Pengantar: Ironi Air di Tengah Kelimpahan
Kota Sorong, yang kini menjadi ibu kota Provinsi Papua Barat Daya, menyimpan ironi besar. Di musim hujan, air berlimpah menyebabkan banjir, namun di musim kemarau justru masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih. Riset oleh Pristianto dan Butudoka (2023) berupaya menjawab pertanyaan besar: bagaimana menata pengelolaan 11 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang membentang di wilayah pusat pemerintahan agar mampu mengantisipasi krisis air dan bencana secara terpadu?
Latar Belakang: DAS Kecil, Masalah Besar
Sebelas DAS yang dikaji—termasuk Sungai Remu, Klagison, Klawoguk, dan Klasaman—memiliki luas total 341,35 km² dan dikategorikan sebagai DAS kecil. Namun, kontribusinya besar dalam membentuk dinamika hidrologi, sedimentasi, banjir, serta keterbatasan pasokan air baku. Ironisnya, hanya sekitar 30% penduduk Sorong yang mendapat layanan PDAM. Selebihnya bergantung pada air hujan dan sumur bor, yang kualitasnya pun bervariasi.
Metode Penelitian: Kombinasi Lapangan dan Laboratorium
Penelitian ini menggunakan pendekatan komprehensif:
- Pengumpulan data infiltrasi dan permeabilitas tanah (SNI dan ASTM)
- Analisis tutupan lahan dan kualitas air
- Kajian literatur 10 tahun terakhir dan data sekunder
- Visualisasi dampak lingkungan melalui dokumentasi video
Temuan Kunci: Kombinasi Ancaman dan Ketidaksiapan
1. Variasi Infiltrasi dan Permeabilitas
- Infiltrasi berkisar antara 0.01 hingga 34.78 cm/jam
- Permeabilitas tertinggi ditemukan di DAS Pasar Baru (2.56 cm/jam), terendah di Wermon (0.17 cm/jam)
- Tekstur tanah dominan: clay loam dan loam
2. Kualitas dan Kuantitas Air
- Hulu sungai memiliki kualitas air relatif baik
- Bagian tengah dan hilir tercemar, bahkan diklasifikasikan sebagai kelas III-IV (tidak layak konsumsi langsung)
- Potensi air besar, namun minim infrastruktur pemantauan (hanya dua sungai dengan alat ukur debit)
3. Tutupan Lahan dan Degradasi Hulu
- Dominasi lahan terbuka dan rumput tinggi
- Aktivitas penambangan pasir di hulu (misalnya DAS Klagison) memperparah kerusakan
- Hilangnya vegetasi mempercepat limpasan permukaan dan memperbesar risiko banjir
Studi Kasus Banjir: Bukti Krisis Multidimensi
Sungai Pasar Baru, Remu, Klagison, dan Klawoguk menjadi pusat kejadian banjir besar di Sorong (2022), menelan kerugian hingga Rp 77,14 miliar. Faktor manusia (perilaku eksploitatif), kelembagaan (penegakan aturan lemah), dan ketidakhadiran sistem mitigasi menjadi penyebab utama.
Contoh visual kondisi lapangan menunjukkan sempadan sungai berubah menjadi pemukiman padat, bahkan hingga mendekati landasan pacu bandara. Hal ini bertentangan dengan Permen PUPR No. 28/2015 yang melarang aktivitas budidaya di sempadan sungai.
Opini & Kritik: Tata Kota Tanpa Sungai Adalah Bunuh Diri Ekologis
Penelitian ini menyoroti absennya konsep pembangunan kota berbasis DAS. Padahal, kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, hingga Palembang mulai mengintegrasikan pengelolaan sungai ke dalam masterplan kotanya. Sorong perlu mencontoh konsep ini agar bisa menjelma sebagai kota pesisir yang tangguh dan berwawasan ekologi.
Poin Kritis:
- Perekaman data hidrologi sangat minim
- Penegakan aturan sempadan sungai lemah
- Potensi sumber air besar, tapi kualitas dan kuantitasnya belum terkelola
Solusi Strategis: Dari Hulu ke Hilir, dari Pesisir ke Perkotaan
1. Tata Kelola Terintegrasi
- Terapkan model "One River, One Plan, One Management"
- Satukan kebijakan DAS dan pesisir dalam satu badan koordinatif
2. Infrastruktur Pemantauan
- Tambah stasiun pengukur curah hujan dan debit sungai
- Bangun bank data DAS berbasis GIS
3. Penataan Sempadan Sungai
- Relokasi kawasan padat di sempadan sungai
- Reboisasi dan konservasi wilayah hulu
4. Pendidikan Lingkungan dan Adat
- Edukasi masyarakat tentang peran DAS
- Libatkan tokoh adat dalam tata kelola
5. Pembangunan Kota Berbasis DAS
- Rancang Kota Sorong dengan pendekatan zonasi ekohidrologi
- Terapkan sistem Zero Runoff dalam pengelolaan air hujan
Penutup: Dari Krisis Menuju Peluang Transformasi
Riset ini menjadi pionir dalam menyatukan analisis fisik, sosial, dan kelembagaan untuk mengelola 11 DAS di Sorong. Kunci keberhasilan bukan hanya teknologi, tapi juga political will, literasi masyarakat, dan penghormatan terhadap kearifan lokal.
Papua Barat Daya bisa menjadi model kota masa depan yang tahan bencana dan berkelanjutan, asal sungainya tidak hanya dilihat sebagai saluran air, tetapi sebagai jantung kehidupan masyarakat.
Sumber:
Pristianto, H., & Butudoka, M. A. (2023). Konsep Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dalam Mengantisipasi Bencana dan Krisis Air di Ibu Kota Propinsi Papua Barat Daya. Jurnal Ilmiah Ecosystem, 23(2), 290–307.