Tiga perubahan kebijakan untuk meringankan krisis hunian kelas menengah Indonesia

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri

18 April 2024, 16.59

theconversation.com

Keterjangkauan perumahan dengan cepat menjadi krisis di sebagian besar wilayah metropolitan di dunia. Orang-orang di negara maju seperti Kanada dan Amerika Serikat telah merasakan beban kenaikan harga rumah. Hal ini mempengaruhi semua orang dari berbagai latar belakang ekonomi, termasuk kelas menengah ke atas. Kisahnya tidak berbeda di negara dengan populasi terbesar keempat di dunia ini. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa 28 dari 62 responden yang diambil secara acak, atau 45%, melaporkan bahwa mereka terbebani oleh biaya perumahan seperti cicilan rumah dan utilitas. Perumahan yang terjangkau sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi negara.

Pendapatan dan Beban Biaya. Tafridj, 2021

​​​​​​Sumber: theconversation.com

Perumahan di Jakarta sangat mahal sehingga 80% dari responden tinggal di rumah sewa jangka pendek.

Lokasi Perumahan dan Status Kepemilikan. Tafridj, 2021

Sumber: theconversation.com

Perumahan yang terjangkau sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi bangsa. Laporan Bank Dunia tahun 2020 menunjukkan bahwa kelas menengah di Indonesia menyumbang 50% dari total konsumsi nasional. Rata-rata setiap orang menghabiskan Rp 1,2-6 juta (US$85 hingga US$424) per bulan - termasuk untuk perumahan. Meningkatnya biaya terkait perumahan dapat melukai daya beli kelas menengah, yang dapat membahayakan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, saya menyarankan tiga perubahan kebijakan untuk mengatasi krisis perumahan kelas menengah yang akan datang.

Pertama, memperkuat peran pemerintah secara kolektif untuk mengatur penawaran dan permintaan perumahan.

Tata kelola kolektif Jabodetabek, yang terdiri dari kota Bogor, Depok, Bekasi di Jawa Barat dan Tangerang di Banten, sebagai sebuah konurbasi atau penggabungan beberapa wilayah perkotaan yang saling berdekatan sangatlah penting. Wilayah Bogor, Depok dan Tangerang telah berperan sebagai pendukung kegiatan ekonomi Jakarta, namun konsolidasi perencanaan pemukiman perkotaan belum menjadi salah satu program prioritas. Pemerintah daerah di wilayah Jabodetabek harus memahami bahwa kepentingan pembangunan perkotaan masing-masing daerah terlalu bergantung satu sama lain untuk diatur secara independen. Daerah-daerah lain harus memikul sebagian beban backlog perumahan di Jakarta.

Meskipun peran pengembang swasta sangat penting, pemerintah daerah harus membuat kebijakan yang lebih baik untuk memastikan pembangunan yang berkelanjutan. Kebijakan-kebijakan ini dapat mencakup pengawasan yang lebih ketat terhadap pembangunan perumahan sosial dan perencanaan penggunaan lahan. Di London, pemerintah kotanya memperkuat sistem perencanaan dengan menciptakan perumahan yang lebih terjangkau dan mendorong skema bangun-sewa sehingga separuh rumah di London dapat dijangkau oleh semua kalangan. Selain itu, kita belum memiliki diskusi yang cukup tentang perencanaan jangka panjang untuk kota. Solusi untuk krisis perumahan harus dimulai dari sana.

Seorang pekerja menyelesaikan pembangunan proyek perumahan di Jakarta Utara

Sumber: theconversation.com

Kedua, Jakarta harus mempertimbangkan untuk melegitimasi skema perumahan sewa pribadi.

Fakta bahwa 80% dari responden yang tinggal di Jakarta merupakan penghuni rumah sewa jangka pendek seharusnya menjadi indikasi perlunya pemerintah menyusun kebijakan mengenai rumah sewa. Saat ini, meskipun ada peraturan untuk rumah sewa publik atau pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah Jakarta tidak memiliki kebijakan tentang rumah sewa pribadi. Selain belum adanya peraturan mengenai rumah sewa, masih ada stigma yang tersebar luas bahwa menyewa rumah adalah membuang-buang uang. Inilah sebabnya mengapa orang lebih memilih untuk tinggal 40-50 km dari tempat kerja mereka, menghabiskan uang, waktu dan energi untuk perjalanan pulang pergi, daripada menyewa rumah yang lebih dekat dengan tempat kerja. Meski sulit untuk mengubah stigma ini, setidaknya yang dapat dilakukan pemerintah adalah membuat kebijakan yang akan melembagakan dan memformalkan rumah sewa. Hal ini berhasil di Singapura, yang mewajibkan registrasi pemilik dan penyewa dan memiliki peraturan terpisah untuk hunian tapak dan non-tapak. 

Peraturan ini memastikan keamanan hukum bagi penyewa dan menempatkan sewa sebagai pilihan hunian yang layak. Kebijakan sewa rumah jangka panjang bukanlah hal yang langka di banyak kota besar di seluruh dunia. Pusat-pusat metropolitan seperti London, New York, Amsterdam dan Singapura menghadapi masalah kelebihan penduduk dan terbatasnya pilihan hunian permanen, sehingga mereka menerapkan kebijakan dan peraturan untuk memastikan legitimasi dan keamanan skema sewa. Di Jakarta, kamar kos dan rumah sewa berdiri begitu saja tanpa izin dan peraturan yang memadai. Hal ini membuat para penyewa dan penghuni kos berada dalam bahaya eksploitasi oleh pelaku usaha yang beritikad buruk. Kondisi ini juga memperburuk stigma bahwa rumah sewa bersifat sementara dan tidak diminati.

Pemandangan udara dari sebuah kompleks perumahan di Jakarta Utara.

Sumber: theconversation.com

Ketiga, pemerintah harus menyediakan lebih banyak pasokan perumahan berbiaya menengah melalui kemitraan pemerintah-swasta dan menciptakan skema pembiayaan yang ditargetkan untuk kelas menengah.

Pemerintah harus mengambil kendali yang lebih baik atas harga pasar perumahan dengan membangun lebih banyak unit rumah berbiaya menengah dan memperluas batas harga untuk mencakup calon pembeli berpenghasilan menengah. Program subsidi perumahan dan perumahan publik saat ini didedikasikan untuk mereka yang memiliki gaji bulanan tidak lebih dari Rp 8 juta (US$567), sehingga tidak termasuk masyarakat kelas menengah Indonesia. Meroketnya harga rumah disebabkan oleh tingginya permintaan dan sangat rendahnya suplai perumahan yang terjangkau di area-area yang diinginkan. Inflasi harga rumah di Jakarta telah menyebar ke daerah-daerah lain. Dalam waktu dekat, tinggal di Tangerang atau Bogor tidak akan lagi terjangkau bagi banyak orang, kecuali jika pemerintah mengambil kendali atas kebijakan pembangunan perumahan dan peraturan penggunaan lahan.

Disadur dari: theconversation.com