Kajian Subreservoir Air Hujan pada Ruang Terbuka Hijau dalam Mereduksi Genangan Air (Banjir)

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

07 Juni 2025, 07.15

pixabay.com

Perubahan fungsi lahan di wilayah perkotaan yang sangat pesat telah menyebabkan meningkatnya permukaan tanah kedap air, sehingga air hujan yang jatuh tidak dapat terserap dengan baik dan berujung pada peningkatan volume limpasan permukaan (runoff). Kondisi ini berkontribusi pada debit banjir yang lebih tinggi dan risiko banjir besar di wilayah hilir, terutama di kawasan permukiman dan pusat kota. Fenomena ini diperparah oleh urbanisasi yang menyebabkan alih fungsi lahan bervegetasi menjadi lahan berpenutup permanen seperti perumahan, jalan, dan pabrik.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mewajibkan setiap kota menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) minimal 30% dari luas wilayahnya sebagai upaya mitigasi bencana banjir dan menjaga kelestarian lingkungan. Namun, masih banyak kota di Indonesia yang belum memenuhi ketentuan ini, sehingga risiko banjir semakin tinggi.

Paper karya Sarbidi (2012) mengkaji potensi penerapan teknologi subreservoir air hujan pada RTH sebagai solusi inovatif untuk menampung, meresapkan, dan memanfaatkan air hujan guna mereduksi genangan air di perkotaan. Penelitian ini menggunakan data dari Kota Bandung, Bogor, dan Jakarta, serta metode analisis hidrologi dan statistik seperti distribusi Gumbel dan rumus Talbot, Ishiguro, Sherman, dan Mononobe untuk menghitung intensitas hujan dan debit banjir.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Fungsinya

RTH merupakan elemen penting dalam tata ruang kota yang berfungsi sebagai kawasan konservasi hidrologis dan pengendalian air larian. RTH terdiri dari RTH publik dan privat, meliputi taman, hutan kota, jalur hijau, sempadan sungai, dan pekarangan rumah. Pemanfaatan RTH yang optimal dapat meningkatkan kapasitas penyerapan air hujan dan mengurangi limpasan permukaan.

Dalam konteks pengendalian banjir, RTH dapat dimanfaatkan sebagai lokasi pembangunan subreservoir air hujan, yaitu sistem penampungan air hujan yang dibangun di bawah permukaan tanah tanpa mengurangi fungsi ruang terbuka hijau di atasnya. Hal ini menjadi solusi efektif mengingat keterbatasan lahan di perkotaan untuk kolam retensi konvensional yang memerlukan area luas.

Teknologi Subreservoir Air Hujan

Subreservoir air hujan adalah sistem kombinasi penampungan, peresapan, dan pemanfaatan air hujan dari atap rumah atau bangunan yang dirancang untuk menahan air limpasan hingga 100%. Sistem ini dilengkapi dengan inlet penangkap kotoran, filter kasar, tangki eksplorasi, dan sumur resapan. Air hujan yang tertampung dapat digunakan kembali atau diserap ke dalam tanah, sehingga mengurangi debit limpasan yang masuk ke sistem drainase kota.

Kapasitas subreservoir bervariasi mulai dari 5 m³ hingga 65 m³, dan dapat dikombinasikan secara seri atau paralel untuk menyesuaikan luas atap dan kebutuhan kawasan. Modul subreservoir seperti SR5, SR10, SR15, SR25, SR50, dan SR65 disesuaikan dengan luas atap antara 100 m² hingga lebih dari 2000 m².

Studi Kasus: Kota Bandung, Bogor, dan Jakarta

Penelitian menggunakan data luas wilayah dan RTH dari tiga kota besar di Indonesia:

  • Kota Bandung dengan luas wilayah sekitar 16.730 hektar dan RTH wajib 30% (sekitar 5.019 ha), RTH prediktif 16%, dan RTH eksisting sekitar 9%.
  • Kota Bogor dengan luas wilayah 11.850 hektar, RTH wajib 30%, RTH prediktif mencapai 34%, dan RTH eksisting sekitar 16%.
  • Kota Jakarta dengan luas wilayah 64.895 hektar, RTH wajib 30%, RTH prediktif 15,75%, dan RTH eksisting sekitar 9,78%.

Curah hujan maksimum dengan durasi pendek (sekitar 5 menit) di ketiga kota tersebut juga dianalisis. Intensitas hujan rencana untuk periode ulang 5 tahun dan durasi 5 menit dihitung menggunakan berbagai rumus hidrologi, menghasilkan intensitas hujan sekitar 204 mm/jam untuk Bandung, 345 mm/jam untuk Bogor, dan 205 mm/jam untuk Jakarta.

Dengan data ini, debit genangan air atau banjir rencana dihitung menggunakan rumus rasional yang mempertimbangkan koefisien limpasan, intensitas hujan, dan luas daerah pengaliran.

Hasil dan Analisis Reduksi Genangan Air

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin luas RTH yang dimanfaatkan untuk pembangunan subreservoir air hujan, semakin besar kapasitasnya dalam mereduksi genangan air di kawasan permukiman kota. Jika seluruh RTH yang wajib disediakan (30% dari luas kota) digunakan untuk subreservoir, potensi reduksi debit puncak banjir dapat mencapai sekitar 48%, yang berarti hampir setengah dari genangan air dapat dicegah secara preventif.

Sebaliknya, jika RTH yang tersedia hanya sekitar 16% (prediktif), peluang terjadinya genangan banjir meningkat hingga 74%, dan jika RTH eksisting hanya sekitar 9%, peluang genangan banjir mencapai lebih dari 86%. Ini menegaskan bahwa ketersediaan dan pemanfaatan RTH sangat krusial dalam pengendalian banjir perkotaan.

Teknologi subreservoir air hujan juga memungkinkan tercapainya kondisi zero runoff, yaitu seluruh air hujan yang jatuh dapat tertahan dan dimanfaatkan tanpa mengalir ke sistem drainase kota, sehingga mengurangi beban drainase dan risiko banjir.

Nilai Tambah dan Implikasi Kebijakan

Penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam pengembangan konsep drainase ramah lingkungan yang mengintegrasikan konservasi air dan pengendalian banjir melalui pemanfaatan ruang terbuka hijau. Dengan mengaplikasikan teknologi subreservoir air hujan, kota-kota besar dapat mengatasi masalah genangan air yang kerap terjadi saat musim hujan tanpa harus mengorbankan ruang terbuka hijau sebagai paru-paru kota.

Dari sisi kebijakan, hasil penelitian mendukung implementasi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 yang mewajibkan penyediaan dan pemanfaatan RTH untuk konservasi air dan pengendalian air larian. Pemerintah daerah dan pengembang perlu mendorong penerapan subreservoir air hujan sebagai bagian dari desain tata ruang dan pembangunan perkotaan.

Kritik dan Rekomendasi

Meskipun hasil penelitian sangat menjanjikan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, efektivitas subreservoir sangat bergantung pada pemeliharaan dan pengelolaan yang baik agar tidak menjadi sumber pencemaran atau tempat berkembang biaknya vektor penyakit. Kedua, perlu adanya studi lanjutan terkait integrasi teknologi ini dengan sistem drainase kota secara menyeluruh dan dampaknya terhadap kualitas air tanah.

Rekomendasi yang diajukan antara lain:

  • Memanfaatkan RTH untuk pengendalian air larian dan konservasi air dengan penerapan subreservoir air hujan sesuai ketentuan perundangan.
  • Menyesuaikan kapasitas subreservoir dengan luas atap bangunan untuk efisiensi penampungan.
  • Melakukan sosialisasi dan pelatihan kepada masyarakat dan pengembang agar teknologi ini dapat diterapkan secara luas dan berkelanjutan.
  • Mengintegrasikan subreservoir dengan sistem resapan dan pengelolaan air hujan lainnya untuk meningkatkan kapasitas konservasi air.

Kesimpulan

Kajian ini membuktikan bahwa subreservoir air hujan pada ruang terbuka hijau merupakan teknologi efektif untuk mereduksi genangan air dan banjir di kawasan perkotaan. Dengan memanfaatkan ruang terbuka hijau seluas 30% dari wilayah kota untuk membangun subreservoir, potensi pengurangan debit puncak banjir dapat mencapai hampir 50%. Semakin besar luas RTH yang dimanfaatkan, semakin besar pula pengurangan genangan air yang dapat dicapai.

Teknologi ini juga berkontribusi pada konservasi air tanah dan pengelolaan air hujan yang berkelanjutan, mendukung konsep drainase ramah lingkungan dan zero runoff. Implementasi subreservoir air hujan harus didukung oleh kebijakan yang kuat, perencanaan yang matang, serta partisipasi aktif masyarakat dan pemangku kepentingan.

Sumber Artikel:
Sarbidi, "Kajian Subreservoir Air Hujan pada Ruang Terbuka Hijau dalam Mereduksi Genangan Air (Banjir)," Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 3, November 2012, hlm. 176-184.