Sungai Brantas dalam Sejarah dan Pariwisata

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

17 Juni 2025, 06.46

pixabay.com

Sungai Brantas, Urat Nadi Sejarah dan Ekonomi Jawa Timur

Sungai Brantas bukan sekadar aliran air yang membelah Jawa Timur, melainkan juga saksi bisu perjalanan sejarah, ekonomi, dan budaya masyarakat di sekitarnya. Buku "Sungai Brantas dalam Sejarah dan Pariwisata" karya Endah Sri Hartatik dan Wasino menghadirkan narasi komprehensif tentang peran vital sungai ini dari masa kerajaan kuno, kolonialisme, hingga era modern. Dengan pendekatan sejarah dan studi kasus nyata, buku ini memperlihatkan bagaimana Brantas menjadi tulang punggung perdagangan, pertanian, dan kini bertransformasi menjadi daya tarik pariwisata.

Sungai Brantas Sebagai Jalur Perdagangan: Dari Kerajaan ke Kolonialisme

Masa Pra-Kolonial: Sungai sebagai Jalan Raya Peradaban

Sejak abad ke-8 Masehi, Sungai Brantas telah menjadi jalur utama penghubung pedalaman Jawa Timur dengan dunia luar. Prasasti Dinoyo (760 M) mencatat keberadaan kerajaan Medang di sekitar mata air Brantas di Batu, Malang. Sungai ini mengalir melewati Blitar, Kediri, hingga Mojokerto, lalu bercabang menjadi Kali Porong dan Kalimas, yang berujung di Surabaya. Di masa Sriwijaya, Brantas menjadi penghubung perdagangan antara Jawa dan Maluku, memperdagangkan beras dan rempah-rempah.

Pada masa Kerajaan Kediri, prasasti Pandelegan (1038 M) dan Waleri (1159 M) menegaskan pentingnya Brantas sebagai jalur niaga. Raja memberikan pembebasan pajak kepada desa-desa yang berperan dalam kelancaran perdagangan di sepanjang sungai. Prasasti Jaring (1181 M) bahkan menyebutkan pejabat Senapati Sarwajala, panglima angkatan laut, menandakan sungai ini juga strategis secara militer.

Masa Majapahit semakin mempertegas peran Brantas. Prasasti Gunung Butak (1294 M) menceritakan bagaimana Raden Wijaya memanfaatkan sungai ini untuk melarikan diri dari kejaran musuh. Prasasti Trowulan (1358 M) menyebutkan desa-desa penyeberangan di sepanjang Brantas yang dibebaskan pajak karena peran vitalnya dalam transportasi dan perdagangan. Catatan Tiongkok dari masa Laksamana Cheng Ho (1413 M) juga mengakui Surabaya sebagai pelabuhan air tawar di muara Brantas yang ramai oleh perahu dagang.

Masa Kolonial: Modernisasi dan Transformasi Ekonomi

Di bawah Belanda, Sungai Brantas dan cabangnya, khususnya Kalimas, menjadi urat nadi perdagangan dan transportasi. Surabaya berkembang sebagai pelabuhan utama, didukung oleh jaringan pelayaran sungai yang menghubungkan pedalaman dengan pelabuhan ekspor-impor. Pada abad ke-19, pelabuhan Kalimas dilengkapi fasilitas modern: dermaga sepanjang 2 km, 20 gudang, dan area penyimpanan seluas 30 hektar.

Pembangunan pelabuhan Surabaya (1911–1925) dengan anggaran f2.000.000,- menjadikannya pelabuhan paling efisien di Asia Tenggara. Data perdagangan menunjukkan surplus ekspor Surabaya mencapai puncak pada 1920, saat harga gula naik tajam, dengan nilai ekspor 447.558 ribu gulden dan impor 228.584 ribu gulden. Surplus perdagangan tahun itu hampir 1% dari total nilai perdagangan, angka yang belum pernah dicapai sebelumnya.

Sungai Brantas dan Pertanian: Irigasi, Modernisasi, dan Konflik

Masa Pra-Kolonial: Infrastruktur Tradisional dan Mitologi

Sejak abad ke-10, Brantas sudah menjadi sumber irigasi utama. Prasasti Turyan (929 M) dan Wulig (935 M) mencatat pembangunan bendungan dan saluran air untuk pertanian. Pada masa Airlangga (abad ke-11), pembangunan bendungan Waringin Sapto untuk mengendalikan banjir dan irigasi sawah menjadi prioritas. Prasasti Kusmala (1350 M) juga menyebut pembangunan empang batu untuk irigasi di daerah Kediri.

Mitologi Jawa, seperti kisah Mpu Bharada yang membelah tanah Jawa dengan kendi air, juga memperkuat posisi Brantas sebagai batas alam dan sumber kehidupan.

Masa Kolonial: Proyek Irigasi Raksasa dan Pengaruh Industri Gula

Kolonialisme Belanda membawa perubahan besar. Sejak Tanam Paksa (1830–1870), pembangunan irigasi menjadi prioritas untuk mendukung pertanian dan industri gula. Proyek Lengkong (1840–1890-an) menjadi salah satu yang terpenting, dengan biaya f10.000.000,- untuk mengairi 47.000 bahu sawah. Total proyek irigasi di Jawa hingga 1899 menelan dana f40.000.000,- dan mengairi lebih dari 1 juta bahu sawah.

Pabrik-pabrik gula berperan besar dalam pembiayaan dan pengelolaan irigasi. Pada 1910–1919, 86 perkebunan tebu mengeluarkan f5.643.336,- untuk irigasi. Waduk-waduk besar seperti Watudakon di Jombang-Mojokerto dan sistem kanal di Sidoarjo memperluas lahan pertanian dan meningkatkan produksi tebu.

Namun, sistem pembagian air sering menimbulkan konflik antara petani dan pengusaha tebu. Sistem "siang-malam" mengutamakan tebu pada siang hari dan petani pada malam hari, sering merugikan petani karena air sulit didapat. Data tahun 1933 menunjukkan dari 533 bahu sawah golongan keempat, 343 bahu (64%) gagal panen akibat sistem irigasi yang tidak adil.

Pasca Kemerdekaan: Rehabilitasi dan Proyek Serbaguna

Setelah kemerdekaan, warisan infrastruktur kolonial yang rusak akibat perang dan bencana alam, seperti letusan Gunung Kelud (1951), menuntut rehabilitasi besar-besaran. Pemerintah Indonesia meluncurkan proyek-proyek pengendalian banjir dan pembangunan bendungan, seperti Karangkates (1961–1973) dan Selorejo (1964–1973). Proyek-proyek ini tidak hanya untuk irigasi, tetapi juga pembangkit listrik, pengendalian banjir, dan penyediaan air baku.

Sungai Brantas untuk Pariwisata: Revitalisasi dan Potensi Ekonomi Baru

Wisata Sungai Kalimas di Surabaya

Di era modern, fungsi perdagangan dan transportasi Brantas menurun, namun potensinya sebagai destinasi wisata mulai digarap. Sungai Kalimas, anak cabang Brantas di Surabaya, menjadi fokus revitalisasi. Pemerintah Kota Surabaya bersama Balai Wilayah Sungai Brantas membuka wisata susur Kalimas, menawarkan pengalaman edukasi, sejarah, kuliner, dan belanja. Pengunjung dapat menikmati pemandangan pintu air kolonial, jembatan bersejarah, hingga monumen kapal selam.

Revitalisasi Kalimas juga melibatkan pembangunan taman-taman tematik di bantaran sungai, seperti Taman Prestasi, Taman Ekspresi, dan Taman BMX, yang menjadi ruang publik kreatif dan edukatif. Festival perahu dan event budaya di Kalimas menghidupkan kembali memori kejayaan sungai sebagai urat nadi kota.

Wisata Sungai Brantas di Malang

Di hulu, Kota Malang mengembangkan wisata pinggir Brantas dengan Festival Kali Brantas yang digelar setiap Hari Sungai Nasional. Acara seperti petik tirto amerto, parade kampung, dan pelepasan ikan endemik menjadi daya tarik tersendiri. Kampung tematik di bantaran Brantas juga menjadi destinasi wisata baru, menggabungkan edukasi lingkungan, seni, dan budaya lokal.

Potensi di Wilayah Lain

Kota-kota lain di sepanjang Brantas, seperti Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Jombang, juga mulai mengembangkan wisata sungai dengan konsep heritage, ekowisata, dan festival budaya. Upaya ini tidak hanya meningkatkan ekonomi lokal, tetapi juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian Brantas.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci

  • Nilai ekspor Surabaya tahun 1920: 447.558 ribu gulden, impor 228.584 ribu gulden, surplus hampir 1%.
  • Proyek irigasi Lengkong (1840–1890): Biaya f10.000.000,-, mengairi 47.000 bahu sawah.
  • Total proyek irigasi Jawa hingga 1899: f40.000.000,-, 1.002.000 bahu sawah.
  • Biaya irigasi oleh 86 perkebunan tebu (1910–1919): f5.643.336,-.
  • Waduk Watudakon: Mengubah rawa-rawa menjadi 14.000 bahu sawah subur.
  • Sistem irigasi Sidoarjo tahun 1933: Dari 533 bahu sawah golongan keempat, 343 bahu (64%) gagal panen.
  • Proyek Karangkates (1961–1973): Bendungan multifungsi, termasuk pembangkit listrik dan pengendalian banjir.
  • Revitalisasi wisata Kalimas Surabaya (2022): Wisata susur sungai, taman tematik, festival budaya.

Analisis Kritis dan Nilai Tambah

Kelebihan Buku

  • Pendekatan Historis dan Multidimensi: Buku ini tidak hanya mengulas sejarah, tetapi juga aspek ekonomi, sosial, dan budaya, memperkaya pemahaman tentang peran sungai dalam kehidupan masyarakat.
  • Studi Kasus Konkret: Penggunaan data sejarah, prasasti, dan angka-angka ekonomi membuat narasi lebih hidup dan faktual.
  • Relevansi Kontemporer: Dengan membahas revitalisasi wisata sungai, buku ini menghubungkan sejarah dengan tantangan dan peluang masa kini.

Kritik dan Tantangan

  • Kurangnya Data Terkini: Buku ini lebih fokus pada sejarah hingga awal era modern, sementara tantangan lingkungan dan urbanisasi mutakhir belum dibahas mendalam.
  • Perlu Pendalaman Isu Sosial: Konflik distribusi air, dampak lingkungan, dan perubahan sosial akibat industrialisasi dan urbanisasi masih bisa digali lebih dalam.

Hubungan dengan Tren Industri dan Global

Revitalisasi sungai untuk pariwisata dan ruang publik kini menjadi tren di banyak kota dunia, dari Seoul (Cheonggyecheon) hingga Singapura (Singapore River). Upaya serupa di Brantas menunjukkan bahwa warisan sejarah dapat menjadi modal ekonomi baru jika dikelola berkelanjutan dan berbasis komunitas.

Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan

  • Pengelolaan Terpadu: Pengembangan Brantas harus melibatkan kolaborasi lintas sektor—pemerintah, swasta, komunitas, dan akademisi—untuk memastikan keberlanjutan ekologis dan sosial.
  • Edukasi dan Partisipasi Publik: Revitalisasi sungai harus diiringi edukasi lingkungan dan pelibatan masyarakat agar tercipta rasa memiliki dan tanggung jawab bersama.
  • Inovasi Pariwisata: Pengembangan wisata sungai perlu mengintegrasikan teknologi, seni, dan budaya lokal agar menarik generasi muda dan wisatawan global.
  • Konservasi dan Restorasi: Perlindungan hulu sungai, penghijauan, dan pengendalian polusi mutlak diperlukan agar fungsi sungai tetap lestari.

Brantas, Sungai Kehidupan yang Tak Pernah Padam

Buku ini membuktikan bahwa Sungai Brantas adalah urat nadi sejarah, ekonomi, dan budaya Jawa Timur. Dari jalur perdagangan kerajaan, tulang punggung pertanian kolonial, hingga destinasi wisata modern, Brantas terus bertransformasi mengikuti zaman. Tantangan masa depan adalah menjaga keberlanjutan sungai ini agar tetap menjadi sumber kehidupan dan inspirasi bagi generasi mendatang.

Sumber Artikel 

Endah Sri Hartatik, Wasino. Sungai Brantas dalam Sejarah dan Pariwisata. Undip Press, 2022.