1. Pendahuluan: Mengapa Ekonomi Sirkular Tidak Pernah Benar-Benar Netral
Ekonomi sirkular kerap dipresentasikan sebagai solusi teknokratis terhadap krisis lingkungan: menutup siklus material, mengurangi limbah, dan meningkatkan efisiensi sumber daya. Namun narasi ini sering mengabaikan satu dimensi krusial, yaitu siapa yang menggerakkan sirkulasi tersebut dan dengan kondisi apa. Di banyak kota, terutama di negara berkembang, ekonomi sirkular telah lama berjalan—bukan karena desain kebijakan, melainkan karena kebutuhan hidup.
Di sinilah peran sektor daur ulang informal menjadi sentral sekaligus problematis. Mereka beroperasi di ruang abu-abu antara ekonomi formal dan informal, antara keberlanjutan lingkungan dan kerentanan sosial. Tanpa mereka, tingkat pemulihan material di banyak kota akan runtuh. Namun dengan mereka, muncul pertanyaan etis dan struktural: apakah ekonomi sirkular yang bergantung pada kerja rentan benar-benar dapat disebut berkelanjutan?
Paper ini secara implisit menantang asumsi bahwa transisi menuju ekonomi sirkular selalu progresif. Integrasi sektor informal bukan sekadar soal efisiensi pengelolaan sampah, tetapi menyangkut relasi kuasa, distribusi nilai, dan keadilan sosial. Ekonomi sirkular tidak berlangsung di ruang hampa; ia beroperasi dalam sistem ketenagakerjaan yang timpang, tata kelola kota yang fragmentatif, dan pasar material sekunder yang fluktuatif.
Pendekatan yang hanya menekankan teknologi, model bisnis, atau target daur ulang berisiko menciptakan paradoks: lingkungan membaik secara statistik, tetapi ketimpangan sosial justru mengeras. Oleh karena itu, memahami sektor daur ulang informal sebagai aktor struktural, bukan sekadar pelengkap sistem, menjadi kunci untuk membaca ulang ekonomi sirkular secara lebih realistis.
2. Sektor Daur Ulang Informal: Antara Ketahanan Sistem dan Kerentanan Manusia
Sektor daur ulang informal muncul bukan karena kegagalan individu, melainkan karena kegagalan sistemik. Urbanisasi cepat, kemiskinan struktural, dan tingginya nilai ekonomi material bekas menciptakan ruang ekonomi yang diisi oleh aktor-aktor informal. Mereka mengisi celah yang tidak mampu dijangkau sistem formal: wilayah padat miskin, aliran limbah tidak terkelola, dan material bernilai rendah yang tidak menarik bagi industri besar.
Kontribusi mereka terhadap sistem pengelolaan limbah perkotaan sering kali signifikan. Mereka meningkatkan tingkat pemilahan, mengurangi tekanan pada TPA, dan menyediakan pasokan material sekunder bagi industri. Namun kontribusi ini dibayar mahal melalui kondisi kerja yang berisiko, pendapatan tidak stabil, serta eksklusi dari perlindungan sosial dan hukum.
Yang menarik, sektor ini tidak homogen. Ia terdiri dari berbagai bentuk organisasi—individu, keluarga, koperasi, hingga jaringan pedagang—dengan posisi tawar yang sangat berbeda. Relasi kuasa di dalam rantai nilai sering timpang, di mana aktor paling rentan berada di hulu, sementara nilai ekonomi terbesar terkonsentrasi di hilir. Akibatnya, meskipun berperan penting dalam ekonomi sirkular, pekerja informal jarang menikmati manfaat transisi tersebut.
Paper ini menunjukkan bahwa sektor informal tidak hanya berkontribusi secara langsung pada aktivitas daur ulang, tetapi juga secara tidak langsung pada prinsip-prinsip ekonomi sirkular yang lebih tinggi, seperti perpanjangan umur produk dan pengurangan limbah. Namun kontribusi ini sering tidak diakui secara institusional. Dalam banyak kebijakan, sektor informal diperlakukan sebagai masalah yang harus “dirapikan”, bukan sebagai mitra strategis.
Di sinilah letak ketegangan utamanya. Modernisasi sistem pengelolaan limbah—melalui privatisasi, teknologi tinggi, atau pengetatan regulasi—sering justru mengancam mata pencaharian sektor informal. Alih-alih inklusi, yang terjadi adalah eksklusi terselubung atas nama efisiensi dan standar lingkungan. Padahal, menghapus sektor informal tanpa alternatif yang adil berisiko merusak ketahanan sistem secara keseluruhan.
3. Tipologi Rantai Nilai Daur Ulang: Di Mana Posisi Sektor Informal Menentukan Arah Ekonomi Sirkular
Salah satu kontribusi analitis penting dari paper ini adalah upayanya memetakan beragam bentuk rantai nilai daur ulang dan bagaimana sektor informal diposisikan di dalamnya. Pendekatan ini penting karena banyak kebijakan ekonomi sirkular gagal bukan karena konsepnya keliru, tetapi karena salah membaca konfigurasi aktor di lapangan.
Secara garis besar, rantai nilai daur ulang dapat bergerak dalam tiga pola utama. Pertama, rantai nilai yang sepenuhnya formal, di mana sektor informal hanya memiliki peran marginal atau hampir tidak ada. Pola ini lazim di negara berpendapatan tinggi dengan sistem pengelolaan limbah terpusat dan regulasi ketat. Kedua, rantai nilai yang bersifat represif, di mana sektor informal tetap ada tetapi ditekan, dikriminalisasi, atau dieksploitasi. Ketiga, rantai nilai hibrida, di mana sektor informal diakui dan diintegrasikan secara selektif ke dalam sistem formal.
Perbedaan ketiga pola ini bukan sekadar teknis, melainkan politis. Rantai nilai represif sering kali mengklaim modernisasi dan efisiensi, tetapi pada praktiknya mempertahankan logika ekonomi linear yang eksklusif. Sektor informal tetap dibutuhkan untuk kerja berbiaya rendah, tetapi tidak diberi ruang tawar atau perlindungan. Sebaliknya, rantai nilai hibrida membuka peluang bagi ekonomi sirkular yang lebih inklusif, meskipun tidak bebas dari ketegangan.
Integrasi sektor informal juga tidak bersifat netral. Dalam beberapa konteks, integrasi dilakukan melalui koperasi atau kemitraan publik–swasta yang meningkatkan pendapatan dan kondisi kerja. Namun dalam konteks lain, integrasi justru berujung pada subordinasi baru: sektor informal “diformalkan” tanpa akses nyata pada pengambilan keputusan atau distribusi nilai tambah.
Hal ini menunjukkan bahwa pertanyaan kunci bukan apakah sektor informal diintegrasikan, tetapi bagaimana dan untuk kepentingan siapa integrasi tersebut dirancang. Ekonomi sirkular yang hanya memindahkan kontrol rantai nilai ke aktor besar berisiko memperkuat ketimpangan lama dalam kemasan baru. Dengan kata lain, struktur rantai nilai menentukan apakah ekonomi sirkular menjadi alat transformasi sosial atau sekadar efisiensi material.
4. Ketegangan Kebijakan dan Relasi Kuasa: Ketika Inklusi Menjadi Ambigu
Ekonomi sirkular sering dipromosikan sebagai pendekatan win-win: lingkungan diuntungkan, ekonomi tumbuh, dan masyarakat lebih sejahtera. Namun ketika sektor informal dilibatkan, narasi win-win ini mulai retak. Paper ini memperlihatkan bahwa integrasi sektor informal hampir selalu diiringi ketegangan struktural antara tujuan lingkungan, kepentingan ekonomi, dan perlindungan sosial.
Salah satu sumber ketegangan utama adalah perbedaan logika antara sistem formal dan informal. Sistem formal menekankan standar, kepatuhan, dan kontrol. Sektor informal beroperasi melalui fleksibilitas, jejaring sosial, dan pengetahuan tacit. Ketika standar formal diterapkan tanpa adaptasi konteks, sektor informal sering gagal memenuhi persyaratan, bukan karena tidak mampu, tetapi karena desain kebijakan tidak mengakomodasi realitas mereka.
Relasi kuasa dalam rantai nilai juga memperumit situasi. Akses terhadap material bekas menjadi sumber konflik laten. Ketika material bernilai tinggi mulai diperebutkan oleh perusahaan besar melalui skema ekonomi sirkular, sektor informal kehilangan sumber penghidupan utamanya. Dalam kondisi ini, kebijakan yang tampak “ramah lingkungan” justru meminggirkan kelompok yang selama ini menopang sistem daur ulang.
Paper ini juga menunjukkan bahwa formalisasi tidak selalu identik dengan perlindungan. Dalam beberapa kasus, formalisasi dijadikan alat pengawasan dan kontrol, bukan pemberdayaan. Sektor informal diminta patuh tanpa mendapatkan jaminan pendapatan, keamanan kerja, atau posisi tawar yang lebih baik. Inklusi semacam ini bersifat simbolik dan berpotensi kontraproduktif.
Ketegangan lain muncul dari perbedaan konteks global. Di banyak negara Global South, kebijakan cenderung lebih pro-inklusif karena sektor informal merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem kota. Sebaliknya, di banyak negara Global North, sektor informal dipandang sebagai anomali yang harus dihapus atau diserap sepenuhnya. Perbedaan ini menunjukkan bahwa ekonomi sirkular bukan model universal, melainkan praktik yang sangat kontekstual.
Implikasinya jelas: tanpa sensitivitas terhadap relasi kuasa dan kondisi sosial, ekonomi sirkular dapat berubah menjadi proyek teknokratis yang mengabaikan keadilan. Integrasi sektor informal membutuhkan lebih dari sekadar regulasi; ia membutuhkan negosiasi, pengakuan, dan redistribusi nilai secara nyata.
5. Kontribusi Nyata Sektor Daur Ulang Informal: Pilar Tersembunyi Ekonomi Sirkular
Salah satu kekuatan utama paper ini terletak pada pembacaan ulang kontribusi sektor daur ulang informal terhadap prinsip-prinsip inti ekonomi sirkular. Alih-alih memandang mereka sekadar sebagai aktor pengumpul material, analisis menunjukkan bahwa sektor informal terlibat langsung maupun tidak langsung dalam hampir seluruh spektrum hierarki pengelolaan limbah.
Kontribusi paling jelas terlihat pada praktik-praktik bernilai tinggi dalam ekonomi sirkular, seperti penggunaan ulang, perbaikan, peremajaan, dan daur ulang. Melalui pengetahuan tacit dan jaringan sosial, sektor informal mampu memperpanjang umur produk jauh melampaui siklus yang dirancang oleh produsen. Dalam banyak kasus, mereka berperan sebagai “penjaga fungsi” barang, bukan sekadar pengelola limbah.
Lebih jauh, sektor informal juga menciptakan nilai sistemik. Mereka menurunkan biaya pengelolaan limbah kota, mengurangi emisi dari pembuangan akhir, dan menyediakan pasokan material sekunder yang stabil bagi industri. Kontribusi ini sering kali tidak tercatat dalam statistik resmi, tetapi menjadi fondasi ketahanan sistem pengelolaan limbah perkotaan, terutama di kota-kota dengan kapasitas fiskal terbatas.
Namun kontribusi ini bersifat paradoksal. Semakin sukses ekonomi sirkular meningkatkan nilai material bekas, semakin besar pula risiko eksklusi sektor informal. Ketika material menjadi komoditas strategis, akses terhadapnya mulai diperebutkan oleh aktor yang lebih kuat secara modal dan politik. Tanpa perlindungan institusional, sektor informal dapat terdorong keluar dari rantai nilai yang justru mereka bangun sejak awal.
Paper ini secara implisit mengingatkan bahwa kontribusi sektor informal tidak boleh dipahami hanya dalam kerangka efisiensi material. Kontribusi tersebut juga bersifat sosial dan ekologis: menciptakan lapangan kerja bagi kelompok rentan, membangun jejaring solidaritas perkotaan, dan memperkuat kohesi sosial di ruang-ruang marginal kota. Mengabaikan dimensi ini berarti mereduksi ekonomi sirkular menjadi proyek teknis semata.
6. Kesimpulan Kritis: Ekonomi Sirkular Inklusif atau Ilusi Keberlanjutan?
Analisis dalam paper ini membawa kita pada satu kesimpulan penting: ekonomi sirkular bukanlah konsep yang secara inheren adil atau inklusif. Ia dapat menjadi alat transformasi sosial, tetapi juga dapat memperkuat ketimpangan lama jika diterapkan tanpa sensitivitas terhadap struktur sosial dan relasi kuasa.
Integrasi sektor daur ulang informal merupakan ujian nyata bagi klaim keberlanjutan ekonomi sirkular. Inklusi yang bersifat simbolik—sekadar pengakuan tanpa redistribusi nilai dan kekuasaan—berisiko melanggengkan eksploitasi dalam bentuk baru. Sebaliknya, pendekatan yang menempatkan sektor informal sebagai pemangku kepentingan sejajar membuka peluang bagi ekonomi sirkular yang lebih adil dan resilien.
Paper ini juga menunjukkan bahwa tidak ada model tunggal integrasi yang dapat diterapkan secara universal. Konteks lokal, sejarah kebijakan, dan struktur pasar menentukan bentuk interaksi antara sektor formal dan informal. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi sirkular perlu dirancang sebagai proses adaptif, bukan cetak biru teknokratis.
Lebih luas lagi, diskusi ini menantang narasi optimistis tentang ekonomi sirkular sebagai solusi atas krisis lingkungan. Tanpa reformasi institusional dan keberanian politik untuk mengatasi ketimpangan, ekonomi sirkular berisiko menjadi ilusi keberlanjutan—lingkungan tampak lebih bersih, tetapi ketidakadilan tetap berakar.
Pada akhirnya, pertanyaan kunci yang diajukan bukan sekadar bagaimana meningkatkan tingkat daur ulang, tetapi siapa yang diuntungkan dan siapa yang menanggung biaya transisi. Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah ekonomi sirkular benar-benar menjadi jalan menuju pembangunan berkelanjutan, atau sekadar rebranding dari sistem lama dengan wajah yang lebih hijau.
Daftar Pustaka
Zisopoulos, F. K., Steuer, B., Abussafy, R., Toboso-Chavero, S., Liu, Z., Tong, X., & Schraven, D. (2023). Informal recyclers as stakeholders in a circular economy. Journal of Cleaner Production, 415, 137894