Tantangan Pembangunan Hijau di Indonesia: Mencari Arah Transformasi yang Realistis dan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

20 November 2025, 18.11

Indonesia sedang berada pada persimpangan penting dalam upaya mencapai pertumbuhan ekonomi yang hijau dan berkelanjutan. Meski agenda transisi energi, ekonomi sirkular, dan penguatan industri hijau semakin diperkuat di berbagai kebijakan nasional, perjalanan menuju pembangunan hijau tidak sederhana. Banyak tantangan struktural, ekonomi, dan kelembagaan yang harus dibenahi agar proses transformasi bisa berjalan efektif.

Akses Teknologi, Pendanaan, dan Kapasitas Kelembagaan Masih Rendah

Negara berkembang seperti Indonesia menghadapi hambatan fundamental ketika ingin mempercepat ekonomi sirkular maupun agenda hijau lainnya. Keterbatasan akses terhadap teknologi ramah lingkungan dan minimnya investasi menjadi penghalang besar. Selain itu, kapasitas kelembagaan untuk merancang, mengimplementasikan, serta mengawasi kebijakan transisi masih belum cukup kuat.

Di lapangan, pelaku usaha seringkali bimbang: apa sebenarnya manfaat yang benar-benar dapat diperoleh dari ekonomi sirkular? Dan sektor mana yang paling siap untuk menerapkannya? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menunjukkan masih terputusnya pemahaman antara kebijakan dan implementasi.

Ketergantungan Tinggi pada Energi Fosil

Meskipun porsi energi baru terbarukan (EBT) meningkat, Indonesia masih bergantung kuat pada bahan bakar fosil, khususnya batubara. Beberapa provinsi bahkan memiliki struktur ekonomi yang sangat bergantung pada sektor ini sehingga perubahan menuju energi hijau dianggap mengancam stabilitas ekonomi daerah.

Kontribusi pertambangan batubara terhadap PDB regional masih sangat besar, terutama di Kalimantan. Ketika harga batubara naik, daerah mengalami pertumbuhan signifikan; ketika harga turun, ekonomi mereka ikut melambat. Ketergantungan tinggi ini membuat transisi energi hijau menjadi tantangan politik dan ekonomi yang tidak mudah.

Pengembangan Industri Hijau Masih Sangat Terbatas

Industri ramah lingkungan di Indonesia masih berada pada tahap awal. Nilai tambah dari industri hijau hanya menyentuh persentase kecil dari total manufaktur nasional. Lebih memprihatinkan lagi, jumlah perusahaan yang telah mengantongi sertifikat industri hijau masih di bawah 1%.

Tiga kendala utama yang memperlambat perkembangan ini adalah:

  • minimnya investasi hijau,

  • kurangnya tenaga ahli dan SDM terlatih,

  • dan keterbatasan akses teknologi bersih.

Jika tidak ada akselerasi besar-besaran di sektor manufaktur, Indonesia berisiko tertinggal dalam persaingan industri global yang semakin menuntut keberlanjutan.

Tantangan Besar dalam Pembiayaan dan Investasi Hijau

Salah satu tantangan paling krusial adalah pendanaan. Untuk mencapai target pengurangan emisi sesuai komitmen nasional (NDC), Indonesia membutuhkan pembiayaan hijau hingga ribuan triliun rupiah antara 2018–2030. Kebutuhan pendanaan tersebut mencakup sektor energi bersih, pengelolaan lahan, mitigasi risiko iklim, hingga perbaikan sistem pengelolaan sampah.

Walaupun anggaran iklim nasional terus meningkat, kontribusinya masih jauh dari kebutuhan aktual. Proyeksi jangka panjang menunjukkan bahwa proporsi pendanaan untuk energi bersih harus semakin besar seiring waktu, mencapai lebih dari 75% kebutuhan setelah 2030.

Tantangan Investasi Hijau yang Lebih Besar dari Perkiraan

Transformasi menuju ekonomi hijau tidak hanya memerlukan teknologi, tetapi juga investasi rutin dan jangka panjang. Sektor energi, pengelolaan sampah, kehutanan, dan lahan menjadi fokus utama untuk menarik investasi hijau. Namun, realitas menunjukkan bahwa:

  • target bauran EBT masih jauh dari optimal,

  • pengurangan sampah plastik masih belum mencapai skala yang diharapkan,

  • dan kebutuhan pendanaan untuk mencapai target emisi masih sangat besar.

Hal ini menunjukkan bahwa tantangan bukan hanya pada penyediaan investasi, tetapi juga kesiapan sistem untuk menerima dan memanfaatkan investasi tersebut secara efektif.

Hambatan yang Dihadapi Dunia Industri dalam Menerapkan Ekonomi Sirkular

Pelaku industri menghadapi kendala internal yang tidak kalah berat. Survei perusahaan di Indonesia menunjukkan beberapa hambatan paling dominan:

  • kesulitan mengubah kebiasaan perusahaan,

  • keterbatasan infrastruktur,

  • tantangan teknis dalam implementasi,

  • regulasi yang belum sepenuhnya mendukung,

  • pasar produk daur ulang yang belum berkembang,

  • dan kurangnya informasi serta modal.

Sebagian perusahaan juga menganggap bahwa ekonomi sirkular tidak secara langsung menghasilkan keuntungan, sehingga minat untuk berinvestasi dalam model bisnis sirkular masih rendah.

Merumuskan Jalan Maju untuk Indonesia

Melihat seluruh tantangan ini, jelas bahwa pembangunan hijau membutuhkan pendekatan yang jauh lebih terkoordinasi. Beberapa langkah strategis perlu diperkuat:

  • memperluas investasi dan insentif industri hijau,

  • mempercepat transisi energi yang realistis dan terjangkau,

  • membuka akses teknologi ramah lingkungan,

  • memperbaiki kualitas regulasi dan tata kelola,

  • dan memperkuat kapasitas kelembagaan di pusat maupun daerah.

Selain itu, edukasi publik dan dunia usaha tentang manfaat jangka panjang ekonomi hijau harus diperluas agar perubahan perilaku dapat terjadi secara sistematis.

Pembangunan hijau bukan proyek jangka pendek—ia adalah perjalanan panjang menuju ekonomi yang lebih adil, efisien, tangguh, dan berkelanjutan. Indonesia memiliki potensi besar untuk memimpin transformasi ini, tetapi hanya jika tantangan-tantangan struktural tersebut diatasi dengan kebijakan yang kuat dan implementasi yang konsisten.

 

Daftsr Pustaka

Materi “Strategi Kebijakan Pembangunan Nasional di Bidang Ekonomi Sirkular Amalia Adininggar Widyasanti, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas, FGD PPI Seri 2, 12 September 2023.