Pendahuluan
Dalam dunia teknik sipil modern, pembangunan terowongan di wilayah perbukitan dan pegunungan kerap menghadirkan tantangan besar, terutama menyangkut kestabilan lereng batuan. Proyek-proyek infrastruktur seperti jalur kereta api bawah tanah tidak hanya berurusan dengan penggalian, tetapi juga memerlukan perhatian ekstra terhadap risiko longsor dan keruntuhan lereng. Artikel ilmiah yang dikaji dalam tulisan ini, yaitu "Interaction of Tunneling and Rock Slope Stability: Case Study St. Michael Rail Ways Tunnel (Wachau Railway/Lower Austria)" karya Saadati et al. (2023), menyoroti kompleksitas teknis dalam pembangunan Terowongan St. Michael di Austria.
Artikel ini memadukan data lapangan, teknologi pemindaian 3D, dan simulasi numerik untuk mengevaluasi dampak pembangunan terowongan terhadap kestabilan lereng. Penelitian ini menjadi contoh nyata bagaimana pendekatan modern dalam geoteknik bisa mencegah potensi bencana serta mendukung keberlanjutan infrastruktur.
Latar Belakang dan Konteks Proyek
Studi ini berfokus pada Terowongan St. Michael, bagian dari proyek peningkatan jalur kereta Wachau Railway di Lower Austria. Lokasi ini memiliki karakteristik geologi kompleks, dengan batuan sedimen yang bervariasi, diskontinuitas alami, dan lereng yang curam. Tantangan utama adalah menjaga stabilitas lereng batuan di atas jalur penggalian, terutama karena sebagian lereng telah mengalami rekahan dan pelapukan.
Para peneliti memanfaatkan kombinasi antara pemodelan numerik dan pengukuran fotogrametri berbasis drone untuk mendapatkan data geometri lereng secara presisi. Penggalian dilakukan menggunakan metode konvensional NATM (New Austrian Tunneling Method), dan analisis lebih lanjut dilakukan dengan perangkat lunak RS2 dari Rocscience.
Metodologi: Gabungan Teknik Lapangan dan Analisis Numerik
Pendekatan yang digunakan dalam artikel ini melibatkan beberapa tahapan utama:
- Pengumpulan Data Geologi dan Geoteknik
Data diperoleh dari pemetaan geologi lapangan, pemindaian 3D dengan teknologi drone, serta uji laboratorium untuk mengetahui parameter mekanika batuan. - Pemodelan Numerik 2D
Menggunakan perangkat lunak RS2, penulis memodelkan interaksi antara terowongan dan lereng dalam bentuk potongan melintang. Parameter kunci yang dianalisis termasuk tegangan, deformasi, dan factor of safety (FoS). - Evaluasi Skenario Kegagalan Lereng
Model digunakan untuk menilai bagaimana perubahan kondisi (misal: tahap penggalian, variasi properti tanah) dapat memicu kegagalan.
Hasil Analisis dan Temuan Penting
1. Penurunan Faktor Keamanan setelah Penggalian
Dalam simulasi kondisi sebelum dan sesudah penggalian, terjadi penurunan nilai factor of safety secara signifikan, terutama di area kritis dengan struktur diskontinuitas. Nilai FoS menurun dari 1,65 menjadi 1,21 setelah tahap penggalian kedua—suatu indikasi bahwa lereng berada dalam kondisi mendekati tidak stabil jika tidak diperkuat.
2. Dampak Diskontinuitas Alamiah
Diskontinuitas vertikal dan miring (misalnya rekahan dan bidang geser alam) memiliki pengaruh besar terhadap arah keruntuhan potensial. Lereng menunjukkan kecenderungan untuk mengalami kegagalan planar atau rotasional tergantung orientasi bidang lemah.
3. Rekomendasi Sistem Perkuatan
Untuk menjaga stabilitas, penulis merekomendasikan pemasangan rock bolts sepanjang 4 m dan aplikasi shotcrete 10 cm pada area dinding lereng yang paling rentan. Hal ini dapat meningkatkan kembali FoS ke nilai aman >1.5.
4. Peran Teknologi 3D Scanning
Pemindaian topografi secara presisi menggunakan drone fotogrametri menghasilkan model permukaan 3D yang sangat akurat (resolusi hingga 5 cm). Ini membantu mengidentifikasi area rekahan kecil yang tak tampak dari observasi visual konvensional.
Diskusi dan Implikasi Lebih Luas
Penelitian ini tidak hanya relevan dalam konteks Austria, tetapi memiliki implikasi global bagi pembangunan infrastruktur di wilayah pegunungan, seperti di Indonesia, Swiss, Jepang, dan negara lain yang rentan terhadap longsor. Beberapa poin penting yang dapat diambil:
- Integrasi teknologi pemodelan dan data lapangan sangat krusial. Tanpa model numerik, dampak penggalian sulit diprediksi secara akurat.
- Pentingnya memperhatikan interaksi antara struktur bawah tanah dan permukaan. Banyak kegagalan lereng terjadi karena perencanaan terowongan yang hanya berfokus pada kestabilan lokal, tanpa mempertimbangkan respons sistemik lereng.
- Analisis risiko geoteknik perlu dilakukan secara iteratif dan adaptif, seiring perkembangan proyek.
Kritik dan Catatan Tambahan
Walaupun artikel ini kuat dari sisi teknis dan penyajian data, terdapat beberapa kekurangan:
- Model yang digunakan hanya 2D, sementara kondisi sebenarnya jauh lebih kompleks dan membutuhkan pendekatan 3D untuk hasil yang lebih realistis.
- Tidak ada pembahasan mendalam tentang dampak jangka panjang, seperti pengaruh hujan deras atau pelapukan pasca pembangunan yang bisa memicu reaktivasi longsor.
- Artikel tidak mengulas tentang aspek ekonomi atau biaya mitigasi, padahal ini sangat penting untuk pengambilan keputusan praktis di lapangan.
Namun demikian, pendekatan ini bisa menjadi benchmark untuk proyek-proyek serupa di masa depan.
Kesimpulan
Artikel ini merupakan contoh nyata bagaimana pendekatan geoteknik modern dapat diterapkan untuk mengantisipasi potensi bencana akibat interaksi antara penggalian terowongan dan lereng batuan. Dengan mengombinasikan pemetaan geologi, teknologi 3D scanning, dan analisis numerik, proyek Terowongan St. Michael dapat dirancang lebih aman dan efisien.
Bagi para insinyur sipil dan geoteknik, pendekatan ini memberikan pelajaran penting: stabilitas lereng bukan sekadar soal topografi, tetapi hasil dari interaksi kompleks antara struktur geologi, metode konstruksi, dan kondisi lapangan.
Referensi : Saadati, G., Schneider-Muntau, B., Javankhoshdel, S., Mett, M., & Kontrus, H. (2023). Interaction of Tunneling and Rock Slope Stability: Case Study St. Michael Rail Ways Tunnel (Wachau Railway/Lower Austria). In K. Sassa et al. (Eds.), Progress of Geo-Disaster Mitigation Technology in Asia (pp. 339–349). Springer.