Pendahuluan: Cerita Tentang Pelatihan Paling Membosankan yang Pernah Saya Ikuti
Saya masih ingat betul rasanya. Duduk di sebuah ruangan hotel tanpa jendela, AC disetel terlalu dingin, dengan aroma kopi instan yang sudah basi. Di depan, seorang konsultan berbicara dengan nada monoton dari slide presentasi yang sepertinya dibuat pada tahun 1998. Saya dan puluhan rekan kerja lainnya ada di sana untuk sebuah "Pelatihan Wajib Peningkatan Kinerja".
Kami semua tersenyum sopan, mengangguk di saat yang tepat, tapi mata kami berbicara bahasa yang berbeda. Bahasa universal orang-orang yang terjebak: melirik jam setiap lima menit, mengetik pesan di bawah meja, dan bertanya-tanya dalam hati, "Kenapa aku ada di sini?" Kami tidak belajar apa-apa, selain cara baru untuk terlihat sibuk sambil melamun. Pulang dari pelatihan itu, satu-satunya hal yang "meningkat" adalah sinisme saya terhadap program pengembangan profesional.
Pengalaman ini tidak unik. Saya yakin kamu juga pernah merasakannya. Perusahaan menghabiskan miliaran rupiah untuk pelatihan, tapi sering kali hasilnya nihil. Kenapa? Apa masalahnya ada di materi? Formatnya? Atau ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang fundamental, yang kita semua lewatkan?
Saya menemukan jawaban yang paling mengejutkan dari tempat yang tidak terduga: sebuah paper penelitian tentang 450 guru di Pakistan. Kedengarannya akademis dan membosankan, bukan? Tapi percayalah, ini bukan sekadar paper. Ini adalah sebuah cerita detektif yang membongkar misteri kegagalan motivasi. Dan temuannya tidak hanya relevan untuk ruang kelas di Punjab, tapi juga untuk ruang rapat di Jakarta, startup di Singapura, dan kantor di mana pun kamu bekerja.
Studi yang Mengubah Cara Kita Memandang "Training"
Para peneliti, Hafız Nauman Ahmed, Ali Rizwan Pasha, dan Munawar Malik, melakukan sesuatu yang sederhana namun brilian. Alih-alih berasumsi, mereka bertanya langsung kepada sumbernya: 450 guru dari sekolah negeri dan swasta yang telah mengikuti berbagai program pelatihan. Mereka ingin tahu dua hal: Apakah pelatihan ini benar-benar memotivasi para guru? Dan apakah pelatihan ini benar-benar meningkatkan keterampilan profesional mereka?.
Hasilnya? Seperti sebuah plot twist dalam film thriller.
Studi ini menemukan bahwa program-program pelatihan tersebut "tidak terlalu efektif dalam memotivasi guru-guru yang sedang bertugas dan mengembangkan keterampilan profesional di dalam diri mereka seperti yang seharusnya". Bayangkan itu. Sistem yang dirancang khusus untuk meningkatkan kualitas dan semangat para pendidik, justru gagal total dalam dua misi utamanya. Ini bukan sekadar program yang kurang bagus; ini adalah sebuah kegagalan sistemik.
Temuan ini memaksa kita untuk berhenti sejenak dan bertanya: jika ini terjadi di profesi sepenting mengajar, kemungkinan besar ini juga terjadi di industri kita. Kegagalan ini bukanlah anomali; ini adalah sebuah pola. Dan untuk memahaminya, kita perlu menggali lebih dalam, melampaui data permukaan, dan melihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam benak para peserta pelatihan.
Bukan untuk Belajar, tapi untuk Selembar Kertas Bernama Sertifikat
Di sinilah penyelidikan kita menjadi sangat menarik. Ketika para peneliti membedah motivasi para guru, mereka menemukan sebuah kebenaran yang pahit dan mungkin sangat familier bagi kita semua.
Apa yang Sebenarnya Mendorong Kita Datang ke Pelatihan?
Bayangkan kamu diundang ke sebuah festival musik. Tapi alih-alih datang untuk menikmati musiknya, tujuan utamamu adalah mendapatkan gelang VIP agar bisa pamer di media sosial dan mendapatkan akses ke area eksklusif. Musiknya sendiri menjadi kebisingan latar belakang yang harus ditoleransi demi mendapatkan "bukti" kehadiran.
Itulah gambaran akurat dari apa yang ditemukan studi ini. Ketika dianalisis, faktor pendorong dengan skor rata-rata tertinggi bukanlah keinginan untuk belajar atau menjadi guru yang lebih baik. Faktor terkuat adalah "Manfaat Sosial & Finansial" dengan skor rata-rata 3.49 dari 5. Para guru datang bukan untuk mengisi kepala mereka dengan pengetahuan, tapi untuk mengisi CV mereka dengan poin-poin tambahan.
Mari kita bedah lebih dalam lagi, karena detailnya sangat mencerahkan:
-
🚀 Kebutuhan Birokratis: Item dengan skor tertinggi dari semuanya (rata-rata 4.03) adalah pernyataan "Pelatihan ini dibutuhkan oleh institusi lain". Ini bukan tentang keinginan pribadi; ini tentang memenuhi persyaratan eksternal. Mereka hadir karena "disuruh", bukan karena "mau".
-
🧠 Mata Uang Karier: Item-item lain yang mendapat skor tinggi adalah "Nilai profesional saya meningkat dengan sertifikat pelatihan" (3.65) dan "Sertifikat ini membantu saya mendapatkan pekerjaan baru" (3.53). Sertifikat bukan lagi simbol pembelajaran, melainkan sebuah mata uang untuk transaksi karier.
-
💡 Pelajaran Pahit: Yang paling menyedihkan adalah skor untuk "Motivasi untuk berpartisipasi" dalam pelatihan itu sendiri sangat rendah (rata-rata 2.75), bahkan di bawah titik netral 3. Ini adalah pengakuan telanjang: "Kami sebenarnya tidak ingin berada di sini, tapi kami harus."
Jebakan "Insentif" yang Membunuh Keingintahuan
Apa yang kita saksikan di sini adalah sebuah lingkaran setan yang disebut "budaya kepatuhan" (compliance culture). Prosesnya berjalan seperti ini: Pertama, sebuah organisasi atau sistem menetapkan bahwa sertifikat pelatihan adalah syarat wajib untuk promosi atau penilaian kinerja. Ini mengubah esensi belajar dari sebuah penemuan menjadi sebuah tugas.
Kedua, karyawan (dalam hal ini guru) mulai memandang pelatihan sebagai rintangan transaksional yang harus dilewati, bukan sebagai peluang untuk bertumbuh. Fokusnya bergeser dari "Apa yang bisa saya pelajari?" menjadi "Bagaimana cara tercepat untuk mendapatkan sertifikat ini?".
Ketiga, penyelenggara pelatihan, yang sadar akan permintaan ini, mungkin mulai mengoptimalkan program mereka bukan untuk "pendidikan" tetapi untuk "sertifikasi". Materinya dibuat mudah, ujiannya dibuat formalitas, dan seluruh pengalaman dirancang untuk efisiensi birokratis, bukan efektivitas pembelajaran.
Keempat, para peserta yang mengalami program berkualitas rendah ini semakin yakin bahwa pelatihan hanyalah buang-buang waktu, sebuah tugas administratif yang membosankan. Keyakinan ini mematikan sisa-sisa percikan rasa ingin tahu yang mungkin mereka miliki. Dan lingkaran itu pun berulang.
Ini bukan masalah sekolah di Pakistan. Ini adalah peringatan keras bagi perusahaan mana pun yang mengikat pengembangan diri pada latihan "centang kotak" yang wajib. Saat pembelajaran berubah dari sebuah "kesempatan" menjadi sebuah "kewajiban", jiwanya telah hilang.
Membedah Kegagalan: Di Mana Letak Masalahnya?
Jika motivasi utamanya salah, apakah isi pelatihannya sendiri bisa menyelamatkannya? Sayangnya, data menunjukkan sebaliknya. Pelatihan ini tidak hanya gagal menginspirasi, tapi juga gagal mengajar.
Saat Pelatihan Gagal Menyentuh Keterampilan Inti
Bayangkan kamu seorang koki yang mengikuti kursus memasak. Kamu menghabiskan waktu berhari-hari, mendapatkan sertifikat kelulusan yang indah, tapi setelah selesai, kamu tidak merasa menjadi koki yang lebih baik. Kamu tidak belajar resep baru yang relevan, teknik memotong yang lebih efisien, atau cara mengelola dapur yang lebih baik. Itulah yang dirasakan oleh para guru ini.
Secara statistik, kategori dengan skor rata-rata terendah dari semuanya adalah "Keterampilan Mengajar" (3.19). Ini adalah temuan yang paling menghancurkan. Program yang seharusnya mengasah kemampuan inti seorang guru, justru menjadi area yang paling lemah. Para peneliti mencatat bahwa pelatihan-pelatihan ini sering kali tidak fokus pada pengetahuan mata pelajaran yang mendalam, pola ujian, atau pemanfaatan teknologi baru di kelas. Pelatihannya terlalu umum, terlalu teoretis, dan terlalu jauh dari realitas tantangan sehari-hari yang dihadapi para guru.
Paku terakhir di peti mati adalah ini: hasil statistik untuk "Motivasi untuk metodologi pengajaran baru" dan "Motivasi untuk belajar" bahkan tidak signifikan secara statistik. Artinya, setelah mengikuti pelatihan, tidak ada peningkatan hasrat yang terukur pada para guru untuk mencoba hal baru atau untuk belajar lebih lanjut. Pelatihan itu masuk dari telinga kiri dan keluar dari telinga kanan, tanpa meninggalkan jejak inspirasi.
Satu-satunya Sinar Harapan: Kekuatan Komunikasi
Namun, ada satu secercah cahaya dalam data yang gelap ini. Kategori "Keterampilan Komunikasi dan Teknologi" mendapat skor yang relatif lebih baik (rata-rata 3.33). Para guru merasa bahwa, setidaknya, kemampuan mereka untuk berkomunikasi sedikit terasah.
Awalnya, ini terlihat seperti sebuah kemenangan kecil. Tapi jika kita berpikir lebih dalam, ini mungkin sebuah "manfaat tak disengaja". Format pelatihan tradisional—ceramah, kerja kelompok, sesi tanya jawab, presentasi—secara inheren memaksa peserta untuk berlatih komunikasi, apa pun topiknya. Peningkatan ini mungkin bukan hasil dari kurikulum yang dirancang dengan baik, melainkan efek samping dari sekadar menempatkan sekelompok orang di dalam satu ruangan untuk berinteraksi.
Ini membawa kita pada sebuah pemikiran penting. Jika sebuah program yang tidak dirancang secara spesifik saja bisa secara tidak sengaja meningkatkan skill komunikasi, bayangkan apa yang bisa dicapai oleh program yang memang didedikasikan untuk itu. Ini menunjukkan betapa fundamentalnya keterampilan komunikasi. Inilah mengapa investasi pada pelatihan spesifik seperti yang berfokus pada pengembangan profesional menjadi sangat krusial, karena ia menargetkan akar dari kolaborasi dan efektivitas di tempat kerja. Keterampilan universal seperti ini adalah fondasi di mana semua keterampilan teknis lainnya dibangun.
Opini Pribadi: Kenapa Temuan Ini Jauh Lebih Penting dari yang Terlihat
Setelah membedah semua data ini, saya ingin mundur sejenak dan berbagi perspektif pribadi. Meski temuan dari studi ini luar biasa kuat, cara analisanya yang murni kuantitatif terasa agak abstrak. Angka-angka ini menunjukkan apa yang terjadi, tapi tidak bisa sepenuhnya menangkap rasa frustrasi seorang guru yang harus mengorbankan waktu akhir pekannya untuk duduk di pelatihan yang tidak relevan dengan murid-murid yang menunggunya di hari Senin.
Namun, di dalam keterbatasan itu, paper ini memberikan kita sebuah kerangka berpikir yang sangat kuat, yang disebut teori "Pembelajaran Transformatif" (Transformational Learning). Sederhananya, ada dua jenis pembelajaran. Yang pertama adalah "Pembelajaran Transaksional", yang mendominasi dalam studi ini: "Aku berikan waktuku, kamu berikan aku sertifikat." Ini adalah pertukaran.
Yang kedua adalah "Pembelajaran Transformatif". Ini adalah jenis pembelajaran yang tidak hanya menambahkan informasi baru ke otakmu, tapi juga mengubah cara kamu memandang dunia dan dirimu sendiri. Ini bukan tentang menambahkan satu aplikasi baru ke ponselmu; ini tentang meng-upgrade seluruh sistem operasinya. Pembelajaran ini lahir dari pengalaman, refleksi mendalam, dan niat tulus untuk "menciptakan perubahan dalam diri sendiri".
Dan ini membawa saya pada kesimpulan yang paling penting. Kegagalan program pelatihan ini sebenarnya bukan masalah program pelatihan itu sendiri. Ini adalah gejala dari masalah yang jauh lebih besar. Paper ini menyebutkan beberapa faktor umum yang membuat guru demotivasi, seperti kurangnya otonomi, struktur karier yang tidak memadai, dan stres. Program pelatihan yang mereka jalani hanyalah cerminan dari budaya kerja yang lebih besar ini: bersifat wajib (tidak ada otonomi), transaksional (tidak ada pertumbuhan karier yang bermakna), dan generik (tidak menghargai kebutuhan individu).
Jadi, motivasi rendah para guru terhadap pelatihan bukanlah masalah yang terisolasi. Ini adalah cerminan dari keterlibatan profesional mereka yang rendah secara keseluruhan. Implikasinya bagi setiap manajer, pemimpin, atau desainer program sangatlah mendalam: jika tim kamu tidak termotivasi dengan program pelatihanmu, jangan hanya salahkan programnya. Lihatlah budaya organisasimu. Umpan balik terhadap pelatihan adalah seekor "burung kenari di tambang batu bara"—sebuah sinyal peringatan dini untuk masalah yang lebih dalam dan lebih berbahaya.
Tiga Pelajaran Praktis yang Bisa Kita Terapkan Besok Pagi
Membaca studi ini bisa terasa sedikit menyedihkan. Tapi kabar baiknya adalah, kegagalan ini memberi kita peta jalan yang jelas tentang apa yang tidak boleh dilakukan, dan secara implisit, apa yang harus kita lakukan. Berikut adalah tiga pelajaran praktis yang bisa kamu terapkan, baik sebagai manajer, anggota tim, atau individu yang ingin terus belajar.
-
Ganti "Kewajiban" dengan "Keingintahuan" Berhentilah membuat pelatihan menjadi wajib jika memungkinkan. Kewajiban mematikan motivasi intrinsik. Sebaliknya, ciptakan lingkungan "tarik" di mana orang ingin belajar. Caranya? Jangan mulai dengan "Kamu harus ikut pelatihan X." Mulailah dengan bertanya, "Apa tantangan terbesarmu minggu ini?" atau "Skill apa yang menurutmu akan membantumu mencapai target kuartal depan?". Lalu, tawarkan sumber daya dan pelatihan sebagai solusi untuk masalah nyata mereka, bukan sebagai mandat dari atasan.
-
Fokus pada Transformasi, Bukan Transaksi Buang jauh-jauh metrik kesuksesan yang hanya mengukur tingkat kehadiran atau jumlah sertifikat yang dikeluarkan. Itu adalah metrik kesibukan, bukan metrik dampak. Mulailah mengukur hal yang benar-benar penting: perubahan perilaku. Ganti pertanyaan dari "Siapa yang sudah selesai training?" menjadi "Cerita sukses apa yang muncul setelah training?" atau "Keterampilan baru apa yang sudah kamu terapkan dan apa hasilnya?". Dorong penerapan, rayakan eksperimen (bahkan yang gagal), dan ciptakan platform bagi orang untuk berbagi apa yang telah mereka pelajari.
-
Mulai dari Akar, Bukan dari Daun Studi ini secara tidak sengaja menunjukkan bahwa keterampilan universal seperti komunikasi bisa meningkat bahkan dalam kondisi yang tidak optimal. Ini adalah petunjuk besar. Sebelum kamu melatih timmu tentang software terbaru yang rumit atau metodologi proyek yang spesifik, pastikan fondasi mereka kokoh. Apakah mereka sudah menguasai cara memberi dan menerima umpan balik yang konstruktif? Apakah mereka bisa berkomunikasi dengan jelas dan persuasif? Apakah mereka bisa berpikir kritis? Investasi pada keterampilan akar ini akan memberikan hasil yang berlipat ganda, karena merekalah yang memungkinkan semua pembelajaran lainnya terjadi.
Kesimpulan: Saatnya Berhenti "Mencentang Kotak"
Kisah 450 guru di Pakistan ini adalah sebuah perumpamaan yang kuat untuk dunia kerja modern. Ini adalah pengingat bahwa kita tidak bisa memaksa pertumbuhan. Kita tidak bisa men-sertifikasi motivasi. Pengembangan profesional sejati bukanlah tentang mengisi kursi di ruang pelatihan atau membagikan selembar kertas berharga. Ini tentang menyalakan api.
Api keingintahuan. Api relevansi. Api otonomi.
Sudah terlalu lama kita terjebak dalam pendekatan transaksional, di mana belajar adalah sesuatu yang "dilakukan" kepada kita. Studi ini mengajak kita untuk beralih ke pendekatan transformatif, di mana belajar adalah sesuatu yang kita lakukan untuk diri kita sendiri, didukung oleh lingkungan yang menghargai pertumbuhan nyata di atas kepatuhan yang dangkal.
Kita harus berhenti "mencentang kotak" dalam daftar tugas pengembangan karyawan dan mulai menyalakan api keingintahuan di dalam diri mereka. Karena pada akhirnya, satu orang yang termotivasi untuk belajar akan mencapai lebih dari seratus orang yang hanya dipaksa untuk hadir.
Kalau kamu tertarik dengan detail penelitian yang luar biasa ini dan ingin melihat data lengkapnya, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.