Saya Sering Jalan Kaki di Jakarta. Sebuah Paper Baru Membuat Saya Takut pada Masa Depan.
Saya pejalan kaki. Di kota yang didominasi mobil seperti Jakarta, itu terasa seperti pernyataan politik sekaligus pilihan moda transportasi. Setiap hari adalah latihan kewaspadaan. Saya menavigasi trotoar yang tidak rata, menghindari motor yang melawan arah, dan menahan napas saat menyeberang jalan—berharap pengemudi yang sedang menatap ponselnya itu juga melihat saya.
Seperti banyak orang, saya menaruh harapan pada teknologi. Saya membayangkan masa depan sci-fi di mana Connected and Automated Vehicles (CAVs)—mobil otonom yang canggih—akan datang menyelamatkan kita. Mereka akan menggantikan "human error" yang fana dan berbahaya dengan presisi algoritma yang dingin dan aman.
Lalu, saya membaca sebuah paper penelitian, dan optimisme naif saya hancur berkeping-keping.
Paper itu berjudul "A transport justice approach to integrating vulnerable road users with automated vehicles". Judul yang kering, tapi isinya eksplosif. Jauh dari kata menyelamatkan kita, paper ini menyajikan argumen yang meresahkan: bahwa teknologi CAV, yang "diharapkan merevolusi transportasi," sebenarnya berisiko "memperburuk ketidakadilan (inequities) dan disparitas keselamatan" bagi orang-orang seperti saya—pejalan kaki, pengendara sepeda, lansia, dan penyandang disabilitas.
Kelompok ini disebut Vulnerable Road Users (VRUs), atau Pengguna Jalan Rentan. Dan ternyata, masa depan otonom mungkin tidak dirancang untuk mereka.
Para peneliti (Martínez-Buelvas dkk.) melakukan sesuatu yang radikal: mereka menganalisis CAV bukan dari kacamata efisiensi, tapi dari kacamata "Keadilan Transportasi" (Transport Justice).
Bayangkan jika kamu mengatur waktu kerja di kantormu seperti para peneliti di sini. Logika lama (utilitarian) hanya akan bertanya, "Seberapa cepat kita bisa menyelesaikan tugas ini?". Tapi pendekatan Keadilan Transportasi bertanya, "Apakah beban kerja ini dibagi secara adil? Apakah semua orang, termasuk staf junior, punya akses yang sama ke sumber daya untuk berhasil?".
Ini adalah pergeseran dari sekadar cost-benefit menjadi fokus pada manusia. Paper ini menggunakan tiga pilar :
-
Equality (Kesetaraan): Apakah pejalan kaki dan mobil punya status yang sama di jalan?
-
Fairness (Keadilan): Apakah manfaat (keamanan) dan beban (risiko) didistribusikan secara adil?
-
Access (Akses): Apakah semua orang bisa menggunakan sistem ini, terutama kelompok rentan?
Ketika para peneliti menggunakan lensa ini untuk melihat CAVs, mereka menemukan tujuh area di mana kita gagal total. Ini bukan sekadar bug teknis; ini adalah kegagalan nilai yang sistemik.
Tujuh Dosa Keadilan yang Disembunyikan Mobil Otonom
Ini adalah inti dari paper tersebut. Para peneliti mengidentifikasi tujuh isu keadilan spesifik yang mengancam VRU. Ini adalah eksplorasi tentang bagaimana teknologi yang kita bangun mencerminkan—atau mengabaikan—nilai-nilai kemanusiaan kita.
H3: #1. Janji Surga Keselamatan (Tapi Hanya Jika Anda di Dalam Mobil)
Masalah pertama adalah Keterlibatan Kecelakaan atau Cedera Lalu Lintas.
Narasinya jelas: 90% kecelakaan disebabkan oleh human error, jadi hilangkan manusianya, maka kecelakaan akan hilang. Tapi paper ini mengingatkan kita bahwa VRU sudah menanggung beban yang tidak proporsional.
Secara global, lebih dari 1,3 juta orang tewas di jalan setiap tahun. VRU—pejalan kaki, pengendara sepeda, dan pengendara motor—menyumbang lebih dari setengah dari semua kematian tersebut.
-
Secara spesifik: Pejalan kaki dan pengendara sepeda menyumbang 26% kematian global, sementara pengendara motor 28%.
-
Di AS (2020), 6.236 pejalan kaki tewas (16,12% dari total).
-
Di Australia (2021), 134 pejalan kaki tewas (11,88% dari total).
Janji surga CAV adalah angka-angka ini akan turun drastis. Realitasnya? Paper ini menyatakan bahwa sistem otonom saat ini "kesulitan mengidentifikasi VRU".
Kita semua tahu contoh tragisnya: insiden fatal Uber di Tempe, Arizona, pada Maret 2018, di mana kendaraan otonom menabrak dan menewaskan seorang pejalan kaki. Dewan Keselamatan Transportasi Nasional AS (NTSB) menemukan bahwa sistem otomatis kendaraan "gagal mengidentifikasi korban" sebagai bahaya tabrakan yang akan segera terjadi.
Dan inilah poin kuncinya: paper ini berargumen bahwa kegagalan ini bukanlah bug yang terisolasi. Ini adalah hasil dari prioritas yang salah. Para peneliti menyatakan bahwa "produsen CAV belum membuat kemajuan signifikan dalam sistem perlindungan pejalan kaki" karena mereka "terlalu sibuk menangani aspek teknis otomasi kendaraan".
Ketidakadilan utama yang sudah ada—yaitu bahwa pejalan kaki menanggung "paparan yang tidak setara terhadap risiko bahaya fisik" —ternyata tidak sedang diselesaikan. Ia sedang diotomatisasi.
H3: #2. Teknologi Baru, Aturan Lama: "Salah Pejalan Kaki"
Masalah kedua adalah Dampak pada pembagian tanggung jawab di jalan.
Jika Anda seorang pejalan kaki, Anda pasti tahu perasaan ini. Ketika Anda nyaris tertabrak, sering kali respons pengemudi adalah klakson atau makian—seolah-olah Anda yang salah karena berada di jalan mereka.
Paper ini mengungkap bahwa mentalitas "salah pejalan kaki" ini sedang dikodekan ke dalam kebijakan masa depan. Ada tren yang meresahkan di mana "kebijakan saat ini tampaknya mendukung harapan bahwa VRU harus mengubah perilaku mereka agar tetap aman di sekitar CAV".
Ini adalah detail yang paling membuat saya geram: Pemerintah AS dilaporkan mendanai "teknologi beacon yang harus dikenakan oleh pejalan kaki agar dapat dideteksi oleh CAV".
Ini gila. Ini seperti menyalahkan zebra karena tidak memakai rompi neon di sabana. Alih-alih menuntut mobil triliunan dolar untuk menjadi lebih pintar dan mampu melihat manusia, kita malah meminta manusia (yang tidak mendapat keuntungan apa-apa) untuk memakai gadget tambahan agar tidak terbunuh oleh mereka.
Para peneliti menyebut ini sebagai "pergeseran tanggung jawab kecelakaan dari CAV ke VRU". Ini adalah kebalikan dari apa yang seharusnya terjadi. Laporan etika (Horizon 2020) yang dikutip dalam paper ini dengan jelas merekomendasikan bahwa "CAV harus beradaptasi dengan perilaku mereka di sekitar VRU dan bukan sebaliknya".
Teknologi beacon itu adalah penyerahan diri secara moral. Kita secara teknis dan hukum mengkodifikasi prioritas mesin atas manusia.
H3: #3. Jalan Kita Akan Semakin Sempit
Masalah ketiga: Pengurangan ruang di jalan yang tersedia untuk VRU.
Sederhananya begini: CAV bisa membuat perjalanan menjadi sangat nyaman dan murah (bayangkan Anda bisa tidur, bekerja, atau menonton film). Apa yang terjadi jika sesuatu menjadi terlalu nyaman? Orang akan lebih sering menggunakannya.
Paper ini memperingatkan bahwa adopsi CAV yang meluas dapat "meningkatkan volume lalu lintas" , yang pada gilirannya dapat "semakin mengurangi ruang jalan yang tersedia untuk pejalan kaki dan pengendara sepeda".
Ini memperburuk masalah yang sudah ada. Paper ini mengutip penelitian lain yang menemukan "ketidakseimbangan dalam prioritas ruang" di mana mobil sudah terlalu mendominasi. Lebih buruk lagi, beberapa proposal kebijakan untuk mengakomodasi CAV adalah dengan menciptakan "jalur khusus" (dedicated lanes) untuk mereka.
Dari mana ruang untuk jalur khusus itu berasal? Tentu saja, dari ruang yang ada—kemungkinan besar dengan mengorbankan trotoar, jalur sepeda, atau jalur hijau. Ini adalah kerugian ganda bagi VRU: kita mendapatkan lebih banyak lalu lintas dan lebih sedikit ruang untuk melarikan diri darinya.
H3: #4. Apa yang Paling Mengejutkan Saya: Saat Algoritma Terbukti Rasis
Masalah keempat adalah Akses ke teknologi untuk melindungi atau memperingatkan VRU.
Ini adalah bagian di mana saya harus berhenti membaca sejenak dan menarik napas dalam-dalam. Ada dua temuan bom di sini.
Pertama, paper ini dengan gamblang menyatakan: "teknologi CAV dapat meningkatkan ketidakadilan rasial... mayoritas algoritma AV terutama dilatih dengan gambar orang kulit putih.". Konsekuensinya? "CAV dapat mengenali pejalan kaki kulit putih secara lebih akurat daripada pejalan kaki dengan kulit lebih gelap".
Mari kita pahami ini: sistem keselamatan yang dirancang untuk masa depan secara inheren bias dan lebih mungkin membahayakan orang kulit berwarna.
Kedua, paper ini menyoroti "solusi" yang diusulkan industri, seperti paten yang diajukan oleh Ford. Paten ini menjelaskan metode di mana CAV dapat mengirim pesan ke ponsel pejalan kaki di dekatnya yang berbunyi, "Saya tidak akan berhenti di penyeberangan jalan".
Ini adalah puncak arogansi teknologi. Alih-alih memperbaiki sistem agar mobil bisa berhenti untuk manusia, solusinya adalah memberi tahu manusia untuk menyingkir. Ini adalah pesan yang jelas: properti (mobil) lebih penting daripada nyawa Anda (pejalan kaki).
H3: #5. Mimpi Indah (Tapi Mahal) untuk Lansia dan Difabel
Masalah kelima: Akses ke layanan, otonomi, dan inklusi untuk penyandang disabilitas dan lansia.
Ini adalah ketidakadilan yang paling ironis. Kelompok yang paling sering disebut sebagai pembenaran moral untuk CAV adalah mereka yang tidak bisa mengemudi: lansia dan penyandang disabilitas. Narasi ini menjanjikan bahwa CAV akan memberi mereka akses ke "pekerjaan, pendidikan, dan layanan perawatan kesehatan".
Dan kebutuhannya sangat besar. Menurut data WHO yang dikutip dalam paper :
-
Lebih dari 1 miliar orang (15% populasi global) hidup dengan disabilitas.
-
75 juta orang membutuhkan kursi roda setiap hari.
-
Populasi lansia (60+) akan mencapai 2,1 miliar pada tahun 2050.
Ini adalah pasar kemanusiaan yang besar yang bisa dilayani oleh CAV. Tapi inilah kenyataan pahitnya: paper ini mengajukan pertanyaan kritis, "apakah orang-orang dengan disabilitas dan lansia akan memiliki akses finansial ke kendaraan ini?".
Jawabannya kemungkinan besar tidak. CAV, dengan semua teknologi canggihnya, akan "kurang terjangkau daripada kendaraan konvensional".
Jadi, kelompok yang paling diuntungkan secara sosial justru menjadi kelompok yang paling tidak mungkin bisa mengaksesnya karena hambatan biaya. Ini mengubah alat inklusi yang potensial menjadi penghalang eksklusi baru.
H3: #6. Para Insinyur Sibuk Membangun Robot, Mereka Lupa Manusia
Masalah keenam adalah fokus dari Riset tentang pengembangan teknologi CAV.
Paper ini mengidentifikasi ketidakseimbangan yang berbahaya. Produsen telah "terutama berinvestasi dalam pengembangan teknologi yang berkaitan dengan aspek teknis otomasi kendaraan, seperti teknik, ilmu komputer... dan robotika".
Tebak di mana mereka tidak berinvestasi? "Dalam sistem perlindungan pejalan kaki atau dalam meningkatkan cara VRU dan CAVS dapat berinteraksi secara adil dan aman".
Bagian ini adalah "mengapa" di balik masalah #1. Teknologi ini gagal melindungi pejalan kaki (seperti dalam kasus Uber) karena memang tidak pernah dirancang untuk memprioritaskan mereka sejak awal. Kecelakaan itu bukanlah kegagalan sistem yang anomali; itu adalah hasil yang dapat diprediksi dari agenda riset yang bias.
H3: #7. Hijau di Luar, Polusi di Dalam?
Masalah terakhir adalah Dampak kemacetan dan polusi udara pada VRU.
Banyak yang berasumsi CAV akan ramah lingkungan, kemungkinan besar karena mereka akan menjadi kendaraan listrik (EV). Mereka juga dapat mengurangi kemacetan jika dikoordinasikan dengan baik.
Tetapi, paper ini mengutip penelitian yang menunjukkan hasil sebaliknya. Karena perjalanan menjadi begitu mudah (Anda bisa tidur atau bekerja), orang akan lebih sering bepergian. Ini akan menyebabkan "peningkatan vehicle-miles-travelled (VMT)". Lebih banyak VMT berarti lebih banyak kemacetan, dan bahkan jika mobilnya listrik, tetap ada polusi dari partikel ban dan rem.
Siapa yang paling menderita akibat peningkatan kemacetan dan polusi udara ini? Tentu saja, VRU—pejalan kaki dan pengendara sepeda yang "mempengaruhi kesehatan" mereka saat mereka mencoba beraktivitas di luar.
Paper ini dengan cerdik mengkritik penelitian optimis yang "sering mengasumsikan" bahwa orang akan berbagi (ride-sharing) kendaraan ini. Realitas model kepemilikan pribadi akan menjadi bencana bagi kemacetan, yang paling merugikan mereka yang bahkan tidak berada di dalam mobil.
Oke, Jadi Kita Semua Akan Celaka? (Tunggu, Ada Harapannya)
Setelah membaca 7 dosa keadilan ini, mudah untuk merasa putus asa. Rasanya seperti masa depan distopia yang tak terhindarkan.
Tapi paper ini tidak hanya mengkritik; ia menawarkan jalan ke depan. Para peneliti tidak mengatakan kita harus menghentikan teknologi. Mereka mengatakan kita harus menghentikan cara kita saat ini dalam mengembangkannya.
Solusi inti mereka adalah seruan untuk "Design for Values" (Desain untuk Nilai). Ini berarti menanamkan "nilai moral, seperti keselamatan dan keadilan" ke dalam teknologi sejak awal—bukan sebagai fitur tambahan setelah bencana terjadi.
Bagi saya, ini terdengar seperti:
-
🚀 Hasilnya luar biasa: Paper ini tidak hanya mengutuk, tetapi menyediakan peta jalan yang konkret melalui "Tabel 1" , yang menguraikan strategi untuk setiap ketidakadilan yang mereka identifikasi.
-
🧠 Inovasinya: Mendorong pembuat kebijakan dan developer untuk memprioritaskan manusia. Ini berarti menuntut agar "CAV menyesuaikan perilaku mereka di sekitar VRU dan bukan sebaliknya".
-
💡 Pelajaran: Jangan terjebak dalam pola pikir lama yang mengutamakan efisiensi mobil. Kita harus memprioritaskan keadilan.
Ini adalah tantangan besar. Ini bukan hanya untuk coder; ini adalah tantangan untuk perencana kota. Menerapkan "Design for Values" berarti memikirkan ulang built environment (lingkungan binaan) kita. Profesional di bidang (https://diklatkerja.com/blog/wapres-jumlahinsinyur-indonesia-jauh-tertinggal-dari-vietnam-dan-korea) harus memimpin. Kita tidak bisa hanya 'memasang' CAV di kota-kota kita yang sudah kacau. Kita harus mendesain ulang kota kita agar infrastruktur fisik dan digitalnya memprioritaskan manusia, bukan mesin.
Opini Jujur Saya (Dan Kritik Halus untuk Para Peneliti)
Bagi saya, paper ini adalah bacaan wajib. Ini adalah alarm pengingat yang sangat dibutuhkan, yang mengguncang optimisme teknologi saya yang naif. Para penulis (Martínez-Buelvas dkk.) telah melakukan pekerjaan luar biasa dalam membingkai ulang perdebatan—dari 'kapan' teknologi ini akan tiba, menjadi 'bagaimana' kita akan mengelolanya secara adil.
Namun, jika boleh jujur, ada kritik halus yang ingin saya sampaikan.
Meski temuannya hebat, kerangka analisis "keadilan transportasi"-nya jujur saja agak terlalu abstrak untuk pemula, atau bahkan untuk software engineer yang sedang bekerja. Paper ini berbicara tentang "prinsip kesetaraan, keadilan, dan aksesibilitas". Tapi saya ingin tahu: "Bagaimana code-nya?"
Bagaimana Anda menerjemahkan "keadilan" menjadi perintah if-then untuk sebuah mesin yang bergerak dengan kecepatan 100 km/jam? Paper ini luar biasa dalam mengidentifikasi masalah, tetapi seruannya untuk "Design for Values" terasa lebih seperti tujuan filosofis daripada blueprint teknis. Saya dibiarkan menginginkan paper lanjutannya—yang menjembatani kesenjangan antara etika dan eksekusi.
Masa Depan Bukan Milik Robot, Tapi Milik Kita
Kita berada di persimpangan jalan. Teknologi mungkin tampak tak terhindarkan, tetapi arah yang diambilnya sepenuhnya bisa kita tentukan.
Paper ini ditutup dengan nada penuh harapan. Para peneliti menegaskan bahwa karena CAVs belum sepenuhnya diterapkan, kita memiliki "kesempatan unik" (unique opportunity) untuk mendesain sistem yang adil bagi mereka yang "secara tradisional kurang beruntung" (traditionally disadvantaged).
Pertanyaannya bukan lagi "Bisakah kita membangun mobil otonom?" Pertanyaannya adalah: "Akankah kita membangun masa depan yang memanusiakan pejalan kaki, atau akankah kita mengotomatisasi ketidakadilan yang sudah ada?"
Kalau kamu tertarik dengan debat ini—atau jika kamu merasa saya berlebihan—saya sangat menyarankan kamu untuk meluangkan waktu dan menantang asumsimu sendiri.