Upaya Kolaborasi Indonesia dan Thailand Menghadapi Penurunan Harga Karet dan Peraturan Anti-Deforestasi Uni Eropa

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani

22 April 2024, 13.20

jakartaglobe.id

Jakarta. Indonesia berusaha untuk bermitra dengan sesama produsen karet, Thailand, di tengah-tengah pergulatan negara ini dengan anjloknya harga karet dan peluncuran undang-undang anti-deforestasi oleh Uni Eropa.

Perdagangan karet menjadi salah satu agenda utama dalam pertemuan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dengan Ketua Parlemen Thailand Wan Muhamad Noor Matha baru-baru ini. 

Menurut Zulkifli, Thailand dan Indonesia adalah dua negara penghasil karet terbesar di dunia. Namun, masalah datang silih berganti: mulai dari jatuhnya harga karet hingga komoditas ini terkena Peraturan Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR).

"Thailand dan Indonesia adalah produsen karet terkemuka di dunia yang menghadapi situasi yang sama akibat harga karet alam dunia yang terus berfluktuasi selama satu dekade terakhir," ujar Zulkifli seperti dikutip dalam sebuah pernyataan pers baru-baru ini.

Zulkifli mengatakan bahwa harga karet telah mengalami penurunan tajam. Pada tanggal 9 Agustus, harga karet mencapai $133,36 per kilogram. Menteri menambahkan bahwa penyakit gugur daun karet juga memberikan pukulan yang fatal pada produksi, sehingga sulit untuk mendorong harga ke tingkat yang menguntungkan.

Penurunan harga dapat mendorong para petani karet untuk beralih ke komoditas lain. Hal ini dapat mengakibatkan ketatnya pasokan karet alam di masa depan, menurut Zulkifli. 

Ia juga menyerukan kolaborasi antara anggota Dewan Karet Tripartit Internasional (ITRC), yaitu: Thailand, Indonesia, dan Malaysia. Dewan ini, yang menyumbang 58 persen dari produksi karet global, mengupayakan harga yang adil dan layak bagi para petani. 

Dewan ini memiliki sejumlah instrumen untuk menjaga harga, antara lain, skema tonase ekspor yang disepakati (AETS) yang membatasi ekspor karet. Instrumen lain termasuk skema manajemen pasokan (SMS) dan skema promosi permintaan (DPS) yang bertujuan untuk meningkatkan konsumsi karet dalam negeri.

"ITRC juga bekerja sama dengan para eksportir karet lainnya, termasuk Vietnam dan Filipina, untuk menaikkan harga," tambah Zulkifli.

Pada tahun 2022, Indonesia merupakan produsen karet terbesar kedua di dunia setelah Thailand, dengan pangsa pasar sebesar 21,57 persen. Indonesia mengekspor karet alam senilai 3,66 juta dolar AS pada tahun 2022, menandai penurunan 11,35 persen dari 4,12 juta dolar AS yang tercatat pada tahun sebelumnya. Ekspor karet alam Indonesia berada dalam tren penurunan sebesar 1,4 persen pada tahun 2018-2022, demikian yang dilaporkan oleh Kementerian Perdagangan.

Karet - bersama dengan minyak kelapa sawit - adalah salah satu komoditas yang diatur oleh EUDR. Dengan kata lain, eksportir harus membuktikan bahwa karet mereka tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi jika mereka ingin memasuki pasar Uni Eropa.

Indonesia telah berusaha untuk melunakkan sikap Uni Eropa, meskipun negosiasinya memberikan penekanan yang lebih tinggi pada minyak kelapa sawit. Indonesia, sesama produsen minyak kelapa sawit, Malaysia, dan Uni Eropa baru-baru ini sepakat untuk membentuk satuan tugas gabungan ad hoc untuk mengidentifikasi solusi praktis bagi implementasi EUDR.

Disadur dari: jakartaglobe.id