Sumber Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 07 Juni 2025
Wilayah pesisir Kecamatan Tarumajaya menghadapi permasalahan serius terkait keterbatasan air bersih yang mencakup aspek kualitas, kuantitas, kontinuitas, dan kemudahan akses. Kondisi ini memaksa sebagian besar masyarakat membeli air bersih dengan biaya yang cukup tinggi, yaitu sekitar Rp 4.000 untuk 20 liter per orang. Dalam konteks tersebut, pemanfaatan air hujan muncul sebagai alternatif yang potensial untuk menambah pasokan air baku yang dapat memenuhi kebutuhan air sehari-hari masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi air hujan sebagai sumber air bersih alternatif di wilayah pesisir tersebut, dengan fokus pada aspek kuantitas air hujan yang tersedia, kebutuhan air bersih penduduk, serta partisipasi dan kesediaan masyarakat dalam memanfaatkan sistem pemanenan air hujan (SPAH).
Potensi Kuantitas Air Hujan dan Kebutuhan Air Bersih
Berdasarkan perhitungan kuantitas air hujan yang jatuh di wilayah pesisir Kecamatan Tarumajaya, diketahui bahwa rata-rata curah hujan bulanan cukup tinggi pada bulan Januari, Februari, Maret, April, November, dan Desember. Pada bulan-bulan ini, volume air hujan yang tersedia melebihi kebutuhan air bersih penduduk, sehingga kelebihan air hujan dapat disimpan dan digunakan selama musim kemarau.
Sebagai contoh, di Desa Samudrajaya dan Desa Segara Makmur, potensi air hujan yang dapat dipanen mampu memenuhi kebutuhan air bersih selama musim kering, yaitu pada bulan Mei hingga Oktober. Namun, di dua desa lain yaitu Desa Segarajaya dan Pantai Makmur, volume air hujan yang tersedia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan air bersih pada musim kemarau.
Secara kuantitatif, kebutuhan air bersih penduduk diasumsikan sebesar 60 liter per orang per hari. Dengan memanfaatkan kelebihan air hujan selama musim hujan, sistem pemanenan air hujan dapat menjadi sumber air bersih yang andal sepanjang tahun.
Partisipasi dan Kesediaan Masyarakat
Survei partisipasi masyarakat menunjukkan bahwa sebagian besar warga bersedia untuk ikut serta dalam pengelolaan dan pemeliharaan SPAH. Mereka siap melakukan monitoring serta bertanggung jawab dalam pengoperasian sistem agar keberlangsungan penggunaan air hujan dapat terjaga secara berkelanjutan.
Hal ini menunjukkan adanya kesadaran dan keinginan masyarakat untuk mengadopsi teknologi pemanenan air hujan sebagai solusi atas masalah kekurangan air bersih yang mereka hadapi.
Sistem Pemanfaatan Air Hujan yang Direkomendasikan
Berdasarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah pesisir, sistem pemanenan air hujan yang paling sesuai adalah instalasi di atas permukaan tanah. Sistem ini relatif mudah dibangun dan dioperasikan dengan biaya investasi awal sekitar Rp 115.000 per unit.
Sistem ini meliputi penampungan air hujan dari atap rumah yang dialirkan melalui talang ke tangki penampungan. Air yang tertampung dapat digunakan langsung untuk kebutuhan domestik seperti mandi, mencuci, dan memasak, serta untuk keperluan lain seperti irigasi tanaman.
Studi Kasus: Distribusi Kelebihan dan Kekurangan Air Hujan Bulanan
Analisis distribusi volume air hujan dan kebutuhan air bersih bulanan menunjukkan bahwa selama bulan-bulan dengan curah hujan tinggi (Januari, Februari, Maret, April, November, Desember), terdapat kelebihan air hujan yang signifikan yang dapat ditampung dan disimpan. Sebaliknya, pada bulan-bulan dengan curah hujan rendah (Mei hingga Oktober), volume air hujan yang tersedia lebih kecil dari kebutuhan air bersih, sehingga penyimpanan air hujan yang cukup selama musim hujan sangat penting untuk memenuhi kebutuhan selama musim kering.
Nilai Tambah dan Implikasi
Pemanfaatan air hujan sebagai sumber air bersih di wilayah pesisir memiliki banyak manfaat, antara lain:
Opini dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini sejalan dengan tren global dan nasional yang mendorong pemanfaatan air hujan sebagai solusi mitigasi krisis air bersih, terutama di daerah yang memiliki keterbatasan sumber air permukaan dan air tanah. Contoh sukses pemanfaatan air hujan di berbagai kota di Indonesia dan dunia menunjukkan bahwa teknologi ini tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga ekonomis dan mudah diimplementasikan.
Namun, keberhasilan implementasi sangat bergantung pada kesadaran masyarakat, dukungan kebijakan pemerintah, serta ketersediaan teknologi yang sesuai dengan kondisi lokal. Oleh karena itu, edukasi dan pelatihan masyarakat menjadi faktor kunci agar sistem pemanenan air hujan dapat berfungsi optimal dan berkelanjutan.
Rekomendasi
Kesimpulan
Penelitian ini mengungkap potensi besar pemanfaatan air hujan sebagai alternatif penyediaan air bersih di wilayah pesisir Kecamatan Tarumajaya. Dengan curah hujan yang cukup tinggi pada beberapa bulan dalam setahun, kelebihan air hujan dapat dimanfaatkan dan disimpan untuk memenuhi kebutuhan air bersih selama musim kemarau. Tingginya kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sistem pemanenan air hujan menjadi modal penting untuk keberhasilan implementasi teknologi ini.
Sistem pemanenan air hujan yang sederhana dan terjangkau dapat menjadi solusi efektif dan berkelanjutan untuk mengatasi masalah air bersih di wilayah pesisir, sekaligus mendukung konservasi sumber daya air dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Sumber Artikel:
Dira Mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Desiree Marlyn Kipuw ST., MT, Dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi dan Sains Bandung, "Potensi Pemanfaatan Air Hujan Sebagai Alternatif Penyediaan Air Bersih di Wilayah Pesisir Kecamatan Tarumajaya," Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota ITSB, 2023.
Sumber Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 07 Juni 2025
Wilayah pesisir Kecamatan Tarumajaya menghadapi permasalahan serius terkait keterbatasan air bersih yang mencakup aspek kualitas, kuantitas, kontinuitas, dan kemudahan akses. Kondisi ini memaksa sebagian besar masyarakat membeli air bersih dengan biaya yang cukup tinggi, yaitu sekitar Rp 4.000 untuk 20 liter per orang. Dalam konteks tersebut, pemanfaatan air hujan muncul sebagai alternatif yang potensial untuk menambah pasokan air baku yang dapat memenuhi kebutuhan air sehari-hari masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi air hujan sebagai sumber air bersih alternatif di wilayah pesisir tersebut, dengan fokus pada aspek kuantitas air hujan yang tersedia, kebutuhan air bersih penduduk, serta partisipasi dan kesediaan masyarakat dalam memanfaatkan sistem pemanenan air hujan (SPAH).
Potensi Kuantitas Air Hujan dan Kebutuhan Air Bersih
Berdasarkan perhitungan kuantitas air hujan yang jatuh di wilayah pesisir Kecamatan Tarumajaya, diketahui bahwa rata-rata curah hujan bulanan cukup tinggi pada bulan Januari, Februari, Maret, April, November, dan Desember. Pada bulan-bulan ini, volume air hujan yang tersedia melebihi kebutuhan air bersih penduduk, sehingga kelebihan air hujan dapat disimpan dan digunakan selama musim kemarau.
Sebagai contoh, di Desa Samudrajaya dan Desa Segara Makmur, potensi air hujan yang dapat dipanen mampu memenuhi kebutuhan air bersih selama musim kering, yaitu pada bulan Mei hingga Oktober. Namun, di dua desa lain yaitu Desa Segarajaya dan Pantai Makmur, volume air hujan yang tersedia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan air bersih pada musim kemarau.
Secara kuantitatif, kebutuhan air bersih penduduk diasumsikan sebesar 60 liter per orang per hari. Dengan memanfaatkan kelebihan air hujan selama musim hujan, sistem pemanenan air hujan dapat menjadi sumber air bersih yang andal sepanjang tahun.
Partisipasi dan Kesediaan Masyarakat
Survei partisipasi masyarakat menunjukkan bahwa sebagian besar warga bersedia untuk ikut serta dalam pengelolaan dan pemeliharaan SPAH. Mereka siap melakukan monitoring serta bertanggung jawab dalam pengoperasian sistem agar keberlangsungan penggunaan air hujan dapat terjaga secara berkelanjutan.
Hal ini menunjukkan adanya kesadaran dan keinginan masyarakat untuk mengadopsi teknologi pemanenan air hujan sebagai solusi atas masalah kekurangan air bersih yang mereka hadapi.
Sistem Pemanfaatan Air Hujan yang Direkomendasikan
Berdasarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah pesisir, sistem pemanenan air hujan yang paling sesuai adalah instalasi di atas permukaan tanah. Sistem ini relatif mudah dibangun dan dioperasikan dengan biaya investasi awal sekitar Rp 115.000 per unit.
Sistem ini meliputi penampungan air hujan dari atap rumah yang dialirkan melalui talang ke tangki penampungan. Air yang tertampung dapat digunakan langsung untuk kebutuhan domestik seperti mandi, mencuci, dan memasak, serta untuk keperluan lain seperti irigasi tanaman.
Studi Kasus: Distribusi Kelebihan dan Kekurangan Air Hujan Bulanan
Analisis distribusi volume air hujan dan kebutuhan air bersih bulanan menunjukkan bahwa selama bulan-bulan dengan curah hujan tinggi (Januari, Februari, Maret, April, November, Desember), terdapat kelebihan air hujan yang signifikan yang dapat ditampung dan disimpan. Sebaliknya, pada bulan-bulan dengan curah hujan rendah (Mei hingga Oktober), volume air hujan yang tersedia lebih kecil dari kebutuhan air bersih, sehingga penyimpanan air hujan yang cukup selama musim hujan sangat penting untuk memenuhi kebutuhan selama musim kering.
Nilai Tambah dan Implikasi
Pemanfaatan air hujan sebagai sumber air bersih di wilayah pesisir memiliki banyak manfaat, antara lain:
Opini dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini sejalan dengan tren global dan nasional yang mendorong pemanfaatan air hujan sebagai solusi mitigasi krisis air bersih, terutama di daerah yang memiliki keterbatasan sumber air permukaan dan air tanah. Contoh sukses pemanfaatan air hujan di berbagai kota di Indonesia dan dunia menunjukkan bahwa teknologi ini tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga ekonomis dan mudah diimplementasikan.
Namun, keberhasilan implementasi sangat bergantung pada kesadaran masyarakat, dukungan kebijakan pemerintah, serta ketersediaan teknologi yang sesuai dengan kondisi lokal. Oleh karena itu, edukasi dan pelatihan masyarakat menjadi faktor kunci agar sistem pemanenan air hujan dapat berfungsi optimal dan berkelanjutan.
Rekomendasi
Kesimpulan
Penelitian ini mengungkap potensi besar pemanfaatan air hujan sebagai alternatif penyediaan air bersih di wilayah pesisir Kecamatan Tarumajaya. Dengan curah hujan yang cukup tinggi pada beberapa bulan dalam setahun, kelebihan air hujan dapat dimanfaatkan dan disimpan untuk memenuhi kebutuhan air bersih selama musim kemarau. Tingginya kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sistem pemanenan air hujan menjadi modal penting untuk keberhasilan implementasi teknologi ini.
Sistem pemanenan air hujan yang sederhana dan terjangkau dapat menjadi solusi efektif dan berkelanjutan untuk mengatasi masalah air bersih di wilayah pesisir, sekaligus mendukung konservasi sumber daya air dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Sumber Artikel:
Dira Mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Desiree Marlyn Kipuw ST., MT, Dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi dan Sains Bandung, "Potensi Pemanfaatan Air Hujan Sebagai Alternatif Penyediaan Air Bersih di Wilayah Pesisir Kecamatan Tarumajaya," Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota ITSB, 2023.
Sumber Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 07 Juni 2025
Air hujan merupakan sumber daya alam yang melimpah, terutama pada musim penghujan. Namun, apabila tidak dikelola dengan baik, air hujan justru dapat menimbulkan bencana seperti banjir dan tanah longsor. Dalam konteks urbanisasi yang pesat dan perubahan penggunaan lahan menjadi area terbangun, permukaan tanah menjadi kedap air sehingga memperbesar risiko genangan dan banjir. Oleh karena itu, pengelolaan air hujan melalui sistem pemanenan dan resapan menjadi sangat penting untuk menjaga keseimbangan siklus hidrologi, memenuhi kebutuhan air bersih, serta mengurangi dampak negatif limpasan air hujan.
Paper berjudul Kajian Pendahuluan Sistem Pemanfaatan Air Hujan oleh Haryoto Indriatmoko dan Nugro Rahardjo (2015) mengulas pentingnya pengelolaan air hujan dengan pendekatan sistematik yang melibatkan penampungan dan resapan air hujan. Studi ini juga menyoroti praktik terbaik di beberapa negara seperti Republik Dominika, Singapura, Jepang, China, Thailand, dan Indonesia yang telah berhasil menerapkan sistem pemanfaatan air hujan secara efektif.
Potensi dan Manfaat Sistem Pemanfaatan Air Hujan
Sistem pemanfaatan air hujan (SPAH) tidak hanya berfungsi sebagai sumber air bersih alternatif, tetapi juga berperan dalam mengurangi limpasan permukaan yang menyebabkan banjir perkotaan. Dengan menampung air hujan dari atap bangunan dan meresapkannya ke dalam tanah melalui sumur resapan, SPAH membantu mempertahankan kondisi hidrologi alami daerah perkotaan.
Manfaat utama SPAH meliputi:
Studi Kasus dan Data Pendukung
Penelitian ini mengacu pada data dan praktik di berbagai negara yang telah mengimplementasikan sistem pemanenan air hujan dengan baik. Misalnya, Singapura dan Jepang yang memiliki sistem pengelolaan air hujan terintegrasi dalam perencanaan kota, mampu mengurangi risiko banjir dan menyediakan air bersih tambahan secara signifikan.
Di Indonesia sendiri, beberapa daerah telah mulai menerapkan sumur resapan dan sistem penampungan air hujan, meskipun masih terbatas. Data menunjukkan bahwa pemanfaatan air hujan dapat memenuhi sebagian kebutuhan air bersih rumah tangga dan mengurangi beban pada sistem penyediaan air kota yang seringkali mengalami gangguan.
Komponen Sistem Pemanfaatan Air Hujan
Menurut penelitian, sistem pemanfaatan air hujan terdiri dari beberapa komponen utama:
Analisis Potensi Pengurangan Genangan dan Pemenuhan Kebutuhan Air
Berdasarkan studi di Kecamatan Depok, yang merupakan kawasan dengan tingkat penggunaan lahan bangunan mencapai 71,45%, potensi volume air hujan yang dapat ditampung melalui sistem pemanenan air hujan mencapai 636.481,84 meter kubik per tahun. Dengan pengelolaan yang baik, sistem ini mampu mengurangi genangan air di kawasan tersebut sebesar 51,93%.
Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan air hujan tidak hanya berkontribusi pada penyediaan air bersih, tetapi juga efektif dalam mengatasi masalah genangan dan banjir di kawasan perkotaan yang padat.
Kelebihan dan Tantangan Sistem Pemanfaatan Air Hujan
Kelebihan
Tantangan
Nilai Tambah dan Relevansi dengan Tren Global
Pemanfaatan air hujan sebagai sumber air bersih dan pengendalian banjir merupakan bagian dari tren global menuju pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan dan adaptif terhadap perubahan iklim. Banyak kota di dunia, termasuk di Asia dan Eropa, telah mengintegrasikan sistem ini dalam perencanaan tata ruang dan pembangunan berkelanjutan.
Di Indonesia, dengan curah hujan yang tinggi dan pola urbanisasi yang cepat, pemanfaatan air hujan dapat menjadi solusi strategis untuk mengatasi krisis air bersih dan banjir perkotaan yang semakin sering terjadi.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Paper ini menegaskan bahwa sistem pemanfaatan air hujan merupakan teknologi yang sangat potensial dan efektif untuk memenuhi kebutuhan air bersih dan mengurangi genangan di kawasan perkotaan. Dengan desain yang tepat dan pengelolaan yang baik, sistem ini dapat memberikan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi yang signifikan.
Rekomendasi utama meliputi:
Sumber Artikel:
Haryoto Indriatmoko dan Nugro Rahardjo, Kajian Pendahuluan Sistem Pemanfaatan Air Hujan, Jurnal Atmosfer Indonesia, Vol. 8 No. 1, 2015.
Sumber Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 07 Juni 2025
Air merupakan kebutuhan dasar yang sangat penting bagi kehidupan manusia, terutama di kawasan perkotaan yang terus berkembang pesat. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, kebutuhan air minum domestik juga meningkat signifikan. Namun, penyediaan air bersih di banyak kota, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia, masih menghadapi berbagai kendala. Di Kota Bandarlampung, khususnya di Lingkungan I, Kelurahan Nusantara Permai, masalah kekurangan air bersih dan penurunan kualitas air tanah menjadi perhatian utama. Penggunaan sumur bor yang berlebihan menyebabkan penurunan kuantitas air tanah, sementara kualitas air yang tersedia seringkali tidak layak konsumsi karena keruh dan berbau.
Dalam konteks ini, pemanenan air hujan (PAH) muncul sebagai solusi alternatif yang potensial dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan air domestik. Paper karya Zehwa Melur Tangginas dan kolega (2020) mengkaji potensi PAH di wilayah tersebut, kesediaan masyarakat untuk memanfaatkannya, serta faktor-faktor yang memengaruhi kesediaan tersebut.
Potensi Pemanenan Air Hujan di Kelurahan Nusantara Permai
Penelitian ini memulai dengan analisis potensi air hujan berdasarkan data curah hujan Kota Bandarlampung selama periode 2012-2017. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dengan rata-rata 457,25 mm, sedangkan terendah pada bulan Juli sebesar 44,93 mm. Secara rata-rata, curah hujan bulanan mencapai 210,55 mm.
Dengan luas atap rumah rata-rata sekitar 70 m² dan koefisien run-off atap genteng/asbes sebesar 0,8, volume air hujan yang dapat ditampung per rumah pada bulan Januari mencapai sekitar 25.858 liter, sedangkan pada bulan Juli hanya sekitar 2.541 liter. Hal ini menunjukkan bahwa potensi pemanenan air hujan sangat bergantung pada musim dan curah hujan bulanan.
Kebutuhan Air Minum Domestik dan Perbandingan dengan Potensi Air Hujan
Penelitian menghitung kebutuhan air minum rumah tangga dengan asumsi rata-rata 4 orang per keluarga dan kebutuhan air per orang sebesar 123 liter per hari (data eksisting). Dengan perhitungan ini, kebutuhan air minum per rumah selama satu bulan mencapai 14.760 liter. Jika menggunakan standar kebutuhan air minum kota metropolitan sebesar 150 liter per orang per hari, kebutuhan naik menjadi 18.000 liter per bulan per rumah.
Perbandingan antara potensi air hujan yang dapat ditampung dan kebutuhan air minum menunjukkan bahwa pada bulan dengan curah hujan tinggi seperti Januari, Oktober, dan November, volume air hujan cukup untuk memenuhi kebutuhan air minum rumah tangga. Namun, pada bulan-bulan dengan curah hujan rendah, seperti Februari hingga September, potensi air hujan belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut secara penuh.
Kesediaan Masyarakat Memanfaatkan Air Hujan
Melalui survei terhadap 225 kepala keluarga di Lingkungan I, Kelurahan Nusantara Permai, ditemukan bahwa sebanyak 70% responden bersedia memanfaatkan air hujan sebagai alternatif penyediaan air minum rumah tangga. Sebaliknya, 30% lainnya belum bersedia menggunakan air hujan.
Alasan utama masyarakat yang belum bersedia adalah kekhawatiran terhadap kualitas air hujan dan kebiasaan menggunakan air dari sumur bor atau membeli air kemasan untuk konsumsi. Namun, mayoritas masyarakat mengakui bahwa air dari sumur bor dan sumur galian tidak layak untuk diminum dan hanya digunakan untuk keperluan mandi dan mencuci.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Masyarakat
Analisis statistik menggunakan tabulasi silang dan uji chi square mengidentifikasi beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kesediaan masyarakat memanfaatkan air hujan, di antaranya:
Faktor lain seperti jenis pekerjaan, kondisi bangunan, tingkat pendidikan, status kepemilikan rumah, ketersediaan lahan, aksesibilitas sumber air, kualitas dan kontinuitas sumber air, serta preferensi sumber air minum dan MCK tidak menunjukkan hubungan signifikan dengan kesediaan memanfaatkan air hujan.
Analisis dan Opini
Penelitian ini memberikan gambaran yang kuat bahwa potensi pemanenan air hujan di wilayah perkotaan seperti Kelurahan Nusantara Permai cukup besar untuk mendukung kebutuhan air domestik, terutama di musim hujan. Namun, tantangan utama bukan hanya teknis, melainkan juga sosial dan ekonomi, terutama terkait kesiapan masyarakat untuk berinvestasi dan kepercayaan terhadap kualitas air hujan.
Dukungan kebijakan pemerintah menjadi kunci keberhasilan implementasi PAH secara luas. Hal ini sejalan dengan tren global yang mendorong pengembangan infrastruktur hijau dan solusi berkelanjutan untuk krisis air. Misalnya, beberapa kota di Asia Tenggara telah berhasil mengintegrasikan sistem PAH dalam perencanaan kota untuk mengurangi ketergantungan pada air tanah dan meningkatkan ketahanan air.
Namun, penelitian ini juga menunjukkan bahwa edukasi dan sosialisasi mengenai manfaat dan cara pengelolaan air hujan perlu ditingkatkan agar masyarakat lebih memahami dan percaya terhadap kualitas air hujan yang diolah dengan benar.
Rekomendasi untuk Pemerintah dan Masyarakat
Penulis merekomendasikan agar pemerintah:
Bagi masyarakat, disarankan untuk:
Saran Studi Lanjutan
Penelitian ini membuka peluang untuk kajian lebih mendalam terkait aspek teknis dan sosial, seperti:
Kesimpulan
Penelitian ini membuktikan bahwa pemanenan air hujan memiliki potensi besar sebagai solusi alternatif penyediaan air minum domestik di wilayah perkotaan dengan keterbatasan sumber air tanah. Kesediaan masyarakat untuk memanfaatkan air hujan cukup tinggi, didorong oleh faktor kesediaan membayar, pengalaman sebelumnya, dan dukungan kebijakan pemerintah. Namun, untuk mewujudkan pemanfaatan yang optimal, diperlukan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat serta edukasi yang intensif terkait manfaat dan pengelolaan air hujan.
Sumber Artikel:
Zehwa Melur Tangginas, Dr. Sri Maryati, ST., MIP., Husna Tiara Putri, ST., MT., "Faktor yang Memengaruhi Kesediaan Masyarakat Dalam Memanfaatkan Air Hujan Untuk Memenuhi Kebutuhan Air Domestik di Lingkungan I, Kelurahan Nusantara Permai," Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Sumatera, 2020.
Sumber Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 07 Juni 2025
Krisis air bersih menjadi masalah utama di banyak negara berkembang, terutama di daerah dengan curah hujan yang tidak merata dan risiko kekeringan tinggi. Paper berjudul Opportunities in Rainwater Harvesting oleh B. Helmreich dan H. Horn (2008) mengulas secara komprehensif potensi dan teknologi pemanenan air hujan (Rainwater Harvesting/RWH) sebagai solusi efektif dalam mengatasi masalah tersebut. Dengan memanfaatkan air hujan yang jatuh selama musim hujan, teknologi ini dapat menyediakan sumber air minum dan air untuk pertanian, sekaligus mengurangi krisis pangan dan air di wilayah rawan kekeringan.
Konteks dan Tantangan Air di Wilayah Semi-Arid
Sebagian besar negara berkembang yang mengalami krisis air berada di zona semi-arid dengan curah hujan rendah dan tidak merata, berkisar antara 200 hingga 600 mm per tahun, sementara potensi evapotranspirasi jauh lebih tinggi, mencapai 1500-2300 mm per tahun. Kondisi ini menyebabkan masa tanam yang pendek, hanya sekitar 2,5 hingga 4 bulan, sehingga produktivitas pertanian rendah dan rentan terhadap kekeringan.
Sebagian besar air hujan yang jatuh hilang melalui evaporasi tanah (30-50%) dan limpasan permukaan (10-25%), sementara hanya 15-30% yang digunakan oleh tanaman melalui transpirasi. Dengan kondisi ini, kebutuhan air untuk pertanian seringkali tidak terpenuhi hanya dengan curah hujan langsung, sehingga pemanenan air hujan menjadi metode yang penting untuk meningkatkan ketersediaan air bagi tanaman dan mengurangi risiko gagal panen.
Teknik Pemanfaatan Air Hujan
Penelitian ini mengklasifikasikan tiga bentuk utama pemanenan air hujan:
Pemanfaatan untuk Pertanian
RWH untuk pertanian terutama digunakan untuk irigasi tanaman hujan (rainfed crops) di daerah kering dan semi-kering, yang menyumbang hingga 90% produksi serealia di wilayah tersebut. Untuk keberhasilan RWH pertanian, beberapa syarat harus dipenuhi, seperti adanya kontur lahan yang memungkinkan limpasan air terkonsentrasi, perbedaan elevasi untuk mengalirkan air, serta tanah yang cukup dalam dan bertekstur baik untuk menyimpan air.
Beberapa sistem yang umum digunakan adalah:
Pemanfaatan untuk Kebutuhan Domestik
DRWH mengumpulkan air hujan dari atap rumah dan area sekitar, yang kemudian disimpan dalam tangki tertutup baik di atas maupun bawah tanah. Tangki penyimpanan bervariasi dari ukuran kecil (beberapa liter) hingga besar (puluhan meter kubik), dengan bahan seperti keramik, ferrocement, plastik polietilen, dan lainnya.
Keuntungan utama DRWH adalah menyediakan air bersih dekat dengan rumah sehingga mengurangi beban berjalan jauh untuk mengambil air. Namun, tangki harus dirancang dengan baik agar air tidak terkontaminasi oleh kotoran, serangga, atau mikroorganisme. Biaya investasi bervariasi, dengan tangki kecil berkisar 20-40 poundsterling dan tangki besar sekitar 120-140 poundsterling.
Kualitas Air Hujan dan Perlakuan
Meskipun air hujan relatif bersih, kualitasnya sangat bergantung pada kondisi atmosfer dan permukaan penangkapnya. Di daerah pedesaan, air hujan cenderung lebih bersih, sedangkan di perkotaan sering tercemar oleh partikel, logam berat, dan polutan organik dari lalu lintas dan industri.
Beberapa bahan atap seperti genteng, aluminium, dan batu tulis lebih aman untuk penangkapan air hujan dibandingkan atap logam berlapis atau bambu yang dapat mencemari air. Kontaminasi mikrobiologis dari kotoran hewan juga menjadi masalah serius, dengan temuan bakteri coliform di lebih dari 80% sampel air hujan.
Untuk menjamin keamanan air hujan, berbagai metode pengolahan disarankan:
Studi Kasus dan Contoh Implementasi
Paper ini menyajikan contoh penggunaan teknologi RWH di berbagai negara berkembang, seperti:
Hambatan dan Tantangan Implementasi
Meskipun RWH menjanjikan, terdapat beberapa kendala yang menghambat penerapan luas, antara lain:
Penggunaan teknologi GIS untuk pemetaan potensi RWH dapat membantu mengidentifikasi lokasi yang paling sesuai dan memaksimalkan manfaatnya.
Kesimpulan dan Implikasi
Pemanfaatan air hujan merupakan metode yang efektif dan berkelanjutan untuk mengurangi krisis air di negara berkembang, terutama di wilayah semi-arid dengan curah hujan yang tidak merata. Penggunaan sumber daya lokal dan tenaga kerja setempat sangat dianjurkan untuk pembangunan sistem RWH yang murah dan mudah dipelihara.
Untuk pertanian, sebagian besar air hujan dapat disimpan di bawah tanah untuk mengurangi evaporasi dan meningkatkan ketersediaan air bagi tanaman. Sementara untuk kebutuhan domestik, perhatian khusus harus diberikan pada kualitas air yang dipanen, dengan penerapan metode disinfeksi yang sesuai seperti filtrasi pasir lambat dan teknologi surya.
Pengembangan dan implementasi RWH perlu didukung oleh kebijakan pemerintah, edukasi masyarakat, dan teknologi yang tepat guna agar dapat memberikan kontribusi signifikan dalam mengatasi masalah air dan pangan di masa depan.
Sumber Artikel:
B. Helmreich dan H. Horn, "Opportunities in Rainwater Harvesting," Desalination, Vol. 248, 2009, hlm. 118–124.
Sumber Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 07 Juni 2025
Perubahan fungsi lahan di wilayah perkotaan yang sangat pesat telah menyebabkan meningkatnya permukaan tanah kedap air, sehingga air hujan yang jatuh tidak dapat terserap dengan baik dan berujung pada peningkatan volume limpasan permukaan (runoff). Kondisi ini berkontribusi pada debit banjir yang lebih tinggi dan risiko banjir besar di wilayah hilir, terutama di kawasan permukiman dan pusat kota. Fenomena ini diperparah oleh urbanisasi yang menyebabkan alih fungsi lahan bervegetasi menjadi lahan berpenutup permanen seperti perumahan, jalan, dan pabrik.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mewajibkan setiap kota menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) minimal 30% dari luas wilayahnya sebagai upaya mitigasi bencana banjir dan menjaga kelestarian lingkungan. Namun, masih banyak kota di Indonesia yang belum memenuhi ketentuan ini, sehingga risiko banjir semakin tinggi.
Paper karya Sarbidi (2012) mengkaji potensi penerapan teknologi subreservoir air hujan pada RTH sebagai solusi inovatif untuk menampung, meresapkan, dan memanfaatkan air hujan guna mereduksi genangan air di perkotaan. Penelitian ini menggunakan data dari Kota Bandung, Bogor, dan Jakarta, serta metode analisis hidrologi dan statistik seperti distribusi Gumbel dan rumus Talbot, Ishiguro, Sherman, dan Mononobe untuk menghitung intensitas hujan dan debit banjir.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Fungsinya
RTH merupakan elemen penting dalam tata ruang kota yang berfungsi sebagai kawasan konservasi hidrologis dan pengendalian air larian. RTH terdiri dari RTH publik dan privat, meliputi taman, hutan kota, jalur hijau, sempadan sungai, dan pekarangan rumah. Pemanfaatan RTH yang optimal dapat meningkatkan kapasitas penyerapan air hujan dan mengurangi limpasan permukaan.
Dalam konteks pengendalian banjir, RTH dapat dimanfaatkan sebagai lokasi pembangunan subreservoir air hujan, yaitu sistem penampungan air hujan yang dibangun di bawah permukaan tanah tanpa mengurangi fungsi ruang terbuka hijau di atasnya. Hal ini menjadi solusi efektif mengingat keterbatasan lahan di perkotaan untuk kolam retensi konvensional yang memerlukan area luas.
Teknologi Subreservoir Air Hujan
Subreservoir air hujan adalah sistem kombinasi penampungan, peresapan, dan pemanfaatan air hujan dari atap rumah atau bangunan yang dirancang untuk menahan air limpasan hingga 100%. Sistem ini dilengkapi dengan inlet penangkap kotoran, filter kasar, tangki eksplorasi, dan sumur resapan. Air hujan yang tertampung dapat digunakan kembali atau diserap ke dalam tanah, sehingga mengurangi debit limpasan yang masuk ke sistem drainase kota.
Kapasitas subreservoir bervariasi mulai dari 5 m³ hingga 65 m³, dan dapat dikombinasikan secara seri atau paralel untuk menyesuaikan luas atap dan kebutuhan kawasan. Modul subreservoir seperti SR5, SR10, SR15, SR25, SR50, dan SR65 disesuaikan dengan luas atap antara 100 m² hingga lebih dari 2000 m².
Studi Kasus: Kota Bandung, Bogor, dan Jakarta
Penelitian menggunakan data luas wilayah dan RTH dari tiga kota besar di Indonesia:
Curah hujan maksimum dengan durasi pendek (sekitar 5 menit) di ketiga kota tersebut juga dianalisis. Intensitas hujan rencana untuk periode ulang 5 tahun dan durasi 5 menit dihitung menggunakan berbagai rumus hidrologi, menghasilkan intensitas hujan sekitar 204 mm/jam untuk Bandung, 345 mm/jam untuk Bogor, dan 205 mm/jam untuk Jakarta.
Dengan data ini, debit genangan air atau banjir rencana dihitung menggunakan rumus rasional yang mempertimbangkan koefisien limpasan, intensitas hujan, dan luas daerah pengaliran.
Hasil dan Analisis Reduksi Genangan Air
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin luas RTH yang dimanfaatkan untuk pembangunan subreservoir air hujan, semakin besar kapasitasnya dalam mereduksi genangan air di kawasan permukiman kota. Jika seluruh RTH yang wajib disediakan (30% dari luas kota) digunakan untuk subreservoir, potensi reduksi debit puncak banjir dapat mencapai sekitar 48%, yang berarti hampir setengah dari genangan air dapat dicegah secara preventif.
Sebaliknya, jika RTH yang tersedia hanya sekitar 16% (prediktif), peluang terjadinya genangan banjir meningkat hingga 74%, dan jika RTH eksisting hanya sekitar 9%, peluang genangan banjir mencapai lebih dari 86%. Ini menegaskan bahwa ketersediaan dan pemanfaatan RTH sangat krusial dalam pengendalian banjir perkotaan.
Teknologi subreservoir air hujan juga memungkinkan tercapainya kondisi zero runoff, yaitu seluruh air hujan yang jatuh dapat tertahan dan dimanfaatkan tanpa mengalir ke sistem drainase kota, sehingga mengurangi beban drainase dan risiko banjir.
Nilai Tambah dan Implikasi Kebijakan
Penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam pengembangan konsep drainase ramah lingkungan yang mengintegrasikan konservasi air dan pengendalian banjir melalui pemanfaatan ruang terbuka hijau. Dengan mengaplikasikan teknologi subreservoir air hujan, kota-kota besar dapat mengatasi masalah genangan air yang kerap terjadi saat musim hujan tanpa harus mengorbankan ruang terbuka hijau sebagai paru-paru kota.
Dari sisi kebijakan, hasil penelitian mendukung implementasi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 yang mewajibkan penyediaan dan pemanfaatan RTH untuk konservasi air dan pengendalian air larian. Pemerintah daerah dan pengembang perlu mendorong penerapan subreservoir air hujan sebagai bagian dari desain tata ruang dan pembangunan perkotaan.
Kritik dan Rekomendasi
Meskipun hasil penelitian sangat menjanjikan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, efektivitas subreservoir sangat bergantung pada pemeliharaan dan pengelolaan yang baik agar tidak menjadi sumber pencemaran atau tempat berkembang biaknya vektor penyakit. Kedua, perlu adanya studi lanjutan terkait integrasi teknologi ini dengan sistem drainase kota secara menyeluruh dan dampaknya terhadap kualitas air tanah.
Rekomendasi yang diajukan antara lain:
Kesimpulan
Kajian ini membuktikan bahwa subreservoir air hujan pada ruang terbuka hijau merupakan teknologi efektif untuk mereduksi genangan air dan banjir di kawasan perkotaan. Dengan memanfaatkan ruang terbuka hijau seluas 30% dari wilayah kota untuk membangun subreservoir, potensi pengurangan debit puncak banjir dapat mencapai hampir 50%. Semakin besar luas RTH yang dimanfaatkan, semakin besar pula pengurangan genangan air yang dapat dicapai.
Teknologi ini juga berkontribusi pada konservasi air tanah dan pengelolaan air hujan yang berkelanjutan, mendukung konsep drainase ramah lingkungan dan zero runoff. Implementasi subreservoir air hujan harus didukung oleh kebijakan yang kuat, perencanaan yang matang, serta partisipasi aktif masyarakat dan pemangku kepentingan.
Sumber Artikel:
Sarbidi, "Kajian Subreservoir Air Hujan pada Ruang Terbuka Hijau dalam Mereduksi Genangan Air (Banjir)," Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 3, November 2012, hlm. 176-184.