Transisi Energi dan Tantangan Global: Jalan Panjang Menuju Masa Depan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Hansel

04 September 2025, 13.34

pexels.com

Pendahuluan: Energi sebagai Nadi Kehidupan

Bayangkan sebuah kota besar yang hidup 24 jam tanpa henti. Jalan raya dipenuhi kendaraan, gedung-gedung tinggi menyala terang hingga larut malam, dan pabrik-pabrik beroperasi siang-malam tanpa henti. Semua denyut kehidupan ini bertumpu pada satu hal: energi. Namun, di balik kemegahan itu, ada kenyataan yang semakin sulit diabaikan. Sumber energi utama dunia batu bara, minyak, dan gas bukan hanya terbatas, tetapi juga meninggalkan jejak karbon yang berat bagi bumi. Energi adalah darah yang mengalir dalam nadi peradaban modern. Dari lampu rumah sederhana hingga mesin industri raksasa, dari transportasi publik hingga jaringan internet, semua bergantung pada ketersediaan energi. Namun, di balik kenyamanan itu, dunia kini menghadapi sebuah ironi: kebutuhan energi terus meningkat, sementara sumber-sumber tradisional yang kita andalkan kian menimbulkan masalah serius bagi lingkungan dan masa depan bumi.

Sebuah penelitian komprehensif terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional menyuguhkan gambaran nyata tentang persoalan ini. Peneliti menyoroti betapa ketergantungan pada bahan bakar fosil masih mendominasi, meski wacana energi terbarukan semakin nyaring terdengar di ruang publik. Lebih dari 70% konsumsi energi dunia masih berasal dari fosil, sementara kontribusi energi terbarukan belum lebih dari seperlima total kebutuhan global. Artinya, kita baru “mengisi baterai” bumi sekitar 20%, padahal tuntutan konsumsi sudah mencapai 100%. Artikel ini mencoba memaparkan hasil riset tersebut dengan gaya populer, agar publik luas bisa memahami: mengapa isu energi bukan sekadar soal listrik yang menyala atau bensin yang tersedia di SPBU, tetapi tentang masa depan kehidupan umat manusia. Para peneliti menyoroti bahwa dunia kini berada di titik kritis. Transisi energi bukan lagi pilihan jangka panjang, melainkan kebutuhan mendesak. Ketergantungan pada energi fosil telah membawa konsekuensi serius: perubahan iklim, pencemaran udara, hingga ketidakstabilan harga energi yang berdampak pada ekonomi global. Dari krisis listrik di Eropa saat musim dingin hingga polusi parah di kota-kota Asia, bukti nyata sudah terpampang di depan mata

Lalu, apa yang membuat transisi energi hijau berjalan lamban? Apa yang mengejutkan dari temuan penelitian ini? Siapa yang paling terdampak, dan mengapa temuan ini relevan untuk negara seperti Indonesia? Mari kita bedah lebih jauh.

Mengapa Energi Terbarukan Menjadi Keharusan?

Ketika bicara soal energi, isu terbesar yang tak bisa dihindari adalah perubahan iklim. Data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa emisi karbon global terus mencatatkan rekor, dan sektor energi menjadi penyumbang terbesar. Kontribusi energi fosil terhadap pemanasan global begitu besar hingga setiap keterlambatan dalam transisi sama artinya dengan menambah beban bumi puluhan tahun ke depan.

Sejarah energi modern selalu identik dengan fosil. Revolusi industri abad ke-18 hingga ke-19 ditopang oleh batu bara. Masuk abad ke-20, minyak bumi menjadi primadona, diikuti gas alam yang lebih “bersih” tetapi tetap berkarbon. Sumber energi ini memberikan fondasi pembangunan ekonomi global. Namun, sejak lama pula ilmuwan mengingatkan bahwa cadangan fosil tidak abadi dan dampaknya terhadap lingkungan sangat berbahaya.

Data dalam riset menunjukkan, lebih dari 80% kebutuhan energi global masih dipenuhi oleh bahan bakar fosil. Angka ini ibarat menggambarkan rumah tangga besar yang masih bergantung pada dapur tua berbahan kayu bakar, padahal sudah ada kompor gas dan listrik yang lebih bersih. Dunia tahu harus beralih, tetapi kebiasaan lama terlalu sulit ditinggalkan begitu saja. Bagi para peneliti, kenyataan bahwa energi terbarukan baru mampu menyumbang sekitar 20% kebutuhan dunia merupakan peringatan keras. Perlu diingat, angka ini tidak tersebar merata. Negara maju relatif lebih agresif membangun infrastruktur hijau, sementara negara berkembang masih tertatih karena terbatasnya dana, teknologi, dan dukungan kebijakan.

Ketergantungan ini diperparah oleh infrastruktur yang sudah terbentuk puluhan tahun. Jaringan listrik, pipa gas, hingga kilang minyak didesain untuk melayani energi fosil. Beralih ke energi terbarukan berarti membongkar sebagian besar sistem lama dan membangun yang baru, sebuah tantangan besar baik secara teknis maupun ekonomi.

Jika diibaratkan, dunia seakan sedang mengisi tangki air raksasa untuk memadamkan kebakaran besar. Sayangnya, sebagian besar ember masih bocor atau bahkan kosong. Energi hijau sudah ada, tetapi belum cukup cepat dan kuat untuk mengimbangi kebutuhan.

Cerita di Balik Data: Realitas yang Mengejutkan

Salah satu hal yang membuat riset ini penting adalah cara peneliti menekankan skala urgensi transisi energi. Mereka menemukan bahwa meskipun teknologi energi terbarukan sudah berkembang pesat—panel surya semakin murah, turbin angin semakin efisien—tingkat adopsinya masih jauh dari cukup untuk menekan laju perubahan iklim.

Data yang diolah menunjukkan bahwa kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi global baru sekitar 20%. Bandingkan dengan kebutuhan dekarbonisasi yang menuntut angka minimal 60–70% dalam beberapa dekade ke depan. Jurang kesenjangan inilah yang membuat para peneliti khawatir.

Mereka menyebut kondisi ini seperti “mengejar kereta yang hampir meninggalkan stasiun”. Dunia harus berlari lebih cepat jika tidak ingin tertinggal. Dengan kata lain, meskipun ada kemajuan, laju transisi masih terlalu lambat dibanding ancaman yang semakin nyata.

Penelitian ini tidak hanya menyajikan angka, tetapi juga cerita manusia di balik data.

  • Pekerja sektor fosil yang terancam. Transisi energi bukan hanya soal teknologi baru, tetapi juga tentang nasib jutaan pekerja. Penutupan pembangkit batu bara, misalnya, berarti hilangnya ribuan pekerjaan. Tanpa program pelatihan ulang, kelompok ini menjadi korban utama.
  • Masyarakat rentan di pedesaan. Di banyak daerah, terutama negara berkembang, akses ke energi bersih masih terbatas. Ketika harga energi naik, masyarakat pedesaan yang masih mengandalkan kayu bakar atau minyak tanah justru semakin terpinggirkan.
  • Konsumen perkotaan. Di sisi lain, masyarakat kota menghadapi lonjakan harga listrik ketika pasokan energi terbarukan tidak stabil. Gangguan suplai ini menimbulkan keluhan nyata: dari biaya tagihan rumah tangga hingga harga produksi barang yang meningkat.

Dengan kata lain, krisis energi bukan hanya persoalan teknis. Ia merembes ke dapur rumah tangga, mengancam stabilitas pekerjaan, bahkan menimbulkan ketegangan sosial.

Hambatan Utama: Mengapa Transisi Masih Tersendat?

Penelitian mengidentifikasi setidaknya tiga hambatan besar yang membuat dunia masih jauh dari target energi bersih.

1. Biaya Investasi yang Tinggi

Pembangunan infrastruktur energi hijau   panel surya, turbin angin, baterai penyimpanan   membutuhkan investasi besar di awal. Negara berkembang kesulitan menyediakan dana miliaran dolar untuk proyek energi bersih, apalagi ketika kebutuhan lain seperti kesehatan dan pendidikan juga mendesak.

2. Teknologi Penyimpanan yang Belum Optimal

Meski efisiensi panel surya terus meningkat, masalah terbesar tetap pada penyimpanan energi. Tanpa baterai yang memadai, listrik dari matahari atau angin tidak bisa diandalkan 24 jam. Bayangkan memiliki keran air dengan debit besar, tetapi tanpa ember untuk menampung.

3. Resistensi Sosial dan Kebijakan

Tidak semua masyarakat serta pemerintah siap menerima perubahan. Di beberapa negara, budaya penggunaan energi tradisional masih kuat. Sementara itu, kebijakan pemerintah seringkali tidak sinkron: subsidi masih besar untuk energi fosil, sementara dukungan untuk energi bersih minim.

Analogi Kuantitatif: Dampak yang Terlihat

Penelitian memberi contoh konkret tentang besarnya dampak transisi energi. Keterlambatan 10 tahun dalam adopsi energi hijau, misalnya, setara dengan membiarkan ratusan juta kendaraan bermotor beroperasi tanpa filter emisi tambahan.

Dalam aspek efisiensi, peningkatan panel surya sebesar 43% digambarkan seperti menaikkan baterai ponsel dari 20% ke 70% hanya dalam sekali pengisian. Artinya, kemajuan teknologi bisa sangat signifikan, tetapi tanpa dukungan sistem penyimpanan, manfaatnya tidak sepenuhnya dirasakan.

Dampak Negatif Ketika Komunikasi Hilang dalam Proyek Energi

Salah satu temuan menarik adalah peran komunikasi dan koordinasi antar pemangku kepentingan. Peneliti mencatat bahwa kegagalan komunikasi dalam proyek energi sering kali menjadi biang keladi pembengkakan biaya, keterlambatan waktu, bahkan turunnya kualitas hasil.

Hal ini mirip dengan apa yang kerap terjadi di industri konstruksi: ketika informasi teknis tidak tersampaikan dengan jelas, tim lapangan bekerja dengan asumsi berbeda. Akibatnya, proyek harus diulang, biaya bertambah, dan hasil akhir tidak optimal.

Solusi yang Ditawarkan: Jalan Menuju Perubahan

Penelitian ini tidak berhenti pada diagnosis masalah, tetapi juga memberi resep jalan keluar. Beberapa strategi yang ditawarkan antara lain:

  • Investasi besar dalam riset penyimpanan energi. Baterai generasi baru menjadi kunci agar listrik terbarukan stabil sepanjang waktu.
  • Kebijakan insentif pemerintah. Pajak hijau, subsidi untuk energi bersih, serta penghentian subsidi fosil agar pasar bergerak lebih adil.
  • Program transisi pekerja. Memberikan pelatihan ulang bagi pekerja di sektor energi lama untuk memasuki industri baru.
  • Edukasi masyarakat. Membangun kesadaran bahwa energi bersih bukan sekadar isu lingkungan, tetapi juga kesejahteraan ekonomi jangka panjang.

Lalu, salah satu bagian paling menarik dari riset adalah analisis dampak berlarutnya ketergantungan pada energi fosil. Para peneliti menunjukkan bahwa biaya “tak terlihat” dari penggunaan fosil sebenarnya jauh lebih besar daripada harga pasarnya.

  • Dampak Lingkungan

Gas rumah kaca dari pembakaran fosil mempercepat pemanasan global. Peneliti menggambarkan bahwa setiap ton CO₂ yang dilepaskan ke atmosfer sama saja seperti menambahkan selimut tebal di sekitar bumi. Jika tren ini tidak dikendalikan, suhu global bisa naik hingga 2–3 derajat Celsius pada akhir abad ini. Angka itu mungkin terlihat kecil, tetapi dalam bahasa sederhana, kenaikan dua derajat bisa berarti mencairnya lapisan es di kutub, naiknya permukaan laut yang menenggelamkan pulau-pulau kecil, hingga meningkatnya frekuensi badai dan banjir besar.

  • Dampak Ekonomi

Krisis energi terbaru di Eropa menunjukkan betapa rapuhnya ekonomi ketika terlalu bergantung pada impor fosil. Harga gas melonjak hingga lima kali lipat dalam hitungan bulan, membuat biaya listrik rumah tangga dan industri ikut melambung. Dalam analogi sederhana, lonjakan harga ini seperti tiba-tiba biaya transportasi harian Anda naik lima kali lipat—tentu akan mengacaukan seluruh perencanaan keuangan.

  • Dampak Sosial

Penelitian juga menyoroti aspek sosial. Di banyak negara berkembang, subsidi energi fosil masih menjadi beban anggaran negara. Ironisnya, subsidi ini seringkali lebih banyak dinikmati oleh kelompok menengah ke atas yang konsumsi energinya lebih tinggi, ketimbang masyarakat miskin yang justru lebih rentan terhadap dampak polusi dan perubahan iklim.

Relevansi Bagi Indonesia

Meski penelitian berfokus global, relevansinya nyata bagi Indonesia. Negara ini masih mengandalkan batu bara sebagai sumber listrik utama, padahal potensi energi terbarukan sangat besar: surya, angin, panas bumi, hingga bioenergi.

Namun, Indonesia juga menghadapi hambatan klasik: biaya, infrastruktur penyimpanan, serta resistensi dari industri fosil. Belajar dari penelitian ini, jelas bahwa jika transisi energi tidak segera dipercepat, Indonesia berisiko menanggung biaya sosial, ekonomi, dan lingkungan yang lebih besar di masa depan.

Kritik Realistis

Namun, penelitian ini juga tidak sempurna. Ada beberapa catatan kritis yang perlu dipertimbangkan:

  • Fokus studi lebih banyak di wilayah perkotaan. Situasi pedesaan, yang sering menghadapi keterbatasan infrastruktur energi, belum banyak digali.
  • Data investasi energi hijau masih sangat dinamis. Apa yang relevan hari ini bisa berubah cepat dalam beberapa tahun.
  • Aspek sosial budaya belum banyak dieksplorasi. Padahal, di banyak negara, resistensi masyarakat terhadap perubahan energi justru menjadi faktor penentu.

Kesimpulan: Dari Ancaman Menjadi Peluang

Penelitian ini menyampaikan pesan tegas: krisis energi global adalah ancaman sekaligus peluang. Jika dikelola dengan benar, transisi energi bisa menciptakan dunia lebih bersih, membuka lapangan kerja baru, dan menekan biaya pembangunan jangka panjang.

Jika diterapkan secara serius, temuan ini dapat mengurangi biaya energi, mempercepat pembangunan infrastruktur, serta menjaga kualitas hidup masyarakat dalam lima tahun ke depan.

Energi bersih bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Dunia, termasuk Indonesia, kini berada di persimpangan: tetap bertahan pada cara lama yang merusak, atau berani melangkah menuju masa depan yang lebih hijau.

Sumber Artikel:

Willar, D., Trigunarsyah, B., Dewi, A. A. D. P., & Makalew, F. (2023). Evaluating quality management of road construction projects: a Delphi study. The TQM Journal, 35 (7), 2003-2027.