Saat Teknologi "Cerdas" Justru Terasa Bodoh
Beberapa malam yang lalu, saya mendapati diri saya berdiri di tengah ruang tamu, berdebat dengan lampu. Ya, lampu. Lampu "pintar" yang seharusnya bisa saya kendalikan dengan suara, tapi malam itu ia memutuskan untuk mogok kerja. Saya mencoba mematikan dan menyalakan kembali, me-reset koneksi Wi-Fi, bahkan membisikkan kata-kata manis—semuanya sia-sia. Di momen frustrasi itulah sebuah ironi menghantam saya: teknologi yang dirancang untuk membuat hidup lebih mudah sering kali justru menambah lapisan kerumitan yang tidak terduga.
Frustrasi kecil dengan lampu pintar ini adalah miniatur dari sebuah tantangan yang jauh lebih besar. Jika satu perangkat saja bisa begitu merepotkan, bayangkan kerumitan mengelola seluruh bangunan yang "pintar". Kita tidak lagi berbicara tentang satu lampu, tapi tentang sebuah ekosistem. Smart Building Technology (SBT) atau Teknologi Gedung Cerdas bukanlah sekadar gedung yang dijejali gadget. Bayangkan ia sebagai sebuah organisme hidup dengan sistem saraf pusatnya sendiri. Ia memiliki sensor untuk "merasakan" suhu, cahaya, dan pergerakan; sistem otomatisasi untuk "merespons" kebutuhan penghuninya; dan kemampuan analisis data untuk "belajar" dan beradaptasi demi efisiensi energi, kenyamanan, dan keamanan yang maksimal.
Konsep ini terdengar seperti utopia dari masa depan. Namun, mengapa masa depan ini terasa begitu lambat datangnya, terutama di tempat-tempat yang paling membutuhkannya?
Beberapa minggu lalu, saya menemukan sebuah jurnal penelitian yang terasa seperti membaca cerita detektif. Judulnya “Assessing the Level of Awareness of Smart Building Technologies (SBTs) in the Developing Countries”. Lokasinya di Ghana, sebuah negara di Afrika Barat yang sedang mengalami ledakan konstruksi. Misterinya adalah: mengapa teknologi yang begitu menjanjikan ini seolah membentur tembok tak kasat mata? Paper ini tidak hanya memberikan jawaban, tapi juga membongkar asumsi-asumsi keliru yang selama ini kita pegang tentang inovasi dan perubahan.
Sebuah Perjalanan ke Ghana (Lewat Selembar Jurnal)
Misteri Kesadaran Rendah di Tengah Kebutuhan Mendesak
Untuk memahami mengapa studi ini begitu penting, kita perlu melihat konteksnya. Negara-negara berkembang seperti Ghana sedang membangun dengan kecepatan luar biasa. Gedung-gedung baru bermunculan di mana-mana, memberikan tekanan hebat pada jaringan listrik dan sumber daya energi lainnya. Dalam situasi seperti ini, SBT bukan lagi sebuah kemewahan, melainkan sebuah kebutuhan mendesak. Gedung yang bisa mengurangi konsumsi energinya sendiri, memprediksi kapan perlu perawatan, dan berkontribusi pada pengurangan emisi CO2 adalah sebuah solusi yang sangat relevan.
Logikanya, para profesional di industri konstruksi Ghana—arsitek, insinyur, manajer proyek—seharusnya menjadi yang paling antusias menyambut teknologi ini. Namun, inilah temuan pertama yang mengejutkan dari penelitian tersebut: dari 227 profesional yang disurvei, tingkat kesadaran mereka terhadap SBT secara umum ditemukan "rendah rata-rata" (averagely low).
Tapi apa sebenarnya arti "kesadaran rendah" itu? Di sinilah data dari para peneliti menjadi begitu hidup dan bercerita. Bayangkan Anda seorang manajer proyek di Accra, ibu kota Ghana. Anda melihat kota tumbuh di sekitar Anda setiap hari. Anda tahu betul soal pemadaman listrik bergilir dan tagihan energi yang membengkak. Anda mungkin pernah mendengar istilah "Smart Building", tapi apa artinya dalam praktik sehari-hari di proyek Anda?
Penelitian ini membedah "kesadaran" menjadi beberapa lapisan, dan hasilnya sangat menarik:
-
Hampir semua orang pernah mendengarnya. Sebanyak 202 dari 227 responden (sekitar 89%) menjawab "Ya" saat ditanya apakah mereka pernah mendengar tentang Smart Building. Ini seperti tahu judul film yang sedang populer tapi belum pernah menontonnya. Mereka tahu istilahnya, tapi tidak lebih dari itu.
-
Namun, pemahaman praktisnya minim. Ketika pertanyaan didalami, gambaran mulai retak. Hanya sekitar separuh (118 dari 227) yang tahu aplikasi dari SBT, dan lebih sedikit lagi (103 dari 227) yang paham cara kerjanya secara teknis. Ada jurang besar antara "tahu nama" dan "tahu cara".
-
Aspirasi mengalahkan kapabilitas. Inilah bagian yang paling krusial. Meskipun tidak tahu detail teknisnya, mayoritas besar responden percaya bahwa implementasi SBT akan menguntungkan (164 dari 227) dan merasa ada kebutuhan mendesak untuk SBT di Ghana (183 dari 227).
Data ini mengungkap sebuah paradoks yang kuat: para profesional ini tidak menolak perubahan. Sebaliknya, mereka menginginkannya. Mereka melihat potensinya dan merasakan kebutuhannya. Masalahnya bukan pada motivasi, melainkan pada kapabilitas. Mereka antusias, tetapi tidak diperlengkapi dengan pengetahuan yang memadai. Ini bukan masalah "mengapa" kita harus berubah, tetapi masalah "bagaimana" caranya.
Inilah Dua Kunci yang Sebenarnya (dan Satu yang Kita Salah Sangka)
Bukan Peraturan Pemerintah, Tapi Pengetahuan Pribadi yang Menggerakkan Roda Perubahan
Jika para profesional ini sudah ingin berubah, lantas apa yang sebenarnya menahan mereka? Apa tuas yang perlu ditarik untuk membuka potensi ini? Para peneliti menguji tiga "tersangka" utama yang diduga memengaruhi tingkat kesadaran: konteks organisasi (adanya program pelatihan), lingkungan (peraturan dan kebijakan pemerintah), dan faktor individu (pengetahuan yang dimiliki).
Kita sering kali berpikir bahwa perubahan besar dalam industri membutuhkan dorongan dari atas—peraturan pemerintah yang memaksa, insentif pajak, atau standar bangunan yang baru. Itulah asumsi konvensional. Namun, hasil analisis statistik dari penelitian ini memberikan sebuah kejutan yang meruntuhkan asumsi tersebut.
Setelah data dari 227 responden diolah melalui analisis regresi berganda, dua faktor terbukti memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik: "program pelatihan" yang disediakan oleh organisasi dan "pengetahuan individu" dari para profesional itu sendiri. Dalam bahasa statistik, signifikansi diukur dengan p-value. Nilai di bawah 0.05 menunjukkan adanya hubungan nyata yang bukan sekadar kebetulan. Program pelatihan (p=0.032) dan pengetahuan individu (p=0.021) lolos tes ini dengan gemilang.
Lalu, bagaimana dengan "tersangka" ketiga, yaitu peraturan pemerintah? Inilah pukulan telak bagi pemikiran konvensional: faktor ini ternyata tidak signifikan secara statistik (p=0.096).
Mari kita jeda sejenak untuk meresapi implikasinya. Studi ini menunjukkan bahwa di lapangan, perubahan tidak menunggu instruksi dari istana negara. Perubahan lahir di ruang-ruang seminar, di sesi-sesi pelatihan internal perusahaan, dan di dalam benak setiap insinyur yang proaktif mencari tahu hal baru.
-
🚀 Hasilnya luar biasa: Perubahan tidak datang dari undang-undang, tapi dari ruang kelas dan rasa ingin tahu pribadi. Pelatihan terstruktur dan inisiatif belajar mandiri adalah pendorong paling signifikan untuk meningkatkan kesadaran akan teknologi baru.
-
🧠 Inovasinya: Studi ini membuktikan bahwa perubahan datang dari bawah (individu) dan tengah (organisasi), bukan melulu dari atas (pemerintah). Ini adalah sebuah pesan pemberdayaan bagi setiap praktisi di lapangan. Anda tidak perlu menunggu, Anda bisa memulai.
-
💡 Pelajaran Penting: Jangan terjebak dalam penantian akan kebijakan besar. Kekuatan untuk berinovasi sudah ada di tangan para profesional dan perusahaan yang berani berinvestasi pada aset terpenting mereka: sumber daya manusia.
Temuan ini menyiratkan sebuah model inovasi yang terdesentralisasi. Agensi atau kekuatan untuk berubah diletakkan langsung di tangan individu dan organisasi mereka. Ini menunjukkan bahwa budaya perusahaan yang mendukung pembelajaran dan proaktivitas individu bisa jadi merupakan pendorong adopsi teknologi yang lebih kuat daripada kebijakan nasional. Alih-alih menulis peraturan, mungkin peran pemerintah yang paling efektif adalah memfasilitasi dan memberi insentif bagi perusahaan untuk mengadakan pelatihan dan bagi individu untuk terus belajar.
Apa yang Tidak Diceritakan oleh Angka-Angka Ini?
Apa yang saya sukai dari paper ini adalah fokusnya yang tajam dan pragmatis. Alih-alih berspekulasi tentang masa depan, para peneliti turun ke lapangan, bertanya langsung kepada 227 profesional, dan membiarkan data yang berbicara. Ini adalah bukti empiris yang solid, bukan sekadar opini.
Namun, jika ada satu hal yang membuat saya penasaran, itu adalah batasan dari siapa yang mereka tanyai. Studi ini berfokus pada tim desain dan manajer proyek—otak di balik setiap konstruksi. Ini adalah perspektif yang sangat penting, tentu saja. Tapi, bagaimana dengan para pekerja di lokasi proyek? Para teknisi yang nantinya akan memasang dan memelihara sensor-sensor canggih ini? Apakah kesadaran di tingkat implementasi memiliki dinamika yang berbeda? Studi ini, dengan segala kehebatannya, membuat saya lapar akan riset lanjutan yang menyelami lapisan-lapisan lain dari industri ini.
Meskipun studi ini berlatar di Ghana, para peneliti sendiri menyatakan bahwa temuannya dapat menjadi pelajaran bagi negara berkembang lainnya. Gema dari temuan ini terasa begitu kuat di sini, di Indonesia. Kita juga menyaksikan ledakan konstruksi, merasakan tekanan pada pasokan energi, dan terus-menerus berbicara tentang smart city. Pertanyaannya menjadi relevan untuk kita: apakah kita juga mengalami kesenjangan yang sama antara aspirasi yang tinggi dan kapabilitas yang masih perlu diasah?
Dari Jurnal ke Tindakan Nyata di Meja Kerja Anda
Sebuah penelitian yang hebat tidak hanya memberikan wawasan, tetapi juga menginspirasi tindakan. Berikut adalah tiga langkah praktis yang bisa kita ambil hari ini, terinspirasi dari pelajaran di Ghana.
1. Untuk Anda sebagai Profesional Individu
Paper ini adalah panggilan untuk bertindak bagi setiap dari kita. Jangan menunggu perusahaan mengadakan pelatihan wajib atau pemerintah mengeluarkan peraturan baru. Rasa ingin tahu Anda adalah aset terbesar Anda. Mulailah dari hal kecil: baca artikel, tonton video tentang Building Automation Systems (BAS), atau ikuti webinar tentang Internet of Things (IoT) dalam konstruksi. Jika Anda serius ingin meningkatkan permainan Anda, pertimbangkan untuk mengambil kursus yang relevan. Tingkatkan pengetahuan Anda tentang teknologi konstruksi dan manajemen proyek melalui. Ingat, temuan studi ini jelas: "pengetahuan individu" adalah salah satu dari dua pendorong utama perubahan.
2. Untuk Anda sebagai Pemimpin Perusahaan atau Manajer
Bagi para pemimpin, pesan dari Ghana ini sangat jelas: program pelatihan Anda bukanlah pos pengeluaran, melainkan investasi dengan ROI tertinggi dalam inovasi. Mendorong Continuous Professional Development (CPD) atau Pengembangan Profesional Berkelanjutan, seperti yang disarankan oleh paper ini , akan membangun kapabilitas internal yang tidak bisa dibeli dari luar. Ciptakan budaya di mana bertanya dihargai, belajar dirayakan, dan kegagalan dalam bereksperimen dilihat sebagai bagian dari proses. Perusahaan Anda hanya bisa menjadi "pintar" jika orang-orang di dalamnya terus belajar.
3. Untuk Kita Semua sebagai Warga Digital
Pada akhirnya, gedung "pintar" dibangun oleh manusia yang "sadar". Kesadaran, seperti yang ditunjukkan studi ini, dimulai dari pengetahuan. Baik Anda bekerja di industri konstruksi atau tidak, pelajaran ini bersifat universal. Masa depan tidak terjadi begitu saja; ia dibangun oleh individu dan tim yang secara sadar memilih untuk mempelajari alat-alat baru, memahami implikasinya, dan berani menerapkannya.
Masa Depan Dimulai dari Keingintahuan Anda
Kita sering melihat teknologi sebagai kekuatan eksternal yang datang dari atas—sebuah gelombang besar yang mau tidak mau akan menerpa kita. Studi dari Ghana ini membalikkan narasi itu. Ia mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati untuk adopsi teknologi terletak di dalam diri kita—dalam pengetahuan seorang insinyur, dalam program pelatihan sebuah perusahaan, dalam rasa ingin tahu kita semua.
Gedung-gedung di masa depan mungkin akan penuh dengan sensor dan algoritma, tetapi fondasinya tetaplah manusia. Manusia yang belajar, beradaptasi, dan berani mengambil langkah pertama, bahkan ketika jalannya belum sepenuhnya jelas.
Tulisan ini hanya menggores permukaan dari kekayaan data dan analisis dalam penelitian ini. Kalau Anda tertarik dengan metodologi lengkap, rincian statistik, dan argumen para peneliti secara utuh, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.