Pendahuluan:
Industri konstruksi dikenal sebagai salah satu sektor paling berisiko tinggi dalam hal kecelakaan kerja. Proyek konstruksi sangat dinamis: pekerja, peralatan, dan material terus bergerak sehingga potensi bahaya sulit diprediksi. Contoh kondisi berbahaya di lapangan meliputi risiko tertimpa objek atau jatuh dari ketinggian, ditambah ancaman paparan debu, bahan kimia, hingga kondisi lingkungan kerja yang keras. Di tengah tantangan ini, hadir gelombang digitalisasi dengan teknologi canggih seperti artificial intelligence (AI), Building Information Modeling (BIM), virtual reality (VR), augmented reality (AR), digital twins, Internet of Things (IoT), otomatisasi, robotika, dan sensor pintar. Semua ini menawarkan potensi besar untuk meningkatkan manajemen keselamatan di proyek konstruksi. Pertanyaannya: mengapa adopsi teknologi di sektor konstruksi terkesan lambat, dan bagaimana sebenarnya sikap para pelaku industri terhadap inovasi digital untuk keselamatan?
Tujuan dan Metodologi Studi:
Penelitian oleh Mara Matti dan Md Shan E. Jahan ini bertujuan mengisi kesenjangan pengetahuan tentang implementasi teknologi digital di manajemen keselamatan konstruksi, khususnya dalam konteks Swedia. Berbeda dari riset terdahulu yang banyak dilakukan di lingkungan terkontrol atau proyek percontohan, studi ini menyoroti kondisi nyata di lapangan – bagaimana sikap dan perilaku personel konstruksi terhadap alat digital keselamatan dalam keseharian proyek. Fokusnya pada tahap konstruksi (fase produksi), namun juga mempertimbangkan peran fase perencanaan dan desain dalam mewujudkan proyek yang lebih aman.
Untuk menggali dimensi manusiawi dalam adopsi teknologi, peneliti menggunakan metode kualitatif. Mereka melakukan wawancara semi-terstruktur mendalam dan observasi lapangan (fieldwork). Partisipan wawancara mencakup berbagai pemangku kepentingan di industri konstruksi, dari innovation leader di perusahaan besar, manajer dan pelatih K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja), CEO perusahaan konstraktor, manajer proyek, hingga desainer BIM/CAD. Pendekatan ini memastikan sudut pandang yang beragam – mulai level manajemen puncak hingga praktisi teknis – sehingga memberikan gambaran komprehensif. Kerangka teori yang digunakan adalah Technology Acceptance Model (TAM) untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan teknologi baru. Data kualitatif dari wawancara dan observasi dianalisis menggunakan analisis tematik guna mengidentifikasi pola-pola utama dalam sikap dan perilaku terhadap teknologi keselamatan.
Hasil Utama – Sikap dan Temuan Kunci:
Studi ini menemukan bahwa secara umum para profesional konstruksi menunjukkan antusiasme terhadap potensi alat digital dalam meningkatkan keselamatan. Banyak peserta wawancara yang positif dan berharap teknologi seperti sensor deteksi, AI untuk monitoring, atau aplikasi mobile K3 dapat mencegah kecelakaan dan mempermudah pengawasan. Namun, sikap mereka juga ambivalen. Di balik optimisme, tersimpan skeptisisme dan keraguan terhadap implementasi nyata teknologi tersebut. Beberapa manajer mengakui adanya “ketakutan akan hal yang tidak diketahui” – misalnya keraguan terhadap AI atau sistem otomatis yang belum sepenuhnya mereka pahami. Seorang manajer proyek bahkan berkata, “Saya takut pada AI,” yang mencerminkan kekhawatiran bahwa teknologi baru bisa membawa risiko atau konsekuensi yang tidak diinginkan. Banyak juga yang meragukan apakah pekerja lapangan yang terbiasa dengan cara tradisional akan mau dan mampu beradaptasi menggunakan perangkat digital canggih.
Temuan kualitatif lebih lanjut mengungkap sejumlah hambatan non-teknis yang signifikan. Struktur industri konstruksi yang berbasis proyek ternyata menjadi penghalang inheren bagi penyebaran inovasi. Setiap proyek konstruksi ibarat “dunia sendiri” dengan tim dan praktik unik, sehingga transfer pengetahuan antar proyek sangat lemah. Pelajaran berharga tentang implementasi alat keselamatan digital di satu proyek sering tidak berlanjut ke proyek berikutnya – tim baru seringkali harus “mulai dari nol” lagi. Selain itu, terdapat kesenjangan digital antara fase perencanaan vs. pelaksanaan: teknologi digital (seperti BIM) lazim dipakai oleh perencana dan desainer di kantor, tetapi di lapangan konstruksi sendiri pekerjaan masih banyak yang bersifat analog (berbasis kertas, papan tulis, print-out gambar teknis). Ketidaksinambungan ini membuat inovasi keselamatan sulit mengakar konsisten sepanjang siklus proyek.
Aspek budaya organisasi juga menjadi sorotan. Penelitian ini menemukan adanya budaya “saling menyalahkan” (blame game) dalam hal keselamatan: pimpinan cenderung menyalahkan pekerja lapangan setiap terjadi insiden, sedangkan faktor sistemik kurang mendapat perhatian. Top management sering menyerukan “keselamatan itu penting”, namun kenyataannya di proyek, target waktu dan biaya lebih dominan sehingga komitmen terhadap aturan K3 kadang hanya sebatas formalitas. Di sisi pekerja, motivasi mengikuti prosedur keselamatan pun kerap dilandasi takut dihukum atau takut “tertangkap basah” oleh pengawas, bukan karena kesadaran intrinsik akan pentingnya keselamatan. Tekanan deadline yang ketat membuat pekerja fokus memenuhi target ketimbang patuh aturan, selama tidak ketahuan. Hambatan prosedural lainnya adalah kurangnya standardisasi aturan keselamatan antar perusahaan. Para pekerja mengungkapkan kebingungan karena setiap kontraktor punya kebijakan K3 berbeda – bahkan terkadang bertentangan – misalnya terkait penggunaan Alat Pelindung Diri (APD). Ketidakseragaman ini, ditambah minimnya pelatihan efektif untuk menggunakan perangkat atau prosedur baru, mengakibatkan sebagian pekerja kehilangan motivasi dan tidak percaya pada inisiatif digital. Alih-alih melihat teknologi sebagai solusi, mereka khawatir hanya menambah beban tanpa dukungan yang jelas, sehingga adopsi pun terhambat.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan kontribusi penting pada bidang teknologi konstruksi dan manajemen keselamatan. Pertama, studi ini memperluas wawasan ilmiah dengan menyoroti betapa dominannya faktor manusia dan organisasi dalam keberhasilan penerapan teknologi keselamatan. Di saat banyak riset lain berfokus pada kecanggihan teknologinya sendiri, kajian ini secara unik menekankan aspek sikap, perilaku, dan budaya kerja di lingkungan konstruksi nyata. Pendekatan ini mengungkap mengapa berbagai teknologi menjanjikan sering gagal diimplementasikan: bukan semata soal teknis, melainkan karena hambatan psikologis dan organisasi.
Kedua, temuan studi ini mengidentifikasi kendala-kendala kunci yang sebelumnya kurang terdokumentasi secara komprehensif. Misalnya, adanya silo pengetahuan per proyek dan minimnya aliran pengalaman sukses antara proyek satu dan lainnya. Ini merupakan kontribusi bagi literatur manajemen proyek – menunjukkan perlunya mekanisme transfer pengetahuan yang lebih baik agar inovasi keselamatan dapat berkelanjutan lintas proyek.
Ketiga, penelitian ini mengungkap sikap ambivalen pelaku industri terhadap teknologi baru: perpaduan antara optimisme dan ketakutan. Menyoroti ambivalensi ini penting agar pengembang teknologi dan manajer perubahan dapat merancang strategi adopsi yang mempertimbangkan kekhawatiran pengguna akhir (misalnya ancaman kehilangan pekerjaan karena otomatisasi, atau ketidaknyamanan terhadap AI). Dengan memahami keraguan yang ada, program implementasi dapat lebih disesuaikan dan user-friendly, meningkatkan peluang sukses adopsi.
Selanjutnya, studi ini berkontribusi dengan membawa isu budaya keselamatan ke depan. Budaya saling menyalahkan, ketidaksesuaian antara retorika dan praktik manajemen, serta motivasi pekerja yang sekadar “asal tidak dihukum” menunjukkan bahwa perubahan budaya merupakan syarat keberhasilan digitalisasi K3. Ini memberikan landasan bagi peneliti dan praktisi untuk tidak hanya menyediakan teknologi, tapi juga menangani perubahan perilaku dan kebijakan internal di perusahaan konstruksi. Kesadaran baru ini dapat mendorong lahirnya kerangka kerja manajemen perubahan spesifik untuk konstruksi, yang meliputi pelibatan pekerja, kepemimpinan keselamatan yang konsisten, dan insentif yang selaras dengan tujuan keselamatan.
Terakhir, dengan fokus pada konteks Swedia yang memiliki regulasi keselamatan cukup maju, studi ini menjadi semacam barometer bagi negara lain. Kontribusinya bukan pada generalisasi hasil mentah-mentah, melainkan pada identifikasi faktor-faktor universal (misalnya kebutuhan standardisasi, pentingnya pelatihan, dukungan manajemen) yang kemungkinan relevan di berbagai konteks. Penelitian ini membuka diskusi bahwa transformasi digital di K3 konstruksi membutuhkan sinergi aspek teknis dan sosial, sehingga komunitas akademik dan industri kini memiliki dasar empiris lebih kuat untuk mengembangkan solusi holistik ke depan.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Sebagai studi kualitatif dalam konteks Swedia, hasil penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang harus disikapi dengan hati-hati. Generalisasi temuan ke negara lain atau budaya industri berbeda tidak bisa dilakukan secara langsung. Kondisi regulasi, budaya kerja, dan tingkat adopsi teknologi di tiap negara dapat berbeda, sehingga penelitian lanjutan diperlukan untuk menguji apakah temuan serupa muncul di konteks lain. Selain itu, ukuran sampel wawancara yang terbatas berarti sudut pandang yang terekam berasal dari sekelompok individu tertentu. Meskipun para partisipan mewakili beragam peran kunci, tetap ada kemungkinan bahwa pandangan pekerja lapangan lainnya atau perusahaan berbeda dapat tidak sepenuhnya terwakili. Bias persepsi dari responden juga harus dipertimbangkan, mengingat data didasarkan pada opini dan pengalaman subjektif.
Studi ini juga mengangkat isu-isu yang justru memunculkan pertanyaan baru. Misalnya, ditemukannya budaya “saling menyalahkan” menimbulkan pertanyaan lanjutan: apa akar penyebab budaya ini? Apakah karena struktur organisasi hirarkis, tekanan biaya dalam kontrak, atau kurangnya akuntabilitas di tingkat manajemen? Penelitian ini belum mendalami secara spesifik peran struktur kekuasaan organisasi dan insentif ekonomi (seperti skema kontrak, model tender) terhadap prioritas keselamatan. Analisis lebih mendalam di area tersebut menjadi pertanyaan terbuka yang layak diteliti di masa depan untuk memahami akar masalah perilaku keselamatan.
Pertanyaan lain muncul terkait sustainability inovasi: Bagaimana caranya memastikan alat digital yang berhasil di satu proyek dapat diadopsi luas di proyek-proyek lain secara konsisten? Apa strategi efektif untuk mengatasi kesenjangan digital antara tahap perencanaan (yang sudah maju secara teknologi) dan tahap konstruksi di lapangan? Begitu pula, meskipun para partisipan menyuarakan dukungan terhadap pelatihan, jenis pelatihan seperti apa yang paling efektif untuk mengubah mindset pekerja veteran yang sudah nyaman dengan cara lama? Semua ini merupakan ranah penelitian lanjutan yang disarankan, sehingga komunitas K3 konstruksi dapat menemukan model implementasi terbaik bagi transformasi digital jangka panjang.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berdasarkan temuan-temuan di atas, berikut adalah lima rekomendasi arah riset lanjutan untuk mendukung implementasi digital dalam keselamatan konstruksi:
- Studi Kasus Longitudinal Implementasi Teknologi: Melakukan penelitian longitudinal pada satu proyek konstruksi yang menerapkan alat digital keselamatan tertentu (misal: sensor IoT atau perangkat AI vision untuk deteksi bahaya). Studi ini akan melacak proses implementasi dari awal hingga akhir proyek, mengamati bagaimana sikap dan perilaku tim berubah seiring waktu. Dengan metode observasi dan wawancara berulang, riset ini dapat mengukur dynamics adopsi teknologi: apakah penerimaan meningkat setelah familiarisasi, tantangan apa yang muncul di tengah proyek, serta dampak nyata terhadap insiden kecelakaan dibanding proyek konvensional.
- Penelitian Kuantitatif Skala Besar tentang Budaya vs Adopsi: Menguji hubungan antara variabel budaya organisasi dengan keberhasilan adopsi teknologi keselamatan secara statistik. Misalnya, melakukan survei terhadap banyak perusahaan konstruksi untuk mengukur tingkat safety climate, psychological safety atau tingkat kepercayaan di perusahaan, lalu korelasikan dengan tingkat adopsi teknologi (berapa banyak dan seefektif apa teknologi K3 yang digunakan) serta angka kecelakaan kerja. Pendekatan kuantitatif pada skala luas ini akan memberikan bukti empiris apakah faktor seperti kepercayaan karyawan, dukungan manajemen, dan budaya saling menyalahkan memang berpengaruh signifikan terhadap penerimaan teknologi digital di sektor konstruksi.
- Riset Intervensi untuk Transfer Pengetahuan Antar-Proyek: Mengembangkan dan menguji program intervensi yang bertujuan meningkatkan knowledge transfer terkait inovasi keselamatan digital dari satu proyek ke proyek berikutnya. Misalnya, merancang protokol dokumentasi dan mentoring antar proyek, atau platform digital berbagi lesson learned K3. Penelitian ini dapat melibatkan percobaan terkontrol di mana beberapa organisasi menerapkan intervensi tersebut, sementara yang lain tidak, kemudian dibandingkan efektivitasnya. Outcome yang diukur mencakup peningkatan adopsi alat keselamatan di proyek baru, waktu yang diperlukan untuk mengimplementasi teknologi, serta apakah praktik terbaik keselamatan dari proyek sebelumnya lebih banyak diterapkan setelah intervensi.
- Studi Pengembangan Pelatihan dan Desain Pengguna: Menanggapi isu “takut teknologi” dan kurangnya pemahaman di kalangan pekerja lapangan, riset ini dapat berfokus pada metode pelatihan inovatif dan desain teknologi yang ramah pengguna. Contohnya, membandingkan efektivitas pelatihan keselamatan berbasis VR/simulasi interaktif vs. pelatihan klasikal dalam meningkatkan self-efficacy pekerja menggunakan alat digital. Selain itu, melibatkan ahli human-centered design untuk menciptakan antarmuka aplikasi K3 yang sederhana bagi pekerja kurang familiar dengan IT, lalu uji coba di lapangan. Variabel yang bisa diukur mencakup tingkat adopsi sukarela, penurunan rasa cemas terhadap teknologi, dan peningkatan kepatuhan K3 setelah pelatihan. Studi ini akan membantu memahami cara terbaik untuk mengurangi resistensi dan membangun kepercayaan pekerja terhadap solusi digital.
- Studi Komparatif Lintas Negara atau Budaya: Untuk menjawab keterbatasan generalisasi, disarankan penelitian serupa di konteks negara lain atau budaya konstruksi berbeda. Misalnya, melakukan studi wawancara dan survei di negara berkembang atau di lingkungan proyek dengan karakteristik berbeda (misal proyek infrastruktur publik vs proyek komersial swasta). Tujuannya untuk melihat apakah hambatan dan sikap yang ditemukan di Swedia juga muncul di tempat lain, atau ada faktor unik lokal. Perbandingan lintas konteks ini akan memperkaya pemahaman mengenai faktor universal vs spesifik lokal dalam adopsi teknologi keselamatan. Dengan demikian, peneliti dan praktisi bisa merumuskan strategi implementasi yang lebih tailor-made sesuai budaya kerja setempat, sekaligus memastikan bahwa rekomendasi kebijakan memiliki validitas eksternal yang lebih kuat.
Potensi Jangka Panjang dan Penutup:
Temuan studi ini menegaskan bahwa transformasi digital dalam keselamatan konstruksi bukan sekadar mengganti kertas dengan tablet, tetapi menyangkut evolusi budaya dan sistem kerja. Dalam jangka panjang, jika berbagai hambatan manusiawi dan organisasional yang teridentifikasi dapat diatasi, industri konstruksi berpotensi memasuki era baru keselamatan berbasis data dan teknologi. Bayangan masa depan yang muncul adalah proyek konstruksi di mana sensor IoT dan AI secara proaktif memperingatkan pekerja akan bahaya, dashboard K3 real-time digunakan manajer untuk mengambil keputusan preventif, dan seluruh tim memiliki mindset proaktif terhadap keselamatan karena didukung budaya kolaboratif tanpa saling menyalahkan. Penerapan teknologi yang sukses pada akhirnya dapat menyelamatkan banyak nyawa dan meningkatkan kinerja proyek (minim penghentian kerja akibat kecelakaan), sembari menarik generasi pekerja muda yang lebih melek digital ke industri konstruksi.
Untuk mewujudkan potensi tersebut, dibutuhkan kolaborasi erat lintas sektor. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi pemerintah/regulator, perusahaan konstruksi, dan akademisi (X, Y, Z) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil. Dukungan dari regulator akan membantu menciptakan kebijakan dan standar yang mendorong adopsi teknologi selamat, pelibatan perusahaan memastikan inovasi yang dikaji tetap relevan dan aplikatif, sementara kontribusi perguruan tinggi menghadirkan metodologi riset yang objektif dan mendalam. Melalui kemitraan strategis ini, perjalanan menuju konstruksi digital yang aman dapat dipercepat sekaligus dipastikan keberhasilannya. Mari bergandengan tangan – akademisi, industri, dan pemerintah – untuk mentransformasi keselamatan konstruksi di era digital demi masa depan pekerjaan konstruksi yang nol kecelakaan.
https://doi.org/10.1016/j.autcon.2023.105227