Pendahuluan
Dalam dunia konstruksi, terutama sektor usaha kecil-menengah (SME), retensi karyawan menjadi isu krusial. Banyak tenaga kerja, terutama generasi muda seperti Generasi Z dan Milenial, cenderung berpindah kerja demi keseimbangan hidup, transparansi, dan lingkungan kerja yang adaptif.
Penelitian oleh Norawit Sang-rit dan Bhumiphat Gilitwala (2024) berjudul The factors affecting employee retention in construction-related small-medium enterprises situating in Krung Thep Maha Nakhon meneliti faktor-faktor yang memengaruhi retensi karyawan di SME konstruksi di Bangkok, dengan pendekatan kuantitatif dan sampel 386 responden.
Konteks dan Permasalahan
Karyawan muda kini tidak seperti generasi sebelumnya—mereka mencari fleksibilitas, pengakuan, dan kemungkinan untuk berkembang secara profesional. Namun, sektor konstruksi kerap masih mempraktikkan budaya kerja hierarkis yang tak cocok dengan karakter pekerja masa kini.
Ditambah lagi, tingginya tingkat korupsi dan birokrasi internal di perusahaan konstruksi Thailand semakin membuat generasi muda skeptis. Ini menjadi penyebab utama tingginya turnover karyawan—bahkan 55% engineer berusia kerja <5 tahun menyatakan siap pindah kerja jika ada tawaran lebih baik (Thos, 2018).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini mengevaluasi empat variabel utama:
- Entrepreneurial intention
- Task interdependence
- Reward and recognition
- Agile working
Keempat variabel ini diuji pengaruhnya terhadap retensi karyawan melalui pendekatan Multiple Linear Regression (MLR).
Metodologi
- Jumlah responden: 386 karyawan SME konstruksi di Bangkok
- Teknik sampling: Non-probability purposive sampling
- Instrumen: Kuesioner berbasis skala Likert, terdiri dari 22 pertanyaan
- Analisis: MLR dan uji validitas reliabilitas (Cronbach’s Alpha >0.7)
Profil Responden
- Usia: 46.9% berusia 18–28 tahun, 37.6% antara 29–43 tahun
- Pendidikan: 75.1% lulusan S1, 12.2% S2, sisanya S3 atau di bawah S1
- Pendapatan: 49.2% berada di kisaran THB 20.001–40.000 per bulan
Data ini menegaskan bahwa mayoritas pekerja adalah Generasi Z dan Milenial, dengan ekspektasi kerja yang berbeda dari generasi senior.
Temuan Utama
1. Task Interdependence → Agile Working
- Signifikansi: p = 0.000 (<0.05)
- Koefisien β: 0.385 (tertinggi)
- Kesimpulan: Task interdependence berperan paling besar dalam membentuk budaya kerja agile.
Makna: Semakin baik kerja sama tim dan ketergantungan antaranggota dalam tugas, semakin fleksibel dan adaptif lingkungan kerja.
2. Reward and Recognition → Agile Working
- Signifikansi: p = 0.000
- Koefisien β: 0.329
- Makna: Apresiasi kinerja, baik melalui penghargaan formal maupun pengakuan informal, memperkuat budaya agile dalam tim.
3. Entrepreneurial Intention → Employee Retention
- Signifikansi: p = 0.000
- Koefisien β: 0.279
- Makna: Keinginan untuk berwirausaha memiliki dampak signifikan terhadap loyalitas. Mereka yang merasa potensi kewirausahaannya difasilitasi, cenderung bertahan.
4. Agile Working → Employee Retention
- Signifikansi: p = 0.000
- Koefisien β: 0.316
- Makna: Lingkungan kerja yang fleksibel, kolaboratif, dan tidak terlalu birokratis cenderung membuat karyawan lebih loyal.
Analisis Tambahan
Peran Agile Working sebagai Jembatan Retensi
Agile working adalah mediator antara reward, task interdependence, dan retensi. Lingkungan kerja yang adaptif:
- Memungkinkan tim mengambil keputusan cepat
- Meningkatkan otonomi individu
- Menyesuaikan ekspektasi Generasi Z yang menuntut transparansi dan fleksibilitas
Menurut Issa et al. (2019), agile working secara signifikan meningkatkan kepuasan kerja, yang selanjutnya berdampak positif pada loyalitas.
Konteks Entrepreneurial Intention
Sebagian karyawan di sektor ini melihat pekerjaan sebagai batu loncatan untuk menjadi pengusaha, bukan tujuan akhir. Maka dari itu:
- Organisasi perlu menyediakan ruang pengembangan diri
- Membangun sistem intrapreneurship agar potensi mereka tetap terakomodasi di dalam perusahaan
Rekomendasi Strategis
- Perkuat budaya kerja kolaboratif:
Terapkan sistem kerja berbasis tim yang memfasilitasi task interdependence. - Bentuk sistem penghargaan yang relevan:
Fokus pada pengakuan tim dan transparansi, bukan hanya bonus individual. - Dorong corporate entrepreneurship:
Fasilitasi pelatihan, mentoring, dan kebebasan berekspresi untuk karyawan dengan jiwa wirausaha. - Fleksibilitas kerja dan otonomi:
Berikan ruang untuk agile working yang memungkinkan adaptasi cepat terhadap situasi proyek. - HR sebagai fasilitator perubahan:
Tim SDM harus jadi jembatan antar-generasi di tempat kerja dan pelopor perubahan budaya.
Kritik dan Batasan Penelitian
Penelitian ini:
- Terbatas pada wilayah Bangkok (Krung Thep Maha Nakhon)
- Tidak menguji peran manajerial senior dalam pengaruh lintas generasi
- Tidak mendalami faktor lain seperti lingkungan kerja fisik, keselamatan kerja, atau aspek psikologis
Namun, kontribusinya sangat berarti dalam menyusun strategi retensi pada sektor konstruksi SME, terutama di negara-negara berkembang dengan tantangan serupa.
Kesimpulan
Penelitian ini menegaskan bahwa retensi karyawan tidak semata soal gaji, tetapi tentang lingkungan kerja yang:
- Adaptif (agile)
- Menghargai kontribusi
- Mendukung kerja tim
- Mampu memberi ruang untuk berkembang
Bagi sektor konstruksi yang penuh tekanan, strategi retensi berbasis agile working adalah solusi mutakhir yang relevan dengan tren generasi saat ini. Terutama di tengah dinamika Generasi Z, retensi bukan lagi sekadar mempertahankan, tapi tentang menciptakan alasan untuk tetap tinggal dan berkembang bersama.
Sumber : Sang-rit, N., & Gilitwala, B. (2024). The factors affecting employee retention in construction-related small-medium enterprises situating in Krung Thep Maha Nakhon. Rajagiri Management Journal, 18(2), 106–124.