Transformasi Kebijakan Energi dan Mineral Indonesia: Membangun Ekosistem yang Kompetitif, Berkelanjutan, dan Bernilai Tambah

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

25 November 2025, 20.10

Indonesia tengah menghadapi dua agenda besar yang saling berkaitan: percepatan dekarbonisasi dan penguatan hilirisasi mineral. Kedua agenda tersebut bukan hanya urusan teknis sektor energi dan pertambangan, melainkan penentu arah daya saing nasional. Di satu sisi, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) menjadi unsur penting untuk menekan emisi di industri berat. Di sisi lain, hilirisasi mineral strategis membuka peluang besar bagi Indonesia untuk masuk lebih dalam ke rantai nilai global industri bersih.

Keduanya memerlukan kepastian regulasi, koordinasi antarkelembagaan, serta kemampuan negara memanfaatkan peluang geopolitik dan ekonomi yang muncul dari transisi energi global.

CCS sebagai Pilar Dekarbonisasi dan Peluang Regional

Indonesia memiliki potensi penyimpanan karbon yang sangat besar, mencapai ratusan gigaton. Dengan kemampuan geologis sebesar ini, CCS berperan penting untuk membantu industri menurunkan emisi sekaligus membuka peluang ekonomi baru. Banyak negara di kawasan Asia Pasifik diperkirakan menghasilkan emisi yang tidak dapat sepenuhnya diturunkan melalui elektrifikasi atau efisiensi energi. Sebagian dari emisi itu berpeluang ditangani melalui kerja sama penyimpanan karbon lintas negara dengan Indonesia.

Kerangka regulasi terbaru mulai membuka ruang bagi penyimpanan karbon dari luar negeri, yang memungkinkan Indonesia menjadi salah satu pusat penyimpanan karbon regional. Namun perkembangan teknologi dan investasi CCS membutuhkan regulasi yang stabil dalam jangka panjang. Investor perlu kepastian terkait perizinan, hak penyimpanan dalam formasi geologi, tanggung jawab jangka panjang atas potensi kebocoran, serta standar akuntansi karbon yang diakui lintas yurisdiksi. Tanpa kejelasan pada aspek-aspek ini, proyek CCS berisiko tertahan di tahap awal.

Walau begitu, manfaat ekonominya signifikan. CCS dapat menciptakan lapangan kerja baru, mendukung munculnya industri berbasis hidrogen biru dan amonia rendah karbon, serta membuka peluang bagi Indonesia untuk berperan dalam rantai pasok industri hijau global.

Tantangan Teknis dan Kelembagaan CCS

CCS adalah teknologi yang kompleks. Evaluasi geologi memerlukan biaya besar, sementara pembangunan jaringan transportasi CO₂ membutuhkan perencanaan jangka panjang. Tidak semua emisi layak ditangkap secara ekonomis, sehingga perlu prioritas pada sektor dengan konsentrasi emisi tinggi seperti semen, baja, dan petrokimia.

Tantangan lainnya adalah koordinasi kelembagaan. Implementasi CCS menyentuh banyak regulasi—energi, lingkungan, pertambangan, keamanan industri, hingga mekanisme perdagangan karbon. Tanpa arsitektur kebijakan yang terpadu, pelaksanaan lapangan akan sulit berkembang. Di samping itu, pemahaman publik tentang CCS juga perlu ditingkatkan agar proyek tidak terhambat persepsi keliru.

Hilirisasi Mineral: Momen Penting untuk Merancang Ulang Strategi

Sejak pemerintah mewajibkan pemrosesan mineral di dalam negeri, investasi smelter berkembang pesat. Namun keberhasilan hilirisasi tidak cukup diukur dari jumlah fasilitas pengolahan yang berdiri. Tantangan yang muncul kini lebih kompleks.

Pertama, hilirisasi perlu bergerak lebih jauh dari sekadar pengolahan awal. Produk antara seperti Nickel Pig Iron atau Mixed Hydroxide Precipitate belum cukup untuk mendorong lompatan nilai tambah. Agar manfaat ekonomi optimal, pengembangan harus mengarah pada industri bernilai tinggi seperti prekursor baterai, komponen kendaraan listrik, dan material energi lainnya.

Kedua, penyediaan bahan baku perlu direncanakan lebih matang. Beberapa cadangan mineral tertentu memiliki umur ekonomis yang terbatas. Jika kapasitas smelter tumbuh lebih cepat daripada kemampuan eksplorasi, maka dalam jangka menengah akan muncul risiko kekurangan pasokan.

Ketiga, hilirisasi sangat bergantung pada ketersediaan energi. Banyak fasilitas pengolahan mineral membutuhkan listrik dan panas dalam jumlah besar, yang saat ini sebagian besar masih berasal dari sumber fosil. Jika energi bersih tidak diintegrasikan ke dalam rencana hilirisasi, maka peningkatan kapasitas industri justru akan meningkatkan emisi nasional. Di sinilah CCS dan energi terbarukan dapat menjadi penyeimbang agar hilirisasi tetap kompatibel dengan target iklim.

Pelajaran dari Negara Lain dalam Kebijakan Mineral Strategis

Pengalaman negara seperti Amerika Serikat dan Kanada menunjukkan bahwa dukungan terhadap industri mineral strategis tidak hanya berbentuk pelarangan ekspor bahan mentah. Kedua negara ini mengembangkan strategi menyeluruh yang mencakup pembiayaan eksplorasi, insentif manufaktur, dukungan riset daur ulang, hingga membangun ekosistem industri yang saling terhubung dari hulu ke hilir.

Pelajaran pentingnya: hilirisasi tidak boleh berhenti di tingkat pengolahan awal. Nilai terbesar suatu mineral ada pada pengolahan lanjutan dan integrasinya dengan industri hilir. Jika pendekatan ini diterapkan, Indonesia berpotensi mendorong industri yang benar-benar berkelanjutan dan kompetitif secara global.

Membangun Integrasi Kebijakan Energi dan Minerba

Kunci masa depan sektor energi dan mineral Indonesia terletak pada integrasi kebijakan. Dekarbonisasi tidak boleh berjalan terpisah dari agenda hilirisasi. Keduanya saling membutuhkan. Hilirisasi membutuhkan energi besar tetapi harus tetap rendah emisi. CCS dapat menjadi jembatan antara kebutuhan energi industri dan komitmen penurunan emisi. Sementara itu, eksplorasi mineral, pengembangan energi bersih, perdagangan karbon, dan investasi manufaktur harus dipandang sebagai bagian dari satu ekosistem industri.

Dengan koordinasi yang lebih baik, kepastian aturan, dan arah strategis yang jelas, Indonesia memiliki peluang menjadi salah satu pusat industri bersih berbasis mineral penting di Asia. Potensi ini tidak hanya memperkuat perekonomian, tetapi juga menempatkan Indonesia pada posisi lebih strategis dalam transisi energi global.

 

Daftar Pustaka

ABC Sector Overview Report – Energy and Mineral Resources Sector (pp. 21–37).