Bagian I: Krisis Tak Kasat Mata dan Janji Sebuah Fermentasi
Di balik gemerlap pertumbuhan ekonomi Indonesia dan deru mesin-mesin industri di kawasan Cikarang hingga Karawang, mengalir sebuah ancaman senyap yang jarang tertangkap mata namun menusuk indra penciuman: amonia. Senyawa nitrogen ini bukan sekadar produk sampingan yang tidak berbahaya; ia adalah pembunuh ekosistem perairan, pemicu eutrofikasi yang mematikan kehidupan akuatik, dan indikator sanitasi yang buruk. Sungai-sungai yang membelah pemukiman padat dan zona industri sering kali membawa beban amonia yang jauh melampaui ambang batas aman, mengubah nadi kehidupan menjadi saluran kematian biologis.1
Selama beberapa dekade, paradigma pengolahan limbah air (wastewater treatment) terjebak dalam dikotomi yang sulit: memilih antara efisiensi tinggi dengan biaya mahal melalui proses kimiawi, atau biaya rendah namun proses lambat melalui metode biologis konvensional. Pengolahan kimiawi, meskipun efektif, sering kali meninggalkan jejak karbon yang masif dan residu lumpur bahan berbahaya dan beracun (B3) yang menuntut biaya penanganan sekunder yang mencekik. Di sisi lain, metode biologis seperti lumpur aktif sering kali gagap menghadapi lonjakan beban polutan yang tiba-tiba.
Di tengah kebuntuan teknologi dan tantangan keberlanjutan inilah, sebuah dokumen penelitian setebal 12 halaman yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Universitas Trisakti pada awal tahun 2022 hadir menawarkan perspektif baru. Laporan bertajuk "Eco-Enzyme Sebagai Rekayasa Teknologi Berkelanjutan Dalam Pengolahan Air Limbah", yang ditulis oleh Temmy Wikaningrum dan Mia El Dabo dari Universitas Presiden, bukan sekadar laporan akademis biasa. Ia adalah manifestasi dari upaya pencarian "Jalan Ketiga" dalam rekayasa lingkungan: sebuah pendekatan yang mencoba mendamaikan efektivitas teknis dengan keberlanjutan ekologis melalui pemanfaatan limbah itu sendiri.1
Laporan investigasi ini akan membedah secara mendalam dokumen tersebut, menelusuri setiap klaim, memverifikasi metodologi, dan menempatkannya dalam konteks yang jauh lebih luas—mulai dari biokimia enzim nanas hingga implikasi sosial-ekonomi bagi manajemen sampah nasional. Kita akan melihat bagaimana sampah kulit nanas, yang biasanya berakhir di tempat pembuangan akhir, direkayasa menjadi agen pemurni air yang menjanjikan.
Bagian II: Anatomi Masalah dan Kegagalan Konvensional
Jebakan Biaya dan Lumpur B3
Sebelum kita dapat mengapresiasi solusi yang ditawarkan oleh Wikaningrum dan El Dabo, kita harus terlebih dahulu memahami kedalaman masalah yang mereka coba selesaikan. Pengolahan air limbah modern menghadapi musuh ganda: polutan itu sendiri dan biaya untuk menghilangkannya. Dalam pendahuluan studi mereka, para peneliti menyoroti bahwa teknologi pengolahan kimiawi, meskipun mampu memberikan hasil efluen yang jernih, membawa konsekuensi biaya operasional yang tinggi. Pengadaan koagulan, flokulan, dan penetral pH adalah beban operasional (OPEX) yang terus membengkak seiring kenaikan harga bahan baku global.1
Lebih parah lagi adalah produk sampingannya. Reaksi kimia dalam pengolahan air tidak menghilangkan materi; ia hanya mengubah bentuknya. Polutan terlarut diubah menjadi endapan padat atau lumpur (sludge). Sering kali, lumpur ini terkategori sebagai limbah B3 yang memerlukan penanganan khusus, perizinan ketat, dan biaya pembuangan yang bisa mencapai jutaan rupiah per ton. Ini adalah ironi sanitasi: kita membersihkan air dengan menciptakan limbah padat beracun.1
Keterbatasan Alternatif Adsorpsi
Studi ini juga menarik perbandingan dengan metode adsorpsi, khususnya penggunaan zeolit, yang sering digadang-gadang sebagai alternatif alami. Mengutip penelitian Nasir et al. (2019), Wikaningrum mencatat bahwa zeolit memang mampu menurunkan amonia hingga 80% pada kondisi optimal. Namun, zeolit memiliki siklus hidup yang terbatas. Setelah jenuh, ia menjadi "zeolit bekas pakai"—sebuah limbah padat baru yang harus dikelola. Ini menciptakan siklus masalah yang tidak berujung: dari polusi air menjadi polusi padat.1
Konteks inilah yang membuat pendekatan eco-enzyme menjadi sangat relevan. Premis dasarnya adalah sirkularitas total: menggunakan sampah organik (yang merupakan masalah) untuk mengolah air limbah (masalah lain), tanpa menghasilkan residu berbahaya baru. Ini adalah sebuah tawaran rekayasa yang menggoda secara teoretis, namun apakah ia terbukti secara empiris?
Bagian III: Alkimia Nanas – Mengapa Ananas Comosus?
Di Balik Pilihan Substrat
Dalam eksperimen ini, para peneliti tidak memilih sampah organik secara acak. Mereka secara spesifik menggunakan nanas (Ananas comosus), memanfaatkan baik kulit maupun daging buahnya. Pilihan ini didasarkan pada profil biokimia yang unik dari buah tropis tersebut. Nanas bukan sekadar sumber gula untuk fermentasi; ia adalah reaktor enzim alami.
Dokumen penelitian merujuk pada kandungan bromelin yang tinggi dalam nanas. Bromelin adalah enzim protease, sebuah katalis biologis yang memiliki kemampuan spesifik untuk memecah ikatan peptida dalam protein. Dalam konteks air limbah, amonia sering kali berasal dari dekomposisi senyawa nitrogen organik (protein, urea). Kehadiran protease seperti bromelin dapat mempercepat hidrolisis senyawa-senyawa kompleks ini menjadi bentuk yang lebih sederhana, memfasilitasi proses nitrifikasi atau asimilasi mikrobial selanjutnya.1
Selain bromelin, eco-enzyme nanas juga diketahui mengandung amilase (pemecah karbohidrat) dan lipase (pemecah lemak), serta kaya akan metabolit sekunder seperti asam organik, vitamin C, dan mineral. Studi pendukung dari Arun & Sivashanmugam (2015) yang dikutip dalam laporan ini mengonfirmasi bahwa eco-enzyme nanas memiliki aktivitas katalitik yang luas, mampu mendegradasi berbagai jenis polutan organik.1
Perbandingan Efektivitas Jaringan Buah
Menarik untuk dicatat bahwa meskipun Wikaningrum menggunakan campuran kulit dan buah, literatur lain yang relevan, seperti studi yang diterbitkan di jurnal Biota (2022), membedah lebih jauh perbedaan efektivitas antara kulit dan daging buah. Ditemukan bahwa eco-enzyme yang dibuat dari daging nanas (yang didominasi jaringan parenkim) sering kali memiliki kualitas yang sedikit lebih baik dibandingkan yang dibuat dari kulit (jaringan epidermis).3 Namun, keputusan Wikaningrum untuk menggunakan keduanya adalah langkah pragmatis yang cerdas dari sudut pandang pengelolaan sampah: tujuan utamanya adalah mereduksi volume sampah, bukan memanen daging buah premium untuk enzim.
Bagian IV: Metodologi – Membangun Medan Uji yang Valid
Standarisasi dalam Kekacauan
Salah satu tantangan terbesar dalam penelitian air limbah adalah variabilitas sampel. Air limbah domestik (greywater) hari ini bisa sangat berbeda dengan besok, tergantung pada aktivitas penghuni rumah, jenis sabun yang dipakai, atau cuaca. Untuk mengatasi hal ini dan memastikan validitas data, Wikaningrum dan El Dabo mengambil langkah strategis: mereka menciptakan "air limbah buatan" (artifisial).
Mereka menggunakan akuades (air murni) yang sengaja dikontaminasi dengan larutan standar amonia hingga mencapai konsentrasi awal sekitar 34-35 mg/L.1 Langkah ini krusial. Dengan menghilangkan variabel pengganggu seperti deterjen, minyak, logam berat, dan bakteri liar yang tidak teridentifikasi, mereka mengisolasi interaksi antara amonia dan eco-enzyme. Ini memungkinkan kita untuk melihat efektivitas murni dari enzim tersebut tanpa "gangguan" eksternal, meskipun—seperti yang akan kita bahas nanti—hal ini juga memunculkan pertanyaan tentang relevansi di dunia nyata.
Protokol Fermentasi Jangka Panjang
Aspek lain yang menonjol dari metodologi penelitian ini adalah durasi fermentasi. Sementara standar umum pembuatan eco-enzyme menyarankan waktu minimal 3 bulan, tim Universitas Presiden ini memperpanjang masa inkubasi hingga 6 bulan (dari September 2020 hingga Maret 2021).1
Perpanjangan waktu ini bukan tanpa alasan. Fermentasi adalah proses dinamis. Pada bulan-bulan awal, aktivitas mikroba sangat fluktuatif, menghasilkan gas dan alkohol dalam jumlah besar. Dengan memperpanjang masa fermentasi, larutan mencapai fase kestabilan yang lebih tinggi, di mana populasi mikroba mencapai keseimbangan dan konsentrasi enzim serta asam organik (seperti asam asetat) mencapai puncaknya. Hasil akhirnya adalah cairan berwarna cokelat muda dengan aroma asam yang tajam dan pH ultra-rendah sebesar 3,36.1 pH rendah ini sendiri adalah mekanisme pertahanan alami; ia mencegah pertumbuhan patogen sekaligus menjaga stabilitas enzim.
Bagian V: Narasi Data – Detik-Detik Penurunan yang Signifikan
Bagian paling krusial dari laporan ini adalah hasil eksperimen itu sendiri. Data yang disajikan Wikaningrum dan El Dabo menceritakan sebuah kisah tentang reaksi kimia yang presisi dan pola dosis-respons yang linear.
Misteri Fluktuasi Awal
Pada tahap pertama eksperimen dengan dosis rendah (2%), terjadi fenomena yang menarik. Selama tiga jam pertama, konsentrasi amonia tidak langsung turun. Sebaliknya, tercatat sedikit kenaikan dari 35,2 mg/L menjadi 36,9 mg/L pada jam ketiga.1
Bagi mata yang tidak terlatih, ini mungkin terlihat sebagai kegagalan. Namun, dalam kinetika enzim, ini bisa diinterpretasikan sebagai fase lag atau efek dari pemecahan senyawa nitrogen kompleks yang mungkin terbawa dalam eco-enzyme itu sendiri, melepaskan amonia sesaat sebelum mekanisme degradasi utama mengambil alih. Baru pada jam ke-4 dan ke-5, penurunan mulai terlihat, mencapai 33,2 mg/L. Pola ini mengajarkan satu hal penting: eco-enzyme bukanlah sulap instan; ia membutuhkan waktu kontak untuk beradaptasi dan bekerja.1
Kekuatan Dosis: Tren Linear yang Tak Terbantahkan
Eksperimen tahap kedua memberikan gambaran yang jauh lebih konklusif. Dengan memvariasikan dosis pada waktu kontak tetap selama 5 jam, data menunjukkan pola penurunan yang sangat rapi:
-
Kontrol (0%): Amonia tetap stabil di angka 34,5 mg/L.
-
Dosis 2%: Terjadi penurunan moderat sebesar 6,7%, membawa level amonia ke 32,2 mg/L.
-
Dosis 6%: Efektivitas melonjak hampir dua kali lipat, dengan penurunan 12,8% (menjadi 30,1 mg/L).
-
Dosis 8%: Tren positif berlanjut dengan reduksi 15,3% (menjadi 29,2 mg/L).
-
Dosis 10%: Hasil paling dramatis tercapai di sini. Konsentrasi amonia anjlok hingga 25,8 mg/L, mencatatkan efisiensi penyisihan sebesar 25,2%.1
Analisis statistik mengonfirmasi bahwa temuan ini bukan kebetulan. Nilai P-value (two tail) tercatat sebesar 0,047, yang berada di bawah ambang batas signifikansi standar 0,05. Ini adalah "lampu hijau" ilmiah yang menyatakan bahwa intervensi eco-enzyme memiliki dampak nyata secara statistik terhadap kadar amonia.1 Lebih jauh lagi, uji linearitas menunjukkan korelasi yang sangat kuat (97,3%), menegaskan bahwa semakin banyak eco-enzyme yang ditambahkan, semakin besar amonia yang tersisihkan, setidaknya dalam rentang dosis yang diuji.
Kecepatan vs Durasi: Anomali 5 Jam
Salah satu temuan paling provokatif dari studi ini adalah kecepatan reaksinya. Literatur terdahulu sering kali mengutip waktu inkubasi yang sangat panjang. Studi Nazim (2013) dan Deepak (2019) yang dirujuk dalam laporan ini membutuhkan waktu berhari-hari (5 hingga 27 hari) untuk melihat hasil yang signifikan.1
Bagaimana bisa studi Wikaningrum mencapai reduksi 25% hanya dalam 5 jam?
Jawabannya kemungkinan besar terletak pada penggunaan air limbah artifisial. Tanpa kompetisi dari polutan lain (COD, minyak, deterjen) dan tanpa gangguan inhibitor, enzim bromelin dan mikroba dalam eco-enzyme dapat bekerja dengan efisiensi maksimal pada target tunggal mereka: amonia. Ini menunjukkan potensi kinetik yang luar biasa dari enzim ini jika kondisi lingkungannya optimal.
Bagian VI: Mekanisme di Balik Layar
Bagaimana sebenarnya cairan fermentasi nanas ini menghilangkan amonia? Laporan ini memberikan petunjuk melalui diskusi teoritisnya, meskipun mekanisme molekuler pastinya sangat kompleks.
-
Aktivitas Enzimatik: Keberadaan enzim protease, amilase, dan lipase memainkan peran kunci. Enzim-enzim ini bertindak sebagai biokatalis yang menurunkan energi aktivasi untuk reaksi penguraian polutan. Secara spesifik, protease memecah protein terlarut, mencegah pembentukan amonia baru, sementara aktivitas mikroba nitrifikasi (jika ada dalam konsorsium mikroba eco-enzyme) mungkin mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat.1
-
Suplai Oksigen Terlarut: Mengutip studi Kumar et al. (2019) pada Sungai Yamuna, penambahan eco-enzyme terbukti meningkatkan kadar oksigen terlarut (DO) dalam air. Peningkatan oksigen ini vital karena proses oksidasi amonia (nitrifikasi) adalah proses aerobik yang membutuhkan banyak oksigen. Dengan mendegradasi bahan organik lain yang "mencuri" oksigen, eco-enzyme secara tidak langsung menyediakan lingkungan yang kondusif bagi bakteri pengurai amonia alami.1
-
Pergeseran pH: Eco-enzyme bersifat asam (pH 3,36). Penambahan asam ke dalam air limbah yang mengandung amonia dapat menggeser keseimbangan kimia antara gas amonia ($NH_3$) yang toksik dan ion amonium ($NH_4^+$) yang kurang toksik. Meskipun studi ini tidak secara eksplisit mengukur rasio ini, perubahan pH pasti mempengaruhi spesiasi nitrogen dalam larutan.
Bagian VII: Kritik Realistis – Celah Antara Gelas Ukur dan Selokan
Sebagai tinjauan jurnalistik yang objektif, kita tidak boleh terjebak dalam euforia angka laboratorium semata. Terdapat jurang lebar antara kondisi terkontrol di Universitas Presiden dengan realitas selokan terbuka di Jakarta atau Surabaya.
1. Tantangan Skalabilitas Volume
Angka efektivitas 25% dicapai pada dosis 10%. Dalam skala laboratorium, menambahkan 100 ml eco-enzyme ke dalam 1 liter air adalah hal mudah. Namun, bayangkan skalanya pada Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal yang mengolah 500 meter kubik air per hari. Dosis 10% berarti pengelola membutuhkan pasokan 50 meter kubik eco-enzyme setiap harinya.
Ini menuntut infrastruktur fermentasi yang masif, pasokan sampah nanas yang konstan (ribuan ton), dan manajemen logistik yang rumit. Secara realistis, dosis 10% mungkin terlalu tinggi untuk aplikasi industri skala besar, kecuali jika digunakan hanya sebagai perlakuan kejut (shock treatment) atau pada unit-unit kecil terdesentralisasi.1
2. Validitas Ekologis Air Buatan
Penggunaan air artifisial adalah pedang bermata dua. Ia memberikan data kinetik yang bersih, namun gagal merepresentasikan "hutan rimba" air limbah sesungguhnya. Air limbah nyata mengandung deterjen yang bisa mematikan bakteri, minyak yang melapisi permukaan dan menghambat oksigen, serta logam berat yang bisa menonaktifkan enzim (inhibitor). Efektivitas 25% dalam 5 jam di air murni mungkin akan turun drastis jika diterapkan pada air selokan yang pekat dan beracun. Oleh karena itu, klaim kecepatan reaksi ini harus dibaca dengan catatan kaki yang tebal: "berlaku pada kondisi ideal".1
3. Risiko Beban Organik Tambahan
Kita tidak boleh lupa bahwa eco-enzyme itu sendiri adalah bahan organik (gula dan buah). Jika ditambahkan secara berlebihan ke badan air yang stagnan (tidak mengalir), ia justru bisa meningkatkan beban Biological Oxygen Demand (BOD) sesaat. Bukannya membersihkan, ia malah bisa memicu pembusukan baru jika suplai oksigen tidak memadai. Ini terlihat dari kenaikan amonia pada jam-jam awal eksperimen fase pertama. Presisi dosis adalah kunci; sembarangan menuang eco-enzyme ke selokan (seperti tren yang sempat viral di media sosial) tanpa perhitungan debit air bisa jadi kontraproduktif.6
Bagian VIII: Dampak Nyata dan Implikasi Sosial-Ekonomi
Terlepas dari keterbatasan teknisnya, penelitian Wikaningrum dan El Dabo memiliki implikasi sosial yang sangat kuat, terutama dalam konteks demografi dan manajemen sampah Indonesia.
Demokratisasi Teknologi Sanitasi
Dampak terbesar dari studi ini mungkin bukan pada industri besar, melainkan pada pemberdayaan masyarakat. Selama ini, pengolahan limbah dianggap sebagai ranah eksklusif insinyur sipil dan kimia. Namun, dengan membuktikan bahwa cairan fermentasi sederhana—yang bisa dibuat oleh ibu rumah tangga di dapur—memiliki basis ilmiah yang kuat untuk mereduksi amonia, penelitian ini memvalidasi gerakan lingkungan berbasis komunitas.
Ini memberikan legitimasi ilmiah bagi ribuan relawan eco-enzyme di seluruh Indonesia. Mereka tidak lagi sekadar melakukan ritual "tuang air", tetapi sedang melakukan proses bioremediasi terukur. Berita-berita terbaru dari 2024 dan 2025 menunjukkan tren positif di mana komunitas di Bandung hingga Lumajang mulai mengintegrasikan eco-enzyme untuk pengolahan limbah makanan dari program pemerintah, menciptakan siklus solusi yang mandiri.7
Ekonomi Sirkular yang Sesungguhnya
Indonesia menghasilkan sekitar 64 juta ton sampah per tahun, dengan 60% di antaranya adalah sampah organik.1 Penelitian ini menawarkan jalan keluar dari masalah klasik "TPA penuh". Dengan mengonversi kulit nanas menjadi agen pengolah air, kita mengubah liabilitas (sampah yang memakan biaya buang) menjadi aset (bahan kimia pengolah air).
Jika sebuah pasar induk buah-buahan dapat bekerja sama dengan IPAL setempat, mereka bisa menciptakan sistem tertutup: sampah pasar difermentasi menjadi eco-enzyme, yang kemudian digunakan untuk mengolah air limbah pasar itu sendiri. Ini memangkas biaya transportasi sampah ke TPA sekaligus memangkas biaya pembelian bahan kimia pengolah air.
Alternatif Ramah Lingkungan untuk Disinfeksi
Selain amonia, literatur pendukung dalam laporan ini juga menyoroti potensi eco-enzyme sebagai antimikroba alami. Di era pasca-pandemi, di mana penggunaan disinfektan kimia meningkat tajam dan mencemari perairan, kehadiran alternatif alami yang terbukti mampu menekan bakteri patogen (seperti E. coli dan Coliform) menjadi sangat berharga. Ini membuka peluang penggunaan eco-enzyme untuk sanitasi kandang ternak atau fasilitas umum dengan risiko residu lingkungan yang minimal.1
Bagian IX: Kesimpulan dan Peta Jalan Masa Depan
Dokumen g54.pdf adalah sebuah titik pijak penting. Temmy Wikaningrum dan Mia El Dabo berhasil membuktikan secara statistik bahwa eco-enzyme berbasis nanas adalah reduktor amonia yang efektif, bekerja secara linear dan cepat dalam kondisi terkontrol. Temuan penurunan 25,2% dalam 5 jam adalah data empiris yang menantang skeptisisme banyak pihak terhadap metode "tradisional" ini.
Namun, laporan ini juga menyiratkan bahwa eco-enzyme bukanlah "pil ajaib" yang bisa menggantikan peran IPAL konvensional secara total, terutama untuk skala industri raksasa. Masa depan teknologi ini terletak pada pendekatan hibrida dan desentralisasi.
Rekomendasi untuk Langkah Selanjutnya:
-
Uji Lapangan (Pilot Project): Penelitian harus segera bergerak keluar dari laboratorium. Uji coba pada skala pilot plant menggunakan air limbah domestik asli (greywater) diperlukan untuk melihat ketahanan enzim terhadap polutan kompleks.
-
Optimasi Konsorsium: Riset lanjutan perlu mengidentifikasi strain mikroba spesifik dalam fermentasi nanas yang paling bertanggung jawab atas degradasi amonia, sehingga proses produksi bisa distandarisasi untuk kualitas yang konsisten.
-
Integrasi Kebijakan: Pemerintah daerah perlu melihat eco-enzyme sebagai bagian dari strategi manajemen Daerah Aliran Sungai (DAS), memberikan insentif bagi komunitas yang mengelola limbah organiknya menjadi cairan pemurni air.
Pada akhirnya, revolusi sanitasi mungkin tidak selalu datang dari teknologi tinggi berbiaya miliaran, tetapi bisa dimulai dari jeriken-jeriken fermentasi di halaman belakang rumah kita. Penelitian ini telah menyalakan lilin pembuktian; kini tugas kitalah untuk menjaga apinya tetap menyala hingga sungai-sungai kita kembali jernih.
Sumber Artikel:
Wikaningrum, T., & El Dabo, M. (2022). Eco-Enzyme Sebagai Rekayasa Teknologi Berkelanjutan Dalam Pengolahan Air Limbah. Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, 7(1), 53-64. http://dx.doi.org/10.25105/pdk.v7i1.10738