Strategi Manajemen Risiko Geoteknik dalam Proyek Infrastruktur Global – Studi Kasus dan Pembelajaran Kritis

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

03 Juni 2025, 15.29

pixabay.com

Dalam dunia konstruksi infrastruktur, risiko geoteknik telah menjadi salah satu tantangan paling signifikan yang sering kali menyebabkan pembengkakan biaya, keterlambatan waktu, hingga kegagalan proyek. Laporan “Management of Geotechnical Risks in Infrastructure Projects: An Introductory Study” yang diterbitkan oleh SBUF menyajikan analisis komprehensif terhadap pendekatan manajemen risiko geoteknik melalui studi kasus di tiga proyek besar: South Link Road (Swedia), Delhi Metro (India), dan terowongan bawah laut Hvalfjörður (Islandia). Artikel ini merangkum temuan utama dari laporan tersebut, mengevaluasi angka-angka penting, dan menyajikan analisis kritis terhadap praktik manajemen risiko dalam konteks global.

H2: Mengapa Manajemen Risiko Geoteknik Penting?

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa sekitar 6% dari total biaya konstruksi di industri Swedia disebabkan oleh kesalahan desain dan pelaksanaan, dengan hampir 80% berasal dari tahapan sebelum konstruksi. Bahkan, 10% kesalahan dapat menyumbang hingga 90% biaya perbaikan proyek.

Di Inggris, perubahan desain kecil akibat kondisi geoteknik yang tidak terduga bisa menambah biaya proyek hingga 30–50%, dan dalam kasus ekstrem bahkan mencapai 100%. Fakta-fakta ini menegaskan bahwa manajemen risiko geoteknik bukan hanya kebutuhan teknis, tetapi juga kebutuhan strategis.

H2: Studi Kasus 1 – South Link Road, Stockholm: Stabilitas di Tengah Kota

Lokasi dan Kondisi

Proyek jalan raya ini mencakup sistem terowongan sepanjang 6 km, di mana 4,5 km berada di bawah tanah. Salah satu bagian proyek, SL10 di Årsta, memerlukan penggalian hingga kedalaman 16 meter, hanya 2,5 meter dari gedung apartemen 14 lantai bernama Asplången.

Strategi Manajemen Risiko

  • Metode Observasional: Prediksi deformasi menggunakan model elemen hingga dipadukan dengan pemantauan ketat.
  • Perkuatan Struktur Sementara: Dinding sheet pile didukung oleh struts dan jack pengukur tekanan agar deformasi bisa dikendalikan.
  • Keterlibatan Awal: Kontraktor menggunakan metode grouting untuk mengurangi aliran air bawah tanah.

Hasil dan Evaluasi

Pendekatan ini terbukti berhasil mencegah kerusakan pada bangunan yang rapuh di sekitarnya, menunjukkan bahwa integrasi teknologi dan pemantauan aktif sangat penting untuk keberhasilan proyek perkotaan dengan risiko tinggi.

H2: Studi Kasus 2 – Delhi Metro MC1A: Kolaborasi Multinasional dalam Zona Kompleks

Konteks dan Tantangan

Proyek ini melibatkan pembangunan rel bawah tanah sepanjang 4,3 km dan empat stasiun yang berada 10–15 meter di bawah permukaan tanah serta 10 meter di bawah air tanah. Dikerjakan oleh joint venture antara kontraktor Swedia, Jepang, dan India, proyek ini memadukan berbagai budaya teknis dan manajemen.

Risiko Utama

  • Kondisi Geologi Tak Pasti: Hanya tersedia 20 uji penetrasi dan beberapa sampel batu inti.
  • Curah Hujan Ekstrem: Dapat mencapai 200 mm dalam 24 jam.
  • Bangunan Sekitar yang Rapuh: Banyak bangunan tua yang tidak boleh mengalami kerusakan tambahan.

Strategi Manajemen

  • Desain dan Konstruksi Terintegrasi: Menggunakan finite element analysis untuk memprediksi deformasi.
  • Pemantauan Intensif: Data digunakan untuk mengurangi jumlah penguat (struts dan anchors), serta mengadaptasi desain sesuai kebutuhan.
  • Kesulitan Implementasi Observasional: Terdapat resistensi budaya dari pihak pemilik proyek dan perancang terhadap perubahan desain selama pelaksanaan.

Catatan Tambahan

Konflik antar budaya dan pandangan terhadap risiko menimbulkan tantangan dalam implementasi. Meskipun perencanaan sistematis berhasil, fase eksekusi mengalami kendala dalam adaptasi budaya kerja.

H2: Studi Kasus 3 – Terowongan Bawah Laut Hvalfjörður, Islandia: Risiko Ekstrem di Lautan Vulkanik

Deskripsi Proyek

Terowongan sepanjang 5,8 km ini melintasi fjord Hvalfjörður di kedalaman 170 meter di bawah permukaan laut. Proyek ini menghubungkan bagian utara Islandia dengan ibu kota Reykjavik dan mempersingkat perjalanan darat sekitar 50 km.

Pendekatan Unik

  • Analisis Sistem oleh Tim Independen: Dilakukan oleh pakar geologi dan insinyur yang tidak memiliki pengalaman sebelumnya dalam pengeboran bawah laut di Islandia.
  • Penggunaan Fault Tree Analysis: Identifikasi enam risiko besar, seperti aliran air yang tidak dapat dikendalikan, kerusakan seismik, dan gas berbahaya.
  • Monitoring ‘Warning Bells’: Termasuk suhu air, salinitas, warna air bor, penetrasi bor, dan pH air.

Pelaksanaan & Hasil

  • Eksplorasi Rutin dan Adaptif: Dilakukan sepanjang terowongan, menggunakan radar dan pengeboran proba.
  • Mitigasi Real-Time: Data digunakan untuk merespon bahaya secara langsung selama pelaksanaan.
  • Keberhasilan Proyek: Terowongan selesai 4 bulan lebih cepat dari jadwal dan tanpa insiden besar, menunjukkan efektivitas analisis risiko sejak dini.

H2: Pembelajaran Umum dari Ketiga Studi Kasus

Kesamaan Strategis:

  1. Observational Method sebagai tulang punggung dalam pendekatan desain adaptif.
  2. Analisis Awal Menyeluruh yang mencakup studi lokasi, prediksi bahaya, dan eksplorasi geoteknik.
  3. Kolaborasi Multidisiplin: Peran penting pakar independen dan komunikasi intensif antar pihak.

Statistik Penting:

  • Sekitar 32% proyek infrastruktur mengalami cost overrun sebesar 50–100%.
  • Di Inggris, hanya 12,5% proyek yang selesai tepat waktu dengan rata-rata keterlambatan lebih dari 40%.
  • Hanya sekitar 1% dari anggaran konstruksi biasanya dialokasikan untuk investigasi geoteknik, padahal inilah penyebab utama keterlambatan dan kelebihan biaya.

H2: Kritik dan Rekomendasi

Kritik

  • Kurangnya Implementasi Data Monitoring: Dalam beberapa proyek seperti Delhi Metro, data lapangan tidak dimanfaatkan maksimal dalam desain adaptif.
  • Hambatan Budaya dan Organisasi: Perbedaan dalam persepsi risiko dan resistensi terhadap perubahan sering menjadi penghalang keberhasilan eksekusi.

Rekomendasi

  1. Anggarkan Investasi Investigasi Geoteknik yang Lebih Besar: Menambah biaya eksplorasi awal terbukti mampu menurunkan risiko overruns.
  2. Gunakan Pendekatan Probabilistik: Untuk memperhitungkan ketidakpastian dalam parameter geoteknik.
  3. Bangun Budaya Keterbukaan terhadap Risiko: Terutama dalam organisasi multinasional.
  4. Libatkan Ahli Independen sejak Awal: Untuk menjaga objektivitas dalam pengambilan keputusan desain dan mitigasi.

Kesimpulan: Risiko Geoteknik Bukan Masalah Teknis Semata, Tapi Strategi Manajerial

Manajemen risiko geoteknik bukan hanya sekadar mitigasi teknis, melainkan gabungan strategi desain, komunikasi tim, budaya organisasi, dan investasi eksplorasi. Studi kasus dari Swedia, India, dan Islandia membuktikan bahwa keberhasilan proyek sangat tergantung pada kualitas proses manajemen risiko dari awal hingga akhir.

Dengan kompleksitas proyek infrastruktur yang semakin meningkat, mengintegrasikan manajemen risiko geoteknik dalam setiap fase proyek bukan lagi pilihan—melainkan kebutuhan mutlak.

Sumber artikel:

SBUF 11194 Slutrapport, “Management of Geotechnical Risks in Infrastructure Projects: An Introductory Study”