalaminya. Momen hening di dalam mobil yang pecah sepersekian detik. Jantung Anda serasa berhenti.

Seorang pejalan kaki, yang asyik dengan ponselnya, tiba-tiba melangkah dari antara dua mobil yang diparkir. Atau seorang pengendara sepeda yang melesat di persimpangan, muncul dari titik buta Anda.

Waktu seakan melambat. Ada jeda yang terasa abadi antara otak Anda yang berteriak "BAHAYA!" dan kaki kanan Anda yang berpindah dari pedal gas ke rem.

Bagi kebanyakan dari kita, itu berakhir dengan decitan ban, napas yang terengah, dan mungkin beberapa kata kasar yang diredam.

Namun, ini bukan hanya ketakutan pribadi. Ini adalah kenyataan statistik yang suram. Tesis penelitian yang sedang saya baca hari ini, karya Christian-Nils Boda dari Chalmers University of Technology , dibuka dengan fakta yang membuat saya terdiam: setiap tahun, lebih dari 5.000 pejalan kaki dan 2.000 pesepeda tewas di jalan-jalan Eropa.   

Mereka secara klinis disebut Vulnerable Road Users (VRU), atau Pengguna Jalan Rentan. Dan yang lebih menakutkan, tingkat kematian mereka tidak membaik secepat kategori kecelakaan lainnya.   

Ini adalah pertanyaan yang mengganggu saya: Kita hidup di era mobil "pintar". Kita memiliki Intelligent Safety Systems (ISS), radar, lidar, Autonomous Emergency Braking (AEB), dan Forward Collision Warning (FCW). Mengapa angka-angka ini masih sangat tinggi?

Tesis Boda  memberikan jawaban yang brutal dan jujur: Mobil kita mungkin "pintar", tetapi mereka "bodoh" secara psikologis.   

Mengapa Mobil 'Pintar' Kita Masih Saja Canggung?

Argumen inti dari tesis Boda adalah ini: masalahnya bukan pada sensor. Kita bisa mendeteksi pejalan kaki dengan akurasi laser. Masalahnya ada di perangkat lunak.

Lebih spesifik lagi, sistem keselamatan kita gagal karena mereka tidak memiliki pemahaman dasar tentang bagaimana Anda berpikir.   

Mobil Anda mungkin tahu di mana pesepeda itu berada, tetapi ia tidak tahu apa yang Anda pikirkan tentang pesepeda itu. Ia tidak tahu apakah Anda sudah melihatnya, apakah Anda sedang teralihkan, atau apakah Anda menganggapnya sebagai ancaman. Ia tidak memiliki "model perilaku pengemudi" yang baik.

Tanpa model ini, sistem menjadi canggung. Ia mengganggu—mengerem mendadak terlalu dini ketika Anda sebenarnya sudah mengendalikan situasi, membuat Anda kesal. Atau, yang jauh lebih buruk, ia bertindak terlambat—gagal memperingatkan Anda karena ia tidak "sadar" bahwa Anda tidak sadar akan bahaya.   

Tesis Boda  adalah upaya brilian untuk membangun model yang hilang itu. Ini pada dasarnya adalah kumpulan dari tiga studi penelitian (Paper I, II, dan III) yang menginterogasi reaksi kita di balik kemudi. Dan apa yang mereka temukan benar-benar mengubah cara saya memandang dasbor mobil saya.   

Tiga Eksperimen yang Menginterogasi Reaksi Kita

Mari kita bedah tiga bab dalam novel misteri ini.

Paper I: Pejalan Kaki dan Faktor 'Oh, Kaget!' yang Sebenarnya

Bayangkan jika Anda mencoba mencari tahu resep rahasia seorang koki. Anda tidak bisa hanya bertanya padanya; resep itu ada di otot dan instingnya. Anda harus mengamatinya di dapur dalam berbagai kondisi.

Itulah yang dilakukan Paper I.   

Para peneliti menempatkan 94 orang di simulator mengemudi. Kemudian, mereka melemparkan skenario pejalan kaki yang melintas ke arah mereka. Tapi inilah bagian yang cerdas: mereka secara sistematis mengutak-atik tujuh faktor berbeda: kecepatan mobil Anda, kecepatan pejalan kaki, ukuran pejalan kaki, apakah ada zebra cross, lebar jalan, dll..   

Apa yang Anda pikir akan menjadi faktor terbesar yang menentukan kapan Anda mengerem? Kecepatan mobil Anda? Logis, bukan?

Salah.

Paper I menemukan bahwa faktor yang paling dominan—yang memiliki pengaruh terbesar pada seluruh proses respons pengemudi—adalah... visibilitas.   

Tapi tunggu, ini bukan sekadar "apakah Anda bisa melihat mereka." Ini jauh lebih spesifik. Ini tentang kapan tepatnya pejalan kaki itu menjadi terlihat oleh Anda.

Apakah mereka muncul dari sisi dekat jalan (terssembunyi di balik pilar A mobil Anda sampai detik terakhir)? Atau apakah mereka datang dari sisi jauh (memberi Anda beberapa detik ekstra untuk melihat dan memproses)?.   

Momen "oh, kaget!" inilah—titik waktu di mana VRU itu secara fisik dapat diamati—yang menentukan seluruh rantai reaksi Anda: kapan Anda melepas gas, kapan Anda mulai menginjak rem, dan seberapa keras Anda menginjaknya.   

Paper II: Pesepeda, Simulator Murah, dan Kapan Tepatnya Kaki Kita Mulai Bergerak

Paper II  mengambil temuan "visibilitas adalah raja" ini dan menerapkannya pada pesepeda. Tapi ia menambahkan satu kerumitan yang brilian.   

Para peneliti menjalankan eksperimen yang pada dasarnya sama di dua tempat yang sangat berbeda:

  1. Driving Simulator (murah, aman, virtual, seperti game yang sangat canggih).

  2. Test Track (mahal, berisiko, dunia nyata, menggunakan mobil sungguhan dan boneka pesepeda).   

Ini adalah pertanyaan bernilai miliaran dolar untuk setiap departemen R&D di industri otomotif: Apakah simulator "murah" bisa memberi kita data yang sama baiknya dengan test track yang mahal?.   

Jawabannya adalah "Ya dan Tidak"—dan perbedaannya sangat penting.

  • Apa yang Berbeda: Pengemudi berperilaku berbeda di simulator. Anehnya, mereka cenderung tidak melepas pedal gas di simulator seperti yang mereka lakukan di dunia nyata. Mungkin karena tidak ada rasa takut yang nyata, mereka tetap "santai" lebih lama.   

  • Apa yang Sama: Ajaibnya, satu hal tetap konsisten di kedua lingkungan: momen pengemudi memulai pengereman (brake onset).   

Ini adalah penemuan metodologis yang fantastis. Boda dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa jika Anda hanya ingin mempelajari kapan seseorang memutuskan untuk mengerem—momen "oh, kaget!" tadi—Anda bisa menggunakan simulator murah. Ini memberi lampu hijau bagi para peneliti untuk melakukan ribuan pengujian lagi, lebih cepat dan lebih murah, untuk menyempurnakan algoritma peringatan.   

Dan, sekali lagi, faktor yang paling dominan dalam memprediksi brake onset itu? Visibilitas sepeda.   

Paper III: 'Sliding Doors' untuk Kecelakaan, dan Mengapa 'Peringatan' Lebih Rumit dari 'Pengereman'

Paper III  adalah "final"-nya. Di sinilah semua data dan model dari Paper I & II diuji dalam api.   

Ia menggunakan metodologi yang terdengar rumit tetapi sebenarnya sangat intuitif: Simulasi Tandingan (Counterfactual Simulations).   

Bayangkan ini adalah film Sliding Doors atau episode What If...? dari Marvel.

Para peneliti mengambil data dari 34 kecelakaan nyata dari database SHRP2. Ini bukan simulasi; ini adalah data mentah dari detik-detik menjelang tabrakan di dunia nyata.   

Kemudian, mereka "memutar ulang waktu" dalam simulasi komputer.   

"Oke, inilah kecelakaannya. Sekarang, apa yang akan terjadi jika mobil ini memiliki Peringatan Tabrakan Depan (FCW)? Apakah kecelakaan itu masih terjadi? Seberapa parah?"

"Bagaimana jika ia memiliki Pengereman Darurat Otonom (AEB)?".   

Di sinilah letak inti dari seluruh tesis. Saat mereka menjalankan simulasi "what if" ini, mereka menemukan sesuatu yang fundamental:

  • Untuk AEB (Pengereman Otomatis): Manfaat keselamatan (berapa banyak kecelakaan yang dihindari) tidak terlalu terpengaruh oleh model pengemudi mana yang Anda gunakan.   

  • Untuk FCW (Peringatan): Manfaat keselamatan SANGAT bergantung pada model pengemudi yang Anda pilih.   

Saya harus berhenti sejenak ketika membaca ini. Mengapa?

Pikirkan tentang itu. AEB adalah sistem "brute force". Ia mengambil alih di detik terakhir ketika Anda (manusia) sudah gagal total. Ia tidak peduli mengapa Anda gagal—apakah Anda sedang melihat ponsel, melamun, atau tertidur. Ia hanya melihat objek dan mengerem.   

Tapi FCW adalah sistem psikologis.

FCW adalah bisikan di telinga Anda. "Bip-bip-bip! Hei, lihat!"

Efektivitasnya sepenuhnya bergantung pada bagaimana Anda (manusia) bereaksi terhadap bisikan itu. Jika Anda sudah melihat ancamannya, peringatan itu mengganggu. Jika Anda sedang teralihkan, peringatan itu menyelamatkan nyawa.   

Implikasinya sangat besar. Jika Anda seorang insinyur mobil yang mengklaim, "Sistem peringatan kami mengurangi kecelakaan sebesar 30%," temuan Boda memungkinkan saya untuk bertanya:

"Berdasarkan model pengemudi yang mana? Apakah Anda memodelkan pengemudi yang waspada? Pengemudi yang teralihkan? Pengemudi tua? Pengemudi yang sudah panik?"

Paper III membuktikan bahwa jika model pengemudi Anda salah, klaim manfaat keselamatan Anda pada dasarnya tidak ada artinya.   

Pelajaran yang Saya Bawa Pulang (dan Seharusnya Anda Juga)

Setelah membedah ketiga paper dalam tesis  ini, inilah yang saya catat sebagai pelajaran utama:   

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Faktor visibility (kapan Anda melihat ancaman) adalah raja. Paper I dan II  membuktikan bahwa ini adalah faktor yang paling dominan dalam respons pengereman kita, mengalahkan variabel lain yang sering diukur seperti kecepatan mobil.   

  • 🧠 Inovasinya: Kita tidak perlu menebak-nebak lagi. Menggunakan simulasi "what-if" pada data kecelakaan nyata (Paper III ) adalah cara terbaik untuk mengevaluasi sistem keselamatan sebelum merenggut korban. Tapi, inovasi ini datang dengan peringatan: hasil simulasi Anda hanya sebaik model psikologi manusia yang Anda masukkan ke dalamnya.   

  • 💡 Pelajaran: Jangan terjebak pada solusi teknis yang "kuat" (AEB). Riset ini membuktikan bahwa peringatan (FCW) yang tepat waktu dan dirancang dengan baik masih sangat relevan. Kuncinya adalah memahami kapan harus memberi peringatan, dan itu adalah tantangan psikologis. Ini adalah inti dari pemikiran sistem (systems thinking)—melihat bagaimana pengemudi, kendaraan, dan lingkungan berinteraksi sebagai satu kesatuan. Jika Anda seorang profesional yang ingin mempertajam kemampuan Anda dalam memahami sistem yang kompleks, Anda bisa melihat program seperti yang ditawarkan di(https://diklatkerja.com) untuk menguasai pendekatan holistik ini.

Kritik Halus Saya: Riset Hebat, tapi Sedikit Jauh dari Garasi

Tesis  ini brilian. Tetapi sebagai seseorang yang suka hal-hal praktis, saya punya satu kritik halus.   

Tesis Boda sangat kuat dalam mengidentifikasi masalah—yaitu, model pengemudi kita saat ini tidak memadai, terutama untuk sistem peringatan (FCW). Ia pada dasarnya memberi tahu para insinyur di seluruh dunia, "Pilihan model Anda sangat penting, dan Anda mungkin salah selama ini!"   

Namun, tesis ini (secara alami, sebagai karya akademis) tidak memberi kita "langkah selanjutnya" yang jelas bagi seorang desainer produk. Oke, model kami yang ada salah. Jadi, model apa yang harus saya gunakan?

Model yang diusulkan di Paper II  adalah awal yang baik, tetapi masih jauh dari model siap pakai yang bisa dimasukkan oleh developer di Toyota atau Volvo ke dalam algoritma mereka besok. Ini adalah diagnostik yang sangat baik, tetapi resepnya masih perlu ditulis.   

Pesan untuk Euro NCAP: Tolong, Uji Juga Peringatannya!

Ini membawa saya ke poin terakhir, dan mungkin yang paling penting, yang dibuat dalam tesis  ini. Boda memiliki rekomendasi yang sangat spesifik untuk Euro NCAP—badan independen di Eropa yang memberi peringkat bintang keselamatan mobil.   

Apa yang Euro NCAP lakukan (saat tesis ini ditulis)? Mereka sangat fokus pada pengujian Autonomous Emergency Braking (AEB). Mereka memiliki skenario standar: boneka pesepeda keluar, apakah mobil mengerem tepat waktu?.   

Apa yang dikatakan Boda? Tesis ini dengan sopan mengatakan bahwa ini tidak cukup.

  1. Pertama, waktu aktivasi AEB yang mereka uji  seringkali berada di dalam "zona tidak nyaman" pengemudi—mereka aktif setelah pengemudi manusia yang waspada seharusnya sudah mulai mengerem. Mereka adalah jaring pengaman terakhir, dan itu bagus.   

  2. Kedua, dan yang paling penting: mereka tidak menguji FCW (Peringatan) untuk pesepeda.   

Rekomendasi Boda: Euro NCAP harus mulai memasukkan skenario FCW untuk pesepeda.   

Mengapa? Karena seperti yang ditunjukkan Paper III, FCW adalah sistem yang rumit secara psikologis. Dengan tidak mengujinya, Euro NCAP tidak memberi insentif kepada produsen mobil untuk membuat sistem peringatan yang cerdas. Mereka hanya memberi insentif untuk membuat sistem pengereman yang lebih kuat.   

Penutup: Mobil yang Lebih Aman Dimulai dari Cermin

Membaca tesis Boda  membuat saya sadar akan sesuatu. Selama bertahun-tahun, kita terobsesi untuk membuat mobil yang lebih baik—sensor yang lebih baik, rem yang lebih baik.   

Tesis ini berargumen bahwa langkah selanjutnya adalah membuat mobil yang lebih bijak.

Sebuah mobil yang "bijak" memahami bahwa pengemudinya adalah manusia—bisa teralihkan, bisa panik, tetapi juga bisa sangat cerdas dalam memprediksi bahaya.

Mobil yang lebih aman bukanlah mobil yang selalu mengambil alih kemudi dari Anda.

Mobil yang lebih aman adalah mobil yang tahu kapan harus mengambil alih, kapan harus memberi peringatan, dan kapan harus diam dan percaya pada manusia di belakang kemudi.

Untuk membangun mesin yang lebih manusiawi, kita harus terlebih dahulu memahami manusia. Dan itu, ternyata, jauh lebih rumit daripada sekadar menambah sensor.

Jika Anda tertarik dengan kerumitan di balik layar dan ingin melihat bagaimana simulasi "what-if" ini bekerja, coba baca salah satu paper utamanya.

(http://dx.doi.org/10.1016/j.aap.2017.03.003)

Selengkapnya
Mobil Anda Tidak Paham Kapan Anda Akan Mengerem: Pelajaran Mengejutkan dari Tesis yang Membedah Pikiran Pengemudi
page 1 of 1.282 Next Last »