Startup Hijau: Katalis Ekonomi Sirkular di Indonesia Berbasis Teknologi Data

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

18 November 2025, 01.04

Ekonomi sirkular telah berkembang menjadi salah satu pendekatan global yang dianggap paling efektif dalam menjawab krisis lingkungan, keunggulan kompetitif industri, dan tuntutan efisiensi sumber daya. Berbeda dengan sistem ekonomi linear konvensional yang mengandalkan model "ambil–buat–buang" (take–make–waste), ekonomi sirkular menempatkan nilai berkelanjutan dari sumber daya sebagai inti dari proses produksi dan konsumsi. Dalam model ini, limbah bukan lagi dianggap sebagai beban, tetapi sebagai input baru yang dapat dikembangkan menjadi aset ekonomi.

Di Indonesia, urgensi implementasi ekonomi sirkular semakin terasa. Dengan produksi sampah yang mencapai lebih dari 65 juta ton per tahun dan tingkat daur ulang resmi yang masih rendah, pengelolaan limbah telah menjadi tantangan multidimensi—melibatkan aspek sosial, ekonomi, teknologi, dan budaya. Namun, tantangan ini juga membuka peluang bagi aktor-aktor baru yang inovatif, dan di sinilah startup memainkan peran yang semakin sentral.

Startup berbasis teknologi kini muncul sebagai penggerak ekonomi sirkular di Indonesia. Mereka hadir bukan hanya untuk menciptakan platform pengelolaan limbah atau optimasi rantai pasok, tetapi juga sebagai katalis transformasi model bisnis tradisional menuju sistem yang berkelanjutan. Dengan kecepatan, fleksibilitas, dan kedekatan mereka dengan teknologi data, startup menawarkan solusi baru dalam skala yang cepat dan berbasis kebutuhan masyarakat.

Lebih jauh lagi, ekonomi sirkular tidak hanya berkaitan dengan isu lingkungan, tetapi juga potensi ekonomi yang signifikan. Laporan McKinsey (2020) menunjukkan bahwa penerapan model ekonomi sirkular dapat menciptakan nilai ekonomi global hingga USD 4,5 triliun pada tahun 2030. Bagi Indonesia, pasar ekonomi sirkular diperkirakan dapat membuka peluang industri hijau, pengurangan biaya logistik limbah produksi, sekaligus menciptakan lapangan kerja baru di sektor daur ulang, pengolahan material, hingga edukasi lingkungan.

Transformasi ini memerlukan kolaborasi lintas sektor: pemerintah, perusahaan, masyarakat, dan startup sebagai inovator utama. Oleh karena itu, menelaah peran startup berbasis data dan teknologi dalam mendukung implementasi ekonomi sirkular bukan sekadar pembahasan akademis, tetapi strategi nasional dalam membangun masa depan ekonomi yang berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan.

 

Tantangan Lingkungan dan Peluang Inovasi untuk Startup

Indonesia menghadapi krisis lingkungan yang semakin nyata, mulai dari degradasi lahan, polusi plastik laut, hingga perubahan iklim yang berdampak langsung pada kesehatan, produktivitas, dan keberlanjutan ekonomi nasional. Dalam konteks ini, startup hadir sebagai inovator lincah yang mampu merespon dinamika pasar dan kebutuhan lingkungan melalui solusi berbasis teknologi.

1. Sampah Padat dan Krisis Plastik

Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik laut terbesar kedua di dunia. Setiap tahunnya, sekitar 3,2 juta ton plastik masuk ke ekosistem laut. Di sisi lain, tingkat pengelolaan sampah resmi baru mencapai 39,3% (KLHK, 2023), dengan lebih dari 60% sampah berakhir di TPA atau lingkungan terbuka.

Startup yang bergerak di sektor ini menawarkan peluang inovasi, seperti:

  • Platform pengumpulan sampah digital, menghubungkan warga, pengepul, dan pengolah limbah.

  • Marketplace bahan daur ulang, yang memudahkan industri mendapatkan supply material sirkular.

  • IoT untuk pemantauan tempat sampah, membantu pemerintah memantau volume sampah real-time.

2. Limbah Organik dan Kehilangan Pangan

Sektor pangan menyumbang limbah organik terbesar di Indonesia. Ironisnya, ini terjadi dalam situasi di mana ketahanan pangan nasional masih menjadi isu kritis. Limbah organik juga meningkatkan emisi gas metana yang berdampak buruk pada iklim.

Startup menghadirkan solusi berbasis data dan konsumsi berkelanjutan, misalnya:

  • Aplikasi food rescue dan redistribusi makanan yang mendekati kedaluwarsa,

  • Teknologi kompos digital di skala rumah tangga dan komunitas,

  • Platform edukasi konsumen untuk mengurangi food waste di tingkat rumah tangga.

3. Energi Bersih dan Daur Ulang Material

Tantangan berikutnya datang dari kebutuhan energi dan degradasi sumber daya alam. Industri manufaktur kecil menengah (IKM), misalnya, sering kali tidak memiliki akses modal atau teknologi ramah lingkungan.

Startup energi terbarukan dan daur ulang seperti:

  • Rekosistem (recycle-as-a-service),

  • Koinpack (sistem pengembalian kemasan dalam model reuse),

  • Biquon (konversi limbah non-organik menjadi energi),

telah menunjukkan bahwa inovasi bisa hadir dalam skala kecil dan berdampak besar.

Dukungan Ekosistem untuk Skalabilitas Startup Hijau

Tidak semua startup hijau berhasil berkembang tanpa dukungan ekosistem yang baik. Untuk mewujudkan dampak berkelanjutan, mereka membutuhkan kolaborasi dari:

a. Pemerintah

Melalui kebijakan seperti:

  • Perpres No. 97/2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah,

  • PP No. 27/2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik,

  • dan Extended Producer Responsibility (EPR) untuk produsen kemasan.

Regulasi ini mulai menuntut industri untuk bertanggung jawab atas jejak sampah mereka, sekaligus membuka peluang bagi startup pengelola limbah dan pemulihan material.

b. Korporasi

Program piloting supply chain circularity serta pendanaan melalui venture capital telah mulai mengalir ke startup yang mampu menyelaraskan misi lingkungan dan profitabilitas.

c. Teknologi

Kemajuan komputasi awan, AI, dan big data membantu startup mengolah informasi lingkungan dalam skala besar, membuat rantai pasok sirkular lebih efisien dan terukur.

 

Studi Kasus Startup Ekonomi Sirkular di Indonesia

Untuk mengukur sejauh mana inovasi startup dapat memengaruhi transisi ke ekonomi sirkular, penting untuk melihat contoh nyata. Sejumlah startup di Indonesia sudah berhasil mengembangkan solusi digital dan model bisnis baru yang menggabungkan efisiensi ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat. Berikut beberapa di antaranya:

1. Octopus: Sistem Digital untuk Ekosistem Plastik Berkelanjutan

Octopus adalah platform digital yang berfokus pada pengumpulan dan pengelolaan sampah plastik. Melalui aplikasinya, pengguna dapat menukarkan sampah plastik terpilah dengan poin, dan para pengepul resmi (mitra lapangan) menerima insentif atas setiap aktivitas pengambilan sampah. Startup ini menggabungkan:

  • Sistem logistik berbasis aplikasi,

  • Pelibatan masyarakat dan pemulung,

  • Teknologi pelacakan untuk memastikan jejak daur ulang transparan.

Dampaknya:

  • Meningkatkan nilai ekonomi sampah plastik,

  • Mengurangi kebocoran sampah ke lingkungan,

  • Memperkuat posisi pemulung dalam rantai sirkular formal.

2. Gringgo: Pemantauan Sampah Berbasis AI dan Blockchain

Gringgo mengembangkan platform digital untuk memetakan dan memantau sampah kota menggunakan kecerdasan buatan (AI) dan blockchain. Gringgo bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk:

  • Mengidentifikasi jenis dan jumlah sampah di lingkungan tertentu,

  • Menyediakan data bagi ekosistem daur ulang lokal,

  • Membantu operator pengangkutan sampah menentukan rute optimal.

Pendekatan ini telah diterapkan di beberapa kota untuk mendukung target pengurangan sampah ke TPA sebesar 30% pada 2025, sesuai target nasional.

3. Koinpack: Kemasan Returnable untuk Produk Konsumen

Menjawab masalah sampah kemasan sekali pakai, Koinpack memperkenalkan sistem kemasan returnable (dapat dikembalikan) untuk produk FMCG seperti sabun, deterjen, dan minyak goreng. Konsumen membeli produk dalam kemasan ulang, mengembalikan kemasannya setelah dipakai, dan mendapatkan poin atau insentif digital.

Model ini berkontribusi pada:

  • Mengurangi sampah kemasan sekali pakai,

  • Menjadikan kemasan sebagai bagian rantai penggunaan ulang,

  • Meningkatkan keterlibatan konsumen dalam sistem sirkular.

4. Rekosistem: Solusi Pengelolaan Limbah Organik dan Anorganik

Rekosistem adalah perusahaan recuperasi sampah (waste management) yang bekerja sama dengan perusahaan dan komunitas untuk menangani limbah organik maupun anorganik. Melalui sistem jemput sampah berbayar dan identifikasi jenis limbah digital, Rekosistem menjadi perantara antara konsumen, produsen, dan perusahaan daur ulang.

Dampaknya termasuk:

  • Memperluas jangkauan pemrosesan limbah terpadu,

  • Memberikan akses layanan daur ulang yang mudah diakses,

  • Mendukung strategi ESG perusahaan-perusahaan besar.

Mengapa Startup Menjadi Kunci Transformasi?

Keberhasilan startup di atas bukan hanya soal penggunaan teknologi, tetapi juga kemampuan mereka untuk:

  • Beroperasi secara lincah dalam ekosistem yang kompleks,

  • Menggeser perilaku masyarakat melalui sistem insentif,

  • Menciptakan pasar baru yang sebelumnya tidak ada (misalnya, recycling as a service),

  • Menarik kolaborasi lintas sektor secara cepat dan iteratif.

Secara keseluruhan, startup telah menunjukkan bahwa model bisnis berbasis ekonomi sirkular bukan hanya memungkinkan, tetapi juga menguntungkan, dengan potensi dampak sosial dan lingkungan yang nyata.

 

Rekomendasi Kebijakan untuk Mendorong Peran Startup dalam Ekonomi Sirkular

Untuk mempercepat transisi ke ekonomi sirkular, pemerintah perlu mengadopsi kebijakan strategis dan terukur yang tidak hanya menciptakan ekosistem pendukung, tetapi juga memfasilitasi lahirnya inovasi baru. Berikut adalah beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat dipertimbangkan dalam konteks Indonesia:

1. Mendorong Integrasi Startup dalam Program Nasional Pengelolaan Sampah

Startup berbasis teknologi memiliki kemampuan untuk mempercepat pengumpulan data, memperbaiki rantai pasok daur ulang, dan menjangkau daerah-daerah yang kurang terlayani. Pemerintah dapat:

  • Memasukkan platform startup ke dalam Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN),

  • Menetapkan skema kemitraan resmi antara pemda dan startup pengelola limbah untuk memastikan pemantauan dan transparansi.

Hal ini dapat mempercepat pencapaian target 30% pengurangan sampah dan 70% penanganan sampah pada tahun 2025.

2. Memperkuat Insentif untuk Produk dan Kemasan Sirkular

Untuk memobilisasi industri dan startup, pemerintah dapat memberikan:

  • Incentive fiscal seperti tax rebate atau green financing bagi perusahaan yang menerapkan Design for Recycle (D4R) atau model returnable packaging,

  • Subsidi penelitian bagi startup yang mengembangkan material kemasan baru berbasis bioresin dan konsep reuse.

Kombinasi regulasi dan insentif membantu mendorong produsen untuk bergerak lebih cepat dan mendorong permintaan terhadap solusi sirkular.

3. Penguatan Skema Extended Producer Responsibility (EPR)

Kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR) yang mewajibkan produsen bertanggung jawab atas kemasan pasca-konsumen perlu dilengkapi dengan aturan yang mencakup:

  • Kolaborasi mandatory dengan pengumpul sampah digital dan pihak logistik,

  • Penyediaan pendanaan inovasi untuk startup pengelola limbah,

  • Pelaporan berbasis data jelas (traceable) untuk setiap jenis sampah yang dikumpulkan.

Ini membuka ruang bagi startup untuk berperan sebagai mitra resmi dalam sistem pengelolaan sampah berbasis tanggung jawab produsen.

4. Pengembangan Inkubator dan Akselerator Fokus Ekonomi Sirkular

Agar startup hijau dapat tumbuh berkelanjutan, dibutuhkan lebih banyak inkubator dan akselerator yang fokus pada model bisnis ramah lingkungan. Kehadiran program sejenis dengan dukungan:

  • Mentorship ahli di bidang lingkungan dan teknologi,

  • Pendanaan tahap awal (seed funding),

  • Akses ke percontohan lapangan (pilot site) berbasis kota/kabupaten,

akan menjadi fondasi untuk memperkuat pipeline startup hijau yang matang secara teknis dan bisnis.

5. Pendidikan dan Kampanye Publik Berbasis Inovasi Digital

Untuk memastikan keberlanjutan solusi startup, pendidikan publik sangat penting. Pemerintah dapat berkolaborasi dengan platform edukasi, komunitas, dan startup untuk mengadakan:

  • Kampanye literasi lingkungan melalui media sosial,

  • Edukasi pemilahan sampah berbasis aplikasi gamifikasi,

  • Kolaborasi dengan sekolah dan universitas untuk pengembangan ekosistem digital lingkungan.

Langkah ini memastikan bahwa masyarakat bukan hanya pengguna solusi startup, tetapi juga mitra perubahan di lapangan.

 

Penutup

Upaya mendorong ekonomi sirkular melalui keberadaan startup digital berbasis teknologi bukan hanya memungkinkan secara teknis, tetapi strategis secara ekonomi. Dengan dukungan kebijakan yang kuat, pendekatan berbasis kolaborasi, dan teknologi cerdas, Indonesia dapat menjadi pemimpin ekonomi sirkular di Asia Tenggara. Di tangan startup, tantangan lingkungan bisa diubah menjadi peluang inovasi dan pertumbuhan yang inklusif.

 

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik (BPS). (2023). Statistik lingkungan hidup Indonesia 2023. Jakarta: BPS RI. https://www.bps.go.id

Ellen MacArthur Foundation. (2021). Completing the picture: How the circular economy tackles climate change. Retrieved from https://ellenmacarthurfoundation.org

Gringgo Indonesia Foundation. (2022). Kemitraan digital untuk pemetaan sistem persampahan. Gringgo.id.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2023). Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN). Diakses dari https://sipsn.menlhk.go.id

McKinsey & Company. (2020). The circular economy: Moving from theory to practice. McKinsey Global Institute.

Octopus Indonesia. (2023). Build a transparent and fair recycling ecosystem. Octopus Applications.

Startup Ranking. (2024). Indonesia startup ecosystem overview. Retrieved from https://www.startupranking.com/countries/id

World Bank Group. (2022). Circular economy and the future of waste management in Southeast Asia. Washington, DC: World Bank Publications.