Strategi Komprehensif Water Sensitive Urban Design (WSUD) dalam Mitigasi Krisis Konservasi Air dan Tata Ruang di Kawasan Bandung Utara

Dipublikasikan oleh Hansel

20 November 2025, 02.06

unsplash.com

Ringkasan Eksekutif (Executive Synthesis)

1. Urgensi Krisis KBU dan Perlunya Intervensi Desain

Kawasan Bandung Utara (KBU) berfungsi vital sebagai kawasan konservasi dan daerah resapan air bagi wilayah Bandung Raya. Namun, pertumbuhan pemukiman yang pesat, didorong oleh peningkatan ekonomi Kota Bandung, telah memicu alih fungsi lahan yang masif. Data menunjukkan bahwa sekitar 70% lahan hijau, termasuk hutan lindung dan pertanian, telah beralih menjadi kawasan permukiman dan komersial.1 Konsekuensi dari alih fungsi lahan ini bersifat ganda: terjadi peningkatan limpasan permukaan air yang menyebabkan banjir di wilayah hilir (Bandung Raya, Cimahi, dan Kabupaten Bandung) saat musim penghujan, dan penurunan muka air tanah yang menyebabkan krisis air bersih di hulu saat musim kemarau.1

Untuk merespons isu kritis ini, diperlukan model pengembangan kawasan perumahan yang mampu berperan sebagai kawasan konservasi air, selain sebagai tempat bermukim. Penelitian ini mengusulkan solusi strategis melalui pendekatan Water Sensitive Urban Design (WSUD), yang bertujuan untuk mengeksplorasi model pengembangan hunian berkelanjutan yang ramah air di Kelurahan Citeureup, Kota Cimahi, yang termasuk dalam delineasi KBU.1

2. Temuan Kunci dan Strategi Desain di Citeureup

Studi kasus di Kelurahan Citeureup (±4.5 Ha) mengungkapkan bahwa tapak memiliki kendala morfologis berupa kelerengan yang cukup curam, berkisar antara 8% hingga 25%.1 Selain itu, jenis tanah didominasi oleh lempung tufaan dan lanauan, yang memiliki permeabilitas lambat.1 Kondisi ini menuntut pendekatan perancangan yang sangat responsif terhadap kontur dan hidrologi lokal.

Strategi sintesis kunci yang dikembangkan melalui WSUD adalah implementasi prinsip Slow, Filter, and Store. Hal ini dicapai melalui:

  1. Struktur Ruang Responsif Kontur: Penerapan pola permukiman cluster dan pola jaringan jalan looping untuk meminimalkan pekerjaan cut-and-fill dan mengurangi kecepatan aliran air.1
  2. Kepatuhan Konservasi Ekstrim: Penentuan Koefisien Dasar Hijau (KDH) kawasan minimal 60% dari total luas tapak, jauh melampaui standar minimal RTH kota.1
  3. Inovasi Infrastruktur Biru-Hijau: Integrasi sistem drainase dengan lansekap menggunakan bioswales, permeable surfaces (seperti paving block dan grassblock), serta perancangan kolam retensi terpusat. Kolam retensi ini berfungsi ganda sebagai area penampung air cadangan (water catchment area) dan taman komunitas (community park), yang mendukung konservasi air dan fungsi sosial (Place Making).1

Strategi ini membuktikan bahwa pembangunan perumahan di kawasan lindung dapat berjalan seiring dengan pemulihan fungsi konservasi, asalkan prinsip WSUD diintegrasikan secara menyeluruh, mulai dari perencanaan strategis, arsitektur, hingga utilitas kawasan.

 

Konteks Krisis Lingkungan dan Tata Ruang di Kawasan Bandung Utara (KBU)

1. Peran KBU dalam Keseimbangan Ekologis Regional

Kawasan Bandung Utara merupakan kawasan lindung dan konservasi yang sangat penting bagi keberlanjutan ekologi dan hidrologi bagi wilayah di bawahnya, mencakup Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat.1 Peran utamanya adalah sebagai area resapan dan penyimpan cadangan air tanah.1 Wilayah Kabupaten Bandung Barat (KBB) sendiri mencakup persentase terbesar dari total luas KBU, yaitu sekitar 64% (25.227,80 Ha).1

Fungsi hidrologis KBU ini menciptakan hubungan sebab-akibat yang kritis: keseimbangan ekologis di KBU (hulu) secara langsung menentukan tingkat risiko bencana di wilayah hilir. Setiap degradasi yang terjadi di KBU akan meningkatkan beban sosial dan ekonomi bagi keseluruhan wilayah Bandung Raya.

2. Laju dan Dampak Alih Fungsi Lahan yang Tidak Terkendali

Alih fungsi lahan yang cepat, terutama dari lahan pertanian dan perkebunan menjadi kawasan permukiman dan komersial, telah mengkhawatirkan kondisi KBU saat ini.1 Berdasarkan data WALHI, alih fungsi lahan telah mencapai sekitar 70% dari total lahan hijau yang seharusnya dilindungi.1

Konversi lahan ini memiliki dampak kerusakan lingkungan yang berjenjang:

  1. Kehilangan Daya Resap: Pengurangan area hijau dan peningkatan permukaan kedap air menyebabkan berkurangnya area resapan air hujan. Hal ini mengakibatkan peningkatan drastis stormwater run-off.1
  2. Bencana Ganda: Peningkatan limpasan air memicu banjir di hampir sebagian besar wilayah Bandung Raya saat musim penghujan.1 Sebaliknya, berkurangnya resapan air hujan menyebabkan penurunan muka air tanah, yang berujung pada krisis air bersih di wilayah Bandung Barat, termasuk Cimahi Utara, ketika musim kemarau tiba.1

Kondisi ini menunjukkan bahwa kegagalan fungsional KBU sebagai area resapan telah mencapai tingkat parah. Intervensi yang diperlukan tidak hanya bersifat reaktif (mengatasi banjir) tetapi harus bersifat konservatif dan preventif (mengatasi kekeringan), yang menjustifikasi penerapan Water Sensitive Urban Design (WSUD) sebagai solusi holistik.

3. Kegagalan Kepatuhan Tata Ruang RTH

Fenomena alih fungsi lahan di Cimahi Utara khususnya, dan KBU pada umumnya, menyebabkan penyusutan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang kritis. Kota Cimahi, yang secara administratif menaungi Kelurahan Citeureup, tercatat hanya menyisakan RTH seluas 4,6 $\text{km}^{2}$ dari total luas wilayah 40,25 $\text{km}^{2}$, atau hanya sekitar 11%.1

Angka 11% ini jauh di bawah ketentuan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mewajibkan kota/kabupaten memiliki minimal 30% RTH.1 Defisit RTH yang signifikan ini mencerminkan kegagalan strategi tata ruang konvensional dalam menjaga fungsi konservasi di wilayah yang sangat sensitif. Oleh karena itu, penelitian di Kelurahan Citeureup yang mewajibkan KDH kawasan minimal 60% berfungsi sebagai model preskriptif. Standar konservasi yang sangat tinggi ini harus diterapkan untuk membalikkan tren degradasi, menuntut kontribusi area resapan yang jauh lebih besar dari sekadar minimum legal kota.

Paradigma Water Sensitive Urban Design (WSUD) sebagai Kerangka Solusi

1. Filosofi Inti dan Perbedaan dengan Drainase Konvensional

Water Sensitive Urban Design (WSUD) adalah pendekatan perencanaan yang berorientasi untuk meminimalkan dampak hidrologi dari pembangunan perkotaan terhadap lingkungan sekitar.1 Pendekatan ini setara dengan Low-Impact Development (LID) di Amerika Serikat atau Sustainable Drainage System (SuDS) di Inggris.2

Perbedaan mendasar WSUD dengan pengelolaan drainase konvensional terletak pada pergeseran paradigma:

  1. Air Hujan sebagai Sumber Daya: WSUD memandang limpasan air hujan (stormwater runoff) sebagai sumber daya alam yang bernilai, bukan sebagai masalah yang harus cepat-cepat dibuang.2
  2. Pengelolaan Terintegrasi: WSUD mengintegrasikan pengelolaan siklus air dengan perencanaan dan desain perkotaan, bertujuan untuk meniru sistem hidrologi alami sebanyak mungkin, serta meminimalkan dampak negatif pada sistem air penerima.1

2. Empat Pilar Strategis WSUD

Penerapan WSUD menuntut pendekatan yang holistik, yang mencakup empat aspek yang saling berkaitan erat 1:

  1. Perencanaan Kota (Urban Planning): Melibatkan pengambilan keputusan strategis mengenai lokasi pengembangan dan memastikan integrasi siklus air pada tingkat makro.
  2. Perancangan Kota (Urban Design): Fokus pada desain fisik kawasan dan infrastruktur untuk mencapai tata ruang yang ramah air.
  3. Penciptaan Tempat (Place Making): Mengintegrasikan air ke dalam lanskap untuk meningkatkan nilai estetika, sosial, visual, dan rekreasional komunitas, sekaligus berkontribusi pada kenyamanan perkotaan.1
  4. Lansekap Produktif (Productive Landscape): Mendesain lansekap menjadi sistem pengelola air multifungsi, seringkali melalui penggunaan koridor hijau-biru.

3. Sasaran Hidrologis untuk KBU (Perspektif Stormwater Management)

Dalam konteks manajemen air hujan berkelanjutan (Sustainable Stormwater Management), WSUD memiliki tujuan hidrologis yang sangat relevan untuk mengatasi isu KBU 1:

  • Perlindungan Sistem Air Alami: Memastikan perlindungan terhadap sistem air alami, termasuk sempadan sungai dan kawasan lindung, selama proses pembangunan.1
  • Reduksi Limpasan dan Aliran Puncak (Peak Flows): Mengurangi volume total limpasan air hujan dan aliran puncak dengan memanfaatkan penahan air dan sumur retensi lokal. Tindakan ini krusial untuk mitigasi banjir di wilayah hilir Bandung Raya.1
  • Peningkatan Kualitas Air: Melindungi kualitas air melalui penerapan teknik filtrasi dan retensi alami dalam sistem lansekap.1
  • Pengurangan Permukaan Kedap Air: Meminimalkan perkerasan kedap air pada permukaan tanah untuk meningkatkan peluang resapan.1
  • Mitigasi Dampak Lingkungan dan Peningkatan Kualitas Hidup: Integrasi ruang hijau dan fitur air dapat memberikan efek pendinginan, mengatasi urban heat island effect, dan meningkatkan kelayakan huni kawasan perkotaan.3

4. Tujuh Elemen Kunci WSUD untuk Perumahan Berkelanjutan

Implementasi konsep WSUD dalam pengembangan perumahan di Kelurahan Citeureup diarahkan pada penerapan strategi yang mencakup aspek siklus air secara keseluruhan, dari penyediaan hingga pengolahan 1:

  1. Aplikasi Siklus Air (Water Cycle Study): Mengarahkan perencanaan masterplan untuk pengelolaan pasokan air dan drainase berkelanjutan.
  2. Rumah Berstandarisasi (Standardized Homes): Mendorong penggunaan sanitair yang efisien dalam pemakaian air.
  3. Koridor Hijau-Biru (Blue-Green Corridors): Perancangan kanal dan RTH multifungsi untuk menampung dan mengalirkan air.
  4. Wetlands: Penyediaan lingkungan binaan alami sebagai penangkap dan resapan air, serta berfungsi sebagai akuifer potensial untuk daur ulang.
  5. Area Penyimpanan dan Panen Air Hujan (Water Harvesting and Storage): Menyediakan fasilitas untuk memanen dan menyimpan air hujan.
  6. Pencegahan Banjir (Flood Avoidance): Memastikan lokasi pengembangan berada di luar area yang berisiko banjir.
  7. On-site Water Recycling Plant: Pengelolaan air hujan dan air buangan untuk kebutuhan rumah tangga di luar kebutuhan minum, yang merupakan solusi langsung untuk kekurangan air saat musim kemarau.

 

Analisis Morfologi Tapak Studi Kasus: Kelurahan Citeureup (4.5 Ha)

Analisis tapak Kelurahan Citeureup dilakukan untuk memahami karakteristik fisik alam dan lingkungan yang akan dijadikan dasar pembenaran teknis bagi strategi perancangan WSUD.

1. Kendala Fisik Alam dan Respon Awal

1.1. Analisis Topografi dan Kelerengan

Lokasi tapak perancangan yang berada di Kelurahan Citeureup memiliki kelerengan signifikan, berkisar antara 8% hingga 25%.1 Tapak ini sebelumnya merupakan area persawahan dan perkebunan terasering dengan kemiringan rata-rata 15%.1 Kelerengan yang curam ini berarti potensi erosi tinggi dan kecepatan aliran air permukaan yang sangat cepat.

Oleh karena itu, strategi perancangan harus melibatkan rekayasa kontur yang minimal untuk memastikan perletakan bangunan menyesuaikan kontur alami. Tujuannya adalah untuk mengendalikan kecepatan aliran air secara cepat dan meminimalkan pekerjaan cut-and-fill, yang mahal, berisiko tinggi terhadap ketidakstabilan lereng, dan merusak lapisan tanah atas yang penting untuk infiltrasi.1

1.2. Analisis Jenis Tanah

Jenis tanah di kawasan Cimahi Utara didominasi oleh Lempung Tufaan dan Lempung Lanauan.1 Jenis tanah lempung ini dikategorikan memiliki permeabilitas yang lebih lambat dibandingkan jenis tanah lainnya.1

Permeabilitas yang lambat memiliki implikasi kritis bagi strategi hidrologi. Strategi WSUD di lokasi ini tidak dapat secara primer mengandalkan infiltrasi murni yang cepat. Sebaliknya, solusi harus berfokus pada sistem retensi, filtrasi, dan perlambatan aliran (Slow, Filter, Store) yang terstruktur. Sistem ini harus memaksa air untuk tinggal lebih lama di kawasan, memungkinkan resapan terjadi secara bertahap sambil menyaring polutan, dibandingkan hanya mengandalkan daya serap alami yang rendah. Selain itu, jenis tanah lempung pada lereng curam rentan terhadap gerakan massa (longsor) ketika jenuh air, yang memperkuat kebutuhan akan pola perumahan dan jalan yang stabil dan responsif kontur.4

1.3. Analisis Curah Hujan dan Pola Aliran Eksisting

Kecamatan Cimahi Utara mengalami tingkat curah hujan bulanan yang tinggi, berkisar antara 5 mm hingga 455 mm, terutama pada musim penghujan.1 Debit air pada jalur drainase sekitar tapak cukup tinggi dan sering menyebabkan genangan di area selatan tapak (hilir).1

Analisis ini menjustifikasi bahwa aliran drainase kawasan harus diarahkan secara terkontrol ke bagian timur dan ke titik-titik pengumpul terpusat (kolam penampungan sementara). Pengendalian ini berfungsi untuk memastikan aliran air menjadi lebih terarah dan terkontrol, sekaligus mengurangi peak flow yang mengancam genangan di hilir kawasan.1

2. Kendala Regulasi Spasial dan Alokasi Lahan

Meskipun Kota Cimahi secara umum menghadapi defisit RTH yang parah (hanya 11% RTH) 1, tapak studi kasus di KBU tunduk pada ketentuan yang lebih ketat untuk mempertahankan fungsi konservasi.

Peraturan kawasan mewajibkan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) tidak lebih dari 40% dari total luasan, dan Koefisien Dasar Hijau (KDH) minimal 60% dari total luasan kawasan.1 Dengan total luas area 45.000 $\text{m}^{2}$ (4.5 Ha), alokasi lahan wajib adalah:

  • KDH (RTH, RTNH): Minimal 30.000 $\text{m}^{2}$ (60% dari total area).
  • KDB (Bangunan): Maksimal 15.000 $\text{m}^{2}$ (30% dari total area).

KDH 60% ini merupakan angka yang sangat ambisius dan melampaui standar RTH minimum nasional, menegaskan pengakuan tapak sebagai infrastruktur konservasi aktif. KDH 60% ini harus diinterpretasikan sebagai infrastruktur hijau-biru yang harus didesain, bukan sekadar area kosong.

 

Strategi Sintesis Masterplan Berbasis WSUD (Tahap III)

Sintesis perancangan masterplan kawasan perumahan berkelanjutan di Citeureup berupaya menerapkan prinsip-prinsip WSUD secara kontekstual, merespons kendala topografi, jenis tanah lempung, dan kebutuhan konservasi air.

1. Pola Permukiman (Housing Layout) dan Keseimbangan KDB/KDH

1.1. Pola Cluster Berkontur

Pola dan letak bangunan dirancang dalam bentuk cluster yang mengikuti pola garis interval kontur.1 Strategi ini memiliki dua tujuan utama: pertama, mengurangi volume pekerjaan cut-fill pada lahan, dan kedua, memudahkan pembentukan aliran air yang terkontrol dan memfasilitasi penyerapan air.1 Pemecahan kluster ini juga digunakan untuk mengintegrasikan blue corridor di antara massa-massa bangunan.1

1.2. Optimalisasi KDB/KDH Privat

Untuk memenuhi kebutuhan densitas hunian sambil mematuhi KDB kawasan maksimal 40%, seluruh tipe bangunan direncanakan 2 lantai.1 Secara spesifik, KDB per kavling dibatasi maksimal 30%. Hal ini memastikan 70% dari lahan privat setiap rumah tangga tetap menjadi area resapan atau lansekap. Transformasi lahan privat menjadi kontributor aktif konservasi air adalah elemen krusial dalam model WSUD ini.

2. Perancangan Jaringan Jalan dan Infrastruktur Hijau

2.1. Pola Jalan Looping dan Integrasi Drainase

Pola tata letak jalan dirancang dengan karakteristik yang mengikuti garis kontur tapak, menggunakan konsep looping untuk menyesuaikan topografi dan memudahkan pengawasan keamanan.1 Desain ini secara inheren mengurangi kecepatan kendaraan dan aliran air di permukaan jalan.

Integrasi jaringan jalan dengan jalur drainase, baik terbuka maupun tertutup, merupakan persyaratan wajib. Setiap jaringan jalan harus diintegrasikan dengan green infrastructure.1

2.2. Peningkatan Permeabilitas Jalan (Pervious Pavement)

Untuk memperluas bidang penyerapan air, jaringan jalan diintegrasikan dengan:

  • Permukaan Permeabel: Penggunaan material seperti paving block dan grassblock pada jalan perumahan. Ini memungkinkan air meresap langsung ke dalam tanah pada lokasi yang paling sering terpapar (impervious surface), mengurangi limpasan yang dihasilkan oleh perkerasan aspal atau beton konvensional.1
  • Green Buffer: Penambahan vegetasi baru di kiri dan kanan jalan untuk membentuk green buffer yang membantu proses penyerapan dan penyaringan air.1

3. Sistem Drainase Kawasan dan Koridor Biru-Hijau (Blue-Green Corridor)

Sistem drainase kawasan dirancang untuk merespons kondisi area tangkapan air dan jalur drainase kota eksisting, menerapkan prinsip Slow, Filter, and Store.1

3.1. Manajemen Limpasan (Runoff Management)

Prinsip drainase utama adalah memberikan kesempatan maksimal bagi aliran air hujan (runoff) untuk meresap ke dalam tanah dan/atau ditampung sementara dalam kawasan, sebelum sisa limpahannya dialirkan kembali ke jalur drainase kota.1 Konsep ini secara langsung bertujuan untuk mengurangi surface runoff berlebihan yang menyebabkan banjir di wilayah selatan tapak.

Penerapan green infrastructure mencakup:

  • Bioswales dan Zona Infiltrasi Parit: Jalur drainase jalan diubah menjadi zona infiltrasi dan bioswales. Struktur ini dirancang untuk memecah aliran air, menyaring polutan melalui vegetasi dan media tanah, serta memperpanjang waktu tinggal air di permukaan sebelum mencapai saluran utama.1

3.2. Kolam Retensi Sentral dan Integrasi Multifungsi

Sebagai respon terhadap pola aliran air dari utara dan topografi tapak, dirancang beberapa area penangkap air hujan (water catchment area). Titik pengumpul utama adalah Kolam Retensi Kawasan, yang ditempatkan pada bagian center kawasan.1

Kolam retensi ini memiliki fungsi ganda yang vital:

  1. Fungsi Hidrologis: Menyediakan penyimpanan air cadangan, terutama untuk kebutuhan di musim kemarau, dan bertindak sebagai penampungan terpusat untuk limpahan air hujan, mengurangi peak flow.1
  2. Fungsi Sosial dan Ekologis: Kolam retensi diintegrasikan sebagai Community Park dan zona hijau (Green Zone) berupa community forestry.1 Pengubahan infrastruktur hidrologi menjadi ruang publik rekreatif (Place Making) memastikan kawasan tersebut memiliki nilai estetika dan sosial, yang pada akhirnya meningkatkan keberlanjutan pemeliharaan oleh masyarakat.

3.3. Peningkatan Kualitas Air

Air yang ditampung dalam kolam retensi dilengkapi dengan saringan pasir dan kerikil. Filtrasi mekanis ini penting untuk menghilangkan sedimen dan polutan dari limpasan air permukaan.1 Kualitas air yang ditingkatkan ini mendukung tujuan WSUD untuk perlindungan kualitas air dan memungkinkan air yang meresap ke dalam tanah (infiltrasi) menjadi cadangan air tanah yang lebih bersih.

 

Rekomendasi Teknis Detail dan Mitigasi Risiko

1. Spesifikasi Teknis Infrastruktur Hijau

Mengingat kondisi tanah lempung tufaan dan lanauan yang memiliki permeabilitas lambat 1, implementasi WSUD di Citeureup harus memperhatikan detail teknis khusus:

  1. Desain Media Bioswales: Bioswales harus menggunakan tanah media filter yang memiliki permeabilitas lebih tinggi (misalnya campuran pasir dan kompos) daripada tanah lempung alami tapak. Ini memastikan filtrasi dan drainase yang efektif. Tanaman yang digunakan haruslah spesies lokal yang tahan terhadap genangan air sementara dan memiliki kemampuan fitoremediasi untuk menyaring polutan biologis.
  2. Manajemen Air pada Tanah Lempung: Walaupun tujuan WSUD adalah infiltrasi, permeabilitas yang lambat pada tanah lempung dapat menyebabkan air tertahan terlalu lama (waterlogging). Untuk menjaga stabilitas lereng dan mencegah peningkatan tekanan hidrostatik (yang dapat memicu longsor) 4, sistem underdrain (saluran pembuangan di bawah permukaan) harus dipasang di bawah bioswales dan kolam retensi. Underdrain ini bertugas memfasilitasi pembuangan air secara terkontrol setelah proses filtrasi selesai, sehingga menjaga integritas geoteknik kawasan berkontur.

2. Manajemen Hidrologi dan Konservasi Air Tanah

  1. Sistem Daur Ulang On-Site: Strategi konservasi air harus diperkuat dengan mandat penerapan on-site water recycling dan water harvesting di setiap kavling. Hal ini mencakup pembangunan cisterns (tandon air) untuk menampung air hujan dan fasilitas pengolahan air abu-abu untuk kebutuhan non-minum (misalnya penyiraman dan pembilasan toilet).1 Strategi ini secara langsung mengurangi ketergantungan pada air tanah saat musim kemarau.
  2. Pemantauan Air Tanah: Karena kawasan ini merupakan wilayah konservasi air 1, efektivitas WSUD harus diukur secara kuantitatif. Implementasi harus mencakup pembangunan sumur observasi yang ditempatkan secara strategis di hulu dan hilir tapak untuk memantau perubahan muka air tanah (M.A.T.). Data ini penting untuk memverifikasi kontribusi kawasan terhadap pemulihan cadangan air tanah regional.

3. Kepatuhan Regulasi dan Densifikasi Vertikal

Ketaatan terhadap KDH kawasan 60% dan KDB kavling 30% adalah fondasi strategi ini.1 Untuk menjamin tercapainya densitas hunian yang layak secara ekonomi, desain dua lantai harus distandardisasi. Hal ini memungkinkan kebutuhan hunian terpenuhi tanpa mengorbankan luas area resapan yang diwajibkan oleh fungsi konservasi KBU. Mekanisme perizinan (IMB) harus memasukkan elemen desain WSUD (misalnya rain garden atau sumur resapan privat) sebagai prasyarat kepatuhan.

 

Kesimpulan, Tantangan Implementasi, dan Implikasi Kebijakan

1. Kesimpulan Strategis

Strategi perancangan kawasan perumahan berkelanjutan di Kelurahan Citeureup dengan pendekatan WSUD telah berhasil menyajikan model pengembangan yang terintegrasi, mengatasi konflik antara kebutuhan permukiman dan fungsi konservasi air. Strategi ini merespons secara spesifik tiga tantangan utama di KBU:

  1. Mitigasi Krisis Morfologis: Topografi curam dan tanah lempung diatasi melalui pola cluster berkontur dan infrastruktur Slow, Filter, and Store, memastikan stabilitas lahan dan pengendalian limpasan.
  2. Mitigasi Krisis Hidrologis Ganda: Dengan penetapan KDH 60% dan perancangan Blue-Green Corridor terpusat (kolam retensi), kawasan ini secara aktif mengurangi peak flow (mitigasi banjir) dan menyediakan cadangan air (mitigasi kekeringan).
  3. Optimalisasi Tata Ruang: Infrastruktur konservasi air diintegrasikan menjadi ruang publik yang meningkatkan kualitas hidup dan estetika kawasan (Place Making), membuktikan bahwa konservasi dapat meningkatkan nilai properti dan kelayakan huni.

2. Tantangan Implementasi Jangka Panjang

Meskipun desainnya kuat secara konseptual, implementasi WSUD menghadapi tantangan praktis yang memerlukan perhatian berkelanjutan:

  1. Pemeliharaan Infrastruktur Hijau: Efektivitas sistem WSUD, terutama bioswales dan kolam retensi, sangat bergantung pada pemeliharaan yang ketat. Pada tanah lempung yang rentan sedimentasi, kegagalan pemeliharaan media filter dapat dengan cepat mengurangi permeabilitas dan efisiensi penyaringan, mengubah infrastruktur konservasi menjadi saluran pembuangan konvensional.
  2. Sinergi Lintas Sektor: Penerapan WSUD menuntut integrasi yang erat antara domain perencanaan tata ruang, rekayasa sipil, arsitektur lansekap, dan manajemen utilitas air. Kurangnya koordinasi antar sektor dapat menghambat realisasi fungsi multifungsi dari Blue-Green Corridor.

3. Implikasi Kebijakan Mendesak untuk KBU

Berdasarkan keberhasilan model perancangan WSUD di Citeureup, terdapat tiga implikasi kebijakan yang harus segera dipertimbangkan oleh otoritas tata ruang di Kawasan Bandung Utara:

  1. Mandat WSUD dalam RTRW Regional: Pemerintah Provinsi Jawa Barat, bersama Pemerintah Daerah terkait (Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat), harus menjadikan Water Sensitive Urban Design sebagai persyaratan teknis wajib (mandat teknis) bagi semua pengembangan baru di KBU. Ini harus melampaui persyaratan drainase konvensional dan berfokus pada konservasi air sebagai kriteria utama.
  2. Pemberian Insentif Konservasi: Perlu diciptakan mekanisme insentif regulasi (misalnya, proses perizinan yang disederhanakan atau pengurangan pajak) bagi pengembang yang secara sukarela menetapkan KDH/KDB yang lebih ketat dari batas minimum regulasi dan mengimplementasikan sistem on-site water recycling yang komprehensif.1
  3. Penguatan Penegakan Hukum dan Standar KDH: Mengingat defisit RTH Kota Cimahi yang parah (11%), model KDH 60% yang dikembangkan di Citeureup harus dipromosikan sebagai standar baru pembangunan di kawasan konservasi KBU. Mekanisme penegakan hukum harus diperkuat untuk memastikan kepatuhan desain dan mencegah konversi lahan hijau yang tersisa.

 

Sumber Artikel: