Revolusi Aspal: Penelitian ITS Ungkap Cara Teknologi IoT dan Big Data Bisa Selamatkan Jalanan Indonesia – Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

15 Oktober 2025, 14.29

unsplash.com

Setiap hari, jutaan warga Indonesia merasakan denyut nadi bangsa di atas aspal. Perjalanan ke kantor, pengiriman logistik antar kota, hingga mudik lebaran, semuanya bergantung pada satu hal: kondisi jalan raya. Namun, di bawah roda kendaraan kita, sebuah krisis senyap tengah berlangsung. Jalan berlubang, permukaan bergelombang, dan tambalan yang tak kunjung awet bukan hanya soal ketidaknyamanan, melainkan gejala dari masalah sistemik yang menggerogoti anggaran negara dan menghambat laju pembangunan.

Kini, sebuah penelitian terobosan dari para ahli di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menawarkan sebuah peta jalan keluar dari labirin masalah ini. Bukan dengan menambah anggaran atau menumpuk aspal, melainkan dengan sebuah revolusi digital. Menggabungkan kekuatan Internet of Things (IoT), Big Data, dan Data Mining, mereka merancang sebuah konsep sistem manajemen perkerasan jalan yang cerdas, prediktif, dan dirancang khusus untuk Indonesia. Ini adalah kisah tentang bagaimana data dapat mengubah aspal menjadi aset infrastruktur yang lebih pintar, aman, dan efisien.

 

Krisis Tak Terlihat di Bawah Roda Anda: Beban Finansial dan Anomali Data yang Melumpuhkan Infrastruktur Indonesia

Di balik setiap keluhan tentang jalan rusak, terdapat angka-angka finansial yang mencengangkan. Penelitian ini menyoroti data dari Direktorat Jenderal Bina Marga (DGH) yang menunjukkan bahwa anggaran untuk preservasi jalan dan jembatan terus membengkak. Dalam tiga tahun terakhir saja, biayanya mencapai lebih dari 20 miliar Rupiah per tahun, atau setara dengan 40% dari total anggaran DGH.1

Bayangkan skala ini: empat dari setiap sepuluh Rupiah yang dialokasikan untuk jalan nasional hanya digunakan untuk menambal kerusakan yang ada, bukan untuk membangun konektivitas baru atau meningkatkan kualitas secara fundamental. Ini adalah beban pemeliharaan masif yang secara efektif menghambat kemajuan infrastruktur nasional. Pertanyaannya, mengapa dana sebesar itu seolah menguap tanpa memberikan solusi permanen?

Para peneliti mengidentifikasi akar masalahnya bukan pada kekurangan material atau tenaga kerja, melainkan pada sebuah kelemahan fundamental dalam sistem: ketergantungan pada inspeksi visual manual.1 Metode tradisional ini memiliki kelemahan fatal:

  • Sangat Subjektif: Penilaian kondisi jalan sangat bergantung pada keahlian dan pengalaman individu inspektur, yang hasilnya bisa "bervariasi dari orang ke orang".1 Sebuah retakan yang dianggap "ringan" oleh satu orang bisa dinilai "parah" oleh orang lain, menciptakan inkonsistensi data.
  • Terbatas dan Lambat: Dengan jaringan jalan nasional yang begitu luas dan kompleks, serta sumber daya manusia yang terbatas, mustahil untuk melakukan inspeksi yang komprehensif dan tepat waktu secara manual.1
  • Menghasilkan "Anomali Data": Kombinasi dari subjektivitas dan keterbatasan ini menghasilkan apa yang disebut peneliti sebagai "anomali data fundamental".1 Ini adalah data yang tidak akurat, tidak lengkap, atau tidak dapat diandalkan, yang menjadi dasar bagi pengambilan keputusan strategis.

Rantai konsekuensinya sangat merugikan. Data yang buruk mengarah pada pengambilan keputusan yang tidak optimal oleh para pembuat kebijakan.1 Dua skenario pemborosan pun terjadi berulang kali. Pertama, jalan yang sudah rusak parah dan mendesak justru terlewat dari prioritas, menyebabkan kerusakan yang "semakin cepat" dan biaya perbaikan yang membengkak di kemudian hari.1 Kedua, jalan yang kondisinya masih relatif baik justru mendapat perawatan berulang kali, sebuah pemborosan sumber daya yang nyata di tengah keterbatasan anggaran.1

Ini membuktikan bahwa masalah pemeliharaan jalan di Indonesia bukanlah sekadar masalah teknis atau sipil, melainkan masalah informasi dan data. Krisis ini berakar pada ketidakmampuan sistem untuk "melihat" dan "memahami" kondisi infrastrukturnya sendiri secara akurat dan real-time. Sistem yang ada saat ini terjebak dalam siklus reaktif yang merugikan. Semakin lama berjalan, semakin besar beban fiskal yang ditimbulkannya, menciptakan sebuah "utang infrastruktur" tak terlihat yang terus bertambah dari tahun ke tahun.

 

Jawaban dari Masa Depan: Membedah Konsep "Pavement Management System" Cerdas

Menghadapi tantangan fundamental ini, penelitian dari ITS tidak menawarkan perbaikan kecil, melainkan sebuah lompatan paradigma: pergeseran dari mode operasi tradisional ke sebuah "Pavement Management System (PMS) yang cerdas dan otomatis".1 Ini bukan sekadar digitalisasi formulir inspeksi, melainkan sebuah revolusi dalam cara negara mengelola salah satu aset paling vitalnya.

Perbedaan utamanya terletak pada filosofi. Sistem tradisional bersifat reaktif, menunggu laporan kerusakan masuk baru kemudian bertindak. Sebaliknya, PMS Cerdas bersifat proaktif dan prediktif. Tujuannya adalah "menemukan kerusakan sejak dini, memperbaiki kerusakan, dan mempertahankan kondisi normal infrastruktur jalan".1 Analogi sederhananya, ini seperti beralih dari praktik pengobatan di unit gawat darurat menuju program pemeriksaan kesehatan rutin yang mampu mencegah penyakit sebelum menjadi parah.

Fondasi dari sistem canggih ini ditopang oleh tiga pilar teknologi modern:

  • Internet of Things (IoT): Berperan sebagai "mata dan telinga" digital di lapangan. Sensor-sensor canggih yang terpasang pada kendaraan survei akan mengumpulkan data kondisi jalan secara nonstop dan real-time.
  • Big Data: Berfungsi sebagai "perpustakaan raksasa" yang mampu menyimpan, mengelola, dan memproses volume data dari seluruh penjuru negeri—sebuah skala yang mustahil ditangani oleh sistem konvensional.
  • Data Mining (DM): Bertindak sebagai "otak analitis" dari keseluruhan sistem. Algoritma cerdas akan menyisir tumpukan data mentah untuk menemukan pola, tren, anomali, dan yang terpenting, membuat prediksi kerusakan di masa depan.1

Konsep yang diusulkan ini, yang disebut "Modern-Integration Concept", membagi sistem menjadi empat sub-sistem utama yang bekerja secara harmonis untuk menciptakan alur kerja yang mulus dari deteksi hingga eksekusi 1:

  1. Smart-Inspection: Otomatisasi penuh proses survei dan pengumpulan data di lapangan.
  2. Smart-Solution: Analisis data mendalam untuk menghasilkan rekomendasi solusi pemeliharaan yang paling efektif dan efisien.
  3. Smart-Automation Tools: Pemanfaatan alat-alat cerdas dalam implementasi perbaikan di lapangan.
  4. Smart-Emergency Response: Sistem respons cepat dan terkoordinasi untuk menangani kerusakan darurat yang membahayakan pengguna jalan.

Secara esensial, konsep PMS Cerdas ini adalah sebuah proposal untuk menerapkan model "tata kelola berbasis algoritma" pada sektor infrastruktur. Proses pengambilan keputusan yang sebelumnya berada di ranah subjektivitas manusia kini digeser ke objektivitas analisis mesin. Keputusan tentang "jalan mana yang lebih mendesak untuk diperbaiki" 1 tidak lagi didasarkan pada laporan anekdotal atau lobi, melainkan pada skor prioritas yang dihitung secara matematis berdasarkan data objektif. Ini adalah pergeseran filosofis menuju manajemen berbasis bukti kuantitatif yang berpotensi meningkatkan transparansi dan akuntabilitas secara drastis.

 

Mata Digital di Jalan Raya: Bagaimana IoT dan Sensor 3D Bekerja

Bagaimana sistem ini "melihat" kondisi jalan dengan presisi yang mustahil dicapai mata manusia? Jawabannya terletak pada modul pertama alur kerja: Survei dan Pemodelan 3D.1 Ujung tombak dari proses ini adalah "Smart Survey-Vehicle" atau kendaraan survei cerdas. Kendaraan ini, yang menurut para peneliti dapat dikembangkan dari platform yang sudah ada di Indonesia seperti mobil Hawkeye, akan menjadi pengganti tim inspektur manusia.1

Di dalam kendaraan ini tersemat serangkaian teknologi canggih yang bekerja serempak:

  • Kamera Super HD: Menangkap citra permukaan jalan dengan resolusi sangat tinggi, mampu mendeteksi retakan rambut yang sering luput dari pandangan.
  • Teknologi Laser Point Cloud 3D: Inilah jantung dari sistem deteksi. Teknologi ini memindai permukaan jalan dengan jutaan titik laser per detik untuk menciptakan model digital tiga dimensi yang luar biasa presisi. Ini seperti membuat "sidik jari digital" untuk setiap meter jalan raya, mencatat setiap retakan, lubang, dan penurunan permukaan dengan akurasi hingga level milimeter.1
  • Sensor Pendukung: Dilengkapi dengan GPS untuk data lokasi yang akurat, encoder untuk pengukuran jarak yang presisi, dan sensor-sensor relevan lainnya untuk data yang komprehensif.1

Data dari berbagai sensor ini kemudian diintegrasikan untuk menciptakan sebuah model 3D jalan yang dinamis dan visual.1 Ini bukan lagi sekadar peta statis, melainkan sebuah replika virtual yang hidup dari kondisi jalan fisik, atau yang dalam dunia teknologi dikenal sebagai "digital twin".

Pendekatan ini secara fundamental mengubah definisi "data kondisi jalan". Data bukan lagi sekadar angka indeks tunggal dalam spreadsheet (seperti nilai IRI atau PCI), melainkan representasi spasial yang kaya dan multidimensional. Dari "awan titik" data 3D ini, berbagai jenis informasi dapat diekstraksi—bukan hanya satu indeks. Sistem dapat menghitung volume lubang secara akurat untuk estimasi material tambalan, mengukur kedalaman alur bekas roda (rutting) untuk menganalisis risiko genangan air (aquaplaning), atau bahkan menganalisis tekstur permukaan untuk memprediksi tingkat kekesatan (skid resistance).

Semua informasi ini disajikan melalui sebuah "platform visualisasi", yang dapat dibayangkan sebagai "Google Maps super" untuk para manajer infrastruktur.1 Melalui dasbor ini, pengambil keputusan dapat mengklik segmen jalan mana pun di Indonesia dan secara instan melihat model 3D-nya, riwayat inspeksi, jenis kerusakan yang terkuantifikasi, dan parameter relevan lainnya secara real-time. Ini memberikan tingkat pengawasan dan pemahaman yang belum pernah ada sebelumnya.

 

Dari Tumpukan Data Menjadi Strategi Jitu: Keajaiban Analisis Big Data dan Data Mining

Setelah berhasil mengumpulkan data dengan volume dan detail yang luar biasa, tantangan berikutnya muncul: bagaimana mengubah "tsunami data" ini menjadi wawasan yang dapat ditindaklanjuti? Di sinilah peran Modul Analisis Data dan keajaiban Data Mining (DM) menjadi pusat perhatian. Data Mining adalah proses "mengekstrak informasi yang tersembunyi" dari kumpulan data raksasa, menggunakan kombinasi teknik statistik, matematika, dan kecerdasan buatan (AI) untuk menemukan pola yang tidak terlihat oleh analisis konvensional.1

Alur kerja analisis dalam PMS Cerdas ini berjalan secara otomatis dan sistematis:

  1. Klasifikasi Kerusakan Otomatis: Algoritma pengenalan gambar (image recognition) akan memproses model 3D dan secara otomatis mengidentifikasi serta mengklasifikasikan setiap jenis kerusakan—apakah itu retak buaya, lubang, atau depresi—sesuai dengan standar yang berlaku di Indonesia. Proses ini sepenuhnya menghilangkan unsur subjektivitas manusia.1
  2. Evaluasi Kondisi Jalan Kuantitatif: Berdasarkan data kerusakan yang telah terklasifikasi, sistem akan secara otomatis menghitung indeks-indeks kinerja jalan yang sudah dikenal luas, seperti Surface Distress Index (SDI), International Roughness Index (IRI), dan Pavement Condition Index (PCI).1 Setiap ruas jalan akan memiliki skor kesehatan yang objektif dan terukur.
  3. Analisis Kebutuhan dan Prioritas Pemeliharaan: Inilah langkah krusial. Dengan membandingkan skor kondisi jalan di seluruh jaringan nasional, sistem dapat menyusun daftar prioritas penanganan. Algoritma akan menentukan ruas jalan mana yang memerlukan tindakan paling mendesak, memastikan sumber daya yang terbatas dialokasikan ke titik yang paling kritis dan memberikan dampak terbesar.1

Namun, kekuatan sejati dari sistem ini terletak pada kemampuannya untuk melihat ke masa depan. Dengan memanfaatkan teknik seperti "Time Series Analysis" (Analisis Runtun Waktu), sistem dapat mempelajari data historis untuk "mengetahui tren dan aturan yang terjadi pada gangguan dan kerusakan jalan".1

Bayangkan kemampuannya: dengan menganalisis data kerusakan dari ribuan ruas jalan selama bertahun-tahun, sistem dapat belajar dan membuat prediksi. Misalnya, ia bisa menemukan pola bahwa jenis retakan tertentu di lokasi dengan curah hujan tinggi dan volume lalu lintas berat memiliki probabilitas 85% untuk berkembang menjadi lubang berbahaya dalam waktu enam bulan. Berbekal prediksi ini, DGH dapat mengirim tim untuk melakukan penambalan preventif pada retakan kecil hari ini, sebuah tindakan yang jauh lebih cepat dan murah daripada harus memperbaiki lubang besar enam bulan dari sekarang.

Seiring berjalannya waktu, sistem ini akan menciptakan sebuah lingkaran umpan balik (feedback loop) yang terus belajar. Setiap kali sebuah tindakan pemeliharaan dilakukan, hasilnya akan dimasukkan kembali ke dalam sistem. Algoritma kemudian dapat membandingkan prediksinya dengan hasil di dunia nyata, dan secara otomatis menyesuaikan modelnya untuk menjadi lebih akurat di masa depan. Sistem ini tidak statis; ia berevolusi dan menjadi semakin pintar.

 

Mengapa Ini Bukan Sekadar Teknologi? Menjembatani Kesenjangan Implementasi

Para peneliti di balik konsep ini menunjukkan kedewasaan dan realisme dengan secara jujur mengakui sebuah tantangan besar: "sampai sekarang masih ada kesenjangan antara penelitian dan implementasi aktual".1 Banyak ide teknologi canggih di dunia yang gagal bukan karena teknologinya buruk, tetapi karena tidak ada jembatan yang kokoh untuk menghubungkannya dengan realitas kebijakan, birokrasi, dan praktik di lapangan.

Di sinilah letak kontribusi paling signifikan dari penelitian ini. Ia tidak hanya memamerkan kecanggihan teknologi, tetapi juga menyajikan sebuah blueprint strategis yang dirancang khusus untuk konteks Indonesia.1 Para peneliti secara eksplisit menyatakan bahwa masalah utama selama ini adalah "belum adanya konsep yang menghubungkan teknik AI dan IoT dengan PMS yang disesuaikan dengan kebijakan otoritas di Indonesia".1 Konsep yang mereka tawarkan adalah jawaban langsung untuk mengisi kekosongan tersebut.

Salah satu pilar penting dalam blueprint ini adalah penekanan pada Analisis Biaya Siklus Hidup atau Life-Cycle Cost Analysis (LCCA).1 Ini adalah alat pengambilan keputusan ekonomi yang krusial. LCCA mengajarkan untuk tidak hanya melihat biaya konstruksi awal yang murah, tetapi menghitung semua biaya yang akan timbul selama umur rencana jalan tersebut—termasuk biaya pemeliharaan rutin, rehabilitasi berkala, dan bahkan biaya yang ditanggung pengguna jalan akibat gangguan lalu lintas. Seringkali, opsi dengan biaya awal terendah justru menjadi yang paling mahal dalam jangka panjang.1 PMS Cerdas menyediakan data akurat yang dibutuhkan untuk membuat keputusan yang bijaksana secara fiskal untuk puluhan tahun ke depan.

Namun, tantangan implementasi terbesar mungkin bukanlah soal teknis atau finansial, melainkan organisasional dan kultural. Adopsi sistem ini menuntut perubahan signifikan dalam keterampilan dan budaya kerja di lembaga-lembaga terkait. Peran "inspektur lapangan" akan bergeser dari pengamat visual menjadi operator teknologi dan analis data. Manajer dan pembuat kebijakan perlu menjadi lebih "melek data" (data-literate), mampu memahami dan bahkan menantang output dari model AI. Keberhasilan jangka panjang akan sangat bergantung pada program pelatihan, pengembangan kapasitas, dan kemauan untuk beradaptasi dengan cara kerja yang baru dan berbasis data.

 

Dampak Nyata: Visi Infrastruktur Indonesia Lima Tahun ke Depan

Jika berhasil diimplementasikan, konsep PMS Cerdas ini bukan hanya akan mengubah cara kita menambal jalan, tetapi juga berpotensi mentransformasi lanskap infrastruktur dan ekonomi Indonesia. Para peneliti menyimpulkan beberapa keunggulan utama dari sistem yang mereka rancang 1:

  • Deteksi kerusakan otomatis dengan presisi tinggi.
  • Kuantifikasi jenis dan tingkat kerusakan berbasis data 3D yang objektif.
  • Ekstraksi informasi berkelanjutan dari data menggunakan algoritma cerdas yang terus disempurnakan.
  • Kemampuan untuk sinkronisasi dan kolaborasi dengan sistem infrastruktur lain seperti sistem lalu lintas cerdas.
  • Menawarkan sebuah sistem standar untuk memprediksi tren kerusakan dan merencanakan kebutuhan pemeliharaan.

Dalam jangka waktu lima hingga sepuluh tahun, dampaknya bisa sangat signifikan. Anggaran pemeliharaan yang saat ini mencapai 40% dapat ditekan secara drastis, membebaskan dana miliaran Rupiah yang bisa dialihkan untuk pembangunan infrastruktur baru. Jalanan yang lebih aman dan nyaman akan mengurangi angka kecelakaan dan meningkatkan kualitas hidup. Jaringan logistik nasional yang lebih andal akan menurunkan biaya transportasi barang, membuat produk-produk Indonesia lebih kompetitif di pasar.

Pada akhirnya, konsep yang lahir dari para pemikir di ITS ini lebih dari sekadar sebuah makalah akademis. Ini adalah peta jalan yang praktis dan dapat dicapai untuk mentransformasikan salah satu aset paling vital bangsa. Sebagaimana disimpulkan dalam penelitian, "PMS harus mulai menerapkan teknologi inovatif dan fokus pada digitalisasi infrastruktur, jaringan, intelijen, dan pengembangan terpadu peralatan dan fasilitas".1 Inilah langkah pertama untuk memastikan infrastruktur Indonesia tidak hanya menyambungkan kota, tetapi juga siap menyongsong tantangan masa depan.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.1051/e3sconf/202451701001