Di panggung nasional, Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) atau tilang elektronik dirayakan sebagai revolusi. Ia adalah janji akan era baru penegakan hukum lalu lintas—sebuah era yang bersih, objektif, transparan, dan bebas dari momok negosiasi di pinggir jalan atau "pungutan liar" (pungli) yang telah lama menggerogoti kepercayaan publik. ETLE adalah simbol modernitas birokrasi, di mana data dan teknologi menjadi panglima, menggantikan interaksi manusia yang rentan KKN.
Namun, sebuah penelitian akademis yang sunyi namun tajam dari Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) menawarkan sebuah realitas yang jauh berbeda. Tesis berjudul "Efektivitas Pelaksanaan Pengawasan Lalu Lintas Secara Elektronik Dalam Mengurangi Pelanggaran Lalu Lintas (Studi Kasus di Wilayah Polres Grobogan)" 1 menyajikan sebuah studi kasus yang membongkar ilusi teknologi tersebut.
Temuan sentral dari penelitian yang dilakukan oleh Priyo Utomo pada tahun 2021 ini 1 sangat lugas dan menohok: pelaksanaan pengawasan lalu lintas secara elektronik di wilayah Polres Grobogan dinyatakan "belum efektif".1
Studi ini menemukan fakta di lapangan bahwa bahkan "Setelah dipasangkan program CCTV sebagai kamera pengawas... angka pelanggaran lalu lintas di lampu merah di wilayah hukum Polres Grobogan masih tetap tinggi".1 Kegagalan ini bukanlah anomali, melainkan sebuah konsekuensi logis dari kesenjangan fundamental antara ambisi digital dan realitas di lapangan.
Untuk memahami betapa dalamnya jurang tersebut, kita harus melihat data mentah yang disajikan oleh penelitian ini. Dalam latar belakangnya, tesis ini 1 mengutip data wawancara dengan Kasat Lantas Polres Grobogan yang mengungkap skala masalah sesungguhnya: jumlah pelanggaran lalu lintas di Grobogan pada tahun 2020 saja mencapai angka yang mencengangkan, yaitu 891.525 pelanggaran.
Ini adalah gelombang pelanggaran masif yang seharusnya ditangani oleh sistem ETLE yang baru. Namun, apa yang terjadi dalam penindakan resmi?
Data jumlah kasus pelanggaran (yang kemungkinan besar adalah yang berhasil ditilang secara resmi) selama lima tahun justru menceritakan kisah stagnasi.1 Pada tahun 2019, tercatat 667 kasus. Pada tahun 2020 (tahun dengan 891.525 pelanggaran), angka kasus yang tercatat justru turun menjadi 614. Pada tahun 2021, saat ETLE mulai diuji coba, angkanya hanya 646 kasus.1
Kontradiksi data ini—891.525 pelanggaran di satu sisi, dan hanya 614 kasus yang ditindak di sisi lain—bukanlah kesalahan ketik. Inilah temuan utamanya. Ini adalah sebuah "lubang hitam" birokrasi di mana lebih dari 99,9% pelanggaran yang terjadi di jalan raya menguap begitu saja, tidak pernah tercatat, tidak pernah ditindak, dan tidak pernah menjadi "kasus" resmi.
Inilah lubang hitam yang gagal ditutup oleh implementasi ETLE. Lantas, mengapa teknologi canggih ini gagal total? Tesis ini 1 membongkar tiga lapisan kegagalan yang fatal, yang ironisnya, sama sekali tidak bersifat teknologi: kegagalan infrastruktur, kegagalan sistemik, dan kegagalan birokrasi administrasi.
Mengapa Misi Ini Gagal? Faktor #1: Ilusi Pengawasan Bermodal 2 CCTV
Kegagalan pertama dan yang paling mengejutkan adalah kesenjangan masif antara ambisi dan modal. Dalam analisisnya, penelitian ini 1 mengidentifikasi "Faktor Sarana dan Prasarana" sebagai hambatan utama.1
Untuk melukiskan gambaran yang lebih hidup, data kuantitatif dalam tesis ini 1 perlu kita deskripsikan. Bayangkan sebuah wilayah kabupaten seluas 1.976 km². Luas ini, sebagai perbandingan, lebih besar dari gabungan seluruh wilayah DKI Jakarta dan Kota London. Sebuah area yang masif dengan ribuan kilometer jalan dan persimpangan yang perlu diawasi.
Sekarang, bayangkan tugas mengawasi lalu lintas di seluruh wilayah raksasa tersebut. Berapa modal teknologi yang dimiliki Polres Grobogan untuk menjalankan misi ETLE ini?
Penelitian ini 1 menemukan fakta yang mencengangkan:
- Seluruh sistem pengawasan ETLE statis di Grobogan hanya bertumpu pada 2 (dua) unit CCTV saja.
- Untuk mendukung pengawasan bergerak, patroli hanya dibekali dengan 5 (lima) buah "Kopek"—sebutan untuk kamera yang diletakkan di helm polisi lalu lintas.
Ironi ini semakin dalam ketika peneliti merinci bahwa kelima unit Kopek tersebut harus dibagi untuk mengawasi sembilan kecamatan sekaligus, yaitu Godong, Gubug, Tegowanu, Penawangan, Purwodadi, Grobogan, Tawangharjo, Wirosari, dan Toroh.1
Secara matematis, ini adalah sebuah misi yang mustahil. Pada satu waktu, hampir separuh wilayah patroli yang ditentukan tidak memiliki pengawasan digital bergerak sama sekali.
Peneliti 1 menyimpulkan dengan bahasa akademis yang halus: "dilihat dari sarana dan prasarana yang kurang maksimal, maka pelaksanaanya juga belum maksimal."
Namun, jika diterjemahkan ke dalam bahasa kebijakan publik, ini bukanlah sekadar "kurang maksimal". Ini adalah sebuah "fasad digital"—sebuah implementasi simbolis yang dipasang hanya untuk memenuhi syarat program nasional, tanpa memiliki kapasitas fungsional untuk pengawasan yang nyata. Ini adalah "teater keamanan" (security theater), di mana pengawasan hanya ada di 2 titik persimpangan, sementara ribuan persimpangan lainnya dibiarkan tanpa pengawasan.
Kondisi ini tidak hanya membuat sistem tidak efektif, tetapi juga menciptakan ketidakadilan baru: hanya pengemudi yang kebetulan melanggar di dua titik spesifik itulah yang ditindak, sementara ratusan ribu pelanggar lainnya lolos tanpa sanksi.
Faktor #2: Saat Teknologi Dikhianati oleh Data yang Bobrok
Jika masalah pertama adalah kekurangan alat, masalah kedua—yang diidentifikasi tesis ini 1—jauh lebih mendalam dan bersifat sistemik. Ini adalah tentang bagaimana sistem digital yang canggih sekalipun dapat dilumpuhkan total oleh sistem administrasi manual yang kacau.
Di sinilah letak inti dari prinsip komputasi klasik: Garbage In, Garbage Out. Kualitas keluaran (output) sistem digital tidak akan pernah lebih baik daripada kualitas masukan (input) datanya.
Sistem ETLE bekerja dalam tiga langkah sederhana:
- Kamera ANPR (Automatic Number Plate Recognition) menangkap gambar plat nomor pelanggar.
- Sistem secara otomatis mencocokkan plat nomor itu ke database SAMSAT untuk menemukan data nama dan alamat pemilik.
- Surat konfirmasi tilang dicetak dan dikirim via pos ke alamat pemilik tersebut.
Penelitian ini 1 menemukan bahwa langkah 2 dan 3 hancur total di lapangan. Sistem ETLE yang canggih itu dibangun di atas fondasi data SAMSAT yang rapuh dan tidak akurat.
Tesis ini 1 mengidentifikasi tiga sumbatan birokrasi utama yang membuat data valid tidak pernah sampai ke pelanggar yang sesungguhnya:
- Hambatan Administrasi #1: Budaya ‘Belum Balik Nama’
Peneliti menemukan kendala besar di mana "kendaraan pelanggar sudah berpindah kepemilikan".1 Karena budaya jual-beli kendaraan bekas yang meluas tanpa segera melakukan proses "balik nama", database SAMSAT menjadi usang. Sistem ETLE dengan patuh mengirimkan surat tilang, tetapi ke alamat pemilik lama—seseorang yang mungkin sudah menjual kendaraan itu lima tahun lalu. Tentu saja, pemilik lama ini tidak akan mengonfirmasi pelanggaran yang tidak ia lakukan. Proses penindakan pun terhenti seketika. - Hambatan Administrasi #2: 'Kendaraan Bodong'
Masalah yang lebih parah adalah maraknya "kendaraan bodong".1 Ini adalah kendaraan ilegal yang tidak memiliki dokumen sah atau menggunakan plat nomor palsu. Kamera ANPR mungkin berhasil menangkap plat nomornya, tetapi ketika dicocokkan ke database SAMSAT, datanya tidak ada. Bagi sistem, kendaraan ini secara efektif "tidak terlihat" atau menjadi "hantu". Mereka bebas melanggar tanpa bisa diidentifikasi. - Hambatan Budaya #3: Surat Tilang yang Diabaikan
Sistem ETLE bergantung pada satu tindakan kritis dari pelanggar: konfirmasi. Setelah menerima surat, pelanggar diberi waktu 4 hari untuk mengonfirmasi (baik secara daring atau datang ke pos).1 Peneliti menemukan kendala besar di mana "pelanggar tidak konfirmasi kepada petugas".1 Penyebab utamanya? "Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui keberadaan" sistem ETLE tersebut. Tanpa konfirmasi, STNK memang akan diblokir, tetapi efek gentar dari penindakan langsung gagal total.
Di atas tumpukan masalah birokrasi itu, tesis ini 1 menemukan satu lagi faktor kegagalan internal dari sisi "Faktor Penegak Hukum": adanya "kesalahan pada aplikasi penginputan".
Ini adalah human error yang fatal. Artinya, bahkan ketika kamera berhasil menangkap pelanggar, data di SAMSAT valid, dan surat terkirim, kesalahan entri data manual oleh petugas dapat membuat mereka "kehilangan jejak pelanggar".1 Ini adalah kebocoran terakhir dalam sebuah sistem yang sejak awal sudah bocor di mana-mana.
Model Ideal: Mengapa ETLE Justru Membutuhkan Razia Manual
Tesis ini 1 tidak hanya berhenti pada kritik. Dengan menggunakan kerangka "Teori Hukum Progresif" dari Satjipto Rahardjo—yang berprinsip bahwa hukum ada untuk manusia, bukan sebaliknya—peneliti mencoba merumuskan bentuk pengawasan ideal di masa depan.1
Apa yang ditemukannya adalah sebuah paradoks yang sangat penting bagi kebijakan kepolisian nasional.
Logika awal penerapan ETLE adalah untuk menggantikan razia manual (pemeriksaan di jalan) untuk memberantas pungli. Namun, setelah menemukan fakta bahwa ETLE (dengan 2 kamera) tidak efektif dan sistem databasenya rapuh, apa solusi yang direkomendasikan peneliti?
Dalam bagian "Saran", tesis ini 1 secara eksplisit merekomendasikan: "pelaksanaan tilang dan razia manual tetap harus dilakukan sebagai check and balance."
Ini adalah sebuah kesimpulan kebijakan yang krusial. ETLE tidak bisa—dan tidak boleh—berdiri sendiri di wilayah seperti Grobogan. Solusi idealnya bukanlah full digital, melainkan sebuah model hibrida.
Mengapa razia manual tetap dibutuhkan? Karena razia manual adalah satu-satunya metode penindakan yang dapat menjaring para "hantu" yang tidak terlihat oleh ETLE: yakni "kendaraan bodong", kendaraan dengan plat palsu, dan pelanggar yang datanya tidak valid di SAMSAT. Razia manual berfungsi sebagai jaring pengaman untuk menutupi semua kelemahan fundamental dalam sistem data ETLE.
Selain itu, tesis ini 1 juga memberikan dua saran logis lainnya yang langsung menjawab akar masalah:
- Perluasan Infrastruktur: Tentu saja, perlu ada "perluasan wilayah pengoperasian" dan penambahan CCTV, tidak hanya 2 unit.
- Perbaikan Administrasi: Memberlakukan "persyaratan bagi pemilik kendaraan yang baru untuk melakukan balik nama".1 Ini adalah solusi jangka panjang untuk mengobati masalah inti "Garbage In, Garbage Out".
Pelajaran dari Grobogan untuk Indonesia: Jangan Bangun Kastil Digital di Atas Pasir Hisap
Studi kasus di Grobogan ini 1 adalah sebuah peringatan penting (cautionary tale) berskala nasional. Apa yang terjadi di Grobogan—dengan 2 CCTV dan 890.000 pelanggaran yang tak tersentuh—adalah gambaran mikro dari apa yang bisa terjadi di ratusan kota dan kabupaten lain di Indonesia yang kini berlomba-lomba mengadopsi ETLE.
Pelajaran dari tesis Priyo Utomo (2021) ini sangat jelas: Membeli teknologi kamera pengawas canggih adalah bagian yang mudah. Bagian yang sulit, dan yang sesungguhnya menentukan keberhasilan, adalah memperbaiki birokrasi administrasi data kependudukan dan kendaraan yang telah kacau selama puluhan tahun.
Keterbatasan studi ini adalah fokusnya di Grobogan, sebuah kabupaten yang mungkin memiliki keterbatasan anggaran. Namun, kegagalan birokrasi seperti masalah "balik nama" dan "kendaraan bodong" adalah masalah nasional. Ini menunjukkan bahwa bahkan jika Polres Grobogan memiliki 1.000 unit CCTV sekalipun, sistem itu akan tetap gagal jika masalah akurasi data SAMSAT tidak diselesaikan di tingkat nasional.
Jika pembuat kebijakan nasional mengabaikan temuan ini dan terus memaksakan ETLE tanpa terlebih dahulu mereformasi database SAMSAT dan sistem balik nama secara fundamental, mereka hanya akan menghabiskan triliunan rupiah untuk membangun "fasad digital" yang indah namun rapuh di atas fondasi data yang bobrok.
Namun, jika rekomendasi "model hibrida" (ETLE plus razia manual) dan "perbaikan data" ini diterapkan secara serius, temuan ini dapat menghemat anggaran negara dari implementasi teknologi yang sia-sia. Lebih penting lagi, ini dapat mengarahkan kita pada penegakan hukum yang benar-benar efektif—bukan hanya teatrikal—dalam lima tahun ke depan.