1. Pendahuluan: Tata Kelola Sampah sebagai Persoalan Kelembagaan, Bukan Sekadar Teknis
Permasalahan sampah perkotaan sering kali direduksi menjadi persoalan teknis: kurang armada, fasilitas tidak memadai, atau perilaku masyarakat yang belum tertib. Pendekatan ini memang menangkap sebagian gejala, tetapi gagal menyentuh akar persoalan. Di banyak kota, persoalan utama bukan terletak pada absennya solusi, melainkan pada cara kewenangan, peran, dan tanggung jawab diorganisasikan dalam sistem pengelolaan sampah.
Model tata kelola yang terlampau terpusat cenderung menghasilkan kebijakan seragam yang tidak selalu sesuai dengan dinamika lokal. Pemerintah menjadi aktor dominan, sementara masyarakat dan organisasi non-negara diposisikan sebagai pelaksana pasif atau sekadar objek kebijakan. Akibatnya, partisipasi sering bersifat formalistik, dan inisiatif lokal sulit berkembang secara berkelanjutan.
Dalam konteks inilah ekonomi sirkular mulai dipandang sebagai alternatif pendekatan. Namun ekonomi sirkular tidak akan efektif jika hanya dipahami sebagai perubahan alur material. Ia menuntut perubahan cara mengelola kekuasaan, koordinasi, dan kolaborasi antar-aktor. Tanpa transformasi tata kelola, ekonomi sirkular berisiko menjadi slogan normatif yang tidak mengubah praktik di lapangan.
Artikel ini membahas temuan dari paper “Embedding Community-Based Circular Economy Initiatives in a Polycentric Waste Governance System: A Case Study”, yang menawarkan perspektif berbeda dengan menempatkan inisiatif berbasis komunitas—khususnya bank sampah—dalam kerangka tata kelola polisentris. Pendekatan ini tidak berangkat dari asumsi bahwa satu aktor mampu mengendalikan sistem secara penuh, melainkan bahwa keberhasilan pengelolaan sampah justru bergantung pada interaksi banyak pusat keputusan yang saling beririsan.
Dengan mengambil konteks perkotaan di Indonesia, pembahasan ini menggeser fokus dari pertanyaan “siapa yang paling berwenang” menjadi “bagaimana kewenangan dibagi dan diseimbangkan”. Di titik ini, ekonomi sirkular tampil bukan hanya sebagai strategi lingkungan, tetapi sebagai alat restrukturisasi tata kelola perkotaan.
2. Dari Tata Kelola Monosentris ke Polisentris: Ruang bagi Inisiatif Komunitas
Salah satu kritik paling tajam terhadap pengelolaan sampah perkotaan adalah kecenderungannya bersifat monosentris. Dalam model ini, pemerintah memegang hampir seluruh kendali perencanaan dan implementasi, sementara aktor lain bergerak dalam batas yang ditentukan dari atas. Model semacam ini relatif stabil secara administratif, tetapi sering tidak adaptif terhadap keragaman kondisi sosial di tingkat lokal.
Pendekatan polisentris menawarkan logika yang berbeda. Alih-alih satu pusat keputusan, terdapat banyak pusat kewenangan yang relatif otonom namun saling terhubung. Pemerintah tetap berperan penting, tetapi bukan sebagai pengendali tunggal. Komunitas, organisasi masyarakat sipil, dan pelaku ekonomi lokal memiliki ruang untuk mengambil keputusan dan berinovasi sesuai konteksnya masing-masing.
Dalam kerangka ini, inisiatif berbasis komunitas—seperti bank sampah—tidak dipandang sebagai pelengkap sistem formal, melainkan sebagai node penting dalam jaringan tata kelola. Mereka berfungsi menjembatani rumah tangga sebagai penghasil sampah dengan pasar daur ulang, sekaligus menjadi ruang pembelajaran sosial mengenai nilai ekonomi dan lingkungan dari sampah.
Yang menarik, pendekatan ini juga mengungkap bahwa inisiatif komunitas tidak selalu lahir secara organik dari bawah. Sebagian muncul dari dorongan kebijakan pemerintah, sebagian lain tumbuh dari inisiatif masyarakat sipil. Kedua jalur ini sering kali berinteraksi dan saling memengaruhi. Dalam sistem polisentris, dinamika top-down dan bottom-up tidak diposisikan sebagai dikotomi, melainkan sebagai mekanisme yang dapat saling melengkapi.
Namun polisentrisme juga membawa tantangan. Banyak pusat keputusan berarti potensi konflik kepentingan, tumpang tindih peran, dan ketimpangan kapasitas antar-aktor. Tanpa mekanisme koordinasi dan pengakuan yang jelas, inisiatif komunitas dapat terjebak antara ekspektasi tinggi dan dukungan yang terbatas. Di sinilah tata kelola polisentris diuji: apakah ia mampu menciptakan keseimbangan kewenangan, atau justru memperluas fragmentasi.
3. Bank Sampah sebagai Penghubung Antarlevel: Dari Rumah Tangga ke Sistem Perkotaan
Dalam praktik pengelolaan sampah, salah satu titik lemah paling persisten adalah jurang antara skala rumah tangga dan sistem perkotaan. Kebijakan dirancang di level kota, tetapi implementasinya sangat bergantung pada perilaku individu dan komunitas. Bank sampah muncul di ruang antara dua level ini dan berfungsi sebagai mekanisme penghubung yang sering kali tidak dimiliki oleh sistem formal.
Peran utama bank sampah bukan semata mengumpulkan dan memilah sampah, melainkan mengorganisasikan partisipasi. Melalui insentif ekonomi sederhana dan struktur kelembagaan berbasis komunitas, bank sampah menerjemahkan tujuan kebijakan yang abstrak menjadi praktik sehari-hari yang dapat dipahami warga. Dalam konteks ini, bank sampah berperan sebagai “penerjemah kebijakan” di tingkat lokal.
Lebih jauh, bank sampah juga menghubungkan aktor yang sebelumnya terpisah. Rumah tangga, pelaku daur ulang, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah daerah berinteraksi melalui satu simpul kelembagaan. Interaksi ini menciptakan aliran informasi dua arah: kebutuhan dan kendala warga dapat naik ke level kebijakan, sementara arah kebijakan dapat disesuaikan dengan realitas lapangan.
Namun fungsi penghubung ini tidak otomatis berjalan. Banyak bank sampah beroperasi dengan kapasitas terbatas, bergantung pada relawan, dan rentan terhadap fluktuasi harga material daur ulang. Ketika dukungan kelembagaan lemah, bank sampah mudah terjebak pada aktivitas rutin tanpa kemampuan berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan bank sampah sangat dipengaruhi oleh lingkungan tata kelola tempat mereka beroperasi.
Dalam kerangka polisentris, bank sampah yang kuat tidak berdiri sendiri. Ia menjadi bagian dari jaringan aktor yang saling menguatkan. Ketika jaringan ini berfungsi, pengelolaan sampah tidak lagi bergantung pada satu institusi, melainkan pada koordinasi lintas level yang lebih adaptif terhadap perubahan sosial dan ekonomi.
4. Relasi Pemerintah, Organisasi Masyarakat Sipil, dan Pasar: Dinamika yang Menentukan Keberlanjutan
Ekonomi sirkular berbasis komunitas tidak hanya ditentukan oleh semangat partisipasi warga, tetapi oleh kualitas relasi antar-aktor kunci. Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan pasar memainkan peran berbeda yang saling melengkapi sekaligus berpotensi saling menegasikan. Keseimbangan relasi inilah yang menentukan apakah inisiatif komunitas dapat bertahan dalam jangka panjang.
Pemerintah memiliki peran strategis sebagai pemberi legitimasi dan kerangka aturan. Tanpa pengakuan formal, inisiatif komunitas sering berada di wilayah abu-abu, sulit mengakses dukungan anggaran maupun fasilitas. Namun ketika pemerintah terlalu dominan, inisiatif lokal berisiko kehilangan otonomi dan kreativitas. Dalam sistem polisentris yang sehat, pemerintah berperan sebagai enabler, bukan pengendali tunggal.
Organisasi masyarakat sipil sering menjadi aktor penghubung yang krusial. Mereka menyediakan pendampingan, membangun kapasitas komunitas, dan menjembatani komunikasi dengan pemerintah. Dalam banyak kasus, keberlanjutan bank sampah justru bergantung pada keberadaan organisasi ini. Namun ketergantungan berlebihan juga membawa risiko, terutama ketika pendanaan eksternal berakhir.
Pasar, khususnya pasar material daur ulang, menentukan dimensi ekonomi dari inisiatif komunitas. Tanpa akses pasar yang stabil, aktivitas pemilahan dan pengumpulan sulit dipertahankan. Fluktuasi harga material dapat melemahkan motivasi partisipasi warga dan menggerus kepercayaan terhadap sistem. Oleh karena itu, integrasi inisiatif komunitas ke dalam rantai nilai yang lebih luas menjadi faktor kunci keberlanjutan.
Interaksi ketiga aktor ini jarang berlangsung mulus. Konflik kepentingan, ketimpangan kapasitas, dan perbedaan logika kerja sering muncul. Namun justru dalam ketegangan inilah tata kelola polisentris diuji. Keberhasilan tidak diukur dari ketiadaan konflik, melainkan dari kemampuan sistem mengelola konflik secara produktif.
4. Relasi Pemerintah, Organisasi Masyarakat Sipil, dan Pasar: Dinamika yang Menentukan Keberlanjutan
Ekonomi sirkular berbasis komunitas tidak hanya ditentukan oleh semangat partisipasi warga, tetapi oleh kualitas relasi antar-aktor kunci. Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan pasar memainkan peran berbeda yang saling melengkapi sekaligus berpotensi saling menegasikan. Keseimbangan relasi inilah yang menentukan apakah inisiatif komunitas dapat bertahan dalam jangka panjang.
Pemerintah memiliki peran strategis sebagai pemberi legitimasi dan kerangka aturan. Tanpa pengakuan formal, inisiatif komunitas sering berada di wilayah abu-abu, sulit mengakses dukungan anggaran maupun fasilitas. Namun ketika pemerintah terlalu dominan, inisiatif lokal berisiko kehilangan otonomi dan kreativitas. Dalam sistem polisentris yang sehat, pemerintah berperan sebagai enabler, bukan pengendali tunggal.
Organisasi masyarakat sipil sering menjadi aktor penghubung yang krusial. Mereka menyediakan pendampingan, membangun kapasitas komunitas, dan menjembatani komunikasi dengan pemerintah. Dalam banyak kasus, keberlanjutan bank sampah justru bergantung pada keberadaan organisasi ini. Namun ketergantungan berlebihan juga membawa risiko, terutama ketika pendanaan eksternal berakhir.
Pasar, khususnya pasar material daur ulang, menentukan dimensi ekonomi dari inisiatif komunitas. Tanpa akses pasar yang stabil, aktivitas pemilahan dan pengumpulan sulit dipertahankan. Fluktuasi harga material dapat melemahkan motivasi partisipasi warga dan menggerus kepercayaan terhadap sistem. Oleh karena itu, integrasi inisiatif komunitas ke dalam rantai nilai yang lebih luas menjadi faktor kunci keberlanjutan.
Interaksi ketiga aktor ini jarang berlangsung mulus. Konflik kepentingan, ketimpangan kapasitas, dan perbedaan logika kerja sering muncul. Namun justru dalam ketegangan inilah tata kelola polisentris diuji. Keberhasilan tidak diukur dari ketiadaan konflik, melainkan dari kemampuan sistem mengelola konflik secara produktif.
5. Tantangan Tata Kelola Polisentris: Fragmentasi, Ketimpangan Kapasitas, dan Risiko Keberlanjutan
Meski menawarkan fleksibilitas dan adaptivitas, tata kelola polisentris bukan tanpa risiko. Tantangan paling nyata adalah fragmentasi peran. Banyaknya pusat keputusan dapat memicu tumpang tindih program, kebingungan kewenangan, dan inefisiensi koordinasi. Tanpa mekanisme penyelarasan yang jelas, inisiatif komunitas berpotensi bergerak sendiri-sendiri, kehilangan skala dampak, atau bahkan saling berkompetisi.
Ketimpangan kapasitas antar-aktor juga menjadi isu krusial. Tidak semua komunitas memiliki sumber daya, kepemimpinan, atau jejaring yang sama. Dalam kondisi ini, polisentrisme dapat memperlebar kesenjangan: inisiatif yang kuat semakin maju, sementara yang lemah tertinggal. Jika tidak diantisipasi, kebijakan berbasis komunitas justru berisiko menghasilkan peta layanan yang tidak merata di dalam kota yang sama.
Risiko lain adalah keberlanjutan kelembagaan. Banyak inisiatif komunitas bergantung pada figur kunci atau dukungan jangka pendek. Ketika relawan inti berpindah atau pendanaan berhenti, aktivitas melemah. Polisentrisme yang sehat memerlukan institusionalisasi ringan—cukup kuat untuk bertahan, namun tidak terlalu kaku hingga mematikan inisiatif lokal.
Di sinilah peran desain kebijakan menjadi penentu. Alih-alih menyeragamkan, kebijakan perlu menyediakan kerangka minimum bersama: standar dasar, mekanisme koordinasi, dan insentif yang adil. Kerangka ini berfungsi sebagai “rel” agar beragam aktor dapat bergerak searah tanpa kehilangan otonomi. Tanpa itu, polisentrisme mudah berubah menjadi fragmentasi.
6. Kesimpulan Analitis: Ekonomi Sirkular Komunitas sebagai Strategi Tata Kelola Perkotaan
Pembahasan ini menegaskan bahwa ekonomi sirkular berbasis komunitas tidak dapat dipisahkan dari persoalan tata kelola. Keberhasilannya tidak hanya ditentukan oleh teknologi atau insentif ekonomi, tetapi oleh cara kewenangan dibagi, diakui, dan dikoordinasikan di antara banyak aktor. Dalam kerangka polisentris, kekuatan sistem justru terletak pada keberagaman pusat keputusan yang saling terhubung.
Bank sampah dan inisiatif komunitas lainnya menunjukkan bahwa transformasi pengelolaan sampah dapat dimulai dari skala lokal, selama terhubung dengan sistem yang lebih luas. Mereka berfungsi sebagai simpul yang mengaitkan perilaku rumah tangga, kebijakan pemerintah, dan dinamika pasar. Ketika relasi ini dikelola dengan baik, ekonomi sirkular tidak lagi menjadi konsep abstrak, melainkan praktik sehari-hari yang berdampak.
Namun artikel ini juga menekankan sikap realistis. Tata kelola polisentris bukan solusi instan. Ia menuntut kapasitas koordinasi, kesabaran kebijakan, dan kesediaan untuk mengelola konflik. Keberhasilan diukur bukan dari ketiadaan masalah, tetapi dari kemampuan sistem beradaptasi dan belajar.
Pada akhirnya, ekonomi sirkular komunitas dapat dibaca sebagai strategi restrukturisasi tata kelola perkotaan. Ia menggeser fokus dari kontrol terpusat menuju kolaborasi berlapis, dari kepatuhan formal menuju partisipasi bermakna. Dalam konteks kota-kota di Indonesia, pendekatan ini menawarkan jalan tengah yang pragmatis antara keterbatasan kapasitas pemerintah dan kebutuhan akan solusi berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Sembiring, E., & Nitivattananon, V. (2010). Embedding community-based waste management in a polycentric governance system: A case study of waste bank development in Indonesia. Habitat International, 34(4), 493–500.