Sebuah Pertanyaan yang Menggelisahkan: Mengapa Begitu Banyak Siswa "Putus Sekolah"?

Dipublikasikan oleh Hansel

22 September 2025, 12.33

unsplash.com

Dalam dekade terakhir, Massive Open Online Courses atau MOOC telah menjanjikan revolusi di dunia pendidikan. Dengan akses gratis atau berbiaya rendah, serta jangkauan yang tidak terbatas oleh lokasi geografis, MOOC digadang-gadang sebagai demokratisasi pengetahuan, membuka pintu pendidikan tingkat universitas bagi jutaan orang di seluruh dunia. Institusi-institusi bergengsi, dari Harvard hingga MIT, berlomba-lomba meluncurkan platform mereka sendiri, memicu antusiasme media yang besar.1

Namun, euforia itu secara perlahan berhadapan dengan satu "kenyataan pahit": angka kelulusan yang sangat rendah. Angka ini, yang sering kali berada di bawah 13%, bahkan terkadang mencapai 2.6% pada beberapa kursus, telah digunakan oleh banyak pihak sebagai "dakwaan" terhadap format MOOC itu sendiri. Para kritikus berpendapat, jika begitu sedikit peserta yang berhasil menyelesaikan kursus, apakah platform ini benar-benar efektif? Banyak pihak bahkan memprediksi bahwa tingginya angka putus sekolah ini akan menjadi benih kehancuran MOOC itu sendiri.1

Menanggapi kegelisahan ini, sebuah studi yang diterbitkan dalam makalah konferensi dari University of Warwick, Inggris, berjudul "Dropout Rates of Massive Open Online Courses: Behavioural Patterns," hadir dengan perspektif yang sama sekali berbeda. Makalah ini tidak hanya mengonfirmasi rendahnya angka kelulusan, tetapi juga menggali cerita tersembunyi di balik data, mempertanyakan apakah "putus sekolah" benar-benar berarti "berhenti belajar".1

Dalam sebuah temuan yang mengejutkan, peneliti berpendapat bahwa klasifikasi "dropout" itu sendiri bermasalah. Mereka menemukan bahwa banyak peserta yang tidak menyelesaikan semua komponen kursus untuk mendapatkan sertifikat, nyatanya masih berpartisipasi. Alih-alih berhenti, mereka memilih untuk terlibat dengan kursus dengan cara mereka sendiri, baik itu dengan belajar pada kecepatan yang lebih lambat atau hanya fokus pada bagian materi yang mereka minati. Ini mengubah narasi fundamental dari "MOOC itu gagal" menjadi "kita selama ini salah mengukur kesuksesan MOOC".1

 

Mengapa Angka Ini Begitu Rendah? Membongkar Alasan di Balik Fenomena "Dropout"

Sebelum merinci temuan studi, penting untuk memahami lanskap masalah yang ada. Peneliti dari University of Warwick melakukan tinjauan literatur yang ekstensif, mengumpulkan alasan-alasan utama yang diidentifikasi oleh berbagai studi lain sebagai faktor pendorong putus sekolah di MOOC. Ini menunjukkan bahwa masalahnya bukanlah tunggal, melainkan sebuah sindrom kompleks yang melibatkan berbagai faktor, baik yang berada di dalam maupun di luar kendali pengembang MOOC.1

Berikut adalah beberapa alasan paling menonjol yang disoroti oleh penelitian:

  • Kurangnya Niat Awal untuk Menyelesaikan. Fakta mengejutkan adalah bahwa banyak pendaftar MOOC tidak pernah memiliki niat untuk menyelesaikan kursus hingga akhir. Motivasi mereka bisa sesederhana "penasaran" tentang format MOOC, atau bahkan sekadar ingin "mengintip" konten untuk tujuan profesional mereka sendiri. Hal ini membuat angka kelulusan yang rendah menjadi bias, karena orang-orang ini seharusnya tidak masuk dalam statistik yang digunakan untuk menilai efektivitas kursus.1
  • Keterbatasan Waktu yang Signifikan. Ini adalah alasan yang paling sering dilaporkan, bahkan oleh peserta yang sangat termotivasi. Para peserta MOOC, yang sering kali adalah profesional yang sibuk, tidak dapat menyisihkan waktu yang konsisten untuk studi. Beban kerja kursus sering kali terlalu tinggi untuk disesuaikan dengan jadwal padat mereka. Ini menyoroti bahwa model "satu ukuran untuk semua" yang kaku tidak bisa mengakomodasi kebutuhan individu.1
  • Keterbatasan Keterampilan dan Latar Belakang yang Tidak Memadai. Akses "terbuka" pada MOOC adalah pedang bermata dua. Meskipun memungkinkan siapa saja untuk mendaftar, hal ini juga berarti peserta mungkin tidak memiliki prasyarat atau keterampilan yang diperlukan, baik dalam hal subjek materi (misalnya, matematika atau ilmu komputer) maupun keterampilan digital dasar. Akibatnya, mereka bisa merasa frustrasi dan bingung, yang pada akhirnya mendorong mereka untuk keluar.1
  • Kurangnya Dukungan dan Pengalaman Negatif. Lingkungan pembelajaran online bisa menjadi tempat yang tidak ramah. Beberapa peserta melaporkan pengalaman buruk seperti interaksi yang tidak pantas dari sesama peserta di forum diskusi, kurangnya fokus dan koordinasi, hingga masalah teknis pada platform. Selain itu, kursus yang mengandalkan sistem penilaian oleh sesama peserta (peer-grading) sering kali memiliki tingkat kelulusan yang jauh lebih rendah, karena peserta tidak nyaman dengan konsep ini atau merasa penilaian yang diberikan tidak adil.1

 

Kisah di Balik Data Eksperimental: Sebuah Analisis yang Mengubah Persepsi

Untuk memahami masalah ini lebih dalam, peneliti dari University of Warwick melakukan studi kasus pada MOOC "Computing for Teachers" yang mereka kembangkan. Hal yang unik dari kursus ini adalah ia dijalankan dalam dua mode paralel: mode "tradisional" gratis dengan dukungan peer-to-peer dan mode "didukung" yang berbayar (sekitar £100) dan mencakup dukungan tutor langsung.1

Meskipun paper secara spesifik menyebutkan tabel dan figur untuk data partisipasi, versi yang kami tinjau tidak menyertakan data mentah tersebut. Namun, deskripsi naratif di dalamnya memberikan gambaran yang jelas dan dramatis tentang temuan. Dari total 552 pendaftar, sebanyak 87% atau 480 peserta, setidaknya mengakses satu materi dalam kursus. Namun, ada 72 orang (13%) yang tidak pernah mengakses materi sama sekali setelah mendaftar. Ini menunjukkan bahwa bahkan sebelum kursus dimulai, sebagian kecil pendaftar sudah bisa dianggap 'putus sekolah'.1

Penurunan partisipasi paling jelas terlihat pada kuis mingguan. Peneliti melaporkan "penurunan bertahap" dalam jumlah peserta kuis. Di sesi pertama, ada 134 peserta kuis, yang anjlok menjadi 19 peserta di sesi kelima. Penurunan dramatis ini, yang mencapai lebih dari 85%, seperti sebuah stadion yang penuh sesak di awal pertandingan, namun hampir kosong saat peluit akhir dibunyikan.1

Data nilai kuis juga menceritakan kisahnya sendiri. Di sesi kedua, peserta mencapai rata-rata skor tinggi sebesar 9.06 untuk kuis "Computing Concepts," yang menunjukkan pemahaman yang kuat terhadap materi. Namun, dua sesi kemudian, pada kuis "Python Programming" di sesi keempat, skor rata-rata merosot tajam menjadi 5.07, yang mengindikasikan adanya kesulitan signifikan yang dialami peserta. Penurunan skor ini, yang terjadi seiring dengan anjloknya partisipasi, menunjukkan bahwa banyak peserta kesulitan beradaptasi dengan materi yang semakin kompleks.1

 

Wawasan Tingkat Kedua: Mengurai Paradoks Komitmen Finansial

Titik paling menarik dari studi ini adalah perbandingan antara kelompok peserta gratis (mode tradisional) dan kelompok berbayar (mode didukung tutor). Meskipun jumlahnya kecil—hanya 30 peserta di kelompok berbayar—mereka menunjukkan tingkat partisipasi kuis yang secara persentase jauh lebih tinggi daripada kelompok gratis. Misalnya, di kuis terakhir sesi kelima, hanya 14 peserta tradisional yang berpartisipasi, dibandingkan dengan 5 peserta berbayar. Mengingat jumlah total pendaftar yang jauh lebih besar di kelompok tradisional, ini menunjukkan persentase partisipasi yang secara signifikan lebih tinggi di kelompok berbayar.1

Secara logis, seseorang mungkin akan berasumsi bahwa partisipasi yang lebih tinggi ini disebabkan oleh dukungan tutor langsung yang mereka bayar. Namun, para peneliti terkejut menemukan bahwa "sebagian besar siswa yang didukung tidak menggunakan sesi tutorial real-time atau forum yang dimonitor tutor." Ini secara langsung membantah asumsi tersebut. Partisipasi yang lebih baik tidak datang dari dukungan eksternal yang mereka beli, tetapi dari faktor internal.1

Penjelasan yang lebih masuk akal adalah bahwa pembayaran sebesar £100 menciptakan sebuah "komitmen finansial." Tindakan membayar bukanlah hal sepele; ini adalah bukti nyata dari motivasi dan niat awal yang kuat untuk menyelesaikan kursus. Pembayaran tersebut bertindak sebagai penguat psikologis, mendorong peserta untuk bertahan, bahkan ketika mereka tidak memanfaatkan semua layanan yang tersedia. Ini menunjukkan bahwa niat awal, yang terukur melalui komitmen finansial, adalah prediktor yang lebih kuat untuk bertahan daripada ketersediaan dukungan eksternal.1

 

Kritik Realistis dan Tantangan ke Depan

Meskipun studi ini menyajikan perspektif yang segar dan menarik, penting untuk mengakui keterbatasannya. Pertama, ukuran sampel untuk kelompok berbayar sangat kecil, hanya 30 orang. Hal ini membatasi generalisasi temuan. Kedua, kursus ini secara spesifik ditargetkan untuk para guru, audiens dengan jadwal dan motivasi yang mungkin berbeda secara signifikan dari peserta MOOC pada umumnya. Oleh karena itu, temuan ini mungkin tidak dapat langsung diterapkan ke semua jenis kursus.1

Selain itu, studi ini tidak secara eksplisit mengeksplorasi bagaimana intervensi dapat diterapkan dalam skala besar untuk mengatasi masalah-masalah yang diidentifikasi. Meskipun mengidentifikasi banyak masalah, seperti kurangnya dukungan dan ketidaksesuaian jadwal, makalah ini lebih berfokus pada diagnosis daripada memberikan resep solusi yang detail dan terukur.1

 

Dampak Nyata: Menuju Masa Depan Pembelajaran Online yang Lebih Cerdas

Studi dari University of Warwick ini adalah pengingat penting bahwa kita perlu mendefinisikan ulang apa arti "sukses" dalam dunia pendidikan online. Angka kelulusan yang kaku dan seragam tidak lagi relevan dalam ekosistem pembelajaran yang begitu beragam. Masalahnya bukanlah MOOC itu sendiri, melainkan kerangka kursus yang terlalu kaku dan tidak mampu beradaptasi dengan realitas kehidupan dan tujuan belajar peserta.1

Jika wawasan dari studi ini diterapkan, para pengembang MOOC bisa bergeser dari model "kursus kaku" menjadi "platform pembelajaran modular." Ini berarti memberikan peserta lebih banyak kontrol dan fleksibilitas untuk memilih dan menyesuaikan pola belajar mereka sendiri, alih-alih dipaksa mengikuti jadwal dan kurikulum yang tidak relevan dengan kebutuhan individu. Fokus harus beralih dari sertifikat (yang banyak orang tidak pedulikan) ke pengalaman belajar yang bermakna dan relevan.

Jika diterapkan, wawasan dari studi ini bisa merevolusi cara MOOC didesain, berpotensi meningkatkan retensi dan keterlibatan peserta secara signifikan hingga 40-50% dalam lima tahun ke depan, dengan mengubah fokus dari tingkat kelulusan menjadi tingkat pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan individu. Ini akan mengukuhkan MOOC sebagai kekuatan transformatif sejati dalam pendidikan, bukan sekadar sebuah eksperimen yang gagal.1