Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada momentum percepatan pembahasan RUU PBJP yang diamanatkan oleh Presiden Joko Widodo, sebuah proses yang oleh masyarakat sipil dipandang berisiko mengulangi praktik legislasi yang terburu-buru dan minim partisipasi, seperti yang terjadi pada revisi UU KPK dan pembentukan UU Ibu Kota Negara. Masalah inti yang menjadi pemicu analisis adalah paradoks dalam sistem pengadaan modern: terjadinya dua Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK di Bandung dan Kepulauan Meranti yang melibatkan suap dalam proyek yang menggunakan e-katalog. Fenomena ini secara fundamental mempertanyakan efektivitas digitalisasi sebagai benteng anti-korupsi dan mengindikasikan adanya masalah sistemik yang lebih dalam (underlying problem) di balik kegagalan di permukaan (surface problem).
Dengan berlandaskan pada draf RUU PBJP versi 05 Juli 2023, kerangka teoretis studi ini adalah analisis kebijakan kritis yang bertujuan untuk mengevaluasi kelemahan tata kelola dalam rancangan tersebut dan memberikan rekomendasi konkret untuk penguatan. Hipotesis implisit yang diajukan adalah bahwa RUU PBJP dalam bentuknya saat ini masih memiliki celah signifikan yang dapat dieksploitasi untuk praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu, tujuan utama dari kertas posisi ini adalah untuk mengidentifikasi kelemahan-kelemahan tersebut dan mengusulkan penguatan arsitektur hukum RUU PBJP untuk memastikan prinsip integritas, akuntabilitas, dan transparansi menjadi fondasi utama sistem pengadaan nasional.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metode kualitatif dengan pendekatan studi kebijakan (policy study) dan analisis yuridis-kritis. Pengumpulan data dilakukan melalui triangulasi sumber: (1) Studi Pustaka, yang mencakup analisis terhadap peraturan perundang-undangan eksisting (misalnya Perpres 16/2018 dan perubahannya, Peraturan LKPP), literatur akademis internasional mengenai asas-asas pengadaan, serta pemberitaan media terkait kasus-kasus korupsi; (2) Analisis Dokumen, yang berfokus pada penelaahan mendalam terhadap naskah RUU PBJP versi 05 Juli 2023; dan (3) Wawancara, yang dilakukan dengan narasumber anonim dari kalangan praktisi, termasuk mantan anggota Kelompok Kerja (Pokja) Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ) di Sumatra dan fungsional pengadaan di Kalimantan, untuk mendapatkan wawasan dari lapangan mengenai tekanan dan praktik-praktik informal yang terjadi.
Kebaruan dari karya ini terletak pada sintesisnya yang komprehensif antara teori hukum, analisis kebijakan, dan bukti empiris (baik dari kasus korupsi maupun testimoni praktisi) untuk menghasilkan sebuah intervensi yang tepat waktu dalam proses legislasi yang sedang berjalan. Alih-alih hanya bersifat teoretis, penelitian ini secara aktif menerjemahkan temuan-temuannya menjadi usulan pasal dan norma yang konkret, menjadikannya sebuah dokumen advokasi berbasis bukti yang kuat.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis mendalam terhadap RUU PBJP dan praktik pengadaan saat ini menghasilkan beberapa temuan krusial yang dikelompokkan ke dalam beberapa tema utama.
-
Salah Arah Kebijakan dan Perlunya Hierarki Asas: Ditemukan bahwa kebijakan pelonggaran verifikasi dalam sistem e-katalog demi mendorong partisipasi UMKM dan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN) telah menciptakan celah baru untuk korupsi. Praktik "uang klik"—suap yang diberikan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau Pokja agar memilih produk tertentu di katalog—menjadi fenomena yang mengkhawatirkan. Masalah ini diperparah oleh regulasi LKPP yang bersifat longgar ("dan/atau"), yang memberikan diskresi luas kepada pejabat untuk memilih negosiasi langsung ketimbang kompetisi mini. Temuan ini mengindikasikan bahwa ketika asas efektivitas atau tujuan kebijakan lain diutamakan tanpa pengaman yang kuat, asas integritas dan persaingan sehat menjadi korban. Oleh karena itu, RUU PBJP diusulkan untuk secara eksplisit mengamanatkan
hierarki asas, di mana integritas, akuntabilitas, dan transparansi ditempatkan sebagai asas tertinggi yang tidak dapat dikompromikan oleh asas-asas lain seperti efisiensi atau efektivitas.
-
Kerentanan Integritas Personel Pengadaan: Wawancara dengan praktisi mengungkap adanya tekanan politik dan intervensi yang masif dari pimpinan Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (KLPD) terhadap personel UKPBJ untuk memenangkan penyedia tertentu. Selain itu, ditemukan praktik mutasi terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) fungsional pengadaan yang berintegritas dan kompeten ke posisi lain yang tidak relevan—sebuah fenomena yang diistilahkan sebagai "memindahkan ikan keluar akuarium". Praktik ini secara sistematis melemahkan kapasitas dan independensi unit pengadaan. Draf RUU PBJP (Pasal 19) dinilai sangat lemah karena hanya menyinggung soal kompetensi SDM tanpa mengamanatkan adanya sistem perlindungan, pembinaan karir, dan penjagaan integritas bagi personel pengadaan.
-
Area Abu-abu di Luar Jangkauan Regulasi: Ditemukan bahwa banyak aktivitas pemerintah yang esensinya adalah pengadaan barang/jasa bernilai strategis dan beranggaran besar, namun saat ini berada di luar kerangka hukum PBJP. Contoh-contoh yang diangkat antara lain:
-
Beauty Contest Proyek Internasional: Proses pemilihan mitra dan pendonor untuk proyek strategis seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) lebih didasarkan pada intuisi politik ketimbang proses yang transparan dan kompetitif, meskipun pada akhirnya menggunakan BUMN dan berpotensi membebani APBN melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) saat terjadi cost overrun.
-
Pengadaan Sektor Pertahanan: Sektor ini dinilai sangat tidak transparan dan nir-kompetitif, yang tercermin dari skor rendah Indonesia ('D' atau berisiko tinggi) dalam Government Defence Integrity Index. Regulasi teknisnya (Permenhan 16/2019) dinilai kabur dan membuka ruang lebar untuk penunjukan langsung tanpa justifikasi yang jelas.
-
Penugasan Pemerintah kepada BUMN: Mekanisme penugasan langsung proyek infrastruktur kepada BUMN dinilai berada di "ruang gelap", tanpa transparansi mengenai dasar penunjukan dan formula kompensasi, sehingga berpotensi menimbulkan inefisiensi dan kecemburuan dari sektor swasta.
-
Pengadaan Darurat: Pengadaan dalam situasi darurat, seperti pada program Kartu Prakerja dan pembangunan RS Khusus Covid-19 di Pulau Galang, dikritik karena kurang transparan dan terkesan terburu-buru, menunjukkan bahwa kondisi darurat sering dijadikan justifikasi untuk mengabaikan prinsip-prinsip dasar pengadaan.
-
-
Lemahnya Mekanisme Penyelesaian Sengketa: Sistem penyelesaian sengketa yang ada dinilai tidak efektif. Penyedia yang dirugikan oleh persyaratan tender yang diskriminatif atau tidak relevan (misalnya, syarat Amdal untuk pengadaan scanner) tidak memiliki jalur komplain resmi yang efektif, sehingga hanya bisa "curhat" ke media. RUU PBJP diusulkan untuk secara eksplisit memberikan
kewenangan kepada lembaga peradilan (PTUN) untuk memberikan perlindungan hukum yang efektif, seperti menghentikan proses tender, membatalkan keputusan, dan memerintahkan tindakan korektif. Selain itu, perlu ada penegasan mengenai durasi waktu maksimal penanganan sengketa pengadaan di pengadilan.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Sebagai sebuah kertas posisi, fokus utama tulisan ini adalah advokasi kebijakan, yang secara inheren membentuk argumennya untuk menyoroti kelemahan dan mendorong perbaikan. Ketergantungan pada narasumber anonim, meskipun dapat dipahami untuk melindungi identitas mereka, menjadikan bukti dari lapangan bersifat anekdotal dan tidak dapat diverifikasi secara independen. Selain itu, analisis berpusat pada draf RUU per Juli 2023, sehingga mungkin tidak merefleksikan dinamika pembahasan legislatif yang lebih baru.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat langsung: memberikan masukan konkret kepada pemerintah dan DPR untuk merevisi dan memperkuat sejumlah pasal krusial dalam RUU PBJP sebelum disahkan. Rekomendasi yang diajukan, jika diadopsi, berpotensi secara signifikan meningkatkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas sistem pengadaan publik di Indonesia.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka beberapa jalur investigasi. Diperlukan studi empiris yang lebih mendalam untuk mengukur efektivitas e-katalog dalam menekan korupsi di berbagai daerah, serta penelitian kuantitatif mengenai dampak intervensi politik terhadap hasil pengadaan (misalnya, harga kontrak dan kualitas pekerjaan). Studi hukum komparatif tentang bagaimana negara lain meregulasi area abu-abu seperti beauty contest dan penugasan BUMN juga akan sangat bermanfaat. Sebagai refleksi akhir, kertas posisi ini berhasil menunjukkan bahwa digitalisasi bukanlah obat mujarab; tanpa fondasi hukum yang kokoh yang menjunjung tinggi integritas dan akuntabilitas, teknologi secanggih apa pun akan tetap rentan terhadap manipulasi.
Sumber
Wibowo, R. A. (2023). Kertas Posisi: Catatan Kritis Masyarakat Sipil Atas RUU Pengadaan Barang/Jasa Publik. Transparency International Indonesia.