Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 27 Mei 2025
Risiko konstruksi telah lama menjadi momok dalam pengadaan proyek infrastruktur, terutama dalam skema tradisional yang banyak digunakan oleh sektor publik. Artikel “Construction Risk in Infrastructure Project Finance” yang ditulis oleh Frederic Blanc-Brude dan Dejan Makovsek memberikan gambaran yang sangat tajam tentang bagaimana risiko ini dapat diminimalisasi secara signifikan melalui pendekatan pembiayaan proyek (project finance). Berangkat dari analisis empiris atas 75 proyek di seluruh dunia, penelitian ini membedah bagaimana kontrak berbasis risiko, penggunaan entitas khusus (Special Purpose Entities atau SPE), serta struktur insentif yang tepat dapat menjinakkan salah satu risiko terbesar dalam proyek infrastruktur: pembengkakan biaya konstruksi.
Kontras antara Skema Tradisional dan Project Finance
Penelitian ini dimulai dari realitas yang sering kali ditemui dalam pengadaan proyek publik secara tradisional, yaitu terjadinya pembengkakan biaya secara sistemik. Studi Flyvbjerg et al. yang dijadikan rujukan mendokumentasikan bahwa dari 110 proyek infrastruktur yang diamati antara tahun 1950 hingga 2000, rata-rata mengalami pembengkakan biaya sebesar 26,7%. Skema tradisional tidak hanya rentan terhadap kesalahan estimasi biaya, tetapi juga terbuka terhadap moral hazard, karena kontraktor tidak menanggung risiko atas lonjakan biaya.
Sebaliknya, pendekatan project finance mengadopsi struktur kontrak tetap (fixed-price) dan batas waktu pasti (date-certain), dengan risiko konstruksi dialihkan kepada kontraktor utama yang biasanya juga menjadi pemegang saham dalam SPE. Dengan demikian, insentif untuk menyelesaikan proyek sesuai anggaran dan waktu menjadi lebih kuat karena risiko finansial atas pembengkakan biaya ditanggung oleh pelaksana konstruksi, bukan oleh pemerintah.
Studi Kasus dan Temuan Empiris
Data yang digunakan dalam artikel ini berasal dari database internal bank komersial besar (NATIXIS) yang menangani pembiayaan proyek infrastruktur global. Dari 75 proyek yang diamati (meliputi sektor transportasi, energi, akomodasi sosial, lingkungan, dan telekomunikasi), distribusi risiko konstruksi (∆C) menunjukkan bahwa secara median, risiko pembengkakan biaya adalah nol. Ini berarti, dalam mayoritas kasus, biaya konstruksi aktual berada dalam rentang ekspektasi awal yang telah ditentukan saat penutupan finansial.
Satu proyek bahkan mencatat cost underrun (pengeluaran lebih rendah dari anggaran) sebesar 50%, mengindikasikan kemungkinan adanya pengurangan lingkup proyek setelah penutupan finansial. Jika dikeluarkan dari analisis, temuan menunjukkan bahwa lebih dari 75% proyek tidak mengalami cost overrun yang signifikan.
Sebaliknya, proyek-proyek infrastruktur yang menggunakan metode tradisional memperlihatkan tingkat deviasi biaya yang jauh lebih tinggi dan memiliki distribusi data yang sangat miring ke kanan, menunjukkan bahwa meskipun sebagian proyek berjalan sesuai anggaran, sebagian lainnya mengalami pembengkakan biaya yang sangat besar hingga mencapai 200%.
Peran Insentif dan Kontrak EPC
Salah satu kontribusi signifikan dari artikel ini adalah pembahasan tentang efektivitas paket insentif dalam kontrak EPC (Engineering, Procurement, and Construction). Paket ini biasanya mencakup jaminan penyelesaian, penalti atas keterlambatan, serta tanggung jawab finansial atas kerusakan atau keterlambatan yang ditanggung oleh kontraktor.
Namun, hasil regresi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara keberadaan insentif tersebut dengan pengurangan risiko konstruksi tidak signifikan secara statistik. Bahkan, keberadaan penalti atau jaminan tambahan tidak berkorelasi kuat dengan berkurangnya risiko pembengkakan biaya. Hal ini bisa dimaknai bahwa struktur risiko yang telah dibangun dalam skema project finance—di mana kontraktor juga menjadi pemegang saham—telah cukup efektif menciptakan self-enforcing mechanism yang mendorong efisiensi tanpa perlu tambahan insentif formal.
Dimensi Risiko: Endogen vs Eksogen
Salah satu kerangka analisis paling menarik dalam artikel ini adalah pembedaan antara risiko konstruksi eksogen (misalnya cuaca buruk, kondisi tanah tak terduga) dan risiko endogen yang muncul dari desain kontrak atau struktur insentif. Dalam skema tradisional, risiko endogen ini sangat tinggi karena kontraktor tidak memiliki insentif untuk mengendalikan biaya. Sebaliknya, dalam skema project finance, risiko ini dapat ditekan karena pihak kontraktor tidak hanya bertanggung jawab, tetapi juga berkepentingan langsung terhadap keberhasilan proyek secara finansial.
Artikel ini menegaskan bahwa sebagian besar risiko konstruksi bersifat idiosinkratik (terisolasi pada proyek tertentu) dan karenanya dapat didiversifikasi oleh perusahaan konstruksi besar yang menangani banyak proyek di berbagai sektor dan wilayah.
Analisis Berdasarkan Sektor dan Wilayah
Dalam upaya mengidentifikasi apakah terdapat sektor atau wilayah yang memiliki risiko konstruksi lebih tinggi, artikel ini melakukan regresi linier terhadap dummy variabel sektoral dan regional. Hasilnya menunjukkan bahwa proyek energi di Timur Tengah merupakan satu-satunya kategori dengan pengaruh signifikan terhadap kenaikan risiko konstruksi. Di luar itu, baik dari sisi sektor maupun wilayah, tidak ada korelasi yang cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa sektor tertentu lebih rentan terhadap pembengkakan biaya dalam skema project finance.
Ini memperkuat argumen bahwa skema ini cukup robust dalam mengelola risiko lintas sektor dan geografi. Bahkan proyek jalan raya dalam database NATIXIS menunjukkan rata-rata pembengkakan biaya hanya sebesar 3,21%, jauh lebih rendah dibandingkan angka 5,6–9,3% dalam proyek jalan yang dikerjakan melalui skema tradisional seperti yang ditunjukkan oleh penelitian terdahulu.
Implikasi Praktis dan Kebijakan
Resensi ini menyoroti satu kesimpulan penting dari artikel: skema project finance memiliki efektivitas yang nyata dalam mengelola risiko konstruksi, bahkan dengan variasi sektor dan geografi yang cukup luas. Pembelajaran praktis dari sini adalah perlunya pemerintah dan sektor publik mempertimbangkan secara serius penggunaan project finance, terutama dalam proyek infrastruktur skala besar dan kompleks. Insentif finansial dan struktur kepemilikan yang tertanam dalam SPE memberikan keunggulan tersendiri dibandingkan pendekatan tradisional yang mengandalkan pengadaan kontraktual konvensional.
Kritik yang relevan terhadap pendekatan ini terletak pada keterbatasan skala. Tidak semua proyek infrastruktur cocok untuk project finance karena keterbatasan kapasitas pengelolaan, biaya transaksi, serta ketersediaan investor swasta. Namun, untuk proyek yang strategis dan berdampak besar secara ekonomi, pendekatan ini terbukti lebih efisien dalam mengontrol anggaran dan menghindari pembengkakan biaya.
Kesimpulan
Makalah ini menyajikan kontribusi empiris yang sangat penting terhadap literatur pengelolaan risiko dalam proyek infrastruktur. Dengan data yang solid, metode statistik yang kuat, dan pembahasan mendalam, penelitian ini menunjukkan bahwa project finance bukan hanya strategi pendanaan, tetapi juga alat manajemen risiko yang sangat efektif. Ketika diterapkan secara tepat, pendekatan ini dapat mengubah lanskap risiko konstruksi menjadi sesuatu yang dapat diprediksi dan dikelola, alih-alih menjadi sumber ketidakpastian dan pemborosan.
Skema pembiayaan proyek, dengan struktur insentif yang kuat dan penempatan tanggung jawab yang tepat, mampu menciptakan kondisi di mana pembengkakan biaya bukanlah keniscayaan. Justru efisiensi dan pengendalian biaya menjadi norma baru dalam pengadaan infrastruktur.
Sumber Artikel Asli:
Blanc-Brude, F., & Makovsek, D. (2013). Construction Risk in Infrastructure Project Finance. EDHEC-Risk Institute.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 27 Mei 2025
Pendahuluan
Usaha mikro—perusahaan dengan kurang dari 10 karyawan—memegang peran penting dalam ekonomi Uni Eropa, mencakup sekitar 30% tenaga kerja. Meski demikian, mereka cenderung tertinggal dalam pengelolaan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Artikel ilmiah berjudul "A balancing act: Swedish occupational safety and health inspectors’ reflections on their bureaucratic role when supervising micro-enterprises" (Hagqvist et al., 2020) mengangkat refleksi inspektur K3 Swedia dalam menghadapi usaha mikro. Penelitian ini menggambarkan betapa rumitnya menjadi pengawas regulasi sekaligus fasilitator perubahan dalam konteks usaha kecil yang penuh keterbatasan sumber daya.
Latar Belakang dan Signifikansi
Kebijakan K3 umumnya dirancang untuk perusahaan besar dan belum sepenuhnya menyesuaikan diri dengan kenyataan usaha mikro. Di Swedia, terdapat sekitar 292.000 usaha mikro, namun sebagian besar tidak pernah dikunjungi oleh inspektur. Ini menunjukkan ketimpangan struktural dalam pengawasan kerja. OSH (Occupational Safety and Health) inspectors berperan sebagai street-level bureaucrats, yaitu agen negara yang menjalankan kebijakan publik secara langsung dan memiliki wewenang menegakkan hukum. Namun, saat menghadapi usaha mikro, mereka terjebak antara formalisme hukum dan pendekatan empatik.
Metodologi Penelitian
Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif eksplanatif dengan wawancara mendalam terhadap 11 inspektur K3 dari berbagai daerah di Swedia. Analisis data dilakukan dengan metode konten tematik untuk mengidentifikasi pola, dilema, dan dinamika dalam pelaksanaan inspeksi. Tiga kategori utama ditemukan:
Temuan Utama
1. Satu Inspektur, Banyak Peran
Inspektur tidak hanya bertindak sebagai aparat penegak hukum, tetapi juga harus menjadi pendidik, motivator, bahkan konselor. Saat menghadapi pemilik usaha mikro yang gugup atau tidak mengerti aturan, mereka harus membangun suasana dialog, bukan tekanan. Salah satu inspektur menyatakan:
“Sering kali mereka gugup saat kami datang. Jadi penting untuk bicara ringan dulu, agar inspeksi bisa berjalan baik.”
Latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja para inspektur (misalnya sebagai guru atau fisioterapis) turut memengaruhi gaya komunikasi mereka.
2. Interaksi yang Penuh Dilema
Inspektur menghadapi dilema saat harus memberi sanksi pada perusahaan yang secara nyata tidak memiliki sumber daya untuk memperbaiki kondisi. Mereka digambarkan sebagai “penolong sekaligus penghukum.” Dalam satu kasus, seorang inspektur mengatakan:
“Memberi sanksi pada perusahaan besar itu mudah, tapi pada usaha mikro... bisa jadi mereka langsung bangkrut.”
Namun, mereka juga merasa menjadi penyelamat ketika intervensi mereka mencegah kecelakaan serius atau menutup tempat kerja yang membahayakan.
3. Menjalankan Profesi di Tengah Ketegangan Birokratis
Para inspektur menjalankan tugas berdasarkan regulasi resmi dari SWEA (Swedish Work Environment Authority), namun di lapangan mereka dituntut fleksibel. Keterampilan interpersonal seperti komunikasi, empati, dan penyesuaian gaya komunikasi sangat dibutuhkan. Misalnya, mereka harus menyesuaikan bahasa dan tampilan agar tidak menciptakan jarak sosial dengan pelaku usaha kecil.
“Datang ke perusahaan kecil dengan jas dan sepatu mengkilap itu bukan pilihan terbaik. Harus menyesuaikan agar bisa membangun suasana yang bersahabat.”
Mereka menyadari bahwa gaya inspeksi tradisional tidak selalu efektif di konteks usaha mikro, dan sering kali harus menafsirkan aturan secara kontekstual.
Analisis Kritis dan Implikasi Praktis
1. Kekosongan Model Inspeksi Khusus untuk Usaha Mikro
Banyak inspektur mengaku tidak memiliki model inspeksi yang relevan untuk skala usaha mikro. Regulasi yang berlaku terlalu generik dan kaku, tidak mempertimbangkan keterbatasan SDM, waktu, dan dana yang mereka hadapi.
2. Kurangnya Dukungan Kelembagaan
Meskipun inspektur mendapatkan pelatihan awal, mereka tidak dibekali keterampilan khusus untuk menghadapi dinamika sosial di usaha mikro. Tidak ada kurikulum pelatihan tentang negosiasi, pendekatan adaptif, atau inspeksi berbasis konteks.
3. Potensi Konflik Legitimasi dan Efektivitas
Dilema antara peran “penegak hukum” dan “pembimbing” membuat para inspektur mempertanyakan legitimasi tindakannya. Jika terlalu lunak, mereka dianggap tidak efektif. Jika terlalu keras, mereka membunuh usaha yang sedang berjuang.
Studi Kasus: Ketika Inspeksi Berakhir dengan Kebangkrutan
Salah satu inspektur menceritakan bahwa setelah beberapa kali kunjungan, sebuah usaha mikro memutuskan menutup operasional karena tidak mampu memenuhi standar K3. Di satu sisi, keputusan ini menyelamatkan pekerja dari kondisi berisiko. Namun di sisi lain, ini menunjukkan kegagalan sistemik dalam menciptakan solusi yang inklusif dan adaptif.
Rekomendasi dan Solusi Ke Depan
Kesimpulan
Penelitian ini membuka wawasan penting tentang tantangan struktural dalam pengawasan keselamatan kerja pada usaha mikro. Inspektur K3 tidak hanya berperan sebagai eksekutor kebijakan, tetapi juga sebagai fasilitator perubahan sosial di tempat kerja. Tanpa dukungan model inspeksi yang inklusif, pelatihan khusus, dan kebijakan yang adaptif, mereka akan terus berada dalam “permainan seimbang” yang melelahkan antara peraturan dan realitas.
Sumber : Hagqvist, E., Vinberg, S., Toivanen, S., & Landstad, B. J. (2020). A balancing act: Swedish occupational safety and health inspectors’ reflections on their bureaucratic role when supervising micro-enterprises. Small Business Economics, 57, 821–834.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 27 Mei 2025
Pendahuluan: Kenapa Iklim Keselamatan di Konstruksi Sangat Penting?
Industri konstruksi di seluruh dunia dikenal sebagai salah satu sektor paling berisiko tinggi terhadap kecelakaan kerja. Di negara berkembang seperti Pakistan, tantangan keselamatan semakin kompleks akibat lemahnya regulasi, minimnya pengawasan, dan rendahnya kesadaran budaya K3. Penelitian Tauha Hussain Ali (2006) dari Griffith University menjadi salah satu referensi penting yang membedah secara komprehensif hubungan antara budaya nasional, perilaku pekerja, dan praktik manajemen terhadap iklim keselamatan di sektor konstruksi Pakistan.
Latar Belakang dan Tujuan Penelitian
Fokus utama penelitian ini adalah memahami bagaimana budaya nasional Pakistan memengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku pekerja serta manajemen dalam hal keselamatan kerja di proyek konstruksi. Penelitian ini juga bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang membentuk iklim keselamatan dan bagaimana faktor-faktor tersebut berdampak pada perilaku aman di lapangan.
Metodologi: Survei dan Analisis Empiris
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif melalui survei kuesioner yang dibagikan kepada pekerja konstruksi dan manajer di berbagai proyek di Pakistan. Data dikumpulkan dari sejumlah besar responden yang mewakili berbagai tingkatan jabatan dan latar belakang budaya. Analisis dilakukan untuk mengukur hubungan antara variabel budaya nasional (kolektivisme, feminisme, power distance, uncertainty avoidance) dengan perilaku dan persepsi keselamatan.
Temuan Utama: Budaya Nasional dan Iklim Keselamatan
1. Tingkat Kesadaran Risiko dan Kompetensi Diri
2. Pengaruh Budaya Kolektivisme dan Uncertainty Avoidance
3. Peran Manajemen dalam Membangun Iklim Keselamatan
Studi Kasus: Proyek Konstruksi Skala Besar di Karachi
Salah satu studi kasus yang diangkat dalam penelitian ini adalah proyek pembangunan infrastruktur di Karachi. Dalam proyek ini, survei menunjukkan:
Angka-Angka Kunci dari Penelitian
Analisis dan Opini: Kelebihan, Kekurangan, dan Relevansi dengan Tren Global
Kelebihan penelitian ini terletak pada pendekatan interdisipliner yang menggabungkan aspek budaya, psikologi, dan manajemen dalam menganalisis K3. Peneliti berhasil membuktikan secara statistik bahwa dimensi budaya nasional sangat memengaruhi perilaku aman dan efektivitas manajemen K3.
Namun, ada beberapa keterbatasan:
Dibandingkan dengan tren global, temuan ini sejalan dengan studi di negara berkembang lain yang menekankan pentingnya pendekatan budaya dalam membangun sistem K3 yang efektif. Negara seperti Indonesia, India, dan Bangladesh menghadapi tantangan serupa: lemahnya regulasi, rendahnya pelaporan insiden, dan kurangnya pelatihan berkualitas.
Implikasi untuk Industri dan Platform Pembelajaran
Penelitian ini sangat relevan untuk pengembangan platform pembelajaran K3 di sektor konstruksi. Berikut beberapa rekomendasi yang dapat diadopsi:
Hubungan dengan Tren Industri dan Penelitian Lain
Penelitian ini memperkuat argumen bahwa budaya organisasi dan nasional harus menjadi pertimbangan utama dalam merancang program K3. Studi serupa di Tiongkok dan Timur Tengah juga menunjukkan bahwa keberhasilan sistem K3 sangat dipengaruhi oleh sejauh mana nilai-nilai budaya diintegrasikan dalam proses manajemen.
Dengan meningkatnya globalisasi dan mobilitas tenaga kerja, platform pembelajaran K3 harus mampu beradaptasi dengan berbagai latar belakang budaya agar pelatihan lebih efektif dan diterima oleh pekerja di lapangan.
Kesimpulan: Membangun Iklim Keselamatan yang Berkelanjutan
Membangun iklim keselamatan yang positif di industri konstruksi Pakistan tidak cukup hanya dengan regulasi dan prosedur teknis. Diperlukan perubahan paradigma yang menempatkan budaya nasional, perilaku kolektif, dan partisipasi aktif pekerja sebagai inti dari strategi K3.
Investasi pada pelatihan berbasis budaya, komunikasi dua arah, dan kepemimpinan partisipatif terbukti mampu menurunkan angka kecelakaan dan meningkatkan kinerja keselamatan. Penelitian ini memberikan landasan kuat bagi perusahaan, regulator, dan platform pembelajaran untuk merancang intervensi yang lebih efektif dan berkelanjutan di masa depan.
Sumber asli artikel: Ali, T. H. (2006). Construction Safety Climate in Pakistan. Griffith University.
Konstruksi Berkelanjutan
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025
Pendahuluan: Krisis Lingkungan dan Desakan akan Konstruksi Berkelanjutan
Industri konstruksi global menyumbang sekitar 38% emisi gas rumah kaca dan mengonsumsi lebih dari 30% sumber daya alam dunia. Indonesia, sebagai negara berkembang dengan pembangunan infrastruktur yang pesat, menghadapi tekanan untuk mengadopsi praktik konstruksi berkelanjutan. Namun, realitas menunjukkan bahwa adopsi konsep ini masih minim. Studi oleh Fitriani dan Ajayi (2022) mengangkat permasalahan ini secara sistematis dan empiris, menggali hambatan-hambatan utama yang menghambat praktik keberlanjutan di industri konstruksi Indonesia.
Metodologi: Analisis Statistik Berbasis Kuesioner
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menyebar kuesioner ke 1.000 profesional konstruksi, menghasilkan 487 respons valid. Data dianalisis dengan Exploratory Factor Analysis (EFA) untuk mengidentifikasi faktor-faktor laten yang menghambat implementasi keberlanjutan.
Hasil: Delapan Faktor Penghambat Utama
Dari analisis statistik, ditemukan delapan kelompok hambatan utama:
1. Kurangnya Pengetahuan dan Standar: Variabel ini menyumbang 17,5% dari total variasi. Kekosongan informasi dan ketidaktersediaan panduan teknis menjadi hambatan terbesar.
2. Desain yang Buruk: Kurangnya tim desain yang kompeten dan rendahnya pemahaman terhadap dampak lingkungan dari desain bangunan.
3. Keterbatasan Finansial: Ketakutan terhadap biaya awal yang tinggi dan kurangnya insentif dari lembaga keuangan.
4. Kelemahan dalam Manajemen Proyek: Struktur organisasi yang lemah dan kurangnya kompetensi manajerial.
5. Kepemimpinan Proyek yang Minim: Tidak adanya tokoh penggerak dalam organisasi untuk mendorong agenda keberlanjutan.
6. Minimnya Kemauan Politik: Dukungan regulasi dan kebijakan dari pemerintah masih sangat terbatas.
7. Kendala Ekonomi: Persepsi bahwa bangunan berkelanjutan lebih mahal tanpa pertimbangan jangka panjang.
8. Tantangan Dokumentasi: Prosedur dokumentasi dan perencanaan pra-kontrak yang dianggap membebani.
Studi Kasus dan Data Pendukung
Sebagai contoh, 90% bangunan eksisting di Jakarta belum memenuhi regulasi bangunan hijau karena dibangun sebelum penerapan standar hijau (GBCI, 2019). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya integrasi regulasi sejak tahap awal proyek.
Analisis Tambahan: Dibandingkan Negara Lain
Jika dibandingkan dengan Nigeria, Vietnam, dan Malaysia, hambatan yang dihadapi Indonesia sangat mirip, terutama dalam aspek kurangnya pelatihan dan biaya investasi tinggi. Namun, Indonesia memiliki karakter unik dalam hal lemahnya kemauan politik dan rendahnya sinergi antar pemangku kepentingan.
Rekomendasi Strategis
Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, studi ini merekomendasikan:
1. Peningkatan Literasi Keberlanjutan
2. Reformasi Desain dan Perencanaan Proyek
3. Insentif Finansial dan Subsidi Hijau
4. Penguatan Regulasi dan Komitmen Politik
5. Peran Aktif Pemimpin Proyek dan Kolaborasi Multi-Stakeholder
Dampak Praktis: Apa yang Bisa Dilakukan Sekarang?
Kesimpulan: Dari Hambatan ke Peluang
Studi ini bukan hanya memetakan masalah, tetapi juga membuka peluang transformasi. Jika pemerintah, industri, dan akademisi bisa bersinergi, maka konstruksi berkelanjutan di Indonesia bukan sekadar idealisme, melainkan keniscayaan.
Penelitian ini dapat diakses di Journal of Environmental Planning and Management melalui DOI berikut: https://doi.org/10.1080/09640568.2022.2057281
Administrasi Publik
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025
Pendahuluan
Dalam konteks administrasi publik, koordinasi menjadi pondasi penting bagi terciptanya pemerintahan yang efisien dan efektif. Namun, meskipun telah menjadi topik klasik, isu koordinasi justru semakin krusial di tengah kompleksitas kebijakan lintas sektor dan desentralisasi birokrasi. Disertasi doktoral Taufik Damhuri dari University of Canberra, berjudul "Factors That Influence Success or Failure of Coordination Practices in the Central Government of Indonesia" (2021), menelaah secara mendalam praktik koordinasi di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI. Fokus utamanya: mengapa upaya koordinasi sering gagal dan bagaimana meningkatkan keberhasilannya.
Latar Belakang
Pasca krisis ekonomi 1997 dan kejatuhan rezim Orde Baru, Indonesia mengadopsi reformasi birokrasi bergaya New Public Management (NPM). Model ini menekankan spesialisasi lembaga, pemisahan fungsi kebijakan dan pelaksanaan, serta dorongan pada kinerja dan akuntabilitas. Meskipun menghasilkan kemajuan signifikan, seperti penurunan korupsi dan peningkatan layanan publik, reformasi ini juga melahirkan tantangan koordinasi yang kompleks akibat meningkatnya sekat-sekat (silo) kelembagaan.
Tujuan dan Metode Penelitian
Damhuri mengkaji tujuh praktik koordinasi di Kemenkeu yang mencerminkan lima jenis koordinasi berdasarkan kompleksitas:
Melalui pendekatan kualitatif interpretatif, studi ini menggunakan data primer dari 40 wawancara semi-terstruktur dan data sekunder berupa dokumen internal kementerian. Analisis dilakukan secara longitudinal dan tematik berdasarkan kerangka teoritik dari literatur koordinasi, seperti model Ansell & Gash (2008), Emerson et al. (2011), dan Bryson et al. (2006).
Hasil Temuan Utama
1. Koordinasi Sukses vs Gagal: Hubungan dengan Kompleksitas
Studi ini menemukan hubungan berbentuk kurva lonceng antara kompleksitas koordinasi dan tingkat keberhasilan. Praktik dengan tingkat kompleksitas menengah (misalnya berbagi tanggung jawab) justru lebih sering berhasil dibandingkan koordinasi yang terlalu sederhana atau terlalu kompleks (misalnya integrasi struktural).
2. Faktor Kunci Penentu Keberhasilan Koordinasi
3. Studi Kasus Menarik
4. Budaya Silo dan Ketergantungan Aktor
Kemenkeu yang terdiri atas banyak direktorat jenderal (eselon I) menunjukkan budaya "silo" yang kuat. Setiap unit bekerja dengan otonomi tinggi, yang menyebabkan kolaborasi menjadi tantangan. Teori ketergantungan kekuasaan (power-dependence theory) relevan menjelaskan relasi asimetris ini, di mana unit yang kuat cenderung enggan berkoordinasi kecuali mendapat insentif atau tekanan politik.
Analisis dan Opini
Kelebihan Penelitian
Kritik dan Keterbatasan
Perbandingan Internasional
Dalam konteks global, praktik koordinasi di negara OECD lebih didukung oleh kapasitas teknis, sistem merit, dan stabilitas politik. Sebaliknya, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam bentuk rendahnya trust antar-aktor, ketergantungan pada figur pemimpin, serta lemahnya sistem pengawasan.
Implikasi Praktis
Rekomendasi Strategis
1. Bangun budaya kolaborasi: melalui pelatihan lintas unit dan kampanye internal.
2. Revitalisasi unit koordinasi: beri mereka otoritas dan sumber daya memadai.
3. Adopsi model koordinasi bertingkat: kombinasi pendekatan hirarkis dan negosiasi horizontal.
4. Gunakan teknologi sebagai enabler: sistem data terpadu antar direktorat.
5. Cegah ketimpangan kekuasaan antar unit: dengan mengembangkan sistem audit independen dan mekanisme umpan balik dua arah.
6. Fasilitasi forum lintas direktorat: untuk diskusi informal yang dapat memperkuat jejaring kerja.
Kesimpulan
Koordinasi bukan hanya soal struktur, tetapi tentang manusia, insentif, dan legitimasi. Disertasi ini menunjukkan bahwa keberhasilan koordinasi dalam birokrasi Indonesia bergantung pada keseimbangan antara kompleksitas, fleksibilitas, dan dukungan politik. Untuk menciptakan pemerintahan yang lebih terkoordinasi, diperlukan kombinasi antara desain kelembagaan yang tepat dan pengelolaan aktor yang cermat.
Sumber:
Damhuri, Taufik. (2021). Factors That Influence Success or Failure of Coordination Practices in the Central Government of Indonesia [Doctoral dissertation, University of Canberra]. https://doi.org/10.26191/f1ch-hb45
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025
Pendahuluan: Korupsi dan Pembangunan, Dua Kutub yang Saling Bertentangan
Indonesia sebagai negara berkembang sangat bergantung pada pembangunan infrastruktur untuk memperkuat fondasi ekonominya. Namun, proses pembangunan seringkali diwarnai dengan praktik korupsi, terutama dalam proyek-proyek konstruksi yang melibatkan anggaran besar dan banyak pihak. Studi dari Felix Hidayat dan Sherly Mulyanto (2017) mencoba membedah anatomi korupsi dalam proyek konstruksi di Indonesia, mengungkap karakteristik, pola, serta dampaknya dengan pendekatan grounded theory.
Karakteristik Umum Proyek Konstruksi yang Terkorupsi
Berdasarkan analisis terhadap 15 putusan Mahkamah Agung terkait korupsi di sektor konstruksi, ditemukan pola menarik:
Titik Rawan Korupsi: Fase Pelaksanaan Proyek
Dari studi ini terungkap bahwa fase pelaksanaan konstruksi adalah momen paling rentan terhadap praktik korupsi. Bentuk korupsi paling umum adalah ketidaksesuaian volume pekerjaan dengan laporan progres, yang berdampak pada pembayaran yang tidak sesuai. Ini diperparah dengan adanya berita acara fiktif dan laporan rekayasa.
Pihak paling sering terlibat adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), karena mereka memiliki wewenang atas verifikasi pekerjaan fisik dan persetujuan pembayaran.
Menariknya, intervensi masyarakat juga ditemukan sebagai faktor eksternal yang signifikan, terutama pada proyek-proyek di daerah terpencil seperti Nusa Tenggara dan Papua. Di wilayah ini, pengaruh budaya lokal dan lemahnya infrastruktur memperbesar risiko manipulasi.
Dampak Teknis dan Hukum Korupsi Proyek
Korupsi pada proyek konstruksi tidak hanya menyebabkan kerugian finansial, tetapi juga gagalnya fungsi bangunan:
Dari sisi hukum, vonis rata-rata untuk pelaku korupsi adalah 44,8 bulan penjara dan denda USD 10.716. Nilai ini tidak sebanding dengan kerugian proyek yang mencapai 16,7% hingga 33,4% dari nilai kontrak. Bahkan, di beberapa wilayah, seperti Papua, kerugian bisa mencapai 80% dari total anggaran.
Pola Korupsi: Sebuah Rantai Sistemik
Penelitian ini menyusun urutan tindakan korupsi sebagai berikut:
1. Penetapan volume kerja fiktif atau melebihi kenyataan.
2. Manipulasi laporan progres untuk menyesuaikan dengan pembayaran.
3. Pengesahan pembayaran oleh PPK berdasarkan dokumen palsu.
4. Pembiaran dari pengawas atau konsultan yang berperan pasif.
Pola ini menunjukkan bahwa korupsi bukanlah tindakan individu semata, tetapi merupakan konspirasi sistemik yang melibatkan banyak aktor.
Perspektif Kritis dan Komparatif
Jika dibandingkan dengan studi oleh Le et al. (2014) di Tiongkok, Indonesia menunjukkan pola yang mirip, terutama pada:
Namun, studi di Indonesia menambahkan satu faktor penting: intervensi eksternal, seperti tekanan budaya lokal dan kondisi geografis yang menyulitkan pengawasan.
Solusi dan Rekomendasi Praktis
Berdasarkan temuan ini, berikut rekomendasi untuk berbagai pemangku kepentingan:
Untuk Pemerintah:
Untuk Kontraktor:
Untuk Akademisi:
Penutup: Integritas adalah Fondasi Pembangunan
Korupsi dalam proyek konstruksi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita pembangunan. Studi oleh Hidayat dan Mulyanto menunjukkan bahwa membenahi sektor konstruksi tidak cukup hanya dengan penguatan teknis, tetapi juga penanaman nilai integritas di seluruh lapisan pelaku.
Penelitian ini dapat diakses di MATEC Web of Conferences, SICEST 2016 melalui tautan resmi: https://doi.org/10.1051/matecconf/201710105018