Jujur saja, saya seorang penggila keselamatan mobil. Selama bertahun-tahun, saya terobsesi dengan crash test rating, jumlah airbag, dan bagaimana chassis baja dapat menyerap benturan. Saya selalu berpikir bahwa "keselamatan jalan" berarti membuat mobil—kotak-kotak baja yang kita kendarai—menjadi benteng yang tidak bisa ditembus. Saat saya mengemudi, dikelilingi oleh sensor, lane-keeping assist, dan blind-spot monitoring, saya merasa aman dalam "gelembung" teknologi saya.
Saya pikir kita telah memecahkan masalah keselamatan. Ternyata, saya salah besar.
Minggu lalu, saya menemukan sebuah paper penelitian dari Swedia yang benar-benar menjungkirbalikkan asumsi saya. Judulnya teknis, "Characteristics of future crashes in Sweden," tapi temuannya adalah sesuatu yang harus dibaca oleh setiap perencana kota, insinyur teknologi, dan, terus terang, siapa pun yang berjalan kaki atau bersepeda.
Para peneliti ini melakukan sesuatu yang brilian. Mereka pada dasarnya bertindak sebagai peramal, tetapi menggunakan data. Mereka ingin memprediksi seperti apa kecelakaan dan cedera di masa depan (spesifiknya tahun 2020 dan 2030).
Bayangkan begini: Mereka mengambil data dasar semua cedera kecelakaan di Swedia dari tahun 2014. Kemudian, mereka secara sistematis "mengurangi" jumlah cedera tersebut berdasarkan semua intervensi keselamatan yang direncanakan. Ini termasuk infrastruktur baru seperti pembatas median jalan, dan yang lebih penting, semua teknologi kendaraan canggih yang sedang kita kembangkan—pikirkan Autonomous Emergency Braking (AEB) yang bisa mendeteksi pejalan kaki, Lane Keeping Assist (LKA) yang canggih, dan Electronic Stability Control (ESC) yang lebih baik.
Logikanya, dengan semua teknologi hebat ini, jumlah cedera di masa depan seharusnya anjlok di semua kategori, bukan?
Nah, di sinilah letak masalahnya.
Paradoks Hebat: Mengapa Teknologi Mobil Terbaik Gagal Melindungi Kita
Temuan inti dari paper ini mengungkap apa yang saya sebut sebagai "Kesenjangan Intervensi" yang masif. Ini adalah sebuah paradoks yang seharusnya membuat kita semua berhenti sejenak.
Bayangkan Anda adalah seorang raja yang membangun kastil di Abad Pertengahan. Anda menghabiskan 90% anggaran pertahanan untuk membangun tembok benteng yang lebih tinggi, lebih tebal, dan anti-meriam. Dan Anda berhasil! Benteng Anda (yaitu, mobil penumpang) menjadi luar biasa aman. Tidak ada yang bisa menembusnya.
Tapi kemudian Anda menyadari bahwa 80% dari populasi Anda sebenarnya adalah petani dan pedagang yang tinggal di gubuk-gubuk kayu tipis di luar tembok benteng. Dan semua meriam musuh sekarang hanya mengarah ke mereka.
Itulah yang terjadi di jalan raya kita.
-
Di Dalam Benteng (Penumpang Mobil): Untuk orang-orang di dalam mobil, beritanya fantastis. Paper tersebut mengonfirmasi bahwa intervensi yang ada—terutama ESC dan pembatas median jalan—telah sukses luar biasa dalam mengurangi kecelakaan fatal. Studi ini memproyeksikan tren positif ini akan berlanjut. Berkat teknologi yang lebih baik, jumlah cedera serius (PMI1%+) untuk penumpang mobil diperkirakan turun sebesar 28% antara 2014 dan 2030. Kita benar-benar berhasil membuat "benteng" kita lebih aman.
-
Di Luar Benteng (VRU): Tapi bagaimana dengan semua orang di luar benteng? Para peneliti menyebut mereka VRU (Vulnerable Road Users)—Pengguna Jalan yang Rentan. Ini adalah pengendara sepeda, pejalan kaki, dan pengendara motor. Dan untuk mereka, paper itu memberikan kesimpulan yang brutal: tindakan yang direncanakan "diperkirakan tidak memadai untuk pengguna jalan yang rentan".
Mengapa kita begitu hebat dalam melindungi satu kelompok tetapi gagal total pada kelompok lain? Jawabannya, ternyata, terletak pada apa yang kita putuskan untuk dihitung.
Berhenti Menghitung Kematian, Mulai Menghitung "Kehidupan yang Berubah"
Ini adalah bagian dari paper yang membuat saya terdiam. Selama beberapa dekade, cara kita mengukur "keselamatan jalan" pada dasarnya salah.
Kita secara historis terfokus pada fatalitas—jumlah orang yang meninggal. Data ini biasanya berasal dari laporan polisi. Dan tebak di mana sebagian besar fatalitas terjadi? Di jalan pedesaan, dalam tabrakan berkecepatan tinggi, yang melibatkan... Anda bisa menebaknya... penumpang mobil. Jadi, secara logis, kita menghabiskan semua uang dan R&D kita untuk memecahkan masalah itu (ESC, pembatas median, airbag).
Tetapi para peneliti Swedia ini berkata, "Tunggu dulu." Alih-alih hanya menggunakan data polisi tentang kematian, mari kita gunakan data rumah sakit tentang cedera. Dan alih-alih hanya menghitung setiap cedera sebagai "satu", mari kita ukur konsekuensi jangka panjangnya.
Mereka menggunakan metrik yang mengubah permainan yang disebut RPMI—Risk for Permanent Medical Impairment (Risiko Cacat Medis Permanen).
Dalam bahasa manusiawi, RPMI tidak hanya bertanya, "Apakah Anda terluka?" RPMI bertanya, "Apakah cedera ini akan mengubah hidup Anda selamanya?"
Metrik ini menghitung risiko seseorang menderita cacat permanen 1% atau lebih, yang didefinisikan sebagai "hilangnya fungsi, rasa sakit, dan/atau disfungsi mental". Ini adalah perbedaan antara pergelangan tangan yang terkilir yang sembuh dalam enam minggu, dan pergelangan tangan yang tidak akan pernah bisa Anda gunakan untuk mengangkat cangkir kopi atau menggendong anak Anda lagi.
Saat Anda mengubah metrik dari kematian menjadi kecacatan permanen, seluruh lanskap masalah berubah total.
Masalah terbesar bukan lagi tabrakan di jalan tol. Masalah terbesarnya adalah kecelakaan yang tampaknya "ringan" di perkotaan yang menghancurkan hidup. Dan siapa yang paling menderita akibat ini? Pengguna Jalan Rentan.
Apa yang Paling Bikin Saya Terkejut (Ada Dua Hal)
Di sinilah data menjadi benar-benar menakutkan. Ketika para peneliti memproyeksikan data RPMI ini ke tahun 2030 (setelah menerapkan semua teknologi canggih kita), dua kelompok muncul sebagai tantangan keselamatan terbesar di masa depan.
Dan keduanya adalah kelompok yang hampir sepenuhnya diabaikan oleh revolusi teknologi mobil kita.
Musuh Terbesar Pengendara Sepeda... Bukanlah Mobil
Saya selalu berasumsi bahwa bahaya terbesar bagi pengendara sepeda adalah ditabrak mobil. Jadi, saya pikir, teknologi AEB baru yang dapat mendeteksi pengendara sepeda akan menjadi penyelamat.
Saya salah.
Lihatlah data proyeksi 2030 (Gambar 3 di paper). Cedera penumpang mobil anjlok (penurunan 28%). Cedera pengendara sepeda? Jumlahnya nyaris tidak bergerak. Perkiraan penurunannya hanya 4%.
Empat persen!
Faktanya, pada tahun 2030, pengendara sepeda diproyeksikan menjadi kelompok pengguna jalan dengan cedera serius paling banyak dalam lalu lintas, melampaui penumpang mobil.
Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah AEB akan menyelamatkan mereka? Nah, inilah twist-nya. Paper tersebut memang memperhitungkan AEB. Dan teknologi itu berhasil! Kecelakaan antara sepeda dan kendaraan bermotor diperkirakan turun 37%.
Lalu mengapa total cederanya tidak berkurang?
Inilah bomnya, yang tersembunyi di Gambar 6 dari paper tersebut: 79% dari semua cedera sepeda yang parah adalah KECELAKAAN TUNGGAL.
Baca lagi. Tujuh puluh sembilan persen.
Ini bukan mobil yang menabrak sepeda. Ini adalah orang-orang yang jatuh sendiri. Mereka jatuh karena jalan berlubang, kerikil yang tidak dibersihkan, tambalan aspal yang buruk, trotoar yang retak, atau lapisan es tipis di pagi hari.
Mobil Tesla Anda yang seharga 1 miliar rupiah, dengan semua sensor Lidar dan AI-nya, sama sekali tidak berdaya untuk mencegah 79% dari masalah cedera sepeda yang paling serius. Kita telah dibutakan oleh teknologi. Kita pikir masalahnya adalah "mobil vs sepeda", padahal masalah utamanya adalah "pengendara sepeda vs aspal".
Ancaman Tak Terlihat yang Ditertawakan oleh Industri Keselamatan
Jika Anda pikir data sepeda itu mengejutkan, data pejalan kaki akan membuat Anda marah.
Dalam sebuah langkah radikal, para peneliti ini memasukkan data untuk "pejalan kaki yang jatuh di sistem transportasi jalan tanpa keterlibatan kendaraan".
Pikirkan tentang ini: nenek Anda terpeleset di trotoar yang membeku saat berjalan ke halte bus. Secara tradisional, kita tidak menyebut ini sebagai "masalah keselamatan lalu lintas". Kita menyebutnya "nasib buruk".
Para peneliti ini menyebutnya sebagai krisis data.
Lihatlah angka-angka baseline tahun 2014 (Tabel I).
-
Cedera penumpang mobil (MAIS1+): 3.996
-
Cedera pengendara sepeda: 10.736
-
Cedera pejalan kaki jatuh: 11.641
Kelompok "pejalan kaki jatuh" ini sudah menjadi yang terbesar. Itu bahkan sebelum kita berbicara tentang populasi yang menua.
Dan sekarang, inilah bagian terburuknya. Inilah proyeksi untuk tahun 2030. Ketika para peneliti melihat daftar panjang intervensi keselamatan yang direncanakan—ESC, AEB, LKA, Pembatas Median, dll. (Tabel III) —mereka mencari satu intervensi yang ditujukan untuk mencegah pejalan kaki jatuh.
Dan mereka tidak menemukan apa-apa.
Saya akan mengutip langsung dari paper karena ini sangat penting: "Karena tidak ada asumsi intervensi keselamatan jalan yang terencana yang menargetkan kelompok ini, tidak ada pengurangan untuk kelompok ini yang diperkirakan".
NOL.
Tidak ada satu pun dari teknologi miliaran dolar kita yang ditujukan untuk masalah cedera terbesar di sistem transportasi kita.
Lihat saja Gambar 7 di paper. Ini adalah grafik batang yang menunjukkan jumlah cedera pada tahun 2030. Batang untuk "Pejalan Kaki Jatuh" menjulang tinggi di atas segalanya, membuat batang "penumpang mobil" terlihat seperti kesalahan pembulatan statistik.
Pelajaran yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini
Membaca paper ini seperti disiram air es. Ini mengubah cara saya berpikir tentang data, teknologi, dan apa arti "aman".
Inilah yang saya bawa pulang:
-
🚀 Hasilnya luar biasa: Teknologi di dalam mobil (seperti ESC dan desain crashworthiness) benar-benar berfungsi. Mereka telah dan akan terus menyelamatkan penumpang mobil dari cedera parah. Penurunan 28% itu nyata dan harus dirayakan.
-
🧠Inovasinya: Inovasi terbesar dalam paper ini bukanlah teknologi; itu adalah metodologi. Keberanian untuk mengubah metrik dari 'fatalitas' (data polisi) menjadi 'RPMI' (cacat permanen dari data rumah sakit) adalah tindakan jenius. Ini adalah contoh sempurna tentang bagaimana data, jika dilihat dengan cara yang benar, dapat mengungkap kebenaran yang tersembunyi.
-
💡 Pelajaran: Kita terjebak dalam pola pikir 'melindungi mobil'. Masa depan keselamatan adalah merancang sistem holistik untuk semua orang. Seperti yang disimpulkan paper ini, kita perlu "mendefinisikan sistem keselamatan untuk pengguna jalan yang rentan".
Opini Pribadi & Kritik Halus Saya
Meskipun temuan ini mengubah paradigma, metode analisisnya sendiri memiliki beberapa kelemahan, yang secara jujur diakui oleh penulis di bagian "Diskusi".
Pertama, model mereka adalah "metode deterministik," bukan "prediksi statistik sejati". Dalam bahasa manusiawi, ini lebih merupakan perhitungan "bagaimana-jika" raksasa daripada ramalan yang pasti. Keakuratannya sepenuhnya bergantung pada asumsi yang mereka buat tentang seberapa efektif teknologi masa depan (misalnya, AEB akan mengurangi tabrakan X sebesar 50%) dan seberapa cepat teknologi itu akan diadopsi oleh masyarakat.
Kedua, mereka mengakui bahwa ini adalah skenario "bisnis seperti biasa" (business-as-usual). Model ini tidak memperhitungkan guncangan tak terduga. Ini ditulis pada tahun 2016. Model ini tidak tahu tentang pandemi COVID-19 yang mengubah pola lalu lintas, atau ledakan e-scooter yang tiba-tiba, yang menciptakan kategori VRU baru yang sangat berbahaya. Hal ini membuat proyeksi 2030 mereka terasa agak rapuh dan terlalu abstrak, meskipun saya yakin arah umumnya 100% benar.
Menghubungkan ke Keterampilan
Wawasan seperti ini—menemukan bahwa 79% cedera sepeda adalah kecelakaan tunggal—tidak muncul begitu saja. Itu datang dari kemampuan untuk menggali data mentah dan menantang asumsi yang ada. Ini adalah inti dari apa yang dilakukan oleh analisis data.
Kemampuan untuk tidak hanya melaporkan angka ("cedera sepeda tidak turun") tetapi juga menggali mengapa ("karena itu kecelakaan tunggal, bukan tabrakan mobil") adalah yang membedakan seorang analis sejati. Jika Anda tertarik untuk belajar bagaimana menemukan cerita tersembunyi di balik angka-angka di bidang Anda sendiri, kursus seperti(https://diklatkerja.com/course/big-data-analytics-data-visualization-and-data-science/) adalah tempat yang luar biasa untuk memulai.
Kesimpulan: Kita Ingin Kota yang Sehat, Tapi Apakah Kita Siap Membayar Harga Keselamatannya?
Inilah ironi terakhir yang diangkat oleh paper ini, yang paling melekat pada saya.
Para penulis mencatat bahwa Swedia, seperti kebanyakan negara maju, secara aktif mendorong warganya untuk beralih ke "moda transportasi yang lebih ramah lingkungan dan mempromosikan kesehatan" seperti bersepeda.
Pikirkan tentang paradoks kebijakan ini sejenak.
Kita, sebagai masyarakat, secara aktif mendorong orang untuk keluar dari lingkungan yang relatif aman (mobil, dengan penurunan risiko cedera 28%) dan masuk ke lingkungan yang jauh lebih berbahaya (sepeda, dengan penurunan risiko cedera hanya 4%).
Para penulis memberikan peringatan keras: "sangat penting untuk tidak menukar manfaat dan kerugian satu sama lain". Kita tidak bisa mempromosikan bersepeda untuk kesehatan jangka panjang jika itu berarti kita mengabaikan epidemi cedera traumatis jangka pendek.
Kita membutuhkan pendekatan holistik.
Masa depan keselamatan jalan raya tidak akan ditemukan di dalam chip silikon mobil otonom. Itu akan ditemukan dalam hal-hal yang membosankan namun sangat penting: kualitas aspal di jalur sepeda. Pembersihan salju dan es di trotoar. Desain trotoar yang lebih baik yang tidak membuat orang tersandung. Pencahayaan kota yang lebih baik.
Kita telah menghabiskan 50 tahun terakhir untuk membangun benteng yang luar biasa bagi mobil. Sekarang saatnya untuk akhirnya mulai melindungi orang-orang yang tinggal di luarnya.
Ini baru permukaan. Kalau kamu tertarik dengan data mentah dan ingin melihat analisis lengkapnya—terutama Tabel III yang merinci setiap intervensi dan asumsi efektivitasnya—coba baca paper aslinya.
(http://www.ircobi.org/wordpress/downloads/irc16/pdf-files/15.pdf)