Studi Ini Mengubah Cara Saya Memandang Desain (Dan Rapat Tim)
Paper yang saya baca adalah "Inclusive intervention design for vulnerable road users" oleh M. Shaheen Sarker dan rekan-rekannya. Latar belakangnya suram: Bangladesh memiliki tingkat kematian pejalan kaki yang sangat tinggi, terutama pelajar dan pekerja yang bolak-balik menyeberang jalan raya setiap hari.
Sama seperti cerita JPO saya, masalahnya bukan karena kurangnya fasilitas. Otoritas jalan raya Bangladesh (RHD) sudah membangun zebra cross, jembatan penyeberangan, dan underpass. Masalahnya? Fasilitas itu tidak digunakan.
Ini memicu "budaya saling menyalahkan" yang kronis: para profesional, pejalan kaki, dan pengemudi saling menuding siapa yang salah atas kecelakaan yang terjadi.
Para peneliti ini bosan dengan perdebatan itu. Mereka memutuskan melakukan sesuatu yang radikal. Mereka tidak hanya bertanya, "Desain fasilitas apa yang terbaik?" Mereka bertanya, "Proses desain apa yang terbaik?"
Mereka menyiapkan sebuah "pertarungan tiga arah" di empat lokasi penyeberangan jalan raya yang nyata :
-
Grup 1: Desain Konvensional (Tim Insinyur). Para profesional ahli dari departemen jalan raya (RHD) diminta untuk membuat proposal desain perbaikan, persis seperti yang biasa mereka lakukan. Ini adalah pendekatan top-down standar.
-
Grup 2: Co-design (Tim Warga). Warga lokal—pelajar dan pekerja garmen yang menyeberang jalan itu setiap hari—dikumpulkan dalam lokakarya. Mereka diminta untuk merancang solusi mereka sendiri, difasilitasi oleh para profesional.
-
Grup 3: Co-design + COM-B (Tim Warga Super). Ini adalah kelompok warga lain yang juga melakukan co-design. Bedanya, mereka diberi "senjata rahasia": sebuah kerangka kerja psikologi sederhana bernama model "COM-B".
Setelah ketiga grup ini selesai, para peneliti mengambil ketiga cetak biru desain (dari Insinyur, Warga, dan Warga Super) dan memberikannya kepada dua panel penilai: (1) panel ahli keselamatan jalan independen, dan (2) panel pemangku kepentingan lokal (polisi, guru, manajer pabrik, aktivis).
Hasilnya? Jujur, ini yang bikin saya kaget setengah mati.
Apa yang Bikin Saya Terkejut: Data Telah Berbicara
Ini bukan soal "perasaan" atau "preferensi". Data yang dihasilkan dari studi ini brutal, kuantitatif, dan tidak ambigu.
Pendekatan top-down tradisional—yang dilakukan oleh para "ahli" yang digaji untuk melakukan pekerjaan ini—tidak hanya kalah.
Pendekatan itu dihancurkan.
Para Ahli Menilai Desain "Profesional" sebagai "Bencana"
Panel ahli (terdiri dari auditor keselamatan jalan bersertifikat, akademisi, dan spesialis transportasi) diminta menilai setiap desain menggunakan "Skor Keparahan Nielsen"—skala standar untuk mengevaluasi masalah kegunaan (usability).
Skornya berkisar dari 0 (tidak ada masalah) hingga 4 (bencana kegunaan).
Lihat hasil rata-rata ini dan coba jangan kaget :
-
Desain Konvensional (Insinyur): Rata-rata skor 3.0 (Site 1), 2.66 (Site 2), dan 3.0 (Site 4). Dalam skala Nielsen, skor "3" berarti "Masalah Kegunaan Besar" (Major usability problem).
-
Desain Co-design + COM-B (Warga Super): Rata-rata skor 0.66 (Site 1), 1.33 (Site 2), 1.0 (Site 3), dan 0.0 (Site 4).
Saya ulangi. Skor nol. Sempurna.
Ini adalah momen "pikiran meledak" bagi saya. Para profesional yang digaji, dengan semua manual desain dan pengalaman mereka, secara konsisten menghasilkan intervensi yang dinilai oleh ahli lain sebagai "masalah besar".
Sementara itu, para "amatir"—pelajar dan pekerja garmen—yang diberi kerangka kerja yang tepat, merancang solusi yang di salah satu lokasi dinilai sempurna secara kegunaan.
Ini menampar asumsi kita bahwa "ahli tahu yang terbaik".
"Akhirnya, Ini Aman dan Masuk Akal"
Bukan hanya ahli teknis. Peneliti juga bertanya kepada para pemangku kepentingan lokal—orang-orang yang harus hidup dengan solusi ini setiap hari. Mereka diminta menilai setiap desain berdasarkan dua hal: Keamanan (apakah ini akan mengurangi konflik?) dan Kepraktisan (apakah ini layak biaya dan bisa diterapkan?).
Skornya 1 (sangat buruk) hingga 5 (sangat baik).
-
Rata-rata Skor Keamanan :
-
Desain Insinyur: 2,88 (Site 1), 2,62 (Site 2)
-
Desain Warga Super (COM-B): 4,11 (Site 1), 4,0 (Site 2)
-
-
Rata-rata Skor Kepraktisan :
-
Desain Insinyur: 3,0 (Site 1), 2,75 (Site 2)
-
Desain Warga Super (COM-B): 3,75 (Site 1), 4,0 (Site 2)
-
Lagi-lagi, hasilnya telak. Para pemangku kepentingan merasa bahwa desain yang dibuat bersama warga secara signifikan jauh lebih aman dan lebih praktis (masuk akal) untuk diimplementasikan daripada desain yang datang dari "menara gading" para insinyur.
Poin-Poin Penting yang Saya Garis Bawahi
-
🚀 Hasilnya Gila: Desain yang dibuat bersama pengguna (Grup 1) tidak hanya lebih baik, tapi secara objektif dinilai nyaris sempurna (skor 0.0 di satu lokasi!) oleh para ahli.
-
🧠Inovasinya: Co-design (melibatkan pengguna) mengalahkan Desain Konvensional (hanya ahli) dengan telak di setiap metrik.
-
💡 Pelajaran: Jangan pernah, pernah berasumsi Anda tahu apa yang dibutuhkan pengguna Anda, bahkan jika Anda seorang ahli. Proses desain Anda harus menyertakan pengguna akhir. Titik.
Tapi tunggu dulu. Ada satu lapisan lagi yang lebih dalam.
Kenapa Grup 3 (Warga Super) secara konsisten mengalahkan Grup 2 (Warga)? Bukankah keduanya sama-sama co-design?
Ah, di sinilah letak bahan rahasianya.
Bahan Rahasianya Bukan 'Co-Design', Tapi 'COM-B'
Oke, jadi kita sepakat: melibatkan warga (co-design) itu bagus. Tapi paper ini menunjukkan sesuatu yang jauh lebih halus. Di hampir setiap perbandingan, Grup 1 (Co-design + COM-B) dinilai lebih unggul daripada Grup 2 (Co-design saja).
Apa sebenarnya "senjata rahasia" COM-B itu?
COM-B adalah model perubahan perilaku yang dikembangkan oleh Susan Michie dan rekan-rekannya. Model ini luar biasa sederhana namun sangat kuat.
Model ini menyatakan bahwa untuk melakukan Behaviour (Perilaku) apa pun, seseorang memerlukan tiga hal yang saling berinteraksi:
-
Capability (Kemampuan): Apakah Anda secara fisik dan psikologis bisa melakukannya? (Misal: Apakah Anda tahu aturannya? Apakah Anda secara fisik mampu menaiki tangga JPO?)
-
Opportunity (Peluang): Apakah lingkungan fisik dan sosial mengizinkan Anda melakukannya? (Misal: Apakah jalannya terang? Apakah ada penegakan hukum? Apakah teman-teman Anda juga melakukannya?)
-
Motivation (Motivasi): Apakah Anda ingin melakukannya, baik secara sadar atau tidak sadar? (Misal: Apakah Anda takut? Apakah Anda melihat manfaatnya? Apakah itu terasa lebih cepat?)
Perbedaan krusialnya adalah ini:
Lokakarya co-design biasa (Grup 2) berisiko menjadi sesi "daftar keinginan" (wishlist). Lokakarya co-design + COM-B (Grup 1) berubah menjadi "sesi diagnostik".
Paper ini memberikan contoh yang sempurna di Site 2, sebuah lokasi dengan underpass dan jembatan penyeberangan.
-
Grup 2 (Co-design saja) mengidentifikasi masalah: "Hei, underpass ini gelap dan kotor."
-
Solusi mereka: "Perbaiki pencahayaan," "tambahkan tempat sampah," dan "perbaiki drainase." (Solusi yang bagus dan logis).
-
-
Grup 1 (Co-design + COM-B) tidak hanya melihat underpass yang gelap. Mereka mendiagnosis perilaku "Mengapa orang tidak mau menggunakan underpass?"
-
Capability: "Kami tahu ada underpass di sana." (Oke, C tidak masalah).
-
Opportunity (Fisik): "Tempatnya terlalu gelap." (Masalah di O).
-
Motivation (Reflektif): "Kami takut dirampok atau dilecehkan di sana. Tidak ada yang mengawasi." (AHA! Ini masalah utamanya di M!)
-
Perhatikan perbedaan solusinya. Karena mereka mengidentifikasi rasa takut (Motivasi) sebagai akar masalah, solusi Grup 1 jauh lebih kuat. Mereka tidak hanya menyarankan perbaikan lampu, tetapi juga :
-
"Memasang kamera CCTV untuk pemantauan dan keamanan."
-
"Menampilkan pesan persuasif/motivasi."
-
"Mengintegrasikan pesan keselamatan ke dalam rutinitas institusional (misal, di pabrik)."
Grup 2 mengobati gejalanya (gelap). Grup 1 menyembuhkan penyakitnya (rasa takut).
Itulah kekuatan COM-B. Ia memaksa Anda untuk berhenti berfokus pada "fitur" dan mulai mendiagnosis "perilaku manusia".
Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini (di Tim Saya)
Di sinilah saya membawa pulang pelajaran dari jalanan Bangladesh ke kantor kita.
Saya bukan insinyur jalan raya. Anda mungkin juga bukan. Tapi kita semua berurusan dengan "Budaya Saling Menyalahkan" setiap hari.
Bayangkan skenario kantor ini: Tim IT meluncurkan software CRM baru yang canggih (Desain Konvensional). Dua bulan kemudian, Tim Sales menolak menggunakannya; mereka tetap memakai spreadsheet lama.
-
Blame Culture pun dimulai.
-
Tim IT (Desainer): "Tim Sales 'malas' dan 'menolak berubah'."
-
Tim Sales (Pengguna): "Tim IT membuat software 'rumit' dan 'tidak sesuai alur kerja kami'."
Studi ini memberikan cetak biru yang jelas untuk memecahkan masalah ini:
-
Jangan Lakukan Desain Konvensional: Jangan buat CRM itu di ruang hampa, lalu "melemparnya" ke tim Sales. (Anda akan mendapatkan skor kegunaan 3.0—alias "Masalah Besar").
-
Lakukan Co-design (Lebih Baik): Kumpulkan tim Sales dalam lokakarya untuk merancang bersama alur kerja CRM itu. (Ini akan jauh lebih baik).
-
Lakukan Co-design + COM-B (Terbaik): Beri tim Sales kerangka kerja COM-B saat lokakarya. Tanyakan:
-
Capability: "Fitur apa yang secara psikologis 'menakutkan' atau terlalu rumit? Apakah Anda butuh pelatihan khusus yang tidak Anda dapatkan?"
-
Opportunity: "Kapan Anda punya waktu fisik untuk memasukkan data? Apakah manajer Anda masih meminta laporan via spreadsheet (ini social opportunity yang buruk)? Apakah sistem lama masih bisa diakses?"
-
Motivation: "Apa untungnya buat Anda? Apakah ini hanya menambah pekerjaan? Bagaimana kita bisa membuat software ini terasa lebih cepat dan memuaskan daripada spreadsheet lama?"
-
Dengan mendiagnosis C, O, dan M, Anda akan menemukan akar masalah penolakan yang sebenarnya—yang mungkin tidak ada hubungannya dengan "tombol yang warnanya salah", tapi lebih ke "saya tidak punya waktu" (Opportunity) atau "ini tidak membantu saya mencapai target" (Motivation).
Tentu saja, memfasilitasi lokakarya semacam ini membutuhkan skill baru. Anda tidak bisa hanya melempar model COM-B ke orang dan berharap keajaiban terjadi. Ini membutuhkan keterampilan dalam fasilitasi, psikologi, dan manajemen perubahan.
Jika Anda seorang manajer atau pemimpin tim yang serius ingin berhenti dari "budaya saling menyalahkan" dan mulai membangun solusi yang benar-benar berhasil, Anda perlu meningkatkan perangkat Anda. Inilah mengapa platform seperti(https://diklatkerja.com) sangat penting. Mereka menawarkan kursus tentang manajemen proyek, kepemimpinan, dan soft skills yang Anda perlukan untuk beralih dari "mendesain untuk tim Anda" menjadi "mendesain dengan tim Anda".
Kritik Halus Saya (Karena Tidak Ada yang Sempurna)
Saya sangat menyukai paper ini, tapi sebagai peninjau yang baik, saya punya dua kritik halus.
Pertama, paper ini tidak membahas biaya secara eksplisit. Menjalankan lokakarya co-design yang mendalam dengan warga selama berhari-hari (seperti yang mereka lakukan ) jelas lebih mahal dan memakan waktu di muka daripada satu insinyur yang menggambar di kantornya.
Meskipun temuan ini membuktikan bahwa biayanya sepadan dalam jangka panjang (karena Anda membangun hal yang benar dan tidak perlu perbaikan mahal nantinya), paper ini tidak memberikan analisis biaya-manfaat (ROI) yang eksplisit. Padahal, angka itulah yang dibutuhkan oleh seorang pembuat kebijakan atau CFO untuk membenarkan perubahan anggaran.
Kedua, paper ini membuktikan bahwa COM-B adalah bahan rahasianya, tetapi agak abstrak tentang bagaimana model itu difasilitasi dalam lokakarya. Apakah itu presentasi 1 jam? Apakah mereka menggunakan lembar kerja? "Sihir"-nya ada di fasilitasi itu. Bagi seorang manajer seperti saya yang ingin meniru ini besok, saya membutuhkan "skrip lokakarya"-nya, bukan hanya nama modelnya.
Penutup: Desain adalah Percakapan, Bukan Perintah
Hal terbesar yang saya ambil dari studi ini bukanlah tentang jembatan penyeberangan. Ini tentang kerendahan hati.
Ini membawa kita kembali ke masalah awal: "Budaya Saling Menyalahkan".
Paper ini membuktikan secara empiris bahwa "Budaya Saling Menyalahkan" hanyalah gejala dari proses desain yang eksklusif (eksklusif = hanya dilakukan oleh ahli, top-down).
Paku terakhir di peti mati "desain top-down" datang dari wawancara kualitatif para peneliti dengan para pemangku kepentingan setelah eksperimen selesai.
Dengarkan apa yang mereka katakan :
"Melibatkan pengguna menghilangkan budaya menyalahkan karena mereka akan bersedia mengikuti desain [yang mereka buat sendiri]." — Perwakilan RHD (Otoritas Jalan Raya/Insinyur!)
Bahkan insinyurnya sendiri mengakuinya!
"Melibatkan semua pemangku kepentingan mengurangi budaya menyalahkan dengan menumbuhkan pemahaman akan keterbatasan semua orang." — Perwakilan Polisi
Solusinya bukanlah infrastruktur yang lebih baik, atau pengguna yang lebih patuh. Solusinya adalah Tanggung Jawab Bersama (Shared Responsibility).
Dan Anda hanya bisa mendapatkan tanggung jawab bersama melalui proses desain yang partisipatif dan inklusif.
Kita harus berhenti "mendesain untuk orang" dan mulai "mendesain dengan orang".
Baik itu merancang jalan raya di Bangladesh, aplikasi CRM di kantor Anda, atau bahkan aturan liburan tim Anda berikutnya—kuncinya adalah memulai percakapan.
Kalau kamu tertarik dengan ini, coba baca paper aslinya. Bahasanya teknis, tapi gagasannya benar-benar mengubah permainan.