Tindakan Tidak Aman: Faktor Dominan Penyebab Kecelakaan Kerja pada Pekerja Konstruksi

Dipublikasikan oleh Raihan

14 Oktober 2025, 17.32

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian Mayandari dan Inayah (2023) memberikan kontribusi penting bagi bidang kesehatan dan keselamatan kerja, khususnya di industri konstruksi. Studi ini secara kuantitatif mengidentifikasi faktor paling berpengaruh yang memicu kecelakaan kerja pada proyek konstruksi. Dengan menguji berbagai variabel (usia, pendidikan, masa kerja, pengetahuan K3, tindakan tidak aman, penggunaan APD, dan lingkungan kerja), penelitian ini menyajikan bukti empiris bahwa di antara semua faktor tersebut, perilaku tindakan tidak aman memiliki dampak paling signifikan terhadap kejadian kecelakaan

Hasilnya memperlihatkan bahwa faktor pengetahuan K3 pekerja, konsistensi penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), dan kondisi lingkungan kerja juga memiliki hubungan signifikan dengan angka kecelakaan. Namun, variabel seperti umur, tingkat pendidikan formal, dan lama pengalaman kerja tidak menunjukkan hubungan yang bermakna secara statistik terhadap kecelakaan dalam konteks proyek ini. Temuan ini berkontribusi dengan memperjelas fokus upaya pencegahan: alih-alih terjebak pada faktor demografis, perhatian utama sebaiknya diarahkan pada peningkatan perilaku aman, kepatuhan penggunaan APD, peningkatan pengetahuan K3, serta perbaikan kondisi lingkungan kerja di lapangan.

Secara praktis, kontribusi studi ini terletak pada rekomendasi berbasis data untuk industri konstruksi. Dengan bukti bahwa 97,1% pekerja yang berperilaku tidak aman pernah mengalami kecelakaan kerja (bandingkan dengan hanya 2,9% pada pekerja yang berperilaku aman), jelas bahwa intervensi keselamatan harus difokuskan untuk mengubah perilaku tidak aman di lapangan. Demikian pula, tingkat pengetahuan K3 terbukti berpengaruh: tercatat 73,5% pekerja berpengetahuan rendah pernah mengalami kecelakaan, jauh lebih tinggi dibanding 26,5% pada pekerja berpengetahuan baik. Fakta kuantitatif ini memberi landasan kuat bagi penyusunan kebijakan pelatihan dan supervisi di proyek konstruksi. Secara keseluruhan, studi ini memperkaya literatur K3 dengan data lokal Indonesia, menggarisbawahi bahwa aspek human error (tindakan tidak aman) adalah prioritas utama yang harus ditangani untuk menekan angka kecelakaan konstruksi.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun memberikan wawasan berharga, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang membuka peluang pertanyaan lanjutan. Pertama, ruang lingkup penelitian terbatas pada satu proyek konstruksi (Puskesmas Ketabang) dengan 60 responden, sehingga generalisasi temuan ke seluruh industri konstruksi harus dilakukan dengan hati-hati. Karakteristik proyek yang spesifik (lokasi di Surabaya, jenis bangunan fasilitas kesehatan) mungkin mempengaruhi faktor-faktor risiko; konteks proyek lain (misalnya pembangunan infrastruktur besar atau perumahan) berpotensi menunjukkan pola berbeda. Oleh karena itu, muncul pertanyaan terbuka: Apakah faktor dominan serupa akan ditemukan di proyek dan daerah lain? Penelitian lanjutan dengan sampel lebih luas dan beragam diperlukan untuk memvalidasi temuan ini dalam skala nasional.

Kedua, desain cross-sectional berarti data faktor dan kejadian kecelakaan dikumpulkan bersamaan, sehingga hubungan kausal langsung sulit dipastikan. Misalnya, meskipun tindakan tidak aman berhubungan kuat dengan kecelakaan, arah hubungan ini perlu didalami lebih lanjut: Apakah perilaku tidak aman memang menjadi penyebab utama kecelakaan, atau justru pengalaman kecelakaan yang mendorong perubahan perilaku menjadi lebih aman? Studi longitudinal dapat menjawab dinamika tersebut. Selain itu, pengukuran variabel mengandalkan kuesioner dan laporan diri responden. Hal ini menyisakan potensi bias pelaporan – ada kemungkinan pekerja tidak mengungkapkan semua insiden (misalnya kecelakaan ringan) atau memberikan jawaban yang dianggap “aman”. Kondisi ini memunculkan pertanyaan: Seberapa akurat data perilaku dan kecelakaan yang dilaporkan, dan bagaimana cara memastikan pengukuran yang lebih objektif ke depannya?

Ketiga, faktor-faktor yang diteliti belum mencakup semua dimensi yang mungkin relevan. Sebagai contoh, aspek budaya keselamatan kerja, kualitas pengawasan manajemen, maupun beban kerja dan stres tidak disertakan dalam analisis. Padahal, faktor-faktor organisasional dan psikososial tersebut berpotensi kuat memengaruhi perilaku tidak aman dan kejadian kecelakaan. Ketiadaan variabel ini mengarah pada pertanyaan terbuka berikutnya: Apakah ada faktor tersembunyi lain yang turut berkontribusi pada kecelakaan konstruksi di luar variabel yang sudah diteliti? Menjawab pertanyaan ini membutuhkan studi tambahan dengan memasukkan variabel-variabel baru serta pendekatan mixed-method (menggabungkan survei kuantitatif dengan wawancara/kualitatif) untuk menggali lebih dalam alasan di balik perilaku tidak aman di proyek konstruksi.

Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor usia, pendidikan formal, dan masa kerja tidak signifikan pengaruhnya terhadap kecelakaan. Hal ini menarik karena bertentangan dengan asumsi umum bahwa pekerja lebih muda atau kurang berpengalaman cenderung lebih rawan celaka. Pertanyaan pun muncul: Apakah temuan non-signifikan ini berlaku luas, ataukah dipengaruhi oleh karakteristik unik sampel? Bisa jadi rentang usia responden tidak cukup beragam, atau tingkat pendidikan yang relatif homogen di proyek tersebut membuat pengaruhnya sukar diamati. Pertanyaan ini membuka ruang bagi riset di populasi berbeda (misal: proyek dengan pekerja usia lebih tua, atau perbandingan antara proyek yang menerapkan pelatihan K3 formal vs. yang tidak) untuk mengevaluasi kembali peran faktor demografis dalam kecelakaan kerja.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berdasarkan temuan dan keterbatasan di atas, berikut adalah lima rekomendasi arah riset berkelanjutan yang dapat dilakukan, lengkap dengan justifikasi ilmiah dan usulan metodologi:

  1. Intervensi Pelatihan Keselamatan Kerja: Mengingat rendahnya tingkat pengetahuan K3 berhubungan dengan tingginya kecelakaan, riset eksperimental dapat dirancang untuk menguji efektivitas program pelatihan K3 intensif. Misalnya, membandingkan kelompok pekerja konstruksi yang diberikan pelatihan keselamatan komprehensif dengan kelompok kontrol tanpa pelatihan, lalu memantau perbedaan frekuensi unsafe action dan insiden kecelakaan selama proyek berlangsung. Hasil perbandingan ini akan memberikan bukti kausal apakah peningkatan pengetahuan melalui pelatihan memang menurunkan perilaku tidak aman dan kejadian kecelakaan.
  2. Penerapan Program Behavior-Based Safety (BBS): Karena tindakan tidak aman terbukti sebagai faktor dominan kecelakaan, penelitian lanjutan sebaiknya fokus pada upaya mengubah perilaku pekerja di lapangan. Program BBS yang menekankan observasi rutin dan umpan balik terhadap perilaku kerja dapat diuji pada proyek konstruksi. Riset dapat berbentuk studi longitudinal di mana satu proyek menerapkan intervensi BBS (misal: supervisi dan feedback intensif), sementara proyek pembanding tanpa BBS. Pengukuran perbedaan angka tindakan tidak aman dan kecelakaan antar kedua proyek akan menunjukkan efektivitas BBS; jika berhasil, akan terlihat penurunan signifikan yang mendukung temuan awal bahwa modifikasi perilaku adalah kunci pencegahan kecelakaan jangka panjang.
  3. Studi Kepatuhan dan Inovasi APD: Tingginya angka kecelakaan pada pekerja yang tidak memakai APD lengkap menunjukkan perlunya strategi peningkatan kepatuhan penggunaan APD. Penelitian ke depan dapat mengeksplorasi metode inovatif untuk mendorong penggunaan APD, misalnya pemanfaatan smart helmet atau sensor yang mendeteksi penggunaan safety harness. Studi kuasi-eksperimental bisa dilakukan dengan menerapkan teknologi tersebut di satu lokasi proyek dan membandingkannya dengan lokasi serupa tanpa teknologi. Selain itu, memahami kendala pekerja dalam memakai APD (apakah karena tidak nyaman, tidak tersedia, atau budaya kerja) juga penting. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan rekomendasi praktis untuk meningkatkan kepatuhan APD dan pada gilirannya menurunkan angka kecelakaan.
  4. Evaluasi Pengaruh Lingkungan Kerja: Mengacu pada temuan bahwa lingkungan kerja tidak kondusif (misal: area kerja licin, penerangan kurang) berhubungan signifikan dengan kecelakaan, riset lanjutan dapat berfokus pada intervensi perbaikan lingkungan fisik. Sebagai contoh, dilakukan field experiment dengan menambahkan rambu dan simbol keselamatan, rutinitas housekeeping untuk menjaga kebersihan area, serta peningkatan penerangan di lokasi proyek, kemudian mengamati dampaknya terhadap penurunan kecelakaan atau near-miss. Studi before-after semacam ini akan menunjukkan apakah perbaikan kondisi lingkungan kerja memang secara nyata menurunkan risiko kecelakaan. Jika terbukti efektif, temuan ini akan memperkuat pentingnya engineering controls dan investasi pada fasilitas keselamatan di lokasi proyek sebagai langkah pencegahan jangka panjang.
  5. Studi Lintas Proyek dan Analisis Faktor Organisasional: Untuk memastikan bahwa temuan faktor dominan ini berlaku umum, direkomendasikan studi multi-situs di berbagai proyek konstruksi dengan karakteristik berbeda (skala proyek, tipe konstruksi, lokasi geografis). Penelitian multi-centre semacam ini dapat mengadopsi instrumen survei yang sama untuk faktor individu dan lingkungan, ditambah variabel organisasional seperti budaya keselamatan dan dukungan manajemen. Dengan melibatkan ratusan responden dari berbagai proyek, analisis multivariat yang lebih komprehensif dapat dilakukan untuk melihat kombinasi faktor mana yang paling kuat memprediksi kecelakaan. Metode ini juga akan menjawab apakah faktor seperti usia atau pengalaman kerja mungkin menjadi signifikan dalam konteks berbeda.

Semua rekomendasi di atas menekankan kesinambungan dari temuan saat ini menuju perbaikan jangka panjang. Fokus utamanya adalah mengubah kondisi dan perilaku kerja di sektor konstruksi secara sistematis melalui intervensi berbasis bukti. Dengan demikian, penelitian ke depan tidak hanya menguji ulang temuan sekarang, tetapi juga membangun strategi konkret untuk menurunkan kecelakaan kerja secara berkelanjutan.

Penelitian ini menunjukkan arah yang jelas: faktor manusia (terutama perilaku tidak aman) memegang peranan sentral dalam kecelakaan konstruksi. Untuk mencapai potensi jangka panjang berupa pengurangan drastis angka kecelakaan, semua pemangku kepentingan perlu berinvestasi pada intervensi yang menyasar faktor dominan tersebut. Temuan kuantitatif seperti perbedaan proporsi kecelakaan yang mencolok antara pekerja aman vs. tidak aman menegaskan bahwa perubahan dapat dicapai dengan fokus yang tepat.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Kementerian Ketenagakerjaan, asosiasi kontraktor dan perusahaan konstruksi, serta perguruan tinggi atau lembaga riset K3 untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

 https://doi.org/10.5281/zenodo.8097535.