Transformasi Layanan Kesehatan Indonesia: Menjawab Tantangan Stunting dan Akses Teknologi Medis Modern
Indonesia berada pada fase penting transformasi kesehatan. Pemerintah menargetkan peningkatan mutu layanan, pemerataan akses, dan pergeseran paradigma dari kuratif menuju preventif. Dua isu besar menjadi pusat perhatian: upaya menurunkan stunting yang masih tinggi, serta ketersediaan alat kesehatan modern yang berperan penting dalam deteksi dini dan pencegahan penyakit. Kedua agenda ini saling terkait—status gizi menentukan kualitas kesehatan jangka panjang, sedangkan teknologi medis menentukan kemampuan fasilitas layanan mendeteksi, mengatasi, dan mencegah penyakit secara lebih efisien.
Stunting sebagai Tantangan Pembangunan Jangka Panjang
Stunting di Indonesia telah menurun dari 37,6% pada 2013 menjadi 21,5% pada 2023, namun tren ini masih jauh dari target RPJMN yang menargetkan 14% pada 2024. Data survei kesehatan terbaru menunjukkan penurunan hanya 0,1% dalam satu tahun terakhir, menandakan perlambatan yang mengkhawatirkan.
Stunting sendiri bukan sekadar persoalan tinggi badan, melainkan gangguan pertumbuhan linier pada 1.000 hari pertama kehidupan—fase yang menurut para ahli menentukan perkembangan otak hingga 92% sebelum anak berusia lima tahun. Konsekuensinya bersifat jangka panjang: rendahnya kapasitas belajar, meningkatnya risiko penyakit kronis, dan menurunnya produktivitas ekonomi ketika anak dewasa.
Di Indonesia, faktor penyebab stunting sangat beragam, mulai dari rendahnya praktik pemberian ASI eksklusif, kondisi ekonomi keluarga, kelemahan asupan protein hewani, hingga faktor ibu seperti tinggi badan dan pendidikan. Ketimpangan antarwilayah juga besar; wilayah seperti Papua dan NTT mencatat prevalensi tertinggi, mengindikasikan tantangan struktural dalam akses gizi dan layanan kesehatan. Arah kebijakan nasional melalui National Strategy for Stunting Reduction menekankan kombinasi intervensi spesifik (gizi dan kesehatan langsung) dan intervensi sensitif (air bersih, sanitasi, bantuan sosial, ketahanan pangan). Namun sejumlah indikator belum optimal, termasuk cakupan ASI eksklusif yang masih di bawah target.
Efektivitas Program dan Perdebatan Mengenai Makan Gratis
Pemerintah baru mengusulkan program makan gratis berskala nasional untuk anak sekolah, ibu hamil, dan anak balita. Program semacam ini telah diterapkan di India dan Brasil dengan jangkauan puluhan juta anak. Hasil riset internasional menunjukkan bahwa program makan sekolah dapat meningkatkan partisipasi, capaian akademik, dan kualitas diet. Namun efektivitasnya terhadap stunting tidak selalu langsung, karena sebagian besar peserta sudah melewati jendela emas 1.000 hari.
Pakar nutrisi dalam laporan menekankan bahwa makan gratis dapat bermanfaat jika dirancang dengan pendekatan berbasis bukti, misalnya: asupan protein hewani setiap hari (yang dapat menurunkan risiko stunting hingga 3,7%), suplementasi tinggi protein khusus untuk anak yang sudah stunting, serta pemantauan kualitas menu secara ketat. Belajar dari negara lain, kualitas pengolahan dan standar gizi sering menjadi titik lemah yang harus diawasi.
Isu biaya juga penting. Program makan gratis merupakan program berbiaya tinggi—Indonesia mengalokasikan hingga Rp71 triliun pada 2025. Tanpa mekanisme pemantauan yang kuat, efektivitas dan efisiensi anggaran berisiko rendah. Karena itu, laporan merekomendasikan agar fokus awal tetap diarahkan pada ibu hamil dan anak balita, bukan siswa sekolah semata.
Peran Protein Hewani, PKMK, dan Pelibatan Sektor Swasta
Penelitian menunjukkan bahwa defisit asupan asam amino esensial dari sumber hewani merupakan faktor penting dalam stunting. Intervensi berbasis susu, telur, ayam, atau ikan terbukti meningkatkan keberhasilan program pencegahan. Dari sisi medis, Processed Food for Special Medical Purposes (PKMK/FSMP) menjadi elemen penting bagi anak yang sudah mengalami stunting, karena menyediakan formula tinggi protein yang dirancang khusus untuk kebutuhan medis.
Sektor swasta berpotensi besar mendukung upaya pemerintah melalui penyediaan produk nutrisi medis yang terbukti secara klinis meningkatkan berat dan tinggi badan anak dalam dua minggu konsumsi. Namun mekanisme partisipasinya belum jelas—berbeda dari obat-obatan yang sudah memiliki ekosistem FORNAS atau e-Catalog. Ketiadaan regulasi khusus membuat kolaborasi berjalan sporadis. Karena itu, laporan menyarankan adanya pedoman ilmiah, format kolaborasi, dan skema pembiayaan yang memungkinkan pemerintah menggandeng perusahaan penyedia nutrisi medis untuk memperkuat intervensi gizi nasional.
Kebutuhan Teknologi Medis Modern dalam Strategi Preventif
Transformasi kesehatan Indonesia menempatkan pencegahan sebagai pilar utama. Fokus ini menuntut ketersediaan alat kesehatan diagnostik modern—seperti CT-scan, PET-scan, dan MRI—di seluruh fasilitas layanan. Namun kapasitas produksi dalam negeri masih rendah, sehingga Indonesia bergantung pada impor untuk teknologi berteknologi tinggi.
Pasar alat kesehatan Indonesia mencapai USD 1,43 miliar pada 2023, tetapi pembatasan impor melalui kebijakan Local Content Requirement (LCR) justru menghambat akses terhadap teknologi medis modern. Banyak alat kesehatan canggih tidak bisa diproduksi di dalam negeri karena membutuhkan mesin, teknologi, dan sumber daya manusia yang belum tersedia. Ketika impor diperketat, rumah sakit kesulitan memperoleh peralatan diagnostik yang diperlukan untuk deteksi dini penyakit kronis seperti kanker, jantung, dan diabetes. Hasilnya, kualitas layanan preventif menurun dan ketidaksetaraan akses semakin besar.
Kritik atas Kebijakan LCR dan Dampaknya terhadap Sistem Kesehatan
LCR diberlakukan dengan tujuan mulia—menguatkan produksi dalam negeri. Namun pendekatannya yang seragam pada semua jenis perangkat, dari masker hingga MRI, menciptakan hambatan struktural. Klasifikasi alat sebagai produk lokal (AKD) atau impor (AKL) membuat alat berteknologi tinggi sulit masuk pasar karena tidak dapat memenuhi syarat sertifikasi LCR.
Akibatnya, biaya alat meningkat karena produsen lokal memproduksi dengan teknologi terbatas, sementara alat impor dibatasi. Kenaikan harga akhirnya dibebankan kepada rumah sakit dan pasien. Studi terkini bahkan menunjukkan bahwa LCR dapat meningkatkan biaya input domestik dan menurunkan efisiensi industri. Ketika teknologi medis tertinggal, risiko misdiagnosis dan keterlambatan penanganan meningkat—situasi yang bertentangan dengan arah transformasi kesehatan yang ingin memperluas deteksi dini.
Belajar dari Negara Lain dalam Pengembangan Industri Alat Kesehatan
Negara seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan Uni Eropa menunjukkan bahwa keberhasilan industri alat kesehatan bergantung pada kebijakan yang mendukung inovasi dan investasi, bukan pembatasan impor. Tiongkok memulai pembangunan industrinya melalui kebijakan open door yang membuka akses investasi asing dan transfer teknologi. AS menguatkan industri melalui pendanaan riset besar-besaran dan proteksi hak paten, sementara Uni Eropa menekankan harmonisasi regulasi, keamanan produk, dan jejaring riset lintas negara.
Pelajaran utamanya jelas: negara-negara tersebut tidak bertumpu pada LCR sebagai instrumen utama. Mereka membangun ekosistem yang memungkinkan industri tumbuh, mulai dari insentif riset, spesialisasi produksi, hingga standardisasi mutu yang ketat. Indonesia masih berada pada tahap awal—memproduksi perangkat sederhana dan membangun kapasitas dasar. Karena itu, laporan menyarankan agar kebijakan jangka pendek difokuskan pada transfer teknologi, liberalisasi input produksi, dan penciptaan ekosistem riset, bukan memaksakan produksi lokal perangkat kompleks.
Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Sistem Kesehatan yang Kokoh
Indonesia menghadapi dua tantangan kesehatan utama: meningkatkan gizi anak melalui intervensi yang efektif, dan memastikan ketersediaan alat kesehatan modern untuk memperkuat pendekatan preventif. Untuk meraih kemajuan signifikan, pemerintah perlu memperbaiki alokasi anggaran gizi, menata ulang program makan gratis agar lebih tepat sasaran, melibatkan sektor swasta secara terstruktur, dan membuka akses terhadap teknologi medis mutakhir dengan merevisi kebijakan LCR.
Kemajuan tidak akan datang dari satu kebijakan tunggal, tetapi dari ekosistem kebijakan yang terkoordinasi dan berbasis bukti. Jika langkah-langkah tersebut dilakukan, Indonesia berpeluang besar membangun sistem kesehatan yang lebih modern, inklusif, dan resilient.
Daftar Pustaka
ABC Sector Overview Report – Healthcare Sector (pp. 82–103).