Waste-to-Energy di Bangladesh: Antara Janji Circular Economy dan Dilema Kebijakan Energi

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

23 Desember 2025, 13.23

1. Pendahuluan: Waste-to-Energy dalam Persimpangan Pembangunan dan Lingkungan

Dalam bab yang ditulis oleh Sakib Amin, Tooraj Jamasb, Manuel Llorca, Laura Marsiliani, dan Thomas I. Renström, waste-to-energy (WTE) diposisikan sebagai salah satu opsi strategis untuk menjawab dua tekanan utama yang dihadapi Bangladesh: meningkatnya kebutuhan energi dan krisis pengelolaan sampah perkotaan. Dalam konteks negara berkembang dengan kepadatan penduduk tinggi, kedua masalah ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling memperkuat.

Pendekatan WTE menawarkan narasi win–win: sampah yang sebelumnya menjadi beban lingkungan dapat diubah menjadi sumber energi listrik, sekaligus mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil impor. Dalam kerangka circular economy, WTE sering dipandang sebagai cara untuk menutup siklus material, terutama ketika opsi daur ulang dan penggunaan ulang menghadapi keterbatasan pasar dan infrastruktur.

Namun, sejak awal penulis bersikap hati-hati. WTE tidak secara otomatis sejalan dengan prinsip circular economy. Jika diterapkan tanpa perencanaan yang matang, WTE justru berisiko mengunci sistem pengelolaan sampah pada teknologi yang mengutamakan pembakaran dibanding pencegahan dan daur ulang. Dengan kata lain, WTE dapat menjadi solusi pragmatis jangka pendek, tetapi problematis secara struktural jika tidak ditempatkan dengan tepat dalam hierarki pengelolaan sampah.

Pendahuluan bab ini menegaskan bahwa tantangan utama Bangladesh bukan sekadar memilih teknologi, melainkan menentukan peran WTE dalam strategi pembangunan energi dan lingkungan secara keseluruhan. Apakah WTE menjadi pelengkap bagi sistem sirkular, atau justru pengganti yang melemahkan upaya pengurangan sampah di hulu, menjadi pertanyaan kunci yang membingkai analisis selanjutnya.

 

2. Karakteristik Sampah dan Potensi Energi: Peluang yang Datang dengan Batasan

Analisis dalam bab ini menunjukkan bahwa struktur sampah di Bangladesh memiliki implikasi langsung terhadap kelayakan WTE. Sampah perkotaan didominasi oleh fraksi organik, terutama limbah rumah tangga dan sisa makanan. Dari sudut pandang circular economy, dominasi organik ini membuka peluang bagi teknologi seperti anaerobic digestion dan gasification, yang lebih selaras dengan prinsip pemulihan sumber daya dibandingkan insinerasi konvensional.

Namun, karakteristik tersebut juga menghadirkan batasan serius. Kandungan organik yang tinggi berarti nilai kalor sampah relatif rendah dibandingkan negara maju. Hal ini membatasi efisiensi pembangkitan listrik, terutama jika teknologi yang digunakan tidak dirancang khusus untuk kondisi tersebut. Penulis menekankan bahwa banyak kegagalan proyek WTE di negara berkembang berakar pada ketidakcocokan antara komposisi sampah dan pilihan teknologi.

Dari sisi energi nasional, potensi WTE tetap signifikan. Volume sampah perkotaan yang besar dan terus meningkat menciptakan basis input yang stabil bagi pembangkit listrik berbasis limbah. Dalam konteks diversifikasi bauran energi, WTE dapat berperan sebagai sumber energi domestik yang mengurangi tekanan impor bahan bakar fosil. Namun, kontribusi ini tidak boleh dilebih-lebihkan; WTE bukan pengganti utama energi fosil, melainkan sumber pelengkap dengan fungsi strategis tertentu.

Bab ini juga menggarisbawahi pentingnya pemilahan sampah. Tanpa pemisahan yang memadai antara fraksi organik, plastik, dan residu lainnya, WTE berisiko menghasilkan emisi yang lebih tinggi dan merusak insentif daur ulang. Dalam kerangka circular economy, WTE hanya dapat dibenarkan jika menggunakan residual waste—sampah yang memang tidak layak untuk didaur ulang atau digunakan kembali.

Section ini menegaskan bahwa potensi WTE di Bangladesh nyata, tetapi bersyarat. Kelayakannya tidak hanya ditentukan oleh volume sampah, melainkan oleh kualitas pengelolaan sistem yang menghubungkan pengumpulan, pemilahan, teknologi, dan kebijakan energi. Tanpa integrasi tersebut, WTE berisiko menjadi solusi mahal dengan manfaat sirkular yang terbatas.

 

3. Pilihan Teknologi WTE: Insinerasi, Alternatif Biologis, dan Implikasi Sirkularitas

Dalam pembahasan teknologi, Amin, Jamasb, Llorca, Marsiliani, dan Renström menekankan bahwa keputusan teknologi menentukan apakah WTE memperkuat atau justru melemahkan circular economy. Insinerasi konvensional sering menjadi pilihan karena kematangan teknologi dan kemampuannya menangani volume sampah besar. Namun, untuk konteks Bangladesh, penulis menilai insinerasi menghadapi dua masalah utama: ketidakcocokan dengan komposisi sampah dan risiko penguncian teknologi.

Komposisi sampah yang didominasi fraksi organik dengan kadar air tinggi menurunkan efisiensi insinerasi dan meningkatkan kebutuhan pra-pengolahan atau bahan bakar tambahan. Hal ini berdampak langsung pada biaya dan emisi. Lebih jauh, investasi besar pada insinerasi berkapasitas tinggi dapat menciptakan insentif kebijakan yang kontraproduktif—pemerintah dan operator terdorong “memastikan pasokan sampah” agar fasilitas tetap beroperasi optimal, sehingga pencegahan dan daur ulang menjadi subordinat.

Sebagai alternatif, penulis menyoroti teknologi biologis seperti anaerobic digestion (AD) yang lebih selaras dengan karakteristik sampah organik Bangladesh. AD memungkinkan pemulihan energi dalam bentuk biogas sekaligus menghasilkan digestate yang berpotensi dimanfaatkan sebagai pupuk. Dari sudut pandang circular economy, pendekatan ini lebih dekat dengan prinsip pemulihan nilai material dan nutrien.

Namun, teknologi biologis juga memiliki keterbatasan. Ia menuntut pemilahan yang lebih ketat dan sistem pengumpulan yang konsisten. Tanpa infrastruktur pemilahan di sumber, kualitas input menjadi tidak stabil dan kinerja fasilitas menurun. Penulis menegaskan bahwa tidak ada teknologi netral kebijakan: setiap pilihan teknologi mensyaratkan perubahan sistemik pada hulu pengelolaan sampah.

Section ini menegaskan bahwa perdebatan WTE bukan sekadar soal efisiensi teknis, melainkan soal arah sistem pengelolaan sampah. Teknologi yang dipilih akan membentuk insentif jangka panjang—apakah mendorong pencegahan dan daur ulang, atau justru mengunci sistem pada solusi pembakaran.

 

4. Implikasi Ekonomi dan Lingkungan: Manfaat Terbatas dan Trade-off Kebijakan

Analisis ekonomi dalam bab ini menunjukkan bahwa manfaat WTE di Bangladesh bersifat terbatas dan kontekstual. Dari sisi energi, kontribusi WTE terhadap bauran listrik nasional relatif kecil dibandingkan pembangkit konvensional. Namun, nilai strategisnya terletak pada reduksi biaya eksternal—pengurangan volume sampah yang ditimbun, penurunan emisi metana dari TPA, dan perbaikan kondisi sanitasi perkotaan.

Di sisi lain, biaya investasi dan operasional WTE relatif tinggi. Tanpa dukungan kebijakan—seperti tarif listrik khusus, jaminan pasokan sampah, atau subsidi—banyak proyek WTE sulit mencapai kelayakan finansial. Penulis memperingatkan bahwa dukungan kebijakan yang berlebihan justru dapat mengaburkan trade-off, membuat WTE tampak lebih menarik dibanding opsi pencegahan dan daur ulang yang secara sosial lebih menguntungkan.

Dari perspektif lingkungan, penilaian WTE harus mempertimbangkan emisi siklus hidup. Jika WTE menggantikan pembuangan terbuka atau TPA yang tidak terkelola, manfaat lingkungan bisa signifikan. Namun, jika WTE menggantikan opsi daur ulang atau komposting yang layak, manfaatnya menjadi ambigu atau bahkan negatif. Dengan kata lain, dampak WTE sangat bergantung pada counterfactual—apa yang sebenarnya digantikan oleh teknologi tersebut.

Bab ini juga menekankan pentingnya koherensi kebijakan energi dan sampah. WTE sering berada di persimpangan dua rezim kebijakan yang berbeda, dengan tujuan dan insentif yang tidak selalu sejalan. Tanpa koordinasi, kebijakan energi dapat mendorong ekspansi WTE, sementara kebijakan lingkungan berupaya mengurangi pembakaran. Ketegangan ini memperlemah efektivitas circular economy secara keseluruhan.

Section ini menyimpulkan bahwa WTE bukan solusi ajaib, melainkan opsi kebijakan dengan trade-off yang jelas. Nilainya terletak pada perannya sebagai pelengkap dalam sistem yang memprioritaskan pencegahan, pemilahan, dan daur ulang—bukan sebagai substitusi dari prinsip-prinsip tersebut.

 

5. Implikasi Kebijakan: Menempatkan WTE secara Tepat dalam Strategi Circular Economy

Berdasarkan analisis Amin, Jamasb, Llorca, Marsiliani, dan Renström, implikasi kebijakan utama adalah kebutuhan untuk menempatkan WTE secara proporsional dalam hierarki pengelolaan sampah. WTE tidak seharusnya menjadi pusat strategi circular economy, melainkan opsi pelengkap yang hanya diterapkan pada residual waste—sampah yang tidak layak dicegah, digunakan kembali, atau didaur ulang.

Implikasi pertama adalah prioritisasi pencegahan dan pemilahan di sumber. Tanpa pemilahan yang memadai, WTE berisiko mengkonsumsi material yang seharusnya didaur ulang atau dikomposkan. Kebijakan perlu mengaitkan pengembangan WTE dengan target pemilahan minimum dan standar kualitas input yang ketat. Pendekatan ini menjaga agar WTE tidak merusak insentif sirkular di hulu.

Implikasi kedua menyangkut keselarasan kebijakan energi dan lingkungan. Insentif energi—seperti tarif listrik atau jaminan pembelian—harus dirancang agar tidak mendorong overkapasitas WTE. Penulis menekankan bahwa dukungan kebijakan sebaiknya bersifat conditional: WTE mendapat dukungan hanya jika memenuhi kriteria lingkungan dan tidak menghambat pencapaian target daur ulang.

Implikasi ketiga adalah pemilihan teknologi yang kontekstual. Mengingat dominasi fraksi organik, kebijakan perlu mendorong teknologi yang lebih selaras secara sirkular, seperti pengolahan biologis, sembari membatasi penerapan insinerasi skala besar yang berpotensi menciptakan penguncian teknologi. Pendekatan bertahap memungkinkan pembelajaran kebijakan dan penyesuaian teknologi seiring peningkatan kapasitas pemilahan.

Section ini menegaskan bahwa kebijakan WTE yang efektif bukan soal mempercepat adopsi teknologi, melainkan mengelola trade-off agar tujuan energi, lingkungan, dan circular economy tidak saling meniadakan.

 

6. Kesimpulan: WTE sebagai Solusi Terbatas dalam Transisi Sirkular

Artikel ini menunjukkan bahwa WTE di Bangladesh menawarkan peluang nyata untuk mengurangi tekanan sampah dan memberikan kontribusi tambahan pada pasokan energi. Namun, seperti ditunjukkan oleh Amin dan rekan-rekan, peluang tersebut bersifat terbatas dan bersyarat. WTE tidak dapat—dan tidak seharusnya—diposisikan sebagai solusi utama circular economy.

Nilai WTE terletak pada kemampuannya menangani residu yang tersisa setelah upaya pencegahan, pemilahan, dan daur ulang dilakukan secara maksimal. Ketika ditempatkan di luar kerangka ini, WTE berisiko menggeser sistem pengelolaan sampah ke arah yang kurang sirkular, mengunci investasi pada teknologi pembakaran, dan melemahkan insentif hulu.

Pelajaran kunci dari kasus Bangladesh adalah pentingnya koherensi kebijakan dan disiplin prioritas. Circular economy bukan kumpulan teknologi, melainkan arsitektur kebijakan yang mengatur urutan pilihan. WTE dapat berperan positif jika tunduk pada arsitektur tersebut—bukan menggantikannya.

Dengan demikian, WTE sebaiknya dipahami sebagai instrumen transisi, bukan tujuan akhir. Keberhasilan circular economy di negara berkembang tidak diukur dari seberapa cepat teknologi WTE dibangun, tetapi dari sejauh mana sistem secara keseluruhan bergerak menuju pencegahan limbah, pemulihan nilai material, dan pengurangan dampak lingkungan secara berkelanjutan.

 

 

Daftar Pustaka

Amin, S., Jamasb, T., Llorca, M., Marsiliani, L., & Renström, T. I. (2022). The case of waste-to-energy in Bangladesh. Dalam Transitioning to a Circular Economy in Developing Asia. Tokyo: Asian Development Bank Institute.

Ghisellini, P., Cialani, C., & Ulgiati, S. (2016). A review on circular economy. Journal of Cleaner Production, 114, 11–32.

Geyer, R., Jambeck, J. R., & Law, K. L. (2017). Production, use, and fate of all plastics ever made. Science Advances, 3(7), e1700782.

IEA Bioenergy. (2018). Waste-to-energy and circular economy. Paris: International Energy Agency.

Wilson, D. C., Velis, C. A., & Cheeseman, C. (2006). Role of informal sector recycling in waste management. Habitat International, 30(4), 797–808.