Tinjauan Terkini Diplomasi Air

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

20 Juni 2025, 11.30

pixabay.com

Diplomasi Air sebagai Kunci Masa Depan Sumber Daya Global

Di tengah meningkatnya tekanan terhadap sumber daya air akibat pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan persaingan lintas sektor, diplomasi air kini menjadi salah satu instrumen strategis dalam tata kelola sumber daya global. Paper “A State-of-the-Art Review of Water Diplomacy” karya Zareie dkk. (2021) menawarkan tinjauan komprehensif mengenai konsep, tantangan, dan solusi diplomasi air di tingkat lokal dan transboundary (lintas negara), sekaligus menyoroti relevansi pendekatan inovatif ini dalam mencegah konflik dan mendorong kerjasama berkelanjutan.

Artikel ini mengulas isi utama paper tersebut secara kritis, mengaitkan dengan tren global, studi kasus nyata, serta memberikan opini dan perbandingan dengan literatur lain, agar lebih mudah dipahami dan relevan untuk pembaca luas.

Konsep Dasar: Air sebagai Sumber Daya Vital dan Kompleksitas Diplomasi

Air: Sumber Daya Terbatas, Kebutuhan Tak Terbatas

Air menempati posisi sentral dalam sistem sosial, ekonomi, dan ekologi. Meski 80% permukaan bumi tertutup air, hanya 1% yang layak dikonsumsi manusia. Menurut UNESCO, sekitar 20% populasi dunia tidak memiliki akses air minum yang aman, dan hampir 60% diprediksi akan mengalami kelangkaan air pada 2025 jika tren konsumsi saat ini berlanjut1.

Kebutuhan air tidak hanya untuk konsumsi domestik (8% dari total air tawar), tetapi juga industri (59% di negara maju, 8% di negara berkembang), dan pertanian—yang menyerap sekitar 70-75% air tawar global. Untuk menghasilkan 1 kg gandum dibutuhkan 1.000 liter air, sementara 1 kg daging sapi memerlukan hingga 43.000 liter air. Dengan pertumbuhan penduduk dan urbanisasi, tekanan terhadap air semakin besar, memperbesar potensi konflik antar sektor dan negara1.

Studi Kasus Konflik dan Kerjasama Air Lintas Negara

1. Sungai Euphrates-Tigris: Konflik dan Ketidakpastian

Sungai Euphrates dan Tigris melintasi Turki, Suriah, dan Irak, dengan Turki menyumbang 90% aliran sungai utama. Sejak 1960-an, pembangunan bendungan dan irigasi unilateral oleh Turki menimbulkan ketegangan dengan Suriah dan Irak, yang bergantung pada aliran air untuk pertanian dan kebutuhan domestik. Meski upaya kerjasama dilakukan sejak 2000-an, hingga kini belum tercapai kesepakatan formal yang mengikat1.

Angka Kunci:

  • Turki: 90% kontribusi aliran Euphrates
  • Suriah: 10%
  • Tidak ada perjanjian formal pengelolaan bersama hingga kini

2. Sungai Nil: Kerjasama dan Tantangan Baru

Basin Sungai Nil melibatkan 11 negara, dengan inisiatif Nile Basin Initiative (NBI) sejak 1999 yang berhasil meningkatkan kepercayaan dan kerjasama teknis. Namun, sejak 2007, perbedaan kepentingan antara negara hulu (Ethiopia) dan hilir (Mesir, Sudan) membuat negosiasi buntu, terutama terkait pembangunan Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD)1.

Angka Kunci:

  • 11 negara berbagi Sungai Nil
  • NBI didirikan 1999, namun negosiasi terhenti sejak 2007
  • Ethiopia, Sudan, dan Mesir menandatangani framework agreement pada 2015, namun implementasi masih menjadi tantangan

3. Sungai Helmand: Diplomasi Mandek di Asia Tengah

Konflik antara Afghanistan dan Iran atas Sungai Helmand dan Harirud telah berlangsung sejak 1870-an. Pada 1973, kedua negara sepakat Afghanistan mengalirkan 22 m³/s ke Iran, namun perjanjian ini tidak sepenuhnya dijalankan akibat perubahan politik di kedua negara1.

Dimensi Baru: Virtual Water dan Perdagangan Global

Konsep virtual water—air yang “terkandung” dalam produk pangan atau industri yang diperdagangkan antar negara—menjadi solusi inovatif untuk mengatasi kelangkaan air. Negara-negara Timur Tengah, misalnya, mengimpor produk pangan yang banyak membutuhkan air (seperti gandum, jagung) untuk menghemat air domestik. Volume perdagangan virtual water global naik dari 403 km³ (1965) menjadi 1.415 km³ (2010), dengan pertumbuhan rata-rata 2,7% per tahun1.

Studi Kasus:

  • China, dengan hanya 6% cadangan air dunia namun 20% populasi global, mengimpor produk intensif air (sereal, kedelai) dan mengekspor produk padat karya (sayur, buah)1.
  • Amerika Serikat adalah eksportir virtual water terbesar, dengan lahan irigasi naik dari 7,7 juta acre (1900) menjadi 58 juta acre (2017).

Hukum Internasional dan Tata Kelola Air Lintas Negara

Kerangka Hukum: Dari Harmon Doctrine ke Helsinki Rules

Dua doktrin utama:

  • Harmon Doctrine: Negara hulu bebas memanfaatkan air tanpa mempedulikan negara hilir.
  • Territorial Integrity Doctrine: Negara hulu tidak boleh merugikan negara hilir.

Helsinki Rules (1966) dan Konvensi PBB 1997 menjadi tonggak penting, menekankan penggunaan yang adil dan wajar, serta prinsip no-harm1.

Studi Kasus: European Water Framework Directive (WFD)

Uni Eropa sukses menerapkan WFD yang menekankan pengelolaan berbasis basin, kualitas air, dan partisipasi publik. Di Jerman, WFD berhasil meningkatkan perencanaan dan kualitas air sungai lintas negara1.

Manajemen Terpadu dan Diplomasi Air: Kunci Keberhasilan

Integrated Water Resources Management (IWRM) menjadi pendekatan utama, dengan bukti nyata penghematan air hingga 21,5% di lokasi yang menerapkan IWRM1. Namun, tantangan terbesar adalah kompleksitas institusi, perbedaan kapasitas negara, dan minimnya kerangka kerjasama di negara berkembang.

Perbandingan: Negara Maju vs Berkembang

  • Negara maju (Eropa, Amerika Utara): 4 basin lintas negara diatur oleh 175 perjanjian, kerjasama lebih stabil.
  • Negara berkembang (Afrika, Asia): 12 basin diatur oleh 34 perjanjian, seringkali rapuh dan kurang efektif1.

Faktor Penyebab Konflik dan Solusi Diplomasi Air

Penyebab Konflik:

  • Keterbatasan kuantitas, kualitas, dan waktu penggunaan air
  • Perubahan batas sungai (misal San Juan antara Kosta Rika-Nikaragua)
  • Ketimpangan kekuasaan hulu-hilir
  • Faktor domestik: politik, ekonomi, sosial

Solusi Diplomasi Air:

  • Negosiasi dan perjanjian berbasis sains dan keadilan
  • Perdagangan virtual water untuk mengurangi tekanan domestik
  • Capacity building dan pelatihan negosiasi
  • Penguatan hukum internasional dan adaptasi kebijakan lokal

Analisis Kritis dan Opini

Kekuatan Paper:

  • Komprehensif, mengulas aspek teoretis dan praktis diplomasi air
  • Studi kasus nyata dan data kuantitatif yang relevan
  • Menyoroti peran virtual water sebagai solusi inovatif

Kritik dan Tantangan:

  • Implementasi di negara berkembang masih lemah akibat keterbatasan institusi dan politik
  • Peran aktor non-negara (LSM, komunitas lokal) kurang dieksplorasi secara mendalam
  • Perubahan iklim sebagai pendorong utama krisis air belum dibahas secara detail

Perbandingan dengan Literatur Lain:

Penelitian Wolf et al. (2005) dan Susskind & Islam (2012) menekankan pentingnya trust-building dan data sharing sebagai prasyarat kerjasama. Paper ini sudah menyinggung, namun belum mendalami mekanisme trust-building lintas negara.

Tren Global: Diplomasi Air di Era Perubahan Iklim

  • Multi-track Diplomacy: Kombinasi jalur formal dan informal, melibatkan pemerintah, LSM, dan komunitas lokal.
  • Data Sharing: Platform bersama untuk monitoring dan early warning.
  • Pendekatan Adaptif: Fleksibilitas dalam perjanjian dan tata kelola untuk menghadapi ketidakpastian iklim.

Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan

  1. Perkuat Kerangka Hukum dan Institusi: Negara berkembang perlu meniru praktik baik negara maju dalam membangun perjanjian lintas negara.
  2. Dorong Perdagangan Virtual Water: Diversifikasi sumber pangan dan produk untuk mengurangi tekanan pada sumber air domestik.
  3. Investasi pada Capacity Building: Pelatihan negosiator, penguatan data sharing, dan keterlibatan multi-aktor.
  4. Adaptasi terhadap Perubahan Iklim: Fleksibilitas dalam perjanjian dan pengelolaan berbasis risiko.

Diplomasi Air sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan

Diplomasi air bukan sekadar alat negosiasi, tetapi fondasi penting bagi pembangunan berkelanjutan, perdamaian, dan ketahanan pangan di era global. Dengan mengintegrasikan sains, hukum, ekonomi, dan diplomasi, serta belajar dari studi kasus lintas negara, dunia dapat menghindari “perang air” dan beralih ke era kerjasama yang saling menguntungkan. Paper ini menjadi rujukan penting bagi pembuat kebijakan, akademisi, dan praktisi yang ingin memahami dan mengembangkan diplomasi air di masa depan.

Sumber Artikel 

A state-of-the-art review of water diplomacy, Soheila Zareie, Omid Bozorg-Haddad, Hugo A. Loáiciga, Environment, Development and Sustainability, 23(2):2337–2357, 2021.